Anda di halaman 1dari 9

TOPIK: ISU-ISU GENDER TERKINI

Opini Popular: Maraknya Pelecehan Seksual di


Lingkungan Pendidikan
Dosen Pengampuh : Nila Kusuma, S.Sos.,M.Sosio

Disusun Oleh :
Muhammad Alfandiansyah
NIM L1C020061
Sosiologi B

Prodi Sosiologi
Universitas Mataram
2021
Pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang
tak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lainnya yang
secara verbal ataupun fisik merujuk pada seks.(Wikipedia)

Dari penjelasan di atas dapat kita tangkap bahwa pelecehan seksual adalah perbuatan yang
sangat hina yang mana apabila kita melihat dari segi hak manusia pelaku tersebut telah
mengganggu hak manusia lainnya dengan melakukan hal yang tidak senonoh. Banyak dari
pelaku merasa tidak apa apa melakukan hal itu di hal tersebut dapat di karenakan posisi
dia sebagai apa, kondisi dan situasi seperti apa, bahkan dapat dilakukan oleh orang terdekat
dari korban.

Organisasi kesehatan dunia menegaskan bahwa pelecehan seksual merupakan salah satu
bentuk kekerasan seksual yang menjadi masalah global. Pelecehan seksual merupakan
perilaku-perilaku pendekatan yang terkait dengan seks yang diinginkan, termasuk perilaku
dan permintaan secara verbal maupun fisik yang merujuk pada seks. Secara umum wanita
lebih sering menjadi korban pelecehan seksual, namun tidak menutup kemungkinan laki-
laki juga bisa menjadi korban. Yang menjadi pelaku pun bukan hanya laki-laki saja
meskipun selama ini mayoritas pelaku adalah laki-laki, tapi perempuan juga bisa menjadi
pelaku. Dan ruang publik justru sering menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual.

Di masa pandemi ini mengharus kan masyarakat untuk tidak banyak keluar rumah namun,
tidak membuat para pelaku diam. Bahkan di masa pandemi ini kekerasan seksual terutama
lewat media internet meningkat secara signifikan menduduki nomer 2 setelah KDRT.
Merujuk data LBH APIK rata-rata perbulan ada 30 kasus yang diterima, 7 Juni LBH APIK
menerima laporan diatas 90 kasus. Pelecehan seksual ini dapat menimbulkan dampak
negatif terhadap korban baik secara psikologis dan sosial korban serta pihak lain yang
terlibat.

Orang pada umumnya menuntut korban dapat menyuarakan atau melaporkan kejadian
pelecehan seksual. Para korban umumnya dapat melaporkan bila percaya bahwa
tindakannya tidak akan memukul balik. Oleh karenanya dibutuhkan komitmen dari orang
sekitar untuk memberikan dukungan pada korban dan memberikan sanksi yang menjerakan
sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku.

Isu pelecehan seksual di Indonesia belum menjadi prioritas untuk di perbincangkan, bisa
dilihat bagaimana negara kita melihat masalah pelecehan, tidak jarang yang disalahkan
justru si korban. Entah si korban dibilang “oh mungkin pakai bajunya nggak bener” atau”oh
dia tidak memakai jilbab mungkin”. Banyaknya kasus sexual harassment di ruang publik
yang tidak dilaporkan ini karena pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik dianggap
sebagai hal yang lumrah di masyarakat.

Masih banyak orang yang memilih untuk diam ketika dia mendapatkan pelecehan baik itu
di sosial media dimana korban memilih untuk menghapus komentar atau mungkin di
abaikan, ataupun secara fisik dimana korban merasa malu apabila melapor jadi merasa
lebih baik diam, atau sudah menceritakan kepada orang tua tapi mereka menganggap itu
sebuah aib dan lebih memilih memaksa menikahkan kedua belah pihak. Pelecehan seksual
menjadi lebih sulit untuk diungkap dan ditangani karena sering dikaitkan dengan konsep
moralitas masyarakat. Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan untuk
dirinya dan orangtua, karenanya ia kemudian dipandang menjadi aib ketika mengalami
pelecehan seksual.

Stigma masyarakat seperti itu semakin membuat korban semakin merasa bahwa diam
adalah jalan paling benar karena korban merasa apabila mereka speak up malah akan
dihakimi. Padahal ketika korban mndapatkan kekerasan seksual bisa jadi mereka
mengalami kondisi dimana hanya bisa diam dan tidak dapat melawan hal itu dikarenakan
reaksi defensif yang muncul secara biologis.

Pola pikir masyarakat yang menyalahkan korban ini berbahaya jika tetap digunakan.
Sayangnya di Indonesia pola pikir ini sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Korban yang seharusnya di lindungi, diberikan dampingan untuk memulihkan kembali
mental psikis nya setelah mengalami kekerasan seksual malah menjadi pelaku di mata
masyarakat entah dari pakaian yang disalahkan dan lain-lain. Dan beberapa kasus
kekerasan seksual di Indonesia bahkan di selesaikan dengan cara kekeluargaan yaitu
dengan menikahkan korban dengan si pelaku demi menutupi aib keluarga.

Padahal hal tersebut bisa menjadi sebuah senjata pembunuh bagi korban. Bagaimana tidak,
korban dipaksa hidup dengan predator yang menghancurkan dirinya dan hidupnya.
Tindakan ini dapat menyebabkan trauma bagi korban dan bisa menyebabkan korban untuk
lebih memilih bunuh diri daripada menyerahkan sisa hidupnya kepada pelaku. Maka dari
itu kita sebagai masyarakat harus memiliki toleransi yang tinggi, mereka yang menjadi
korban pelecehan seksual sama seperti masyarakat yang lainnya yang memiliki hak nya
untuk di hormati dan dihargai, bukannya malah dihakimi dan di pojokkan karena hal itu
dapat berdampak buruk bagi psikis dan mental korban. Masyarakat yang memiliki toleransi
tinggi pasti memiliki rasa ingin membantu atau menolong bukan malah menjauhi atau
menghina, karena korban sangat perlu rangkulan dari orang sekitar agar mental dan psikis
nya tetap kuat setelah mengalami hal tidak mengenakkan.

Sebagai masyarakat yang baik kita harus bisa untuk tidak menghakimi secara sepihak dan
tidak berasumsi negatif kepada korban pelecehan seksual. Sehingga ketika korban berani
untuk berbicara kasus pelecehan seksual akan lebih mudah ditangani dan tidak akan
meningkat setiap tahunnya. Untuk penanganannya juga perlu payung hukum yang kuat
dengan pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual juga dibutuhkan msyarakat
terlebih banyaknya masyarakat yang merasa gerak akan maraknya kasus kekerasan seksual
yang semakin lama justru semakin bertambah karena ini juga untuk kemaslahatan
semuanya bukan hanya perempuan saja tapi laki-laki juga.
Kekerasan seksual terhadap perempuan menempati urutan kedua terbanyak setelah
kekerasan fisik yang terjadi sepanjang 2020. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan(Komnas Perempuan) 2021 yang dirilis Maret lalu. Dari 6.480 kasus kekerasan
yang terjadi dalam hubungan personal, sebanyak 1.938 atau 30 persen di antaranya
merupakan kekerasan seksual. Angka tersebut berselisih sedikit dengan kekerasan jenis
fisik dengan angka 2/025 atau 31 persen. Sementara, kekerasan jenis psikis sebanyak 1.792
kasus atau 28 persen, dan kekerasan ekonomi 680 kasus atau 10persen.
Komnas Perempuan juga menilai lingkungan pendidikan bukan sebuah tempat yang aman
bagi anak didik dari kekerasan seksual. Hal ini mereka beberkan dalam Lembar Fakta
Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan.
Sepanjang 2015-2020, Komnas Perempuan menerima 51 laporan kasus kekerasan seksual
dan diskriminasi. Dari berbagai jenjang pendidikan, kekerasan seksual paling banyak
terjadi di perguruan tinggi dengan jumlah 14 kasus, pesantren atau pendidikan berbasis
agama 10 kasus, 8 kasus di SMA/SMK, 5 kasus tidak teridentifikasi, dan lainnya.
Universitas merupakan tempat utama dari banyaknya kekerasan seksual.
Di lingkungan pendidikan, bentuk kekerasan seksual yang dilakukan antara lain perkosaan,
pencabulan dan pelecehan seksual, kekerasan psikis dan diskriminasi dalam bentuk
dikeluarkan dari sekolah.

Data kekerasan seksual di perguruan tinggi yang dihimpun bagian Pemantauan Komnas
Perempuan lebih banyak. Sepanjang 2015-2021, Komnas mencatat terdapat 26 kasus
kekerasan seksual di kampus. Pelaku didominasi dosen, dan korban paling banyak adalah
mahasiswi. Dari 26 kasus itu, 17 di antaranya dilakukan dosen. Sementara, pelaku lain
adalah 6 mahasiswa, 2 pelatih atletik, dan 1 ketua yayasan universitas. Korban paling paling
banyak merupakan mahasiswa 21 orang, 1 dosen, 2 murid, 1 pegawai, dan 1 korban yang
latar belakangnya tidak teridentifikasi. Sebanyak 7 kasus kekerasan seksual terhadap
mahasiswa dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi. Modus kekerasan itu bermacam-
macam antara lain, pelecehan verbal, menyentuh anggota tubuh, meminta gambar atau
video tak senonoh, hingga perkosaan.

Dalam catatan tahunannya, Komnas Perempuan mengategorikan kekerasan terhadap


perempuan menjadi beberapa bagian ranah: personal, komunitas, dan negara.
Kasus kekerasan seksual di ranah personal didominasi pencabulan 412 kasus, kekerasan
berbasis gender siber (KGBS) 329 kasus, kekerasan seksual lain sebanyak 321 kasus, dan
perkosaan 309 kasus. Menurut Komnas Perempuan, jika dibandingkan tahun lalu KGBS
meningkat drastis dari 35 kasus menjadi 329 kasus. "Ini berarti terjadi kenaikan 920 persen
KBGS di ranah KDRT/RP dibandingkan tahun sebelumnya," jelas Komnas
Perempuan.Catahu Komnas Perempuan tersebut juga membeberkan pelaku kekerasan
seksual di ranah personal didominasi pacar 1.074 orang, mantan pacar 263 orang, ayah 165
orang, kerabat 135 orang, ayah tiri/angkat 92 orang, dan suami 83 orang. "Dibandingkan
tahun lalu, kekerasan berbasis gender siber (KGBS) di ranah KDRT/RP bertambah dari 35
kasus menjadi 329 kasus. Ini berarti terjadi kenaikan 920% KBGS di ranah KDRT/RP
dibandingkan tahun sebelumnya," tutur Komnas Perempuan dalam laporannya.
Perempuan itu katanya harus begini, harus begitu, jangan lakuin ini, jangan lakuin itu.
Padahal perempuan itu tidak harus jadi apa-apa. Mereka hanya cukup jadi diri mereka
sendiri. Namun kenyataannya menjadi perempuan terkadang sulit. Mereka kerap menjadi
korban oleh tangan-tangan kotor yang menyentuh tubuhnya tanpa rasa bersalah. Mereka
kerap menjadi bungkam karena ketakutan. Ketakutan akan dunia yang jarang mendengar
suaranya.

Hingga detik ini kasus pelecehan seksual masih menjadi masalah yang terus menerus
terjadi. Meskipun ada laki-laki yang menjadi korban, fakta mengatakan bahwa perempuan
masih menjadi sasaran pelecehan seksual dibanding dengan laki-laki. Pelecehan seksual
bisa ditemui dimana-mana dan pelakunya bisa orang tidak dikenal maupun orang yang
dikenal. Bentuk pelecehan seksual pun beragam, dari yang paling sering terjadi yaitu
melakukan kontak mata pada bagian tubuh perempuan, catcalling, mengungkapkan
bercandaan dengan unsur seksual, sampai yang sudah memasuki level parah yaitu meraba-
meraba tubuh korban atau memaksa melakukan hubungan seksual.

Kasus pelecehan seksual semakin marak terjadi karena para pelaku lolos dan tidak diberi
hukuman. Mereka bebas berkeliaran dan melakukan hal tersebut berulang-ulang. Lalu,
alasan mengapa laki-laki melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan adalah karena
mereka merasa bahwa perempuan adalah kaum lemah yang akan mudah untuk ditaklukan.
Laki-laki juga kerap merasa bahwa mereka memiliki kuasa sehingga mereka bisa
melakukan hal-hal yang mereka anggap pantas dilakukan padahal sebetulnya tidak. Bisa
jadi juga karena laki-laki tersebut memiliki hasrat yang tidak bisa dia salurkan sehingga
hasrat tersebut menjadi menggebu-gebu, lalu di dorong dengan pengaruh alkohol, mereka
akan tanpa sadar melakukan pelecahan seksual terhadap perempuan yang mungkin saja
mereka temui ketika sedang berpapasan dan masih banyak lagi penyebab-penyebab lain
yang mendorong laki-laki untuk melakukan tindakan seksual terhadap wanita. Terkadang
seorang perempuan pun tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban pelecehan seksual
karena mereka fikir ketika laki-laki melakukan catcalling, itu hanyalah bercanda dan hal
tersebutlah yang memicu laki-laki melakukan pelecehan seksual lebih jauh.
Namun anehnya, perempuan adalah korban tapi mereka juga yang disalahkan atas
pelecehan seksual yang mereka terima. Salah satu yang paling sering disebutkan adalah
karena gaya pakaian wanita yang kurang sopan dan mengundang nafsu laki-laki. Padahal
sebenarnya akar dari masalah ini adalah bukan karena pakaian sang perempuan melainkan
laki-laki yang memiliki cara pandang perempuan sebagai objek mereka. Kenapa
perempuan korban pelecehan seksual selalu disalahkan? Menurut sosiolog dan antropolog
dari Unpad, Budi Rajab, hal itu terjadi karena masyarakat kita berpikirnya masih patriarkis.
Termasuk para pemimpin, khususnya yang berjenis kelamin laki-laki, sehingga solusinya
juga patriarkis.

Untuk menyikapi hal ini ,memang betul kalau sebaiknya perempuan menjaga pakaiannya
tetapi itu juga berarti laki-laki harus menjaga hasratnya. Yang menjadi masalah lain juga
karena perempuan kerap diam ketika menjadi korban pelecehan seksual. Dua alasan utama
mengapa perempuan tidak melakukan apa pun ketika menjadi korban pelecehan seksual
adalah rasa malu dan rasa takut. Mereka malu jikalau harus menceritakan ini kepada orang
lain karena mereka fikir ini adalah aib. Mereka juga takut untuk bersuara karena takut
dianggap tidak bisa menjaga diri. Korban pelecehan seksual bukan hanya takut kepada
pelaku, biasanya mereka juga takut dengan tanggapan yang akan mereka terima dari orang-
orang karena ya itu tadi, pemikiran patriarki masyarat yang bisa jadi menyalahkan dirinya
dan memandangnya buruk. Tanpa sadar pemikiran patriaki juga mengkontaminasi
pemikiran para korban, mereka akan berfikir kalo mungkin iya alasan kenapa dia menjadi
korban adalah karena gaya pakaiannya, karena dirinya yang mungkin menggoda, padahal
sebenarnya tidak selalu begitu. Hal-hal tersebut menjadi masalah yang menimbulkan
perempuan takut untuk speak up dan para pelaku lolos. Itulah sebabnya, di zaman sekarang
para perempuan harus lebih berani untuk bersuara karena mereka bukanlah pihak yang
salah. Kalau memang banyak orang di dunia ini yang bersuara terlalu keras sampai
meredam suaramu, maka tidak ada salahnya untuk bersuara lebih keras. Jangan malu dan
jangan takut karna manusia punya hak untuk bersuara dan didengar.

Kekerasan seksual bisa terjadi di dalam ranah domestik maupun publik, tanpa terkecuali di
suatu institusi pendidikan. Lingkungan kampus yang dipandang idealnya menjadi suatu
tempat untuk belajar tentang kehidupan dan kemanusiaan justru menjadi tempat dimana
nilai-nilai kemanusiaan direnggut serta dirampas bahkan dilanggar. Lingkungan kampus
yang didominasi oleh kaum ‘intelektual’ dengan berjejernya gelar yang disandang ternyata
tidak berbanding lurus dengan perilaku menghargai nilai dan martabat serta Marwah
terkhusus perempuan sebagai sesama manusia.

Sayangnya, kasus kekerasan seksual secara umum masih dianggap hanya sebatas tindakan
asusila, bukan tindakan kejahatan yang melanggar hak dan kemanusiaan korban. Baru -
baru ini di kampus UNRI seorang dosen mencium mahasiswa bimbingan nya sendiri akan
tetapi si dosen pembimbing tidak mengakui dengan perbuatannya, di tambah lagi pihak
rektorat tidak responsif terhadap kasus pelecehan, padahal kasus-kasus pelecehan dan
kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia umumnya selama berpuluh tahun
“tersembunyi di bawah karpet” karena kuatnya relasi kuasa para pelaku dan tak ada payung
hukum.

Berlakunya peraturan terbaru Mendikbudristek Nadiem Makarim Nomor 30 Tahun 2021


soal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi pada 3
September 2021, menjadi pijakan kuat untuk mengadvokasi para korban dan penyintas
yang selama ini tak berani bicara terhadap kasus pelecehan seksual.

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual diantaranya faktor natural atau
bilogis, faktor sosial dan budaya, Faktor relasi kuasa yang sangat sering dijumpai di
kampus, korban kekerasan seksual merasa terpaksa, tidak berani mengatakan tidak bahkan
menolak atau hanya diam ketika mengalami pelecehan seksual hanya karena si pelaku
adalah seseorang yang memiliki kedudukan dan memiliki kekuasaan di kampus, entah itu
sebagai seorang dosen, staff ataupun pemimpin organisasi tertentu di kampus.

Korban kekerasan seksual di kampus merasa dirinya tertekan dan takut, hanya karena
statusnya sebagai seorang mahasiswa yang tentu saja akan masih berhubungan dengan
pelaku, adanya ancaman serta diskriminasi nilai ataupun kesulitan atau bahkan tidak
diluluskannya seminar proposal atau sidang skripsinya, menjadi salah satu faktor korban
tidak berani melaporkan tindakan pelaku. Selain itu, ketakutan mendapat respon negatif
dari masyarakat takut disalahkan oleh berbagai pihak dan dianggap melebih-lebihkan atau
dia takut dianggap “ia yang menggoda”, “ia menikmati”,”ia mahasiswi biasa sedangkan
saya seseorang yang mempunyai gelar dan ilmu yang tinggi tidak mungkin saya melakukan
hal yang tidak senonoh” menjadi pertimbangan korban untuk melapor dan memilih diam.
Padahal korban atau setiap orang sekalipun punya hak untuk berbicara, mendapat keadilan
dan mendapatkan pemulihan, Satu survei tahun 2019 terkait pelecehan seksual di ruang
publik, Koalisi Ruang Publik Aman menemukan lingkungan sekolah dan kampus
menduduki urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), jalanan (33%)
dan transportasi umum (19%).

Hal ini semakin kuat dugaan bahwa negara tidak pernah memberikan hak yang layak bagi
perempuan perempuan, yang pada dasarnya setiap hak itu sama Dimata hukum tidak
pernah memilih dia lelaki ataupun perempuan semuanya sama di mata hukum.

Untuk pihak kampus harus menyediakan layanan pelaporan kekerasan seksual, melatih
mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus terkait upaya pencegahan
dan penanganan kekerasan seksual, serta melakukan sosialisasi secara berkala terkait
pedoman pencegahan kekerasan seksual di lingkup kampus. Setiap kampus juga diminta
untuk memasang tanda informasi yang berisi pencantuman layanan aduan kekerasan
seksual, dan peringatan bahwa kampus tidak mentoleransi kekerasan seksual. Itu baru
dikatakan dengan kampus merdeka, tidak hanya merdeka belajar juga merdeka sejak dalam
pikiran.

“Salah kamu sendiri kenapa pake baju gitu, dilecehin kan jadinya.”

“Cowok kan matanya emang gitu, seharusnya kamu sebagai cewek jangan pake baju yang
mengundang!”

“Makanya jangan terlalu dekat sama cowok!“

Pernahkah Anda mendengar ucapan tersebut di kehidupan sehari-hari? Ucapan seperti itu
sering disebut victim blaming. Mungkin Anda pernah mendengar istilah ini terutama di
media sosial maupun dari beberapa kasus yang pernah terjadi. Victim blaming merupakan
tindakan saat orang-orang menyalahkan korban dari tindakan kriminal atau pelecehan, di
mana korban diminta untuk lebih bertanggung jawab terhadap penyerangan yang terjadi
pada dirinya. Di sini korban lebih disalahkan dari pada pelaku sendiri.

Tindakan ini bisa memprovokasi pelaku untuk membenarkan kekerasan dan pelecehan
yang dilakukannya, baik melalui ucapan maupun tindakan. Victim blaming memang marak
ditemukan, bahkan bisa diucapkan oleh orang yang dekat dengan korban. Padahal, tindakan
semacam itu tidak boleh dilakukan, bahkan bisa dikategorikan sebagai kekerasan.

Jika dipikir-pikir, victim blaming tidak memiliki landasan yang jelas, tidak rasional, dan
dapat memperparah keadaan. Karena sudah jelas-jelas korbannya menderita, namun
beberapa orang malah mencari-cari kesalahan korban yang bahkan terkadang tidak ada
kaitannya dengan masalah utama.
Victim blaming yang termasuk dalam kekerasan seksual tentu saja akan berdampak buruk
bagi korban. Melansir klikdokter.com, beberapa korban akan depresi, dan trauma sehingga
mereka tidak berani melapor, dan yang paling parah bisa menyebabkan korban tidak dapat
melanjutkan hidup atau memilih untuk bunuh diri.

Ada banyak kasus dari kejadian victim blaming ini. Salah satunya kasus Yuyun, gadis
malang yang menjadi korban dan harus meregang nyawa usai diperkosa 14 pemuda dalam
perjalanan pulang ke rumah sepulang sekolah. Kejadian seperti ini terus saja terulang.

Namun komentar orang-orang malah bikin geleng-geleng kepala, masih saja ada segelintir
orang yang mengatakan beberapa kalimat yang bernada ‘menyalahkan’ seperti, “Kenapa
pulang sendirian udah tau itu daerah rawan!” atau “Kenapa nggak dijemput?” Bayangkan
bagaimana perasaan orang lain mendengar kejadian nahas yang terjadi pada Yuyun.
Pasalnya, kasus Yuyun ini hanya merupakan satu dari banyaknya kasus yang menimpa
perempuan.

Kecenderungan masyarakat Indonesia melakukan victim blaming yang terus berulang tidak
dapat jauh dari budaya patriarki yang masih melekat pada masyarakat. Inilah alasan
mengapa lebih banyak korban perempuan dari pada laki-laki. Terbukti dari Catatan
Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan Tahun 2020, jumlah kasus Kekerasan terhadap
Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus.

Ideologi budaya patriarki ini sudah melekat dan diturunkan dari generasi ke generasi.
Pemikiran ini kemudian tertanam di pikiran beberapa orang, baik laki-laki ataupun
perempuan, terutama mereka yang tidak berpendidikan tinggi. Mereka cenderung berpikir
bahwa perempuan memang tidak memiliki suara, dan kesempatan yang sama.

Kodrat mengenai perempuan di bawah laki-laki membuat banyak orang berpikir bahwa
perempuan memang pantas disalahkan dan membenarkan pelecehan seksual dilakukan
sebagai naluri alami yang dimiliki oleh laki-laki. Mirisnya, pemikiran patriarki seperti ini
juga masih lekat dalam pemikiran beberapa perempuan, sehingga perempuan yang
seharusnya saling mendukung malah saling menyerang dan menjatuhkan.

Sering kali, perkataan ditujukan hanya untuk perempuan mengenai bagaimana mereka
seharusnya bertindak, memakai baju yang tertutup, menjaga perilaku, dan lain-lain.
Padahal, mendidik laki-laki untuk tidak memegang perempuan secara sembarangan,
menghargai keputusan perempuan, dan melihat perempuan sebagai pribadi yang setara juga
perlu diajarkan sedari kecil.

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk korban? Kita bisa membantu korban dengan
menyediakan ruang aman bagi mereka. Salah satu bagian dari ruang aman tersebut adalah
dengan bersedia mendengar dan mempercayai korban dan bukan malah menyalahkan
mereka.

Dengan menyediakan ruang aman dan berhenti melakukan victim blaming, kita telah
berupaya dalam menghapus rape culture yang sudah mengakar di masyarakat. Sehingga
korban akan berani bersuara dan cepat pulih dari trauma.

Sekian yang dapat saya sampaikan untuk kasus pelecehan seksual yang marak di tahun
2020-an ini, banyak yang seharusnyya di bahas namun lebih baik kritik diiringi dengan
gerakan sehingga para pelaku segera di beri sanksi berat dan menimbulkan ketakutan pada
masyarakat untuk tdak melakuan perbuatan keji seperti itu.

Anda mungkin juga menyukai