Anda di halaman 1dari 22

hak perempuan

sebuah studi mengenai hak perempuan


dan kesetaraan gender

2021
“Each time a woman stands up for herself,
without knowing it possibly, without claiming it,
she stands up for all women”.

Maya Angelou
Mulai dari merasa risih di-catcall di jalan, dilarang sekolah tinggi-tinggi
karena dianggap tak perlu pendidikan tinggi, menjadi korban sunat
perempuan hingga dinikahkan di usia dini, hak perempuan di seluruh
dunia masih terancam.

Sebenarnya, apa saja yang menjadi hak perempuan?

Hak Perempuan

Idealnya, perempuan memiliki hak dan kesempatan yang setara dengan


gender lainnya. Jika sama saja, mengapa perlu ada perjuangan khusus
untuk hak perempuan?

Banyak pelanggaran hak dan kesenjangan kesempatan yang dialami


perempuan atau merugikan banyak perempuan, seperti kekerasan
dalam rumah tangga, kekerasan seksual, upah lebih rendah, hingga
kurangnya akses ke pendidikan dan layanan kesehatan memadai.

Selama ratusan tahun, gerakan hak perempuan berkampanye


menghapus aturan, perilaku, stigma dan tradisi yang tidak berpihak
pada perempuan.

Gerakan perempuan telah berkembang di era digital, seperti kampanye


global menggunakan hashtag #MeToo yang menyorot kekerasan
berbasis gender, termasuk kekerasan seksual, dan juga hashtag
#SahkanRUUPenghapusanKekerasanSeksual yang mendesak aturan
penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.

Kenapa hak perempuan penting untuk dilindungi?


Perempuan = manusia.
Hak perempuan adalah hak asasi manusia!

HAM berlaku secara universal untuk semua orang. Artinya, semua orang
berhak atas perlindungan hak asasi dan kebebasannya. Pemenuhan
setiap hak kita juga harus setara untuk semua orang, dan bebas dari
diskriminasi.
“There is one universal truth, applicable to all countries,
cultures, and communities; violence against women is
never acceptable, never excusable, never tolerable”.

Ban Ki-Moon
Apa saja pelanggaran hak perempuan yang kerap terjadi?

#1 Kekerasan Berbasis Gender

Kekerasan berbasis gender adalah tindakan kekerasan yang


dilakukan atas dasar identitas gender dan orientasi seksual. Kekerasan
berbasis gender termasuk setiap perilaku membahayakan yang
mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau mental, ancaman akan
melakukan suatu perbuatan membahayakan, pemaksaan, dan atau
perilaku lain yang membatasi kebebasan seseorang.
Menurut Yayasan Pulih, KBG disebabkan ketidakadilan gender
dan penyalahgunaan kewenangan akibat ketimpangan kuasa dari
konstruksi gender yang tidak setara. Gender pelaku dan penyintas
mempengaruhi motivasi kekerasan dan bagaimana masyarakat
merespons atau mengecam kekerasan tersebut.
Siapapun bisa menjadi korban KBG, termasuk laki-laki dan
kelompok minoritas seksual. Tapi, dalam konteks KBG, baik fisik
maupun seksual, perempuan dan kelompok LGBTI paling banyak
menjadi korban.
Secara fisik, KBG bisa mengakibatkan luka atau bahkan
hilangnya nyawa. Selain itu, pelaku KBG juga bisa menyebabkan
penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang
tidak aman, atau keguguran.
Dari segi psikis penyintas, peristiwa traumatis dapat
mengakibatkan depresi, ketakutan, gangguan stres pascatrauma,
menyakiti diri sendiri atau pikiran untuk bunuh diri. Ditambah lagi,
penyintas seringkali harus menanggung konsekuensi sosial dan
ekonomi, dengan adanya stigma dan penolakan dari keluarga atau
masyarakat. Di berbagai komunitas, penyintas KBG juga dipaksa
menikah dengan pelakunya.
Dampak kekerasan seringkali bertahan lama pada korban, baik
secara fisik, psikologis maupun sosioekonomi. Konsekuensi dan
prevalensi KBG menunjukkan bahwa KBG bukan hanya merupakan
pelanggaran HAM, tapi juga masalah kesehatan masyarakat.
Negara bertanggung jawab melindungi perempuan dari kekerasan
berbasis gender – bahkan kekerasan dalam rumah tangga secara
tertutup sekalipun.
“You shouldn’t have to pay for your love
with your bones and your flesh”.

Pat Benatar
#2 Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual termasuk salah satu jenis kekerasan berbasis


gender. Kekerasan seksual adalah penyerangan terhadap seksualitas
seseorang tanpa persetujuan orang tersebut. Kekerasan seksual
menimbulkan rasa tidak nyaman dengan memposisikan korban sebagai
objek, bukan manusia dengan kehendak atas tubuh, pikiran dan
tindakan mereka sendiri.
Ada dua aspek penting dalam kekerasan seksual: pertama, aspek
pemaksaan dan aspek tidak adanya persetujuan dari korban.
Kedua, jika korban tidak/belum mampu memberikan persetujuan,
misalnya kekerasan seksual pada anak atau individu dengan disabilitas.
Pelaku kekerasan seksual tidak terbatas gender dan hubungan
dengan korban. Artinya, tindakan berbahaya ini bisa dilakukan oleh
laki-laki maupun perempuan kepada siapapun termasuk istri atau
suami, pacar, orangtua, saudara kandung, teman, kerabat dekat, hingga
orang yang tak dikenal. Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja,
termasuk rumah, tempat kerja, sekolah, atau kampus.
Menurut Komnas Perempuan, setidaknya ada 15 perilaku yang
bisa dikelompokkan sebagai bentuk kekerasan seksual, yaitu:

- Pemerkosaan
- Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan
- Pelecehan seksual
- Eksploitasi seksual
- Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
- Prostitusi paksa
- Perbudakan seksual
- Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
- Pemaksaan kehamilan
- Pemaksaan aborsi
- Pemaksaan kontrasepsi seperti memaksa tidak mau menggunakan kondom
saat berhubungan dan sterilisasi
- Penyiksaan seksual
- Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
- Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau diskriminasi
terhadap perempuan (misalnya sunat perempuan)
- Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas
dan agama
“It’s not our fault, but it’s still
our responsibility”.
Sudah nonton film 27 Steps of May? Film ini menceritakan May,
seorang perempuan korban pemerkosaan yang harus melawan trauma
kekerasan seksual. Saat berusia 14 tahun, masih mengenakan seragam
sekolah, May pulang dari pasar malam dan menjadi korban
pemerkosaan di perjalanan pulang. Sejak malam itu hingga delapan
tahun setelahnya, May tidak pernah mengucap sepatah kata. May
bahkan tak mau keluar dari kamar, apalagi rumah, bahkan saat rumah
tetangganya sedang kebakaran.
Setiap hari, para perempuan korban kekerasan seksual seperti
May menghadapi trauma dan stigma negatif dari masyarakat yang
kerap tidak berpihak pada perempuan. Jika ketidaksetaraan gender
dibiarkan, ketimpangan kuasa antara laki-laki dan perempuan bisa
melanggengkan kekerasan seksual dan merugikan kehidupan korban.

#3 Diskriminasi Berdasarkan Orientasi Seksual dan Identitas


Gender

Di banyak negara di dunia, hak perempuan ditolak atas dasar


orientasi seksual, identitas gender, atau karakteristik seks. Perempuan
lesbian, biseksual, trans dan interseks serta orang-orang yang tidak
mengkonfirmasi gender mereka menghadapi kekerasan, pengucilan,
pelecehan, dan diskriminasi. Banyak juga yang mengalami kekerasan
ekstrim, termasuk kekerasan seksual atau yang disebut “pemerkosaan
korektif” dan “pembunuhan demi kehormatan”. Hak untuk mendapat
pendidikan dan pelayanan kesehatan serta hak atas kesejahteraan
mereka juga masih dilanggar.
Kelompok LGBTI di Indonesia juga masih terus diintimidasi karena
identitas gender mereka. Arus Pelangi, organisasi pembela hak LGBTI
mencatat, telah terjadi 1.850 kasus persekusi terhadap orang LGBTI di
Indonesia selama kurun waktu 2006 hingga 2018. Pada 4 April 2020,
Mira, seorang transpuan, dipukuli lalu dibakar hidup-hidup oleh lima
pria setelah dituduh mencuri dompet dan ponsel milik seorang sopir
truk.
“I do not wish women to have
power over men; but over themselves”.

Mary Wollstonecraft
#4 Diskriminasi di Tempat Kerja

Seringkali, perempuan menjadi subjek diskriminasi berbasis


gender di tempat kerja. Misalnya, kesenjangan upah. Gaji yang sama
untuk pekerjaan yang sama adalah hak asasi manusia, tetapi
perempuan berkali-kali ditolak aksesnya ke upah yang adil dan setara.
Saat ini, rata-rata perempuan di seluruh dunia hanya memperoleh
sekitar 77% dari penghasilan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Hal
ini menyebabkan kesenjangan ekonomi bagi perempuan, bisa
menghambat perempuan untuk mandiri secara utuh, bahkan
meningkatkan risiko kemiskinan di kemudian hari.

Bagaimana situasi hak perempuan saat ini?

Satu dari tiga perempuan di dunia menjadi korban kekerasan.


Setiap hari, sekitar 137 perempuan di seluruh dunia dibunuh anggota
keluarganya. 1 dari 5 perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum
ulang tahun ke-18. 15 juta anak di bawah umur menjadi korban
pemerkosaan.
Panggilan ke saluran bantuan pelaporan kekerasan di banyak
negara meningkat lima kali lipat selama pandemi COVID-19. Isolasi
sosial, ruang gerak terbatas, dan ketidakamanan ekonomi
meningkatkan kerentanan perempuan terhadap kekerasan domestik.
Di Indonesia, menurut data Komnas Perempuan, dalam 12 tahun
terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat hingga 792%. Tapi,
walau Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual, payung hukum
untuk kasus kekerasan seksual, RUU PKS, masih belum juga disahkan
sejak 2012!
Kasus kekerasan terhadap perempuan juga meningkat 63%
selama pandemi COVID-19, dengan mayoritas korbannya perempuan
dewasa korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebesar 59,82
persen. Selain itu, menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021,
angka perkawinan anak meningkat sebesar 3 kali lipat, dari 23.126 kasus
di tahun 2019, naik menjadi 64.211 kasus pada 2020. Kasus kekerasan
berbasis gender siber (ruang online/daring) atau disingkat KBGO yang
dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan juga meningkat dari 241
kasus pada tahun 2019 menjadi 940 kasus di tahun 2020.
“Every great dream begins with a dreamer.
Always remember, you have within you the strength,
the patience, and the passion to reach for
the stars to change the world”.

Pat Benatar
Kapan perjuangan hak perempuan mulai dirintis?

Gagasan bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki sudah


ada sejak abad ke-4 SM. Masyarakat Yunani kuno menempatkan
perempuan sebagai sosok lebih rendah dari laki-laki. Pemahaman ini
menjadi alasan mengapa setiap ada pemilihan umum, perempuan tidak
pernah dilibatkan. Perempuan dianggap tidak memiliki akal sehat
seperti laki-laki dan tidak mampu membuat keputusan rasional.
Bukan cuma itu, perempuan yang sudah menikah ditempatkan
sebagai sosok yang harus tunduk kepada suaminya meski diperlakukan
tidak adil. Hukum di Athena pun membiarkan seorang suami bertindak
sesuka hati, bahkan untuk berselingkuh. Sebaliknya, jika perempuan
yang berselingkuh, suami berhak membunuh istrinya.
Pada masa revolusi Prancis, The Declaration of the Rights of Man
and of the Citizen, salah satu aturan pelopor hak sipil yang disahkan
tahun 1789, menyebut hak asasi manusia sebagai rights of all men (hak
semua lelaki), bukan human rights (hak asasi manusia). Pernyataan ini
secara tak langsung belum mengakui perempuan sebagai manusia
dengan hak asasi.
Sebelum abad ke-18, perempuan masih belum dianggap sebagai
manusia rasional dengan akal sehat yang berhak punya hak setara
dengan laki-laki. Akibatnya, perempuan tidak punya hak untuk memilih
dan dipilih dalam politik.
Perempuan New Zealand merupakan yang pertama di dunia
mendapat hak pilih pada 1893. Perjuangan hak sipil dan politik
perempuan terus menjalar ke seluruh dunia. Perempuan Amerika dan
Inggris berjuang hingga mendapat hak suara pada 1920, walau masih
terbatas pada perempuan kulit putih. Dihadang diskriminasi rasial dan
kekerasan, pengakuan hak sipil perempuan dan laki-laki kulit hitam
serta orang Asia menyusul 45 tahun kemudian.
Setelah Perang Dunia II berakhir, Deklarasi Universal HAM, aturan
yang melindungi HAM secara universal dirumuskan. Hansa Mehta,
perempuan asal India yang menjadi salah satu perumus DUHAM,
mencetuskan perubahan kata dari ‘rights of all men’ menjadi ‘human
rights’.
“Hormati segala yang hidup.
Hak-haknya, juga perasaannya”.

Raden Ajeng Kartini


Bagaimana perjuangan hak perempuan di Indonesia?

Sebelum perjuangan Kartini pada akhir abad ke-19, perempuan


bangsawan Nusantara sudah giat memperbaiki kondisi perempuan,
meski terbatas di lingkungan mereka. Di Jawa, emansipasi perempuan di
kalangan bangsawan mulanya tampak di lingkungan Keraton
Pakualaman di Yogyakarta. Para pelopor saat itu prihatin terhadap
terbatasnya akses pendidikan perempuan.
Di Bandung, Dewi Sartika membuka akses pendidikan untuk
perempuan dengan mengepalai sekolah pada 1904. Di Semarang,
Kartini membuka Sekolah Kartini pada 1913. Di Manado, Maria
Walanda Maramis mendirikan sekolah rumah tangga Indonesia pertama
pada 1918.
Perjuangan hak perempuan Indonesia terus berkembang pesat.
Pada 1928, Kongres Perempuan pertama dilaksanakan di Yogyakarta.
Kongres tersebut menghasilkan komitmen penting perjuangan
perempuan Indonesia: pelibatan perempuan dalam pembangunan
bangsa, pemberantasan buta huruf dan kesetaraan hak memperoleh
pendidikan, hak perempuan dalam perkawinan, pelarangan perkawinan
anak, dan upaya menghancurkan ketimpangan kesejahteraan sosial
melalui perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita.

Apa saja aturan yang melindungi hak perempuan?

The Convention on Elimination of All Forms of Discrimination


Against Women (CEDAW) adalah perjanjian HAM internasional yang
secara khusus mengatur penghormatan, perlindungan dan pemenuhan
hak-hak perempuan. CEDAW ditetapkan di sidang umum PBB pada 18
Desember 1979 dan berlaku pada 3 September 1981.
Konvensi ini mendefinisikan prinsip, norma dan standar untuk
menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang wajib
dipenuhi negara yang meratifikasinya, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, aturan perundang-undangan yang mengandung
muatan perlindungan hak perempuan di antaranya adalah sebagai
berikut.
• Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT)
• Undang-Undang tentang Perlindungan Anak
• Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)
• Undang-Undang Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU
PTPPO)
• Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Berbagai instrumen hukum tersebut masih mengandung banyak


kekurangan. Misalnya, perlindungan dari kekerasan seksual,
pencegahan, dan mekanisme pemulihan bagi korban juga belum diatur
dalam payung hukum yang spesifik.

Apa yang bisa kita lakukan untuk dukung hak perempuan?

• Sebarkan kesadaran tentang hak perempuan ke orang sekitarmu.


• Minta pemerintah sahkan aturan yang melindungi hak perempuan
(jangan ragu desak hal yang sama berkali-kali dengan pendekatan
kreatif dan bervariasi!).
• Beri dukungan dan desak keadilan untuk para korban kekerasan
berbasis gender, kekerasan seksual, dan diskriminasi.
• Minta pemerintah lakukan aksi nyata untuk memulihkan hak korban.
• Selalu berempati pada sudut pandang korban.
• Ajak orang-orang dukung perjuangan korban melawan berbagai
stigma, trauma, dan proses hukum yang belum ramah hak perempuan.
• Dukung kerja-kerja forum penyedia layanan yang memperjuangkan
hak perempuan: bagikan informasi, bantu donasi, dan lain-lain.
“Saya mengakui keadaan dewasa ini, implementasi hak
perempuan jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Beberapa
hak perempuan seperti hak dalam ketenagakerjaan dan dunia politik
sudah mulai diperhatikan. Kesetaraan dalam bidang pekerjaan dan
hak untuk memilih, dipilih, serta ikut terlibat dalam merumuskan
kebijakan publik sudah mulai banyak diimplementasikan di Indonesia.
Namun, setelah menelisik lebih jauh, perlu ada perhatian lebih
pada hak perempuan terutama hak perempuan dalam memperoleh
pendidikan. Perempuan sering kali termarjinalkan oleh konsepsi sosial
budaya di masyarakat yang cenderung patriarkis tanpa melihat hak.
Berdasarkan pengamatan saya, masih banyak masyarakat yang
memegang budaya patriarkis dimana perempuan tidak didukung untuk
mendapatkan pendidikan tinggi yang didasarkan pada gender dan
budaya setempat yang mengharuskan perempuan untuk segera
bekerja atau menikah. Saya juga menyoroti pelanggaran hak
perempuan dan kesenjangan kesempatan yang dialami perempuan
atau merugikan banyak perempuan, seperti kekerasan dalam rumah
tangga, kekerasan seksual, upah lebih rendah, hingga kurangnya akses
ke pendidikan dan layanan kesehatan yang memadai. Selain itu, hak
dalam perkawinan dan keluarga bagi perempuan juga kerap kali tidak
terealisasikan dengan baik. Menurut Kementerian PPPA Indonesia
(2017), hak dalam perkawinan dan keluarga meliputi hak yang sama
antara perempuan dengan laki-laki dalam perkawinan, hak untuk
memilih suaminya secara bebas, dan tidak boleh ada perkawinan
paksa. Perkawinan yang dilakukan haruslah berdasarkan persetujuan
dari kedua belah pihak. Dalam keluarga, perempuan juga memiliki hak
dan tanggung jawab yang sama, baik sebagai orang tua terhadap
anaknya, maupun pasangan suami-istri .
Di Indonesia, menurut data Komnas Perempuan, dalam 12 tahun
terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat hingga 792%. Tapi,
walau Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual, payung hukum
untuk kasus kekerasan seksual, RUU PKS, masih belum juga disahkan
sejak 2012 (Amnesti Indonesia, 2021). Hal ini tentu menjadi bukti
adanya banyak pelanggaran hak perempuan terutama dalam
perlindungan akan kekerasan seksual yang bahkan pada beberapa-
-kasus tidak diproses secara hukum dan merugikan perempuan. Kasus
kekerasan terhadap perempuan juga meningkat 63% selama pandemi
COVID-19, dengan mayoritas korbannya perempuan dewasa korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebesar 59,82 persen. Selain
itu, menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, angka
perkawinan anak meningkat sebesar 3 kali lipat, dari 23.126 kasus di
tahun 2019, naik menjadi 64.211 kasus pada 2020. Kasus-kasus di atas
tentu saja harus menjadi perhatian bagi pemerintah dan masyarakat
Indonesia untuk lebih memperhatikan hak-hak perempuan”.

Jinggan Anggun.
Mahasiswi Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada
Referensi:

Amnesti Indonesia. (2021, March 18). Hak perempuan dan kesetaraan


gender.
https://www.amnesty.id/hak-perempuan-dan-kesetaraan-gender/

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


Republik Indonesia. (2017, May 19). Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak. Lima Hak-Hak Utama Perempuan.
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1437/5-hak-h
ak- utama-perempuan
tentu menjadi bukti adanya banyak pelanggaran hak perempuan
terutama dalam perlindungan akan kekerasan seksual yang bahkan
pada beberapa-
“Violence against women is an everyday
reality, act now, always, and forever
before it’s too late”.

Unknown

Anda mungkin juga menyukai