Anda di halaman 1dari 2

Perempuan Melawan Diskriminasi dan Budaya Patriarki

Hingga kini, perempuan selalu menjadi minoritas di kalangan masyarakat; lingkup pendidikan,
keluarga serta dalam dunia pekerjaan. Kasus-kasus pelecehan, kekerasan dalam rumah
tangga serta kesenjangan yang terjadi adalah bentuk dari perilaku masyarakat terhadap
pemahaman yang menjadikan perempuan sebagai minoritas dan laki-laki mayoritas. 

Oleh: NURWAHIDA JUMRAH

Perempuan masa kini memiliki banyak tantangan dalam lingkup mana pun, baik di
masyarakat, pekerjaan hingga dalam keluarga. Perjuangan perempuan memiliki kesempatan yang
sama terhadap hak-haknya dalam menjaga keutuhan sebagai seorang perempuan.
Hak dan kesenjangan yang dialami perempuan, dalam hal ini termasuk pada kekerasan
dalam rumah tangga, kekerasan seksual, upah lebih rendah dan lainnya. Seperti halnya dengan
diskriminasi di tempat kerja, seringkali terjadi diskriminasi kesenjangan upah yang tidak sama dengan
pekerjaan. Rata-rata perempuan di seluruh dunia hanya memperoleh sekitar 77 persen dari
penghasilan laki-laki untuk pekerjaan yang sama.
Kesenjangan ekonomi yang juga kerap terjadi bagi perempuan bisa menghambat mereka
untuk mandiri secara utuh dan meningkatkan risiko kemiskinan. Hingga kondisi dan situasi
perempuan masa kini terlihat jelas.
Selain itu, satu dari tiga perempuan di dunia menjadi korban kekerasan. Setiap hari, sekitar
137 perempuan di seluruh dunia dibunuh anggota keluarganya. 1 dari 5 perempuan usia 20-24 tahun
menikah sebelum ulang tahun ke-18. Sebanyak 15 juta anak di bawah umur menjadi korban
pemerkosaan.
Panggilan ke saluran bantuan pelaporan kekerasan di banyak negara meningkat lima kali
lipat selama pandemi Covid-19. Isolasi sosial, ruang gerak terbatas dan ketidakamanan ekonomi
meningkatkan kerentanan perempuan terhadap kekerasan domestik.
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, angka perkawinan anak meningkat
sebesar 3 kali lipat, dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik menjadi 64.211 kasus pada 2020. Kasus
kekerasan berbasis gender siber (ruang online/daring) atau disingkat KBGO yang dilaporkan
langsung ke Komnas Perempuan juga meningkat dari 241 kasus pada 2019 menjadi 940 kasus di
tahun 2020.
Gagasan bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki sudah ada sejak abad ke-4 SM.
Masyarakat Yunani kuno menempatkan perempuan sebagai sosok lebih rendah dari laki-laki.
Pemahaman ini menjadi alasan mengapa setiap ada pemilihan umum, perempuan tidak pernah
dilibatkan. Perempuan dianggap tidak memiliki akal sehat seperti laki-laki dan tidak mampu membuat
keputusan rasional. 
Bukan cuma itu, perempuan yang sudah menikah ditempatkan sebagai sosok yang harus
tunduk kepada suaminya, meski diperlakukan tidak adil. Hukum di Athena pun membiarkan seorang
suami bertindak sesuka hati, bahkan untuk berselingkuh. Sebaliknya, jika perempuan yang
berselingkuh, suami berhak membunuh istrinya.
Elma Wahyuni sebagai aktivis perempuan mengatakan bahwa perempuan selalu dianggap
sebagai minoritas karena dalam pemahaman masyarakat di negeri ini, perempuan sering kali
ditempatkan pada posisi “the second sex” atau yang sering disebut sebagai “warga kelas dua". 
“Pemahaman bahwa perempuan adalah sosok yang selalu harus tunduk dan patuh dalam
segala hal. Bahkan perempuan dianggap selalu berada di bawah sosok laki-laki. Itu sebabnya
perempuan selalu menjadi minoritas dan laki-laki menjadi mayoritas,” kata Elma, Jumat, 18 Maret
2022.
“Hal itu bisa dikatakan budaya patriarki, yang dimana sudah mengakar. Contoh kecilnya
adalah lingkup keluarga. Apabila saudara laki-laki pulang malam di anggap biasa saja, akan tetapi
apabila perempuan yang pulang malam, maka dikatakan sebagai perempuan nakal dan lainnya,”
imbuh pejuang wanita ini.
Tak hanya itu, di lingkungan pendidikan atau sebuah organisasi, seringkali perempuan
mendapat diskriminasi warga kelas dua atau minoritas. Contohnya, dia selalu dinomorduakan
misalkan ketika ingin melakukan pemilihan ketua organisasi, kebanyakan orang-orang mendahulukan
laki-laki daripada perempuan.
Menurut Elma, bagaimana perempuan bisa keluar dari zona budaya patriarki, harus dimulai
dari kesadaran diri sendiri sedini mungkin. Tumbuhkan budaya demokratis dalam segala aspek, akan
menjamin keharmonisan diantara sesama. Dengan begitu, pikiran dan perbuatan yang patriarkis
dapat perlahan dihilangkan.
“Sebagai perempuan, saya harus menanamkan dalam diri, agar bagaimana diskriminasi
terhadap perempuan itu harus dilawan. Contohnya, larangan pulang malam bagi perempuan. Kalau
cara saya mengatasi itu, saya perlahan mencoba membicarakan itu kepada orang tua saya tentang
kegiatan-kegiatan yang saya lakukan di luar rumah. Karena saya juga orangnya anak organisatoris
jadi memang basic-nya itu sering keluar atau pulang malam, hingga orang tua saya mengerti hal itu,”
ungkapnya.
Di berbagai organisasi kini, memang mulai memakai sistem kesetaraan gender dalam
persoalan memimpin dan lainnya. Semua sama tanpa ada sekat jenis kelamin, selama orang itu
mampu dan bisa. Dan juga sebagai perempuan, harus mensosialisasikan tentang kesetaraan gender,
baik kepada laki-laki maupun perempuan. 
“Karena saya berharap agar bagaimana bisa teman-teman paham akan kesetaraan gender,
supaya tidak terjadi lagi sekat jenis kelamin di antara kami. Dengan begitu, budaya patriarki yang
sudah mengakar, perlahan dihilangkan.”
“Untuk perempuan, semoga perempuan sadar akan banyaknya diskriminasi terhadap
perempuan, dan menyadari agar bagaimana bisa bersatu untuk melawan diskriminasi dan budaya
patriarki ini. Dan sesama perempuan, mulailah untuk saling menguatkan sesama perempuan. Kenapa
saya katakan menguatkan, karena masih banyak perempuan sendiri yang mendiskriminasi teman
perempuannya. Karena kuatnya pengaruh budaya patriarki sekarang,” lanjut Elma.
“Perempuan mari kita bersatu untuk sadar dan menghilangkan diskriminasi tentang tubuh dan
diri kita, agar mereka bisa berkembang optimal dan tumbuh menjadi perempuan tangguh dan
perempuan yang berkontribusi terhadap perekonomian dan membawa dunia lebih baik lagi,” tutup
Elma Wahyuni. (*)

Anda mungkin juga menyukai