Anda di halaman 1dari 3

“Motherless”

Oleh : Naowati, S. Kom (Pegiat Parenting)

Derasnya arus kapitalisme global saat ini telah menyeret perempuan di sector public
atas nama pemberdayaan, ditopang dengan paradigma palsu bahwa perempuan akan memiliki
“nilai” ketika memiliki harta. Berdasarkan data BPS, terdapat 69,4 juta usia perempuan
sangat produktif dan 16, 91 juta jumlah usia produktif wanita di Indonesia (katadata.co.id).
Secara spesifik dari data BPS 2017, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan sekitar
55,04%, naik dari tahun lalu. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat pertumbuhan
jumlah pekerja perempuan naik tiap tahun. Tahun 2015 lalu, 38% dari 120 juta pekerja di
Indonesia adalah perempuan.
Bagaimana dengan kemiskinan? Tahun 2017, Asian Development bank mencatat
10,9% populasi hidup dibawah garis kemiskinan nasional. Dari 100 bayi yang lahir, 23
diantaranya meninggal sebelum berusia 1 tahun. Jika menggunakan standar Islam dengan
kecukupan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, tentu angka diatas
akan semakin bertambah. Ternyata tingginya angkatan kerja perempuan tidak lantas
mengangkat keatas garis kemiskinan,
Saat ini, secara umum, hampir seluruh lini sudah dimasuki oleh perempuan. Pekerja
kantor, mentri, pedagang, bahkan pekerjaan yang nota bene dilakukan oleh pria, seperti atlit
angkat besi, sepakbola dan lainnya. Yang lebih miris, saat ini ada pergeseran paradigma,
bukan lagi sekedar merambah pekerjaan lelaki, tapi bahkan berganti kelamin menjadi lelaki
itu sendiri! Naudzubillah..
Ditengah ramainya berbagai peran diatas, yang kadang mencatut nama “Kartini” untuk
melegalkan masuknya para perempuan ke ranah laki laki, ada peran yang sedikit demi sedikit
semakin tergerus dari perempuan, termasuk para ibu. Yah..peran sebagai ibu dan pengatur
rumah tangga. Rasanya bahaya fatherless yang dikhawatirkan para pegiat parenting, saat ini
juga melanda para ibu, ancaman motherless..
Perempuan Menjadi Tumbal Kapitalisme
Dalam pandangan kapitalis hari ini, perempuan tidak lebih sebagai alat produsi, sekedar
pemuas. Lihatlah bagaimana Barat- yang note bene tempat dimana ideology ini lahir-
memperlakukan perempuan. Berbagai penindasan yang terjadi di Barat memicu
pemberontakan perempuan, yang menamakan diri sebagai “Woman Liberation Movement” di
AS, Ireland sepanjang tahun 60-70 an.. Di Inggris, Henry VIII melarang perempuan
membaca injil karena dianggap najis. Tahun 586, prancis membuat konferensi untuk
menjawab pertanyaan, apakah perempuan termasuk manusia atau bukan? Kesimpulannya,
perempuan adalah manusia yang diciptakan untuk melayani laki laki. Pada abad 20 tepatnya
tahun 1909, Hari internasional Perempuan mencatat bahwa perempuan masih mendapat
ketidakadilan, upah rendah bahkan di Inggris kebolehan memlilih nanti pada tahun 1918.
Dari perlakuan seperti inilah yang memicu para aktivis perempuan untuk mendombrak
belenggu yang ada, untuk bisa dihargai dan dihormati layaknya manusia. Sayang dalam
ideology Kapitalis yang menghamba kepada materi, peran perempuan hanya dihargai ketika
ia menghasilkan pundi pundi. Jadilah perjuangan perempun dalam rangka meraih materi di
sektor public, sampai ke level pengambil kebijakan agar memliki bargaining position,
memiliki derajat yang sama dengan laki laki.
Berbondong bondongnya kaum perempuan terjun di sector public ternyata harus
dibayar mahal dengan hilanganya peran keibuan ditengah keluarga. Berapa banyak keluarga
yang bisa bertahan dengan idealismenya, bekerja sambil berjibaku dengan perannya sebagai
ibu dan pengatur rumah tangga, selebihnya lihatlah kaum ibu yang tega membunuh anaknya,
menyiksa, menjual anaknya pada predator seksual dan lain lain. Inilah efek yang tidak
disadari akibat “motherless” tadi, hancurnya peran perempuan sebagai tiang negara, generasi
yang jauh dari kebaikan, pada akhirnya terbentuk mata rantai ibu – anak, yang menjadi
tumbal kapitalisme global.
Kapitalisme Mengeksploitasi Perempuan
Terjunnya para perempun ke sector public, bukanlah berlandaskan niat baik dari
kapitalisme global untuk mengangkat derjat kehidupan kaum ibu, tapi lebih dari itu, agar
mereka tidak kehilangan sumber pasar besar dan pekerja murah yang siap menyumbang pada
kapitalisme global.
Simak pernyataan Hillary Clinton dalam sebuah konfrensi di Peru pada bulan Oktober
dengan judul ”Kekuasaan : Perempuan sebagai pendorong pertumbuhan dan inklusi social”
Pembatasan partisipasi ekonomi perempuan merupakan kerugian besar bagi pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan regional di setiap kawasan di Dunia di Asia Pasifik misalnya lebih
dari $40 M hilang dari PDB tiap tahun. Begitu juga dengan ungkapan Nicholas Rockefeller,
tujuan kesetaraan gender adalah untuk mengumpulkan pajak 50% lebih banyak dari
masyarakat untuk mendukung kepentingan bisnis.
Jika penghargaan terhadap perempuan adalah dengan bekerja, maka lihatlah bagimana
dalam lingkungan perkerjaan, perempuan mendapati situasi yang tidak kondusif. Di Inggris,
lebih dari 505 perempun dilecehkan (menurut laporan tshun 2000 oleh oleh Komisi
Persamaan Kesempatan), 1 diperkosa setiap 10 menit(menurut Depatemen Kehakiman AS) ,
dan 1 dari 5 perempuan diperkosa (menurut pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
AS). Artinya, tingginya angka kesetaran gender didua negara tersebut ternyata berbanding
lurus dengan tingginya angka kekerasan, diksriminasi dan pembunuhan terhadap perempuan!
Sesungguhnya keluarnya perempuan dalam rangka pemberdayan perempuan, sejatnya
hanyalah mengumpulkan remah remah materi yang sudah berada dalam penguasaan
kapitalisme global dalam bentuk penghisapan dana rakyat seperti pinjaman berbasis bunga
yang mencekik, privatisasi/penguasaan terhadap berbagai sumber daya alam dalam negeri,
serta liberalisasi perdagangan.
Tak ada yang tersisa bagi penduduk negeri. Perempuan mnjadi tumbal, menjadi buruh
dinegeri sendiri, juga berjudi dengan masa depan anak dengan membiarkan mereka tumbuh
tanpa adanya jalinan emosional yang kuat, arahan dalam bentuk didikan untuk mengenal
PenciptaNya, inilah lost generation yang sesungguhnya.
Khatimah
Sesungguhnya klaim kemiskinan –yang sering dijadikan alasan utama kaum ibu terjun
diranah public- solusinya bukanlah dengan semata keluarnya para ibu untuk menambah
penghasilan tetapi haruslah ada political will yang kuat dari penguasa untuk mengatur
kepemilikan termasuk didalamnya berbagai tambang serta pemberlakukan mekanisme nafkah
yang semestinya. Dimulai dari suami, kerabat lelaki terdekat hingga pemberian langsung oleh
negara.
Tidak hanya hak nafkah yang akan didapatkan perempuan dalam naungan Khilafah
Rosyidah, dengan penerapan politik ekonominya yang menjamin kebutuhan dasar setiap
inidividu namun juga hak hamil, melahirkan, menyusui, mengasuh serta hak untuk
berdagang, memiliki harta, waris dan lain sebagainya, komplit!
Sesuatu yang tidak akan didapati dalam system hidup yang lain. Dengan ini, maka
fungsi ”domestic” keibuan perempuan akan terjaga, begitu pula dengan fungsi “public”nya,
yaitu mengamalkan ilmunya untuk kemaslahatan manusia serta ikut berda’wah bersama
dengan kaum lelaki. Maka selubung “motherless” akan jauh dari kamus para perempuan
dalam kehidupan Islam[]

Anda mungkin juga menyukai