menurunkan
tulisan
dan
menilai
permasalah
sosial
yang
dihadapinya.
kesempatan pun tidak banyak buat wanita untuk berperan di luar rumah. Lalu
kembali lagi peran rumah tangga ditekankan.
Secara arogan, media massa, mengaku memiliki hak untuk menentukan apa
yang harus dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan oleh perempuan. Dalam hal
ini, media massa telah menjadi tidak lebih sekedar perpanjangan penindasan lakilaki terhadap perempuan. Secara sinis (atau karena cemburu?) dan dihantui oleh
kontra-hegemoni kultural dan material yang dimiliki perempuan, media
menganggap bahwa keberhasilan perempuan di ranah publik tidak lebih sekedar
cerita sukses negara untuk mengeksploitasi mereka dalam mendorong
pembangunan nasional. Seringkali media massa menulis bahwa partisipasi
perempuan di dunia publik hanyalah bukti kejahatan kapitalisme yang
mendehumanisasi mereka, bahkan membanting nilai kemanusiaan mereka di bawah
nilai-nilai produksi dan pasar. Namun, bukankah diskriminasi gender sudah ada
bahkan sebelum era modernisme? Model produksi kapitalisme bukankah hanya
memanfaatkan ketimpangan gender itu yang kemudian, karena reproduksi pola
yang terus menerus, semakin mempertajam segregasi ranah publik-domestik. Hal
ini tentu bukan hanya hasil patrimoni dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi
lebih merupakan transformasi yang muncul karena keterlibatan semua faktor ini
yang terus direproduksi karena telah terbukti menguntungkan sebagian pihak
yang kebetulan semakin berkuasa.
Pada saat media massa menghujat peran perempuan bekerja, mereka
memuja-muja peran ibu sebagai faktor penentu dari masa depan bangsa dengan
mempersiapkan keturunan mereka dalam menghadapi era tinggal landas. Gagasan
bahwa rumah tangga adalah urusan perempuan, walaupun kedengaran tidak sesuai
dengan slogan kesejajaran, tentu saja didukung oleh institusi yang bernama
negara, karena pembagian posisi peran laki-laki dan perempuan yang jelas dan
tertib bisa mendukung suksesnya program-program pemerintah. Tarik ulur
antara meraih dunia publik dan mempertahankan dunia domestik, betapapun
dikotomi publik-domestik masih bisa diperdebatkan, bisa jadi membingungkan
Peradaban milenium ketiga hanya bisa berharap agar kaum wanita memilih untuk
tidak gagal menjadi ibu anak-anak zaman."
Karakterisitik media massa yang manipulatif seringkali juga merugikan
perempuan jika kasus-kasus yang diangkat melibatkan perempuan. Dalam
mengenangkan kasus Marsinah, tahun 1993, masyarakat, terutama kaum
perempuan dan kaum buruh (workers and women), berterimakasih kepada
media massa karena mereka telah secara terus menerus melaporkan kasus
tersebut dan menarik perhatian internasional terhadap stigma tersebut. Mereka
telah membawa nama Marsinah ke posisi terpopuler dan paling banyak
dibicarakan hanya setelah kematiannya. Namun penulis berpikir, apa yang terjadi
jika Marsinah tidak terbunuh? Atau pertanyaan yang lebih seksis, bagaimana jika
Marsinah bukan seorang perempuan melainkan laki-laki? Bukan Marsinah tetapi
Marsono? Apa yang sebetulnya menarik perhatian media massa tentang skandal
ini? Apakah pembunuhannya, apakah isu gendernya, konflik kelas, atau karena
kecurigaan adanya praktek-praktek kekuatan politik di belakang pembunuhan ini?
Media massa telah mengeksploitasi seluruh kehidupan masa lampau
Marsinah, mencampuri kehidupan keluarganya, teman-teman, pacar, tetangga,
dan meramu serta menyajikan semua ini dengan terminologi-terminologi politik
yang susah dipahami. Kita mungkin tidak pernah tahu apakah sikap kritis
Marsinah adalah perwujudan dari kesadaran politisnya atau hanyalah pertahanan
dirinya menghadapi kesulitan hidup sehari-hari. Media massa menggunakan
kematiannya dan bukannya kehidupannya yang singkat sebagai bahan berita,
karena siapa dia sebelum kematiannya bukanlah berita yang pantas
dipublikasikan. Reproduksi berita-berita dan spekulasi media massa yang
ditampilkan secara berulang-ulang telah menghasilkan versi-versi yang semakin
fantastis. Alhasil media massa telah menciptakan skenario mereka sendiri
tentang perang gender yang tidak pernah berakhir.
Dalam ketimpangan relasi gender inilah, perempuan ditantang untuk
menentukan posisinya, apakah mau secara naive terbawa arus dan
mempertahankan hegemoni kultural yang terus-menerus dan mendapatkan
penghormatan sebagai ratu rumah tangga, atau sebaliknya bersikap radikal
manghadapi ketidakadilan ini dan dengan sadar menerima label pemberontak.
Sayangnya, perempuan seringkali menjadi kikuk dan rapuh menghadapi semua
tantangan ini. Dengan malu-malu mereka mempertontonkan pencapaian mereka
dan menentukan sendiri standar keberhasilannya, meminta-minta pengakuan dari
laki-laki, dan pada akhirnya meminta penghargaan dalam bentuk fasilitas untuk
menstimulasi keberhasilan yang lebih baik lagi. Secara tidak sadar hal ini
mempertahankan ketergantungan terwariskan pada perempuan terhadap lakilaki.
Memperingati hari yang sering disebut hari permuliaan kaum ibu ini, adalah saat
yang paling baik untuk berterima kasih atas jasa-jasa ibu dalam melaksanakan
tugas kodraatinya, yakni hamil, melahirkan, menyusui. Perwujudan dari rasa
terima kasih itu bisa berupa pemberian kesempatan untuk berkarya cipta seperti
kaum pria.
Bukanlah pernghargaan maupun pengakuan yang seharusnya diminta perempuan,
melainkan ruang yang dapat membantu perempuan menjadi tumbuh, dewasa dan
berpikir lebih rasional dengan kesadaran mereka sendiri. Ruang dimana mereka
bisa belajar memahami pengalaman mereka, tidak hanya pengalaman yang sama
melainkan juga yang berbeda-beda dan personal. Namun demikian, justru
pembagian ruang inilah satu-satunya gagasan yang masih susah untuk
diserahkan oleh laki-laki, tidak tanpa dominasi. Sama susahnya untuk merelakan
30% posisi calon legislatif pada perempuan. Hanya melalui kesadaran inilah,
apapun yang mereka lakukan, perempuan mampu untuk membebaskan diri mereka
dari alienasi terhadap tubuh dan kehidupannya sendiri. Media massa, sebagai
penerus aspirasi masyarakat, jika tidak diskriminatif gender sebetulnya adalah
alat yang bisa diandalkan bagi perempuan untuk menyuarakan kepentingan
mereka. Apalagi di era reformasi sekarang ini, dimana media massa mempunyai
akses bebas terhadap sumber-sumber berita dan kebebasan mengemukakan
gagasannya. Harapannya adalah, jika isu yang sama muncul kembali, semoga saja
ada lebih banyak suara yang mendukung, atau setidaknya empati terhadap
perempuan. Sebab, kasus aborsi tidak bisa dipisahkan juga dari perilaku laki-laki.
Polri Sudah Temukan Baju yang Pas untuk Malinda Dee ini adalah judul dari berita
yang dimuat oleh detik.com Detik juga men-share berita tersebut di akun twitternya
(@detikcom) dengan teks berikut ini: Gara-gara DADA BESAR, Polri Tak Temukan Baju
yang Pas Buat Malinda. Disini tulisan dada besar dengan huruf capital dan angle berita
yang menyoroti fisik Malinda Dee. Hali ini tidak berkaitan dengan konteks berita dan
informasi yang disampaikan tentang informasi kasus penipuan nasabah citibank. Pendapat
Creed dan berita detik.com membuktikan bahwa adanya stereotipe negatif terhadap
penggambaran perempuan. Perbedaan gender mangakibatkan ketidakadilan gender yaitu,
marginalisasi perempuan, subordinasi, kekerasan, beban ganda dan stereotipe. Dalam kasus
ini saya menyoroti ketidakadilan gender pada perempuan dalam media masa dan dalam hal
ini cover dari majalah tempo dan narasi yang dimuat di portal detik.com.
Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok
tertentu (Fakih, 2012: 16). Hal ini menujukkan bahwa media masa sekarang melahirkan dan
memunculkan labeling atau penandaan pada perempuan, perempuan yang melakukan tindak
kejahatan dianggap manusia iblis yang merupakan jelmaan setan. Dan seharusnya media
masa dalam hal ini para jurnalistik seharusnya menyajikan berita secara menarik tanpa
memberikan sentuhan yang diluar konteks informasi yang ingin disampaikan kepada publik.
Mitos kecantikan ini yang memasung perempuan dalam sebuah kotak bernama media massa,
baik elektronik maupun cetak. Mitos ini menjadi standar bagi fisik perempuan untuk
berkiprah di media massa dan menjadi objek untuk diangkat di media massa. Mitos tersebut
membuat perempuan sibuk melengkapi diri dengan hal-hal yang sifatnya atributif, bukan hal
yang substantif. Dalam konteks ini hal atributif adalah bentuk kecantikan fisikyang
menghambat pembebasan pemikiran perempuan. Mereka akan tetap membenci dirinya ketika
tidak dapat memenuhi standar kecantikan umum. Mitos kecantikan adalah perwujudan lain
dari pengekangan bagi perempuan dalam masyarakat patriarkal.
Stereotipe, Keuntungan Bagi Media
Media massa sebagai entitas bisnis masih menganggap perempuan sebagai objek yang akan
mendatangkan keuntungan. Alih-alih mengedukasi masyarakat, media massa justru tampil
sebagai agen yang menyebarkan nilai-nilai budaya patriarki demi meraup keuntungan di
ceruk pasar yang didominasi pemikiran patriarki.
Media lebih banyak melirik pada orientasi bisnis semata. Sehingga memanipulasi pesanpesan hanya untuk kepentingan pengiklan. Demi kepentingan iklan tersebut media massa
kerap abai akan pembentukan persepsi dan stereotipe terhadap perempuan. Penggambaran
kondisi perempuan dalam media massa masih memprihatinkan, antara lain:
1. Jumlah perempuan yang bekerja di sektor komunikasi semakin besar, namun hanya sedikit
di antara mereka yang dapat mencapai posisi pada tingkat pengambil keputusan atau
menduduki jabatan-jabatan penentu dan dapat mempengaruhi kebijakan di bidang media
massa.
2. Penggambaran citra perempuan yang negatif dalam media massa, baik elektronik maupun
cetak. Media cenderung merendahkan dan tidak memberikan gambaran yang seimbang
tentang kehidupan dan sumbangsih perempuan pada masyarakat.
3. Produk-produk media massa yang penuh kekerasan dan menurunkan martabat perempuan
atau bersifat pornografi membawa dampak negatif terhadap perempuan dan partisipasi
mereka dalam masyarakat.
4. Pengokohan peran-peran tradisional perempuan dalam program siarannya juga membatasi
peran serta perempuan dalam masyarakat.
5. Iklan-iklan dan pesan-pesan komersial yang sering menggambarkan perempuan sebagai
konsumen dan menjadikan anak perempuan dan perempuan dari segala usia sebagai sasaran
secara kurang layak.
Kelima poin di atas kerap menggiring kita pada pembentukan stereotipe perempuan, sehingga
tercipta ketidaksamaan akses dan partisipasi perempuan dalam sistem komunikasi, terutama
dalam media massa.
Hasil survei yang dilakukan Nielsen pada tahun 2011 mengenai pola konsumsi media massa
bagi perempuan menyebutkan bahwa perempuan lebih banyak mengkonsumsi produk media
elektronik seperti televisi dan sinema/ film.
Tabel 1
Selain menjadi objek, perempuan pun menjadi ceruk pasar/ audiens bagi pengiklan. Sebagai
audiens perempuan digiring untuk mengkonsumsi produk yang menampilkan citra ibu rumah
tangga atau istri yang baik dan mampu merawat tubuh demi memuaskan naluri seksual
pasangannya. Tidak jarang kita temui iklan produk kecantikan yang membentuk persepsi
bahwa lelaki menyukai perempuan karena tubuhnya, warna kulitnya, bentuk tubuhnya dan
kecantikan wajahnya, hingga muncul tagline: wajahmu mengalihkan duniaku.
Selain menjadikan perempuan sebagai ceruk pasar bagi pengiklan, media massa tetap kurang
memberi ruang bagi isu-isu perempuan. Isu perempuan dianggap tidak laku di pasaran. Hal
ini membuktikan bahwa media massa mengabaikan peran edukasi, dan hanya fokus pada
perannya sebagai entitas bisnis.
Dalam media elektronik khususnya televisi, kita kerap menyaksikan tayangan sinetron yang
begitu menstereotipkan perempuan sebagai makhluk yang emosional, irasional, dan sangat
tergantung. Penggambaran perempuan dalam media cetak juga tidak berbeda dengan media
elektronik. Di media cetak, baik majalah atau pun iklan di dalamnya, kerap dijumpai
penggambaran citra standar perempuan sebagai pelayan domestik. Penggambaranpenggambaran tersebut mengabadikan ketidakseimbangan dan ketidakadilan gender, dan
sama sekali tidak mengurangi prasangka-prasangka dan stereotipe perempuan.
Sebagai ilustrasi penulis mengambil contoh dari tayangan sinetron yang ratingnya selalu
bagus: Tukang Bubur Naik Haji. Dalam sinetron tersebut peran perempuan begitu lekat
dengan peran domestik. Diceritakan seorang perempuan memiliki karir cemerlang bernama
Rere menikah dengan duda bernama Ramadi teman satu kantornya. Awalnya pernikahan
mereka tidak memiliki masalah, hingga Ramadi menginginkan Rere menjadi istri yang
sepenuhnya mengurus rumah tangga dan tidak berkarir. Sinetron tersebut semakin
mengukuhkan stereotipe perempuan dengan membandingkan kisah rumah tangga Rere
dengan kisah rumah tangga Rumana, sosok perempuan yang mengabdi pada suaminya. Ini
bias, karena bukan berarti Rere tidak berbakti pada suami, ia bahkan mengurus anak-anak
hasil pernikahan Ramadi yang sebelumnya. Ia hanya terbiasa menjadi perempuan aktif dan
aktualisasi diri adalah kebutuhannya.
Di dunia periklanan pun masih sama, sebagai contoh iklan minuman bernergi, perempuan
masih dicitrakan sebagai makhluk sensual dan digambarkan sebagai sosok ibu rumah tangga
yang patuh dan hanya berkutat pada kegiatan domestiknya. Penggambaran perempuan dalam
iklan obat-obatan adalah perwujudan dari stigma perempuan yang senantiasa berada dalam
sektor domestik, konvensional, yang salah satu tugas domestiknya berhubungan dengan
pelayanan seksual suaminya, (Liestianingsih dalam Suryandaru, 2002: 3).
Di tengah masyarakat yang lekat budaya patriarki, media massa memang meleburkan diri di
dalamnya dan enggan memberikan tayangan yang tidak sesuai dengan pasarnya. Mengacu
pada mitos kecantikan untuk meningkatkan rating sebuah tayangan berita perempuan yang
ditempatkan sebagai anchor adalah perempuan yang sesuai dengan apa yang dicitrakan lakilaki. Meski mereka berlindung di balik tameng 3B: Brain, Beauty dan Behaviour, agaknya
faktor Beauty yang kerap kali diutamakan dan Brain dan Behaviour dikesampingkan. Apa
yang mereka perlukan di depan kamera adalah kecantikan, kecerdasan dan perilaku bukan
bagian yang diperhitungkan untuk orang di depan kamera.
Masalah penggambaran perempuan di media massa tidak terlepas dari masalah sumber daya
manusia yang berwawasan gender. Jumlah perempuan yang bekerja sebagai jurnalis masih
sedikit. Kedua masalah ini saling berkaitan satu sama lain.
Pekerja Perempuan di Media Massa
Kondisi pekerja perempuan di media massa, baik cetak maupun elektronik, masih mengalami
ketimpangan. Walaupun telah ada perempuan yang berperan menduduki posisi sebagai
pengelola atau manajemen media, tetapi belum banyak perempuan yang menyuarakan
perempuan dalam perspektif gender.
Minimnya jumlah perempuan di media massa tidak lepas dari nilai-nilai sosial budaya yang
tertanam dalam masyarakat Indonesia. Perempuan masih ditempatkan sebagai pihak yang
paling bertanggung jawab dalam keluarga.
Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen pada tahun 2012 melakukan riset mengenai
kondisi jurnalis perempuan. Dari segi jumlah, jurnalis perempuan lebih sedikit dari laki-laki.
Data menunjukkan, dari 10 jurnalis, hanya ada 2 sampai 3 jurnalis perempuan. Atau dari
1000 jurnalis, 200-300 adalah perempuan. Dan AJI menyebutkan bahwa hanya di Jakarta
komposisi jurnalis perempuan dan laki-laki mencapai 40 berbanding 60. Di luar kota Jakarta,
terutama di kota-kota madya, ketimpangan jumlah jurnalis perempuan dan laki-laki sangat
terasa dan memprihatinkan, (Luviana, 2012: 9).
Beberapa waktu lalu penulis sempat bekerja sama dengan forum jurnalis di Garut dalam
sebuah project, dan tidak ada satu orang pun perempuan yang menjadi anggota, karena
memang tidak ada perempuan yang menjadi jurnalis di sana. Ini menjadi dasar bagaimana isi
media massa cenderung timpang dan bias gender, karena berita lebih banyak ditulis laki-laki
daripada perempuan.
Dalam hal status kekaryawanan, data survei AJI menunjukkan sekitar 60 persen jurnalis
perempuan bekerja sebagai pekerja kontrak, sisanya 40 persen berstatus karyawan tetap.
Jumlah pekerja perempuan berstatus kontrak justru lebih banyak (60-65 persen) di kota besar
seperti Jakarta, Surabaya dan Makassar, (Luviana, 2012: 9-10).
Jumlah ini berpengaruh pada kedudukan jurnalis perempuan di ruang redaksi atau newsroom.
Saat ini, hanya 6 persen jurnalis perempuan yang duduk sebagai petinggi redaksi. Artinya 94
persen jurnalis perempuan bekerja sebagai reporter dan tidak memiliki kuasa atas berita yang
diliputnya, karena ia bukan pengambil keputusan redaksional.
Timpangnya jumlah jurnalis perempuan dalam industri media massa terjadi karena
perempuan kerap mengalami persoalan khusus dalam karirnya. Beberapa alasannya dapat
dipaparkan Luviana dalam penelitian AJI sebagai berikut:
1. Perempuan mengalami beban ganda. Mereka harus menjalankan dua peran sekaligus,
persoalan domestik dan pekerjaan mereka di kantor.
2. Para jurnalis perempuan sering tidak mendapatkan gaji serta asuransi yang sama dengan
jurnalis laki-laki karena bukan dianggap sebagai kepala rumah tangga.
3. Mereka sering mengalami pelecehan dari narasumber laki-laki atau pun dari rekan kerja
mereka.
4. Mereka tidak mendapatkan penilaian yang baik dari atasan mereka ketia mereka harus
berkutat dengan proses reproduksi mereka (kehamilan).
5. Mereka harus berdandan dan tampil cantik jika sedang berada di depan kamera.
6. Belum populernya cuti haid di kalangan jurnalis perempuan.
7. Belum banyak dan populernya ruang menyusui di kantor-kantor media massa.
Ketujuh poin alasan tersebut seolah meneguhkan bahwa industri media massa adalah industri
yang macho dan hanya cocok untuk laki-laki. Sehingga banyak perempuan yang merasa
bahwa dunia kerjanya bukan di wilayah media massa.
Liesbet van Zoonen, seorang feminis pengamat media massa, (Zoonen, 1994) memberikan
pandangannya terkait kiprah perempuan di media, di antaranya:
1. Berapa banyak perempuan yang sudah terlibat di media massa?
2. Apakah mereka sudah berada dalam posisi sebagai pengambil kebijakan dalam proses
produksi/ dalam redaksi?
3. Potensi apa saja yang mereka punya untuk membawa isu perempuan di media massa?
Ketiga pertanyaan ini menggiring kita pada kerangka konsep: kekuasaan, penindasan,
diskriminasi, subordinasi, stereotipe, marjinalisasi yang terkait kehidupan perempuan, baik
sebagai jurnalis maupun sebagai pembaca/ penonton media massa.
Tabel 2
Untuk mengurai bagaimana kiprah perempuan yang diajukan Zoonen dan persoalan khusus
yang menghambat karir perempuan di media massa, kita perlu melihat pada aspek waktu
kerja, fasilitas dan gaji yang didapat. Penulis percaya bahwa adil bukan berarti
menyamaratakan, adil dan setara berarti memberikan sesuai kebutuhannya. Begitu halnya
dengan perempuan sebagai pekerja di media. Secara fisik perempuan memiliki perbedaan
dengan laki-laki yakni sifat alamiahnya yang melahirkan dan datang bulan/ haid. Untuk itu,
adil adalah ketika perempuan dengan kodratnya tersebut mendapatkan hak lainnya yang sama
sekali berbeda dengan kebutuhan laki-laki.
1. Waktu Kerja
Dalam hal waktu kerja, sebagai industri, media massa sama saja dengan manufaktur, lamanya
waktu kerja selalu dianggap sangat menentukan produktifitas. Produktifitas perempuan
cenderung dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Penilaian ini hanya menguntungkan
jurnalis laki-laki yang umumnya hanya dibebankan pada pekerjaan sektor publik, yakni
pekerjaannya sebagai seorang jurnalis. Di bawah ini data yang membandingkan jam kerja
antara jurnalis perempuan dan laki-laki, hasil survei yang dilakukan oleh Divisi Perempuan
AJI Pusat terhadap jurnalis di kota-kota tersebut.
Tabel 3
Data yang penulis pinjam dari AJI, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara waktu
istirahat jurnalis perempuan dan laki-laki, serta tidak adanya kebijakan waktu khusus bagi
jurnalis perempuan yang sedang hamil maupun menyusui. Umumnya karena kebanyakan
jurnalis meliput di lapangan, tidak ada ketentuan mengenai waktu istirahat secara spesifik dan
berapa lama. Menurut AJI perusahaan media harusnya mengeluarkan ketentuan dan
kebijakan khusus tersebut secara tertulis.
2. Gaji Bulanan
Masih meminjam data AJI, secara total 91,53 persen jurnalis perempuan sudah mendapatkan
gaji rutin per bulan tanpa melihat statusnya sebagai karyawan tetap atau kontrak. Namun
masih ada 8, 47 persen yang belum menerima gaji rutin, hal ini karena masih ada jurnalis
perempuan yang berstatus freelance.
Tabel 4
3. Tunjangan
a. Asuransi
Asuransi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan media, mengingat aktifitas
jurnalis di lapangan memiliki resiko-resiko tertentu terutama menyangkut kesehatan dan jiwa.
Data menyebutkan bahwa masih ada 30, 69 persen media yang belum menyediakan asuransi
bagi jurnalisnya.
Media massa ibu kota yang paling tinggi persentase tingkat kesadaran mengasransikan
pekerjanya yakni sebesar 80,22 persen. Kemudian disusul Surabaya 69,23 persen.
b. Jamsostek
Sama halnya dengan asuransi, fasilitas Jamsostek pun diwajibkan dan diatur dalam peraturan
ketenagakerjaan. Dalam survei AJI tercatat hampir semua media (71,96 persen) sudah
menyediakan Jamsostek bagi karyawannya. Media massa di daerah masih berada di kisaran
40-60 persen.
c. Tunjangan makan
Media di Surabaya dan Jayapura menduduki peringkat tertinggi yakni 88,89 persen sudah
memberikan tunjangan makan. Sedangkan media di kota-kota lainnya yang disurvei AJI
perbandingannya 70 persen : 30 persen. Media massa yang tidak memberikan tunjangan ini
umumnya menyebutkan pembayaran gaji sebagai all in payment.
d. Tunjangan transportasi
Jurnalis sebagai pekerja lapangan dengan mobilitas tinggi membutuhkan tunjangan
transportasi. Sebanyak 73,02 persen jurnalis perempuan responden survei mengatakan bahwa
mereka sudah mendapatkan tunjangan jenis ini.
e. Tunjangan dinas malam
Tunjangan jenis ini masih belum banyak diberikan kepada jurnalis perempuan. 51,85 persen
jurnalis perempuan mengatakan bahwa perusahaan tempatnya bekerja belum menyediakan
tunjangan dinas malam. Padahal, beberapa kali mereka perlu pulang lebih larut malam untuk
keperluan dinas liputan maupun menulis naskah di kantor hingga larut malam. Malam hari
dikenal sebagai waktu yang rentan dengan tindakan kriminal, tunjangan ini juga menjadi hal
yang penting untuk menunjang keselamatan jurnalis, misalnya fasilitas kendaraan umum
yang lebih aman seperti taksi.
4. Cuti
a. Cuti tahunan
Cuti diatur dalam perudangan ketenagakerjaan dan wajib diberikan 12 hari selama setahun
dengan mekanisme yang disesuaikan oleh masing-masing perusahaan media massa.
Sebanyak 91,53 persen jurnalis responden AJI mengatakan bahwa medianya sudah
memberikan hak cuti. Namun meski demikian hak cuti umumnya hanya berlaku setelah
jurnalis bekerja selama setahun, dan di tahun kedua ia baru mendapatkan hak cutinya. Lain
halnya dengan status freelance, umumnya tenaga jurnalis freelance tidak memiliki fasilitas
cuti, terutama media online.
b. Cuti khusus perempuan
Dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 81, idealnya setiap
perusahaan memberikan hak cuti haid kepada pekerjanya sebanyak satu hingga dua hari
setiap bulannya. Cuti jenis ini yang belum tersosialisasikan dengan baik kepada para jurnalis
perempuan, dan masih banyak perusahaan media massa yang belum menerapkan peraturan
ini.
Dalam hal sosialisasi hanya ada 35,98 persen perusahaan media yang sudah memberitahukan
pekerjanya mengenai hak ini. Namun sebanyak 64,02 persen media belum
mensosialisasikannya.
Lain halnya dengan cuti melahirkan, 91,53 persen media di Indonesia telah memberlakukan
peraturan ini, yakni selama 3 bulan. Meski demikian masih ada 8,4 persen media yang tidak
memberlakukan peraturan ini.
5. Manajemen laktasi dan tempat penitipan anak
Media massa secara umum belum menerapkan fasilitas ini. Jurnalis perempuan masih
mengatur waktu sendiri dan sebanyak 59,79 persen jurnalis perempuan mengakui belum
adanya ketentuan dan mekanisme yang mangatur kebutuhan laktasi seorang ibu dan
menyediakan tempat penitipan anak. Medan merupakan kota yang sudah concern dengan
kebutuhan seorang jurnalis yang juga menjadi ibu, yakni 50 persen responden mengatakan
bahwa di kota tersebut mereka mendapatkan fasilitas ruang laktasi.
Jika kita rekap data tersebut maka derajat fasilitas dapat kita kategorikan ke dalam tiga
bagian:
1. Rendah, jika jawaban ya < 50 persen
2. Sedang, jika jawaban ya 50,99 79,99 persen
3. Tinggi, jika jawaban ya > 80 persen
Tabel 5
Dari rekapitulasi tersebut kita dapat melihat potret perempuan sebagai pekerja media dan
sebagai seorang perempuan yang dianugerahi kodrat untuk melahirkan, menstruasi, menyusui
masih didiskrimanasi. Industri media massa memang sudah memberikan upah, tunjangan
seperti asuransi kesehatan dan jiwa, namun masih rendah dalam fasilitas yang berkaitan
dengan hak reproduksi perempuan.
Data tersebut menjadi bukti empiris bahwa media massa masih belum ramah terhadap
perempuan. Padahal sekali lagi, adil itu bukan berarti sama. Perlakuan khusus seperti fasilitas
cuti haid, cuti melahirkan, ruang menyusui merupakan kebutuhan yang perlu didapatkan
perempuan untuk dapat mengimbangi peran di sektor publik dan domestiknya. Tanpa itu,
perempuan mengalami batu sandungan untuk berkiprah dalam industri media massa.
Minimnya kiprah perempuan kemudian akan semakin meneguhkan ketimpangan isi
pemberitaan mengenai perempuan, dan semakin meneguhkan stereotipe perempuan yang
selama ini sudah dikonstruksi. Dan semakin mapan terpola.
Bias Gender dan Tumpulnya Kepekaan
Konstruksi sosial terjadi secara terus menerus bukan tanpa sebab. Siregar dalam Suryandaru
(2002: 11) menyebutkan bahwa jurnalis masih belum memiliki sensitifitas gender dalam
memahami permasalahan perempuan. Hal ini mengantarkan kita pada sebuah pertanyaan
besar: bagaimana nilai-nilai gender yang berkembang dalam realitas keseharian para jurnalis
dan pengelola media massa?
Pemahaman gender para pekerja media massa sangat dipengaruhi oleh pengalaman sosio
kulturalnya. Pemahaman gender tersebut diperoleh dari proses interpretasi dan reinterpretasi
dalam kehidupan dan sistem sosial mereka.
Pentingnya pamahaman gender bagi setiap pekerja media massa akan membantu
ketimpangan yang terjadi. Mengingat pekerja media memiliki sistem maknanya sendiri, yang
telah lama dibentuk oleh sistem sosio kulturalnya tadi, maka nilai-nilai kesetaraan dan
keadilan menjadi hal yang perlu direkonstruksi ke dalam sistem sosial di mana pekerja media
itu hidup, untuk memberikan pemahaman gender bagi mereka.
Abrar dalam Suryandaru (2002: 17) mengatakan bahwa kesetaraan dan keadilan gender
dalam kebijakan redaksional terkalahkan oleh ideologi kapitalisme. Media massa hanya
menjalankan peran sebagai entitas bisnisnya, padahal Severin dan Tankard (1992)
mengatakan bahwa tujuan jurnalisme sistem persi di Negara berkembang antara lain, adalah:
1. Melayani kebenaran
2. Memenuhi tanggung jawab sosial
3. Mendidik khalayak dalam pengertian politik
4. Melayani khalayak bersama-sama dengan pemerintah untuk mencapai tujuan yang
berbeda-beda
5. Melayani khalayak dengan menempatkan jurnalisme sebagai alat perdamaian.
Sebenarnya sebagai Negara hukum, Indonesia memiliki perangkat regulasi yang mengatur
Dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dalam pasal 36 ayat 5 menyebutkan
bahwa:
Isi siaran dilarang:
a. Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/ atau berbohong
b. Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat
terlarang; atau
c. Mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan.
Dan dalam ayat 6 disebutkan:
Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan, dan/ atau mengabaikan nilainilai agama, martabat manusia Indonesia atau merusak hubungan Indonesia.
Begitu juga dalam P3 SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) terbaru
tahun 2012 menyebutkan dalam pasal 20, bahwa:
(1) Program siaran dilarang berisi lagu dan/atau video klip yang menampilkan judul dan/atau
lirik bermuatan seks, cabul, dan/atau mengesankan aktivitas seks.
(2) Program siaran yang menampilkan musik dilarang bermuatan adegan dan/atau lirik yang
dapat dipandang menjadikan perempuan sebagai objek seks.
(3) Program siaran dilarang menggunakan anak-anak dan remaja sebagai model video klip
dengan berpakaian tidak sopan, bergaya dengan menonjolkan bagian tubuh tertentu, dan/atau
melakukan gerakan yang lazim diasosiasikan sebagai daya tarik seksual.
Meski peraturan telah dibuat dan teguran telah dilayangkan, agaknya media massa masih
menganggap bahwa keuntungan merupakan berhala yang layak disembah. Hartman (1981)
mengatakan bahwa terjadinya ketimpangan dalam struktur organisasi, karena adanya nilainilai kapitalis dan patriarki yang saling menguntungkan.
Murdoch & Golding (1988) mengatakan bahwa media massa selamanya tidak akan menjadi
lembaga yang netral, ia akan senantiasa berada dalam tarik menarik antar berbagai
kepentingan yang semuanya bersumber pada interest politik dan ekonomi, (Suryandaru,
2002).
Tarik menarik tersebut diformulasikan oleh Reese & Shoemaker (1996), sebagaimana dikutip
Suryandaru (2002), dalam teorinya mediating the message. Sebelum pesan sampai kepada
khalayak, pesan tersebut mengalami beberapa proses, tahap atau strata. Meski Shoemaker
menyoroti proses yang terjadi pada media cetak, namun ini juga berlaku dan dapat terjadi
pada media elektronik. Tahap yang Shoemaker rumuskan antara lain:
1. Individual level: pada level ini jurnalis berperan dalam penentuan agenda berita. Mereka
yang berhubungan langsung dengan sumber berita, dan juga memiliki kuasa atas
pengambilan angle atau mengkonstruksi event/ berita yang akan ditayangkan. Pada level ini,
individu jurnalis dilatarbelakangi oleh pendidikan, pengalaman, dan persepsi subyektifnya.
2. Media routine: rutinitas media juga menjadi tahapan yang harus dilalui berita/ informasi/
konten media massa untuk hadir di hadapan khalayak. Rutinitas ini merupakan praktik media
tentang keputusan dan persepsi mengenai informasi yang dibawa individu jurnalis ke ruang
pemberitaan. Tahap ini dipengaruhi oleh cara professional media mengorganisir sistem kerja
mereka.
3. Organizational level: level ini juga turut mengkonstruksi berita. Organisasi/ struktur
industri media memilah, mensortir informasi mana yang diambil dan yang tidak diambil
hingga menjadi kesatuan informasi yang utuh sesuai dengan persepsi media tersebut.
4. External media level: pengaruh lainnya datang dari luar struktur organisasi maupun
individu pekerja media massa, seperti: sumber berita, iklan atau pelanggan, kontrol
pemerintah, pasar dan teknologi.
5. Ideological level: level ini berkaitan dengan struktur kekuasaan, level ideologi merupakan
kekuasaan yang dapat memberikan pengaruh terhadap pengambilan dan konstruksi berita.
Level ini umumnya berada di dalam ruang pemberitaan media.
Dalam konteks pembentukan stereotipe gender dan penggambaran perempuan di media
massa, kelima level tersebut menjadi jembatan bagi apa yang disebut Baudrillard (1995)
sebagai simulacra realitas atau topeng realitas. Topeng realitas itu berupa nilai-nilai
konsumerisme, seksualitas, dan stereotip gender.
Rendahnya daya sensitifitas media ini banyak terjadi karena media menganggap dirinya
sebagai a mirror of events in society and the world (Quail, 2000: 66), atau sebagai cermin
berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, mereka merasa hanya merefleksikan
apa adanya. Pengelola media sering merasa tidak bersalah jika isi media banyak berita yang
seksis, kekerasan, konflik, menjadikan perempuan sebagai objek berita dan penuh bias
gender. Seperti pemberitaan mengenai pemerkosaan yang cenderung mengeksploitasi
perempuan. Alih-alih mengadvokasi dengan berita, media massa justru mengelaborasi/
mengilustrasikan kejadian pemerkosaan tersebut.
Mendorong Kesadaran Gender
Bagaimana seharusnya media massa menjalankan dan mengedepankan fungsinya? Netral
seringkali menjadi formulasi yang sangat sulit dieksekusi. Media bebas nilai dan berimbang
masih begitu sulit dipraktikkan oleh manajemen media massa mana pun. Sekalipun media
massa dengan segmentasi perempuan yang mayoritas manajemennya perempuan pun ternyata
masih belum berkesadaran gender. Terlihat dari informasi yang disajikan masih berkisar pada
urusan domestik, konsumtif, kosmetik hingga urusan ranjang seperti tips memuaskan suami.
Majalah perempuan sangat berperan, bahkan menentukan, bukan hanya memetakan
kehidupan perempuan, tapi juga menekankan pentingnya konsumerisme dan seksualitas
dalam mengkonstruksikan feminitas, (Lung dalam Suryandaru, 2002: 33).
Dalam majalah perempuan tertanam pesan-pesan, setinggi apapun bersekolah perempuan
tidak boleh meninggalkan keluarga. Dan kesuksesan perempuan selalu dikaitkan bagaimana
ia mengemban tugas reproduktifnya di ranah domestik dengan peran produktifnya di ranah
publik.
Media massa yang berkesadaran gender yakni dapat menampilkan potret perempuan
seutuhnya, bahwa ada perempuan-perempuan yang juga tidak seideal seperti apa yang
divisualisasikan laki-laki dan stereotipenya dilanggengkan.
Reposisi dan reorientasi yang perlu dilakukan media massa menurut Bemmelen, (1992)
dalam Liestianingsih (2002: 34-35), antara lain:
1. Meningkatkan kesadaran tentang kondisi perempuan. Dalam hal ini media massa
menganalisis latar belakang ketidakadilan gender. Informasi tersebut dapat membantu
perempuan memahami kondisinya sebagai perempuan
2. Membuka mata dalam kenyataan hubungan keluarga. Pengalaman sebagai seorang ibu,
istri dan pekerja media tidak diidealisir.
3. Media massa seharusnya memberikan gambaran tentang perempuan sebagai subjek seksual
bukan sebagai objek. Hal ini juga perlu dihubungkan dengan kesehatan reproduksi dan
seksualitasnya.
4. Mempertanyakan standarisasi perempuan dan laki-laki. Mengapa perempuan lebih
dipertanyakan kecantikannya sedangkan laki-laki tidak pernah dipertanyakan
ketampanannya. Kenapa perempuan lebih sering ditekankan penampilannya daripada otaknya
sedangkan laki-laki tidak pernah dipermasalahkan terkait penampilannya.
5. Terakhir dan terpenting adalah menumbuhkan kesadaran perspektif gender pada para
pengelola dan pekerja media, bukan hanya untuk laki-laki tapi juga peremuan. Karena jenis
kelamin perempuan tidak menjamin dia memiliki wawasan berperspektif gender.
Jika kita semua, laki-laki dan perempuan dapat keluar dari nilai yang diidealisir dan
stereotipe gender yang terbentuk sekian lama, bukan hanya perempuan yang akan terbebas
tapi juga laki-laki. Tidak akan ada istilah bukan lelaki sejati, karena tubuhnya kurang macho
atau fisiknya lemah atau karena ia gemar memasak, meski orientasi seksualnya heteroseksual.
Karena pada dasarnya manusia, laki-laki dan perempuan dibekali kadar sifat feminin dan
maskulin. Di setiap perempuan memiliki sifat maskulin begitu juga di dalam diri laki-laki ada
sifat feminin.
Daftar Pustaka:
Buku
Luviana. 2012. Jejak Jurnalis Perempuan: Pemetaan Kondisi Kerja Jurnalis Perempuan di
Indonesia. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen.
McQuail, Denis. 2000. Mass Communication Theories. London: Sage Publication.
Suryandaru, Yayan Sakti. 2002. Potret Kesadaran Gender Orang Media. Surabaya: Pusat
Studi Wanita Universitas Airlangga
Zoonen, Liesbet van. 1999. Feminist Media Studies. London: Sage Publication.
Wolf, Naomi. 2002. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan, terj.
Yogyakarta: Penerbit Niagara.
PDF
Komisi Penyiaran Indonesia. 2012. Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran.
Undang-undang Republik Indonesia Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
Nielsen Newsletter Edisi 15-31 Maret 2011.
Internet
Alnashava, Preciola. Hawa di Kotak Adam. http://www.remotivi.or.id/pendapat/hawa-dikotak-adam, diakses pada 6 Mei 2013.
Panani,
Sri
Mulia.
Media
Massa
dan
Perempuan.
http://rifkaanisa.blogdetik.com/2013/04/15/perempuan-dan-media-massa/, diakses pada 6
Mei 2013.