Modis vs Logis Perempuan dalam tipu daya peradaban
Oleh : Karmila Rahmaningrum
Email : karmilarahmaningrum70@gmail.com
“One is not born a woman, but becomes one”
(seseorang tidak lahir sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan). Pernyataan tokoh Prancis, Simone De Beauvoir ini mengandung makna bahwa semua perempuan tertindas sebagai perempuan. Dan penindasan itu bukanlah takdir sejarah. Memang, berbicara ihwal keperempuanan, bagi saya takan pernah habis diperbincangkan. Sebab dalam lajunya peradaban. Pelbagai kebijakan atas nama apapun selalu dianggap telah memasung hak perempuan. Hal ini memicu adanya paradigma bahwa perempuan adalah manusia kedua yang hierarkinya selalu di bawah kaum pria. Dari masa ke masa, subordinasi dan berbagai konstruksi sosial terhadap perempuan ini sulit ditiadakan. Bahkan Seiring lajunya peradaban, di era milenial yang telah mempunyai kecanggihan sains dan teknologi mumpuni ini, kerap kali menjadikan perempuan sebagai objek paling ampuh untuk mengeruk keuntungan personal. Dari mulai segala bentuk pujian, masuk dalam berbagai bidang pekerjaan, bahkan sampai dengan melejitnya eksistensi dan lain-lain seolah berpegang teguh pada menariknya ukiran pensil alis, meronanya bibir yang berwarna-warni dan segala bentuk artistic yang menjadikan wajah semakin menarik dipandang. Sehingga selain prasyarat, kecantikan hari ini juga beralih menjadi selera pasar. Maka, hanya Eka Kurniawan yag menganggap cantik itu luka. Sebab pada praktisnya, tak ada satupun gadis di dunia yang menghendaki tampil buruk rupa. Tak heran pula, jika banyak kaum perempuan berbondong-bondong menggantungkan diri pada produk-produk kecantikan, sibuk membentuk tubuh, menyulap parasnya hanya agar mampu eksis dan diterima dalam pergaulan sosial. Seolah berpenampilan cantik adalah menuju gerbang pintu diterimanya dunia. Jacques Lacan, Seorang pemikir Prancis pernah mengatakan bahwa idealitas kita dibangun atas citraan-citraan simbol, baik bahasa maupun visual. Citraan itu kemudian mengendap di dalam logika dan mengontrol selera individu. Tak heran jika perihal ketubuhan ini merujuk pada komodifikasi yang lebih masif khususnya pada bidang industrialisasi kapitalis. Misal; Dalam sebuah dongeng, kebanyakan perempuan cantik jelita yang menjadi peranan utama. Kalaupun ada penokohan perempuan jelek, itu tentang perempuan cantik yang dikutuk seperti halnya kisah Sherk. Dalam sebuah film yang tayang di layar kaca, perempuan miskin yang cantik jelita akan dilamar oleh laki-laki yang kaya. Seakan nasib yang baik hanya milik perempuan yang mempunyai paras menawan. Atau film-film horor bertendensi porno seperti judul-judul yang diberikan oleh para pembuat film yang biasanya sangat kontroversial dan vulgar. Seperti Tali Pocong Perawan,Simanis Jembatan Ancol, Pelukan Janda Hantu Gerondong dan masih banyak lagi judul film-film horor yang memperlihatkan pemilihan judul film sangat erat kaitannya dengan “keperempuanan”. Sisi pornografi pada tayangan film-film ini seakan menjadi cerita inti sehingga membunuh makna dari kehororan film horor tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa tubuh perempuan diposisikan sebagai pemuas keingintahuan dan nafsu penonton akan seksualitas. Tidak hanya digunakan dalam film, kecatikan perempuan tereksploitasi dalam game online. Sebuah game bernama Mobile Legend adalah permainan perang antar tim dengan banyak sekali jenis hero di dalamnya.salah satunya hero Laila, Miya yang kerap menjadi andalan hero penikmat game online ini. Visualisasi animasi dalam game online ini dapat mengubah rambut, senjata bahkan baju yang dikenakan oleh hero andalan si pemain. Hal ini juga menjadi contoh tereksploitasinya ketubuhan perempuan. Identitas perempuan yang seolah-olah diperuntukan bagi kepentingan, kesenangan dan keuntungan kaum pria dapat dilihat juga pada sebuah “celoteh” yang ditujukan khusus untuk kaum pria, yakni “Harta, Tahta, Wanita”. Dari kalimat tersebut, perempuan disejajarkan dengan harta dan tahta, dijadikan sebuah “kebanggaan” bagi lelaki. Harfiahnya, lelaki akan menjadi lelaki yang sejati ketika ia memiliki ketiga aspek tersebut. Kalimat yang tersebar di Jagat media maupun kehidupan nyata ini seolah-olah wajar terdengar. Namun disadari atau tidak, lagi-lagi perempuan menjadi korban objektifikasi. Masuk ke dalam beranda media sosial, citra akun perempuan cantik juga selalu berlimpah followers, hingga tak sedikit selebgram-selebgram ditawari produk untuk menjual iklan dalam akunnya. Semaraknya penggambaran perempuan di media massa sedikit banyak memengaruhi apa yang difikirkan masyarakat terhadap perempuan. Meskipun penentuan identitas seacara arbiter tersebut belum tentu benar dan tak dapat digeneralisasi, tidak dapat dipungkiri bahwa media menjadi sumber kultivasi besar dalam pembentukan persepsi masyarakat mengenai identitas perempuan. Hal ini membuktikan bahwa tubuh perempuan di dayagunakan sebagai sumber profit industri. Disinilah, semangat kapitalisme menggelora ketika perempuan masih dijajah dalam produk fashion dan berbagai alat kecantikan lainnya. Keterjajahan inilah yang kerap kali masih menjadi jurang terjerembabnya kaum perempuan dalam zona yang menurutnya nyaman. Padahal kesadaran kognitif seseorang mengenai identitasnya dapat memengaruhi perilakunya dalam kehidupan sosial. Jika laki-laki dan perempuan sama memahami identitasnya berdasarkan apa yang selama ini tersedia di dalam media, maka perilaku laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial juga akan menjadi seperti apa yang digambarkan secara implisit oleh media, yakni laki-laki sebagai pemegang kekuasaan terhadap perempuan dan perempuan sebagai pihak objektifikasi. Hal ini menunjukan akan timbulnya hierarki identitas antara laki-laki dan perempuan. Jika dilihat dengan kacamata yang lebih luas, saya memandang bahwa pemberdayaan perempuan tidak hanya dapat diukur dengan simetrisnya ukiran alis atau tebal-tipisnya ulasan bedak yang terpampang di muka. Seperti apa yang dikatakan Soe Hok Gie, bahwa perempuan akan selalu di bawah laki-laki apabila yang diurusi hanya tentang pakaian dan kecantikan. Saya sepemahaman dengan statement beliau. Disini, masalah siapa di atas dan siapa di bawah adalah bukan persoalan, namun persoalannya adalah tentang pandangan bahwa para puan tak cukup dengan modal cakep saja. Sebab jika itu terjadi, maka perempuan akan terjebak dalam hal yang sebenarnya merendahkan juga nilai dirinya. Seakan hidup hanya tentang modis, Padahal ada banyak yang lebih prioritas dari memperindah bentuk wajah. Terlebih dalam era milenial ini. Ada ruang publik diciptakan untuk mengembangkan potensi yang ada dalam jiwa. Harusnya, kaum puan ini lebih mampu memanfaatkan ruang publik untuk mencetak kualitas diri. Bukan malah dimanfaatkan terlebih oleh media yang nyatanya hanya sebatas fatamorgana. Dalam Buku Sarinah, karya Presiden pertama RI, Ada penggalan kalimat yang saya suka. ”Bahwa soal perempuan bukanlah soal buat kaum perempuan saja. Tetapi soal masyarakat, soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh, satu soal masyarakat dan Negara yang amat penting.” Kalimat yang termaktub di halaman 11 pada buku Sarinah tersebut menjadi dasar pegangan bagi saya untuk membuka mata bahwa memang peran perempuan selalu terlibat di berbagai aspek kehidupan. Maka sudah semestinya perempuan hari ini mampu memahami kodratinya yang lebih objektif. Sebab perempuan yang menghargai dirinya, tidak mempersempit pandangan sehingga tidak gampang diperdaya untuk diobjektifiasi dan dieksploitasi oleh kaum patriarki dan kapitalis. Presiden pertama RI juga mengatakan bahwa bangsa Indonesia harus mampu berdikari. Yakni, berdiri di atas kaki sendiri. Hal ini harusnya menjadi bentuk refleksi untuk para perempuan bahwa keberanian dan kemandirian perempuan tidak selalu ditentukan oleh sejauh mana akses terhadap penampilan dan kecantikan. Tapi sejauh mana para puan menyadari dan mau memperjuangkan apa yang menjadi ranah perjungan perempuan itu sendiri. Tidak hanya tentang dapur, sumur dan kasur, lebih dari itu perempuan hari ini harus mampu mencetak kualitas diri yang mempuni dan mampu gagah berdiri di garda terdepan sebagai bentuk perlawanan terhadap derajat eksploitasi kelas. Mampu memperluas literasi, bergerilya di ruang publik, memenuhi forum diskusi, dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan adalah perlawanan nyata para puan untuk melumpuhkan stigma negatif yang terus berkembang di Masyarakat. Karena pada dasarnya, Make up itu perlu, tapi make otak itu nomor satu. Salam Para Puan Indonesia!