Anda di halaman 1dari 4

Judul Buku : Mitos Kecantikan Kala Kecantikan Menindas Perempuan

Penulis : Naomi Wolf


Penerjemah : Alia Swastika
Penyunting : Helmi Mustofa
Penerbit : Niagara
Tahun terbit : Cetakan Pertama, Agustus 2004
Jumlah hal : xii + 670 hal
Perempuan Dalam Serangan Kecantikan

Oleh: Vivi Widyawati
Saat mendengarkan kata cantik, apa yang terbayang dalam imajinasi kita? Perempuan, itu pasti:
putih atau hitam manis, tubuh dengan berat badan ideal, rambut lurus hitam atau ikal, bentuk
tubuh tipis dengan hidung bangir, bibir tipis, ada lesung pipi, dan sebagainya, dan sebagainya.
Hampir setiap tahun standar tentang kecantikan ini berubah-ubah. Lalu pertanyaannya:
menurut siapakah standar kecantikan dibuat, dan untuk siapa?

Membaca judulnya sajaPerempuan dalam Serangan Kecantikankita sudah dapat
mengetahui apa yang dikehendaki oleh sang penulis, Naomi Wolf. Mengawali tulisannya,
Naomi Wolf menggambarkan keberhasilan gerakan feminisme pada awal 1970 meraih hak-hak
hukum dan reproduksi, disamping mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Akan
tetapi, keberhasilan tersebut tidak diikuti dengan kebebasan kaum perempuan untuk merasa
nyaman dengan tubuhnya, jujur dengan tubuhnya. Di sini kaum perempuan masih terbelenggu
dengan citra kecantikan. Pada bagian pertama buku ini, Naomi Wolf menjelaskan secara
gamblang bagaimana mitos kecantikan digunakan sebagai senjata politik untuk menghambat
kemajuan kaum perempuan, yang kemudian lebih sering disebut sebagai citra kecantikan
perempuan. Di sini Wolf juga menjelaskan asal usul mitos kecantikan, yang telah ada sebelum
Revolusi Industri yang sama tuanya dengan patriarkhi.
Bagian kedua buku ini berbicara banyak tentang pengalaman-pengalaman pekerja perempuan
yang mengalami diskriminasi hanya karena persoalan kecantikan. Dengan menggunakan
standarisasi yang disebut PBQ (A Professional Beauty Qualification/Kualifikasi Kecantikan
Professional), perusahaan-perusahaan membuat seolah-olah tidak terjadi diskriminasi terhadap
perempuan, dengan alasan bahwa PBQ merupakan syarat untuk melakukan kerja yang mereka
inginkan. Oleh standar tersebut kaum perempuan dipaksa untuk selalu memikirkan kecantikan
merekadi luar standar tersebut tidak dikategorikan cantik. Pada bagian ini Naomi Wolf juga
memberikan kritik keras terhadap hukum yang berpihak pada PBQ. Dari beberapa kasus
pemutusan hubungan kerja yang dialami oleh kaum perempuan, sebagian besar disebabkan
oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat kecantikan yang telah ditentukan oleh perusahaan.
Perlawananpun dilakukan dengan membawa kasus-kasus ini ke meja hijau, tetapi kekalahan
selalu menimpa kaum perempuan dengan alasan bahwa perempuanlah yang bersalah karena
telah melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan tempat mereka bekerja.
Pengadilan telah mengabaikan hak-hak perempuan pekerja atas nama kecantikan tubuh yang
sempurna.
Pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja juga sering memanen kekalahan di
meja hijau, karena paradigma hukum yang dipakai selama ini adalah paradigma hukum yang
maskulin. Kecantikan atau seksualitas tubuh perempuan selalu dianggap sebagai provokasi
terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan itu sendiri.
Selanjutnya Naomi Wolf bertutur tentang mitos kecantikan dalam ruang kebudayaan. Mitos
kecantikan sangat lekat dengan kebudayaan. Perempuan selama ini selalu diposisikan sebagai
makhuk yang dilihat dan dinilai oleh pria. Stereotip-stereotip (pencitraan) tentang perempuan
diciptakan untuk semakin dekat dengan mitos kecantikan, sehingga perempuan hanya
mempunyai dua pilihan: memiliki pikiran atau memiliki kecantikan. Mitos kecantikan bahkan
mulai ditanamkan kepada perempuan sejak masih kecil, misalnya, dongeng-dongeng yang
diciptakan sarat dengan maskulinitas atau machoisme.
Mitos kecantikan juga disisipkan lewat religiusitas. Tatanan masyarakat menggunakan
religiusitas untuk mengontrol tubuh perempuan dan tidak mendukung keterlibatan perempuan
dalam dunia publik yang sekular. Di samping itu bahasa-bahasa religius sering digunakan dalam
buku-buku tentang diet dan perempuan.
Agama patriarkal telah berhasil mengontrol seksualitas kaum perempuan dengan berbagai
macam mitos-mitos seputar seksualitas perempuan, seperti mengukuhkan pentingnya
keperawanan bagi kaum perempuan, menyembunyikan/menghilangkan sumber kenikmatan
seksual perempuan, misalnya sunat perempuan, sehingga kaum perempuan tidak bisa
menikmati seks dengan sempurna. Seksualitas perempuan didefinisikan dan dikonstruksikan
menjadi sesuatu yang negatif; moralitas pun kerap diukur dari tubuh dan seksualitas
perempuan.
Mitos Kecantikan yang setiap hari disuguhkan kepada masyarakat, khususnya kaum
perempuan, lewat berbagai macam media: iklan televisi, majalah-majalah kecantikan, tulisan-
tulisan mengenai kecantikan perempuan yang diperkuat dengan budaya patriarkhi,
menyebabkan kaum perempuan terjebak pada keinginan untuk selalu tampil cantik dan
menjadi sangat memuja berat badan ideal. Begitu kuatnya keinginan tersebut hingga
menyebabkan kaum perempuan, khususnya remaja, banyak menderita Bulimia dan Aneroxia.
Dari data yang dipaparkan Naomi Wolf, 95% penderita Bulimia dan Aneroxia adalah perempuan
muda, dan Amerika menunjukkan angka tertinggi. Pemujaan terhadap berat badan membuat
banyak kaum perempuan menyakiti diri mereka dengan melakukan diet ketat hingga membuat
mereka fobia terhadap makanan.
Obsesi untuk selalu ingin cantik mendorong kaum perempuan merelakan tubuhnya terbaring di
atas meja-meja operasi plastik dan bedah komestik serta membiarkan para dokter berkreasi
atas tubuh mereka. Demi mendapatkan kecantikan itu, perempuan rela menderita lapar dan
sakit yang kemudian dianggap sebagai pilihan bebas kaum perempuan. Serangan kecantikan
yang bertubi-tubi terhadap kaum perempuan telah membiarkan kekerasan hak asasi terhadap
tubuh perempuan.
Pada bagian akhir buku ini Naomi Wolf mengajak untuk menginterpretasi ulang tentang apa itu
kecantikan, dan menjauhkannya dari persaingan, hirarki dan jauh dari kekerasan. Mitos
kecantikan yang sejak lama membelenggu kaum perempuan menjadikan kaum perempuan
tidak menghormati dirinya sendiri. Seksualitas yang seharusnya memberikan kenikmatan bagi
perempuan terabaikan begitu saja.
Melampaui mitos kecantikan, tidak lalu mengabaikan kecantikan itu sendiri, tetapi bagaimana
agar keluar dari mitos kecantikan yang telah dirancang sedemikian rupa. Itulah yang terpenting.
Kaum perempuan didorong untuk lebih berani menentukan dan mengekspresikan
seksualitasnya; untuk mencintai tubuhnya dengan melepaskan semua nilai-nilai atas tubuhnya.
Naomi Wolf menegaskan, jika berhadapan dengan Mitos Kecantikan pertanyaan yang harus
diajukan bukanlah tentang wajah dan tubuh perempuan, melainkan tentang relasi kekuasaan
yang ada dalam situasi tersebut.
Kekhawatiran Naomi Wolf sangatlah wajar melihat gencarnya serangan kecantikan yang
semakin memojokkan kaum perempuan dalam ruang publik dan politik. Setiap hari kaum
perempuan diyakinkankan dengan mitos-mitos kecantikan yang semakin menjerumuskan kaum
perempuan dalam jurang pemujaan terhadap kecantikan.
Jika kita mengamati remaja saat ini, sangat sedikit kita mendapati mereka terlibat dalam
kegiatan-kegiatan sosial yang bisa memajukan pikiran mereka. Kita akan dengan mudah
mendapatkan mereka di tempat-tempat kecantikan, di mall-mall, dan kecintaan mereka untuk
membaca majalah-majalah maskulin dibandingkan membaca buku-buku pengetahuan umum.
Mengutip tulisan Naomi Wolf pada bab terakhir bukunya Setelah melampaui mitos kecantikan,
perempuan tetap akan disalahkan karena penampilan mereka. Perempuan akan disalahkan
oleh siapa saja yang merasa perlu untuk menyalahkan mereka. Perempuan cantik tidak
menang di atas mitos kecantikan.

Akhir kata, buku ini mampu menjelaskan dengan gamblang tentang serangan-serangan
kecantikan terhadap kaum perempuan lewat mitos kecantikan disertai dengan data-data
pendukungnya. Budaya patriarki yang masih kuat di dalam kekuasaan politik negara dan pikiran
masyarakat, merupakan persoalan yang penting untuk disikapi secara serius oleh kaum
perempuan. Perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan atas tubuh dan seksualitasnya ini
sangat penting. Kaum perempuan tentu tidak bisa memperjuangkannya sendiri. Di sini
dibutuhkan dukungan yang luas dari semua perempuan dan seluruh lapisan masyarakat.***

Anda mungkin juga menyukai