Anda di halaman 1dari 7

Oleh : Evania Putri Rifyana MENJADI PEREMPUAN ALA KONSTRUKSI Inikah yang anda inginkan? Lemak di perut susut!

Lipatan di pinggang hilang! Lemak tubuh bagian bawah berkurang! Pakailah alat pelangsing ini..! Anda akan percaya diri, ramping dan sexy! Hanya dengan tujuh hari, wajahmu akan putih meronaKamu akan mendapatkan rambut indah hitam berkilau hanya dengan satu keramas. Berani coba? Itulah beberapa tagline iklan di televisi yang mungkin sudah tidak asing di telinga kita. Kata-kata ajakan manis yang sepertinya di peruntukkan untuk konsumen media terkhusus kaum perempuan. Publikasi yang dilakukan secara berulang-ulang baik melalui media elektronik ataupun non elektronik membuat beberapa darinya menjadi ingatan yang susah hilang di kepala. Se-akan seruan-seruan itu menjadi momok idealisasi impian yang harus di capai. Iklan sabun yang menawarkan perubahan warna kulit menjadi lebih putih bersih dan halus yang dengan sengaja memakai model perempuan berperawakan indo, membuat para perempuan korban konsumsi iklan ini tergiur dan berlomba-lomba mendapatkan produk yang di tawarkan agar bisa menjadi bak sang model yang pada dasarnya memang mereka sudah memiliki kulit yang putih tanpa memakai sabun kecantikan apapun sekalipun. Belum lagi dengan iklan shampoo yang merepresentasikan bahwa hanya yang panjang dan hitam kemilau lah adalah rambut yang digolongkan indah. Padahal rambut adalah mahkota bagi perempuan yang pada dasarnya memiliki keindahan dan keunikan masing-masing. Bentuk tubuh yang katanya ideal itu digambarkan dengan pinggang ramping, payudara dan bokong yang berisi, serta tinggi semampai, membuat para perempuan berlomba-lomba mendapatkan target bentuk tubuh seperti demikian dengan rela melakukan upaya-upaya apapun hingga tak menghiraukan hantu-hantu anoreksia mengikuti karena mereka rela menyiksa tubuhnya sendiri demi meraih kecantikan ideal yang mustahil, hingga sampai kerusakan yang dapat mengakibatkan kematian. Dari semua konsep cantik yang dibangun media, se akan tubuh dengan kulit putih, bentuk tubuh yang kurus sexy dan tinggi semampai, rambut panjang hitam kemilau

tergerai, hidung mancung layaknya boneka Barbie, menjadi ciri-ciri utama bidadari bumi yang jatuh dari langit. Para penonton perempuan belajar bagaimana mengubah dirinya menjadi suatu tampilan dengan memandingkan perempuan lain yang dilihatnya. Dampak dari sisi yang lain, laki-laki juga menjadi korban pasif media yang mengkontruksikan citra cantik perempuan. Dengan maraknya iklan-iklan di media tersebut dan hampir semua produk menyampaikan bahasa visualisasi yang serupa, se akan itulah yang menjadi idealnya perempuan dan menjadi kriteria pasar para lelaki. Jika kita melihat konteks di Indonesia, konstruksi cantik yang dibangun oleh media sebenarnya tak luput dari pesona barat yang terus melekat di otak kita. Negara Indonesia yang memang secara historical mempunyai sejarah kolonialisasi yang terkait dengan bangsa barat. Dampak dari pasca kolonial yang berkepanjangan menimbulkan peng-arus utamaan dari negara kolonial terhadap negara-negara jajahannya. Oleh karena itu,bagi kebanyakan perempuan Indonesia mengidam- idamkan citra perempuan barat yang memiliki kulit putih, hidung mancung, dan tubuh sexy. Ada juga dari beberapa perempuan yang memilih cara mendapatkan kecantikan yang instan demi memiliki bentuk rupa dan tubuh seperti perempuan bule. Sering kali kita mendengar praktik suntik silicon, operasi plastik, suntik putih, sulam alis, sulam bibir, maupun praktik kecantikan lainnya, yang sengaja disajikan bagi para perempuan yang ingin cantik secara instan. Praktik kecantikan berfungsi untuk mengontruksi, memproduksi, atau menampilkan diri yang feminim yang akan mengajak perempuan untuk menjadi bunglon. Tak heran, jika mereka rela mengeluarkan kocek yang dalam dan merubah bentuk tubuh aslinya demi mendapatkan kecantikan yang menurutnya ideal. Padahal banyak kerugian-kerugian maupun akibat yang akan di dapatkan apabila terjadi suatu kefatalan. Namun apakah para perempuan tersadar telah diperbudak oleh standart kecantikan yang menggelikan? Se akan mereka yang berada diluar lingkaran konsep cantik ciptaan media ini adalah bukan perempuan. Dengan begitu, timbul suatu pendapat yang dikemukakan oleh salah satu aktivis perempuan, Alice Embree yang menyatakan perempuan dianggap sebagai tubuh bukan orang . Dalam feminisme gelombang kedua pun ada sedikit pengakuan tentang bagaimana ideal feminisme akan kecantikan secara implisit dan eksplisit dianggapputih.

Lola Young berpendapat, Citra Perempuan Eropa Kulit putih sebagai standart kecantikan merajalela. Pelbagai citra tersebut adalah kutub yang berlawanan sekaligus juga bergantung pada citra feminitas dan seksualitas perempuan kulit hitam. Feminis kulit hitam mencoba menentang bagaimana kecantikan menganggap bahwa kecantikan feminisme disamakan dengan kecantikan feminisme kulit putih. Bagi banyak perempuan kulit hitam, kecenderungan pada penampilan yang lebih alamiah mungkin dimotivasi oleh politik gender, tapi sangat dipengaruhi oleh paksaan gerakan kekuasaan kulit hitam pada pendefinisian ulang Kulit Hitam dan merayakan Afrosentrisitas. Dari sudut pandang ini, pendirian perempuan yang pro- kulit hitam menurut penolakan tehnik pelurusan rambut dan krim pemutih kulit yang menegaskan feminitas kulit putih sebagai identitas yang diinginkan. Begitupun dengan pendapat Debbie Weekes, yang menyatakan bahwa terjadinya strategi pendasaran semacam itu dapat menciptakan kerenggangan antara perempuan kulit hitam yang berarti bahwa pemurnian dengan dasar warna kulit dan tekstur rambut memiliki kemungkinan politis yang terbatas.1 Pada tahun 1990-an, tubuh ideal adalah tubuh muda kurus semampai yang terpersonifikasi dalam model Kate Moss. Lebih baru lagi, daya tarik yang berani menunjukkan power perempuan girl power dipasangkan dengan kelaki-lakian dalam sebuah periode dimana anak perempuan harus bergaya seperti anak laki-laki sebagai wujud kemajuan, bukti adanya elemen-elemen vitalitas dan varietas idealisasi yang kokoh tentang tubuh kurus yang didukung oleh fesyen milyaran dollar, industri- industri kosmetik dan pelangsing. Nomi Wolf, menyatakan dalam bukunya The Beauty Myth bahwa rintangan-rintangan yang lebih legal dan material bagi perempuan telah dipatahkan melalui citra-citra tentang kecantikan perempuan yang lebih ketat, berat,dan kejam yang hadir untuk kita ikuti. Ia menunjuk pada kebencian atas diri sendiri, perasaan-perasaan tidak sempurna dan ketakutan terhadap penuaan. Susie Orbach, dalam Fat is a Feminist Issue (1978) juga menginterpretasikan pertentangan ekstrim terhadap kegemukan sebagai sebuah tindakan atas ketakutan atau penolakan untuk memenuhi objektivitasi seksual.

Sebuah keindahan ideal berdasarkan pada tipe tubuh anak remaja ditemukan dalam pemujaan terhadap kekurusan, kulit terang dan keanggunan mengudara dalam balet klasik. Tekanan untuk mendapatkan berat badan ringan dalam model-model fashion telah melahirkan eating disorders (gangguan pola makan) yang tinggi di antara para model. Selain itu, tekanan ini juga menciptakan kecenderungan berbahaya terhadap gejala eating disorders di antara anak perempuan belasan tahun, yang sekarang menganggap good looks (penampilan menarik) sebagai kehormatan moral, bukannya good works (pekerjaan baik) yang dianut pada era seabad silam.2 Dengan mengutip survey yang dilakukan oleh Glamour pada tahun 1984 atas 33.000 perempuan yang mengungkap, bahwa penurunan berat badan telah menjadi obsesi tertinggi, di atas obsesi untuk mencapai kesuksesan dalam cinta dan pekerjaan. Selisih antara berat badan yang ada dan berat badan yang diinginkan atau ideal dalam 50% kasus berbeda setingkat dibawah berat badan sehat secara alami. Keinginan untuk menjadi kurus dengan cara yang tidak alami didukung dan dikuatkan oleh industri-industri kecantikan dan fotografi fashion glamour yang mempromosikan ikon kecantikan.2 Kritikus feminis masa kini tidak hanya menyoroti bagaimana praktik kecantikan dapat dimanfaatkan sebagai suatu bentuk perlawanan perempuan, tetapi juga menyoroti pelbagai fashion model yang menjadi kenikmatan perempuan yang dihasilkan oleh praktik kecantikan ini. Misalnya, Hillary Radner mengungkapkan pergeseran pada bagaimana riasan dimunculkan dalam ruang editorial maupun iklan dalam majalah perempuan. Ia berpendapat, bahwa sejak akhir tahun 1970-an dan seterusnya, pelbagai macam, produk kecantikan semakin tertuju pada perempuan mandiri yang ingin menyenangkan diri mereka sebagai usaha untuk memadukan apa yang tampaknya adalah pelbagai tuntutan feminitas dan otonomi yang kontradiktif1. Walaupun produk kecantikan itu banyak memberi janji palsu, tapi dalam praktiknya jika perempuan mendapatkan kenikmatan dalam berdandan, maka ia menerima produk yang sudah dibayarnya itu. Oleh sebab itu, berdandan demi ingin mendapatkan kecantikan sekejap, dianggap sebagai kenikmatan praktik feminim. Karena hasil dari memakai make up, masker wajah, krim pemutih atau obat-obat perawatan wajah, biasanya tidak terasa

oleh orang lain, tetapi dirasakan oleh orang yang memakainya. Investasi sejumlah besar uang pada produk kecantikan sangat dinikmati karena memberikan dampak. Kenikmatan-kenikmatan dalam upaya menjadi cantik menjadi fantasi tersendiri bagi para perempuan. Dengan diracuni segala bentuk konstruksi kecantikan di media, mereka seraya teralienasi dengan tubuh mereka sendiri. Dengan memiliki perasaan ingin menjadi sesuatu yang lain dan merubah segala apa yang telah ada pada diri sendiri, membuat para perempuan korban praktik kecantikan ini memiliki keterpisahan dengan dirinya sendiri yang akibatnya berupa keterpisahan dari natur esensialnya. Mereka merasa puas dengan tubuhnya yang baru dan melupakan kepuasan akan tubuhnya yang alamiah. Kecantikan yang selama ini menjadi mainstream para wanita ternyata hanyalah sebuah kontruksi yang dibangun dan sudah terlanjur di adopsi secara berulang-ulang sehingga menjadi sesuatu yang baku. Persepsi cantik maupun jelek hanyalah sebuah pemaknaan akan sebuah kontruksi social yang diterima maupun tidak. Dengan alasan pasar dan fantasi para lelaki, sayangnya perempuan rela hanya menjadi konsumen media yang pasif dan menerima dengan terbuka hasil kontruksi itu. Padahal mereka mempunyai hak akan tubuh dan pemaknaan kepuasaan masing-masing akan keunikan dirinya sendiri. Tidak selamanya cantik itu harus harus digambarkan dengan aspek fisik belaka. Konsep cantik yang selama ini dijadikan arus utama hanyalah sebuah pemikiran irasional akan persepsi yang subyektif. Perempuan dipandang hanya sebuah tubuh tanpa memiliki aspek-aspek lain dari dalam yang juga harus dipertimbangkan. Istilah inner beauty diartikan sebagai kecantikan dari dalam, dimana cantik seorang wanita dipancarkan melalui aura dari dalam yang memberikan sisi yang menarik bagi seorang perempuan, dan setiap perempuan pasti memiliki sisi inner beauty nya sendiri-sendiri tidak hanya dengan fisik yang cantik. Dengan citraan yang mendominasi ruang kesadaran publik,dan atas nama selera pasar para lelaki, ketidak puasaan dan kekuasaan atas tubuh layaknya sudah hilang dan diatur sebagaimana citra keindahan perempuan merupakan perempuan yang dibentuk oleh industri. Keleluasaan akan tubuh telah dibungkam oleh wacana media sehari-hari. Kebebasan dan kenikmatan akan diri sendiri sudah dikalahkan, hanya demi menjadi perempuan ala konstruksi.

Joanne, Hollow. (Maret 2010), Feminitas, Feminisme, dan Budaya Populer. Yogyakarta : Jalasutra Gamble, Sarah. (Agustus 2010), Pengantar Memahami Feminisme dan Post-Feminisme. Yogyakarta :

Jalasutra

Anda mungkin juga menyukai