Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Kehidupan manusia yang semakin modern, menuntut masyarakat untuk mengikuti gaya hidup yang serba modern pula. Apalagi dalam modernisasi sering terselip falsafah konsumerisme, masyarakat cenderung menjadi konsumtif agar layak disebut modern. Konsumsi pun tidak lagi sekedar kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan fungsional manusia. Konsumsi telah menjadi budaya, budaya konsumsi. Sistem masyarakat pun telah berubah, dan yang ada kini adalah masyarakat konsumen, yang mana kebijakan dan aturan-aturan sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebijakan pasar. Dalam era gaya hidup, penampilan adalah hal yang sangat penting. Itu sebabnya industri gaya hidup bagi sebagian besar orang disebut sebagai industri penampilan. Para wanita pun berlomba-lomba untuk mendapatkan kulit putih nan bersinar, tubuh langsing, dan segala persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh kecantikan yang dianggap ideal. Tidak hanya kaum wanita, para pria pun mulai gelisah dengan bentuk maupun ukuran tubuh yang dianggap kurang ideal, sehingga mereka pun melakukan usahausaha yang diperlukan untuk memperoleh citra tubuh idaman. Maka tak heran jika industri jasa yang memberikan pelayanan untuk mempercantik penampilan (wajah, kulit, tubuh, rambut) tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Penampilan dan citra diri menjadi sasaran empuk bagi industri kecantikan untuk meraup keuntungan. Dewasa ini, industri kecantikan telah menjadi salah satu industri terbesar abad ini. Selain memiliki prospek yang menjanjikan, jumlah keuntungannya pun luar biasa. Kita dapat menemukan banyak sekali bisnis obat-obatan, kosmetik, pusat kebugaran, salon kecantikan, bisnis perawatan tubuh, dan sebagainya. Kecantikan pun mampu diubah menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Di tangan kuasa industri pasar, ada kecenderungan untuk

melakukan penyeragaman selera atas apa yang disebut dengan cantik. Bagi yang tertinggal dan tidak berhasil memenuhi standar cantik tersebut seolaholah merasa tidak terhormat, ketinggalan jaman, tidak modern, atau bahkan kehilangan rasa kepercayaan diri. Ketika masyarakat menginternalisasi nilai ini sebagai nilai kebudayaan yang harus diikuti maka disanalah industri kecantikan mendapat lahan suburnya. Begitu banyaknya serbuan informasi membuat masyarakat tidak dapat menghindarkan diri dari kegiatan konsumsi, apalagi dengan berbagai pemandangan atraktif dari promosi media massa seperti televisi, koran dan majalah. Tidak hanya itu, promosi media luar ruang yang menghiasi jalanjalan dan berbagai sudut strategis kota juga semakin membuat budaya konsumsi semakin berkembang, diantaranya konsumsi yang berkaitan dengan kecantikan. Berbagai macam produk yang menjanjikan kecantikan dan kesempurnaan tubuh ditawarkan kepada masyarakat, iklan menjadi metode promosi yang ampuh untuk mempengaruhi masyarakat agar membeli produk yang ditawarkan oleh industri kecantikan. Bertolak dari uraian di atas, peneliti menulis makalah dengan judul Konsumerisme dan Kapitalisme dalam Iklan Produk Kecantikan

B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas, yaitu: 1. Bagaimana peran iklan produk kecantikan dalam membentuk persepsi masyarakat mengenai kecantikan? 2. Bagaimana dampak iklan produk kecantikan bagi kegiatan konsumsi masyarakat?

C. TUJUAN PENULISAN Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan peran iklan produk kecantikan dalam membentuk persepsi masyarakat mengenai kecantikan. 2. Menjelaskan dampak iklan produk kecantikan bagi kegiatan konsumsi masyarakat? D. MANFAAT PENULISAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Menambah wawasan mengenai pola konsumsi dan gaya hidup dalam masyarakat. b. Memberikan kontribusi terhadap berkembangnya ilmu pengetahuan, terutama Sosiologi Ekonomi.

2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat memberi gambaran mengenai unsur-unsur yang ada dibalik industri kecantikan dan konsumsi masyarakat. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi lembaga-lembaga yang terkait dengan bidang ekonomi dan industri.

BAB II PEMBAHASAN

A. Peran Iklan Produk Kecantikan dalam Membentuk Persepsi Kecantikan di Masyarakat. Cantik adalah kata yang begitu popular bagi masyarakat di seluruh dunia, khususnya bagi perempuan sejak dulu hingga sekarang. Tidak hanya itu, istilah cantik seolah sangat dipuja dan dikagumi oleh masyarakat. Kecantikan pada umumnya memang lebih dikaitkan dengan perempuan. Menjadi cantik adalah dambaan tiap perempuan. Masalahnya, makna cantik saat ini dipahami secara fisikal (ragawi). Tentu ini dikaitkan erat dengan peran kosmetika. Kita mengenalnya dengan trilogi mitos: cantik, fisik, dan kosmetika. Mereka membentuk kesatuan representasi kesempurnaan atau idealitas mengenai perempuan. Masyarakat di setiap negara memiliki persepsi berbeda mengenai kecantikan, hal ini bisa dipengaruhi oleh nilai-nilai sosio-kultural yang berkembang. Namun perlahan-lahan persepsi mengenai kecantikan mulai bergeser. Pergeseran makna kecantikan ini pada dasarnya bermula dari zaman modern yang telah bersahabat dengan kapitalisme. Kapitalisme adalah suatu sistem dinamis dimana mekanisme yang didorong oleh laba mengarah pada revolusi yang terus berlanjut atas sarana produksi dan pembentukan pasar baru. Ada indikasi ekspansi besar-besaran dalam kapasitas produksi kaum kapitalis. Pembagian kelas yang mendasar dalam kapitalisme adalah antara mereka yang menguasai sarana produksi, yaitu kelas borjuis, dengan mereka yang karena menjadi kleas proletar tanpa menguasai hak milik, harus menjual tenaga untuk bertahan hidup.1 Kapitalisme mampu melihat sisi lemah kaum perempuan yang sangat mementingkan penampilan dan kecantikan. Hal ini merupakan sebuah peluang bagi kapitalisme untuk menjadikan perempuan sebagai mangsa untuk dibawa ke ranah ketergantungan. Dalam melancarkan aksinya, kapitalisme, dalam hal ini industri-industri kecantikan sangat pandai dalam memanfaatkan peran dan fungsi

Barker, Chris. Cultural Studies (edisi terjemahan Indonesia. 2004. Yogayakarta: Kreasi Wacana.hal 14

media. Dimana di zaman modern seperti ini, peran media sangat penting dalam mengkontruksi bangunan pemikiran. Setiap hari kita terus dibombardir oleh citraan perempuan ideal yang dikonstruksi melalui media khususnya melalui iklan. Citra ideal dimana seorang perempuan harus tetap tampil mempesona di ruang publik adalah tema sentral iklan media populer dan terutama media perempuan akhir-akhir ini. Proses hegemoni ini berlangsung di iklan-iklan produk kecantikan seperti shampo, perawatan kulit dan produk perawatan bentuk tubuh, obat si pengganggu jerawat yang sangat ditakuti oleh banyak wanita, krim pemutih wajah, make-up berwarna-warni untuk berhias wajah, bedak dengan memiliki dwifungsi yaitu pelembab sekaligus pemutih wajah, satu krim yang memberikan berbagai macam manfaat dan sebagainya. 2 Kecantikan bukan lagi dipersepsikan oleh masyarakat yang mengalami perubahan zaman, namun distandarisasi oleh industri kecantikan. Seolah ada standarisasi makna cantik dalam masyarakat. Sebagai contoh cantik adalah berkulit putih mulus, rambut indah, perawakan langsing. Setidaknya, itulah prototipe cantik yang sekarang menjamur dan berakar dalam benak perempuan Indonesia, baik remaja maupun dewasa. Dampaknya, perempuan merasakan kesenjangan antara idealitas kecantikan dengan tampilan tubuh yang nyata, sehingga cenderung mengalami emosi negatif: kecewa, sedih, putus asa, jengkel, cemas, marah. Pada akhirnya, ini berpotensi memicu mereka yang merasa tidak mampu mencitrakan dirinya sesuai persepsi cantik yang telah terstandarisasi tersebut kearah rasa kurang percaya diri dan perilaku konsumtif. Perempuan berkulit putih nan bersinar, bertubuh langsing dan berlekuk, serta berambut hitam adalah bagian dari standar penampilan perempuan yang hidup di zaman modern. Sebaliknya perempuan berkulit gelap, gemuk dan bergaya kuno adalah figur tampilan yang harus dihindari di kehidupan modern ini. Karenanya, perempuan berlomba-lomba menjadi perempuan ala modern. Berbagai cara dilakukan, bahkan tidak jarang bagi perempuan yang jauh dari standar modern berusaha merombaknya dengan berbagai macam cara dan usaha.
2

Lihat lampiran I

Perilaku konsumtif masyarakat dimanfaatkan oleh industri kecantikan untuk mendapatkan keuntungan, Untuk mendapatkan konsumen dalam jumlah banyak, produk-produk kecantikan pun dipromosikan lewat iklan diberbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Di televisi contohnya, banyak sekali kita temui iklan-iklan yang menjual berbagai produk untuk perempuan. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mulai dari produk yang menawarkan bagaimana rambut menjadi hitam, rambut beruban diwarnai menjadi hitam kembali, bagaimana rambut rontok bisa berubah menjadi rambut yang kuat dan tebal. Bahkan tidak jarang produk yang menawarkan bagaimana warna rambut alami bisa berubah warna seperti halnya warna rambut orang-orang Barat, dirubah menjadi kuning, merah, biru, hijau dan aneka warna yang lain. Itu baru sebatas rambut, masih banyak lagi yang lainnya. Berbagai produk dengan obyek wajah juga ditawarkan kepada perempuan. Mulai dari bagaimana merubah wajah yang tadinya hitam, kumal bisa berubah menjadi putih nan bersinar, bagaimana merawat wajah agar tidak tumbuh jerawat, bagaimana wajah yang berjerawat bisa bersih dari noda jerawat. Bagaimana wajah berminyak bisa berubah tanpa minyak. Wajah yang kusam dan berflek hitam bisa berubah menjadi wajah yang bersih dari noda-noda hitam. Dan masih banyak lagi sisi-sisi yang lain dari tubuh perempuan yang bisa dijadikan lahan empuk dan menguntungkan untuk industri kecantikan. Produk-produk yang berpusat pada tubuh ini pada akhirnya membanjiri pasar, dan orang-orang pun berbondongbondong membeli, memiliki dan memakainya. Media massa, dalam hal ini sedemikian rupa terkontaminasi budaya Barat. Mereka berperan aktif dalam memprovokasi pembentukan paradigma ideal kecantikan. Dapat kita temui di berbagai iklan, promosi, produk jasa maupun industri, pariwisata sampai layanan informasi di berbagai media cetak maupun televisi; semua itu menampilkan perempuan cantik sebagai ikon. Ini meneguhkan mitos tentang kecantikan dalam masyarakat, khususnya tentang perempuan. Padahal, perempuan model di dalam berbagai media promosi tersebut hanya korban industri kapitalis. Mereka secara visual dijadikan komoditi untuk menarik konsumen. Yang terpenting, itu dapat meningkatkan angka keuntungan bagi pemilik modal. Sebagai contoh, salah satu

iklan produk pakaian pelangsing tubuh, memasang Aura Kasih sebagai modelnya.3 Sosok Aura Kasih yang memiliki postur tubuh tinggi, ramping dan seksi ditampilkan untuk menarik dan mengajak para calon konsumen untuk memiliki tubuh seindah sang artis. Setelah melihat iklan tersebut, diharapkan masyarakat tertarik untuk membeli dan menggunakan produk tersebut, meskipun pada kenyataannya mungkin tubuh indah Aura Kasih bukan diperoleh karena produk tersebut. Begitu luar biasa besar efek negatif sebuah iklan, sehingga mampu menumpulkan daya kritis masyarakat, khususnya para perempuan yang merupakan target pasar. Selain contoh iklan tersebut, masih banyak lagi iklan yang menggunakan model atau ikon untuk meyakinkan konsumen secara persuasif agar menjadi seperti sang model/ikon dari iklan tersebut.4 Melalui iklan kecantikan, biasanya ditampilkan sesuatu yang indah dan sempurna, yang menjadi impian semua orang. Biasanya iklan menekankan bahwa melalui produk tersebut, mereka dapat memiliki keindahan dan kesempurnaan yang ditawarkan, sehingga hal ini membuat mereka ingin mencapai apa yang divisualisasikan oleh iklan tersebut. Williamson (1978) dalam studinya tentang periklanan menerapkan konsep ideologisebagaimana yang didefinisikan Althusser--yang umumnya dipahami sebagai imaginary relationship of individual to their real condition of existence. Menurutnya, ideologi dalam periklanan menyempurnakan makna-makna dan gagasan dari pengalaman, seperti kecantikan, kesuksesan, kebahagiaan, ilmu pengetahuan terhadap produk-produk komersial yang ditujukan untuk konsumen. Menurut Pilliang (2004) Iklan menjadi sebuah jalan untuk menciptakan kondisi budaya atau sosial yang ideal dan menjadikan seseorang menjadi seperti yang diinginkan. Diri kita dibentuk ulang atau diubah oleh periklanan yang berujung pada terbentuknya suatu perasaan imajiner tentang kenyataan. Iklan menciptakan simulasi untuk menanamkan simbol-simbol dari objek dalam masyarakat. Pada awalnya, barang-barang ditampilkan berdasarkan kualitas material dan fungsinya. Kemudian secara bertahap, iklan akan menciptakan cara
3 4

Lihat lampiran II Lihat lampiran III

untuk membuat asosiasi dari tanda yang berasal dari objek dengan suatu gaya hidup atau dengan kehidupan sosial masyarakat. Sehingga yang ditekankan dalam iklan adalah, asosiasi objek dengan sesuatu yang diinginkan atau hasrat-hasrat dari masyarakat. Oleh karena itu, iklan sangat persuasif karena seringkali secara langsung mampu membidik hasrat-hasrat dari manusia. Iklan mampu menciptakan mimpi dan ilusi karena memunculkan gambar yang dimanipulasi. Hal tersebut digunakan untuk menciptakan realitas fantasi karena apa yang nampak di dunia nyata tidak lagi dianggap cukup efektif untuk memperoleh apa yang diinginkan. Sebagai hasilnya kita banyak melihat dalam iklan: anak yang tumbuh berukuran raksasa dalam waktu sekejap, produk yang bisa terbang, tampilan tubuh yang lebih ramping, kulit yang lebih putih, dsb.5 Gencarnya provokasi, mengakibatkan para remaja perempuan dan wanita dewasa bahkan ibu-ibu rumah tangga berlomba-lomba mengejar idealitas kecantikan, ibaratnya kacamata yang enggan untuk dilepas. Oleh karena pencitraan cantik yang demikian tentu berimplikasi pada paradigma kaum lelaki terhadap perempuan. Dengan demikian, kata cantik bagi perempuan berkembang menjadi semacam senjata andalan untuk menarik perhatian kaum laki-laki. Tidak heran begitu banyak perempuan yang rela memboroskan uang mereka untuk menggunakan jasa-jasa yang dapat merealisasikan idealitas itu. Tidak jarang perempuan rela melakukan apa saja demi menjadi cantik dan ideal. Padahal, biaya sekali kunjung ke klinik kecantikan tidaklah murah, dan sering kunjungan pertama akan merangsang kunjungan-kunjungan berikutnya, belum lagi produk-produk kecantikan yang harus dibeli. Representasi dan pencitraan tentang apa yang disebut cantik dengan berbagai pengkategoriannya adalah bagian cara membentuk kesadaran

kebudayaan yang kemudian bisa dinobatkan menjadi sesuatu yang sah dan benar dalam kesadaran umum masyarakat. Dalam pragmatisme pasar, kesadaran kebudayaan menjadi modal penting untuk mempengaruhi psikologi pasar. Kebutuhan untuk memburu apa yang disebut sebagai cantik dibangkitkan melalui berbagai diskursus yang ditujukan kepada massa. Lihat saja bagaimana
5

Lihat lampiran IV

cantik tiba-tiba bisa dikaitkan dengan nilai-nilai baru modern misal berkait dengan kepuasan diri, adaptasi jaman, kesehatan, kehormatan dan sekaligus kekuasaan. Sebagai entitas gaya hidup, penciptaan kebutuhan untuk mempercantik diri tidak hanya ditujukan pada hak esklusif seseorang seperti halnya kaum perempuan bangsawan jaman aristokrasi lama. Jika demikian, ia tidak akan meluas menjadi kesadaran gaya hidup massa. Sebagai contoh iklan produk sabun yang menggunakan citra modelnya yang mirip dengan Cleopatra, dalam iklan tersebut dikisahkan bahwa rahasia kecantikan kulit Cleopatra adalah madu. Hal ini kemudian dikaitkan dengan produk yang diiklankan, dimana kandungan yang terdapat dalam sabun tersebut adalah madu. Sehingga diisyaratkan bahwa dengan menggunakan produk tersebut, para konsumen akan mendapatkan kecantikan kulit seperti Cleopatra. 6 Pandangan kebudayaan tentang kecantikan tentu saja diarahkan kepada siapa saja dengan segala usia dan lapisan sosial yang ada. Seperti halnya kekuasaan pasar yang makin meluas dan sanggup menjangkau kebutuhankebutuhan subtil masyarakat. Hegemoni kapitalisme terhadap perempuan dilakukan lewat kultur dan nilai yang berlaku di masyarakat. Dalam era modern seperti sekarang, kultur dan nilai yang ada dalam masyarakat mulai dipengaruhi kultur dan nilai yang bersal dari luar sistem yang ada. Kaitannya dengan perempuan adalah pergeseran makna kecantikan bagi sebagian besar perempuan. Masuknya industri-industri yang memproduksi produk-produk kecantikan telah menggeser makna cantik bagi perempuan. Kecantikan dinilai dari seberapa putih kulit kita, seberapa ramping tubuh kita, seberapa mancung hidung kita, seberapa proposional bagian-bagian tubuh kita, dan lain-lain. Hal ini semakin membuat banyak perempuan terjebak dalam proses pemaknaan arti cantik bagi dirinya sendiri, ditambah banyaknya produk-produk yang menjanjikan kecantikan. Padahal produk-produk kecantikan yang disosialisasikan lewat berbagai media, merupakan hegemoni kapitalisme terhadap perempuan. Karena perempuan tanpa sadar dirayu untuk menerima pengaruh kapitalisme.

Lihat lampiran V

Hegemoni, seperti yang diungkapkan Antonio Gramsci, merupakan suatu mekanisme penguasaan suatu wilayah mental umum atau kesadaran yang lebih bersifat rayuan tanpa paksaan, hingga membentuk kesukarelaan. Hegemoni bekerja melalui saluran kultural. Dalam kebudayaan suatu mental dibentuk oleh adanya nilai yang dijunjung. Dalam lingkungan industri, misalnya kelas pekerja tanpa sadar telah menerima kebudayaan kapitalis yang pada akhirnya membuat mereka kehilangan kebudayaan kelas mereka sendiri. Dalam hegemoni, kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan. Hegemoni diterima sebagai sesuatu yang wajar, sehingga ideologi kelompok dominan dapat menyebar dan dipraktekkan. Dalam kaitannya dengan Industri kosmetik wanita, kapitalisme memang dinilai berhasil karena dapat melihat sasaran yang tepat untuk mengembangkan pengaruhnya. Industri kosmetik dapat menarik kaum perempuan tanpa sadar untuk mengeksploitasi diri mereka sendiri. Industri kosmetik menggunakan aparat kebudayaan seperti media iklan lewat surat kabar, televisi, internet untuk menarik minat banyak kaum perempuan di Indonesia. Sebagian besar perempuan berusaha untuk menjaga apa yang mereka sebut dengan kecantikan. Masing-masing orang memiliki pandangan tersendiri dari pemaknaan kata kecantikan. Namun, dengan perkembangan industri kosmetik dan media informasi, tanpa disadari menggeser makna cantik sebagian besar perempuan. Tanpa sadar para perempuan memaknai cantik sesuai dengan apa yang industri kosmetik tunjukkan dalam proses iklan. Ikon-ikon kecantikan yang berwujud bak bidadari, menjadi dambaan hampir semua perempuan. Maka tidak sedikit perempuan yang akhirnya mengeksploitasi diri agar tampak seperti bidadari. Terus berkembangnya industri kosmetik yang memanjakan perempuan tidak lepas dari semakin tinggi minat perempuan terhadap produk-produk yang ada. Di televisi, perang produk pelangsing dan pemutih kulit terlihat dalam iklan-iklan. Tentu saja hal ini dapat terjadi karena semakin banyaknya kaum perempuan yang berusaha mengeksploitasi diri untuk menjadi cantik dan sempurna. Hal ini yang menjadi sasaran empuk kaum industrialis untuk mendapatkan pasar.

10

Banyak iklan yang memperlihatkan produk kecantikan sebagai perlambang kecantikan yang alami. Pada awalnya mungkin tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut (kecantikan alami dan produk kecantikan). Namun akibat seringnya dua hal tersebut disandingkan, maka menimbulkan makna baru bahwa produk kecantikan yang diperlihatkan merupakan representasi dari kecantikan alami. Fenomena yang terjadi pada kebanyakan kaum perempuan ini menunjukkan bahwa makna yang sebelumnya tidak ada dapat diciptakan atau terbentuk dan kemudian dapat benar-benar dipercaya ada. Seperti yang Baudrillard katakan bahwa saat ini banyak tercipta apa yang disebut simulasi (simulacra), ruang pemaknaan dimana tanda-tanda saling terkait tanpa harus memiliki tautan logis.

B. Dampak Iklan Produk Kecantikan Bagi Kegiatan Konsumsi Masyarakat Sebelum membahas secara lebih jauh mengenai dampak produk kecantikan bagi kegiatan konsumsi masyarakat, terlebih dahulu kita bahas mengenai pengertian konsumsi dan konsumerisme. Konsumsi merupakan suatu proses perubahan yang secara historis dikonstruksi secara sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Baudrillard (2004), konsumsi bukan sekedar nafsu untuk membeli begitu banyak komoditas, satu fungsi kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri, kekayaan atau konsumsi obyek. Konsumsi berada dalam satu sistem, atau kode, tanda; satu tatanan manipulasi tanda, manipulasi obyek sebagai tanda; satu sistem komunikasi (seperti bahasa), satu sistem pertukaran (seperti kekerabatan primitif); satu moralitas, yaitu satu sistem pertukaran ideologis; produksi pembedaan; satu generalisasi proses fashion secara kombinatif, menciptakan isolasi dan mengindividu; satu pengekang orang secara bawah sadar baik dari sistem tanda dan dari sistem sosio-ekonomiko-politik dan satu logika sosial. Sedangkan konsumsi, menurut Yasraf7, dapat dimaknai sebagai sebuah proses objektifikasi, yaitu proses eksternalisasi atau internalisasi diri lewat objekobjek
7

sebagai

medianya.

Maksudnya,

bagaimana

kita

memahami

dan

Amir Piliang, Yasraf. Dunia yang Dilipat.180

11

mengkonseptualisasikan diri maupun realitas di sekitar kita melalui objek-objek material. Disini terjadi proses menciptakan nilai-nilai melalui objek-objek dan kemudian memberikan pengakuan serta penginternalisasian nilai-nilai tersebut. Objek-objek konsumsi telah menjadi bagian yang internal pada kedirian seseorang. Sehingga sangat berpengaruh dalam pembentukan dan pemahaman konsep diri. Misalnya seorang gadis akan merasa bahwa dirinya canti apabila memiliki kulit putih dan tubuh yang langsing. Produk kecantikan merupakan obyek konsumsi, yang akan membentuk identitas mereka. Sedangkan konsumerisme, telah menjadi ideologi baru yang secara aktif memberi makna tentang hidup melalui mengkonsumsi material. Bahkan ideologi tersebut mendasari rasionalitas masyarakat kita sekarang, sehingga segala sesuatu yang dipikirkan atau dilakukan diukur dengan perhitungan material. Ideologi tersebut jugalah yang membuat orang tak pernah lelah bekerja keras mangumpulkan modal untuk dapat melakukan kegiatan konsumsi. Ideologi konsumerisme, pada realitasnya sekarang telah menyusupi hampir pada segala aspek kehidupan masyarakat, mulai dari aspek politik sampai ke sosial budaya Sistem komunikasi mempunyai peranan penting dalam masyarakat konsumen. Karena sistem tersebut adalah perangkat vital dalam konstruksi realitas simbolis. Media massa berperan sangat signifikan untuk mentransfer dan menyebarkan nilai simbolis pada masyarakat. Sistem komunikasi berkembang semakin canggih dengan dukungan tehnologi komunikasi dan informasi. Inovasi tehnologi dalam bidang ini membuat produksi image dan komodifikasi nilai simbolis dari suatu objek menjadi semakin mudah dan cepat, bahkan instan. Teknologi juga meningkatkan kapasitas media massa, baik kualitas maupun jangkauannya dalam menyebarkan image kepada publik. Selain pada isi media massa, perkembangan yang pesat juga terjadi pada bidang pemasaran dan periklanan produk-produk konsumsi, yang mana diungkapkan bahwa budget belanja iklan dan penciptaan brand pada perusahaanperusahaan juga semakin bertambah besar. Biaya promosi justru seringkali lebih besar dari biaya produksi dari komoditas itu sendiri. Karena bagaimanapun, iklan masih dianggap dan terbukti menjadi metode promosi yang paling ampuh.

12

Periklanan menjadi semakin canggih dan persuasif belakangan ini. Jika kita mengamati bentuk-bentuk iklan saat ini, kita akan melihat visual iklan terkadang jauh lebih baik dari realitasnya, atau disebut juga hiperrealitas. Dalam bentuk apapun, iklan pasti menekankan apa yang bisa didapatkan atau diperoleh konsumen dari objek yang dikonsumsi. Periklanan biasanya memposisikan pemirsa untuk berpartisipasi dalam proses interpretasi berdasarkan asumsi palsu, memposisikan pemirsa untuk mengasumsikan ekuivalensi antara produk dan model yang glamor. Sebagai sistem penandaan, periklanan menyusun hubungan antara makna produk dan citra (image). Organisasi makna dalam iklan ditata dengan sejumlah kerangka. Mempelajari iklan adalah juga mempelajari kerangka makna. Semua makna dan aktivitas ada dalam konteks sosial, sebab makna selalu bersifat relasional dan kontekstual. Dengan kata lain, semua citra yang muncul dalam iklan telah dikerangka sedemikian rupa untuk kepentingan korporasi. Sebagai bagian dari industri kebudayaan, iklan memainkan peran sebagai apparatus untuk mengerangka makna dalam memasukkan nilai pada sebuah produk. Iklan mengatur, mengorganisir dan mengendalikan makna kedalam tandatanda yang dapat dimasukkan kedalam produk. Dengan cara ini, iklan terdiri dari sistem produksi tanda-tanda komoditas yang didesain untuk meningkatkan nilai tukar sebuah komoditas, dengan melakukan diferensiasi makna yang sesuai dengan masing-masing komoditas. Sebuah tanda komoditas merupakan citra yang disertakan pada sebuah produk, misalnya nilai guna fungsional jam tangan Rolex yang tidak hanya menjadi tanda kekayaan, tetapi juga secara sosial menandakan pentingnya waktu.8 Sebagai proses rasionalisasi secara institusional dalam mencocokkan makna pada komoditas, iklan mengurai makna pada unit-unit yang paling fundamental, penanda dan petanda dalam mencapai tujuan membuat diferensiasi tanda-tanda komoditas. Struktur internal tanda dibuat untuk beroperasi sebagaimana ekonomi politik dalam proses menyatukan penanda pada petanda yang dikendalikan oleh logika bentuk komoditas, yakni tujuan keuntungan.
8

Lihat lampiran VI

13

Kebudayaan konsumen dan media masa kini mempromosikan bukan hanya kecantikan sempurna yang ideal, namun juga gaya hidup material, yang umumnya disandingkan bersama, dan menyorot pada manfaat kecantikan dan kepemilikan barang material pada kesuksesan dan ketenaran seseorang. Fenomena seperti itu memberi peluang bagi perusahaaan produk-produk kecantikan yang melalui iklaniklannya di berbagai media massa untuk menawarkan produk kecantikan yang menjanjikan penyempurnaan bagi sesuatu yang yang dianggap sebagai kekurangan perempuan tadi. Contohnya produk yang dapat memutihkan kulit, melangsingkan tubuh, dan berbagai produk kecantikan lainnya sehingga perempuan makin terjebak dalam budaya konsumerisme yang sekedar untuk masalah kecantikan semata. Hal-hal seperti inilah yang bisa menjadi boomerang bagi perempuan yang hanya berperan sebagai objek pasar.Terjadi pergeseran nilai budaya dan kebiasaan konsumerisme didalam kehidupan bermasyarakat. Dengan menjamurnya industri kecantikan, maka menjadi konskuensi logis jika terjadi yang namanya konsumerisme. Kini dengan fenomena Narsisme menyebabkan dirak meja rias dan lemari perempuan -dan sebagian laki-lakitertata rapi peralatan rias tubuh seperti krim wajah, lipstik, parfum, kondisioner, bedak, gel, deodorant, mascara, minyak wangi, pemanjang bulu mata, penebal alis dan lain-lain. sehingga ketergantungan terhadap produk-produk kecantikan adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Industri kecantikan, seperti halnya industri yang lain, mengarahkan kebutuhan manusia sesuai dengan produk yang mereka sediakan melalui iklan. Iklan diselaraskan dengan kebutuhan-kebutuhan individu dan dengan barangbarang yang diproduksi oleh industri kecantikan. Dengan demikian industri kecantikan berusaha memanipulasi kebutuhan konsumen agar sesuai dengan apa yang mereka produksi. Aktifitas budaya konsumen diwadahi oleh berbagai media massa, terutama televisi dan kini dilengkapi oleh fasilitas internet. pada dasarnya, Keduanya merupakan media komersial. Media elektronik ini memiliki jangkauan distribusi yang luas dan cepat. Disamping itu memiliki posisi penting dalam memproduksi serta mereproduksi budaya promosi. Utamanya pada perefleksian citra visual guna

14

mengkreasikan berbagai branding beragam produk bernilai tambah. Disamping sejumlah tanda komoditas lainnya. Koektensif secara virtual dengan dunia produksi simbolis ditandai oleh fenomena budaya yang berupaya

mengkomunikasikan suatu pesan promosi. Konsumsi tidak lagi dimaknai hanya sebagai satu lalu lintas budaya material. Tetapi upaya ini merupakan panggung sosial yang memproduksi makna sosial yang kerap diperebutkan orang. Setiap orang yang terlibat persaingan dalam meraih satu posisi pada lokasi sosial tersebut. Budaya konsumerisme berkembang menjadi suatu lokasi dimana berbagai produk konsumen menjadi satu wahana pembentukan citra, gaya hidup, personalitas dan gaya. Dengan maraknya promosi, perempuan semakin terjebak pada

konsumerisme yang berlebih. Kapitalisme seakan sangat memanjakan perempuan sebagai seorang ratu yang mampu mengubah dirinya lewat produk-produk kecantikan. Iklan pun demikian, semakin gencar untuk menghegemoni perempuan agar bersedia untuk membeli dan menggunakan produknya. Walau tanpa disadari, perempuan telah dieksploitasi oleh kapitalisme. Kapitalisme mengeksploitasi perempuan, dan perempuan mengeksploitasi diri untuk mencapai kecantikan yang sempurna dengan menggunakan rasionalitas instrumental. Yaitu cara berpikir yang hanya memikirkan tujuan tanpa menimbang dan menilai cara yang digunakan. Dan pada akhirnya perempuan terjebak pada ketergantungan untuk mengeksploitasi diri lewat pemakaian produk-produk kecantikan. bahwa kata cantik yang disebarkan oleh kapitalisme lewat produk kecantikan telah memanipulasi banyak pikiran perempuan tentang diri mereka. Mereka berupaya memenuhi kriteria cantik yang ditayangkan oleh media, lewat penggunaan produk kecantikan. Upaya mempercantik diri, jika dilihat memang merupakan salah satu bentuk nalar instrumental. Di mana eksploitasi atas diri perempuan dilakukan untuk mencapai kecantikan. Dan pada akhirnya tidak sedikit nalar instrumental telah membawa masalah baru bagi perempuan. Masalah yang muncul dari upaya perempuan untuk mempercantik diri, misalnya anorexia akibat diet yang ketat untuk melangsingkan tubuh, kanker kulit akibat penggunaan kosmetik yang tidak aman bagi kulit, kerusakan jaringan kulit akibat suntikan

15

silikon cair, bahkan kematian akibat operasi bagian tubuh agar menjadi lebih proposional dan menarik.

16

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian mengenai konsumerisme dan kapitalisme dalam iklan produk kecantikan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Industri kecantikan berperan dalam membentuk persepsi kecantikan di masyarakat melalui iklan. Industri kecantikan berusaha merepresentasikan dan mencitrakan apa yang disebut sebagai cantik. Makna kecantikan yang ada dalam masyarakat telah dikuasai oleh media dan iklan. Hal ini telah mempersempit pengertian cantik yang lebih diartikan sebagai bentuk fisik. Hegemoni kapitalisme masuk melalui iklan dan menjadikan kaum perempuan sebagai sasarannya lewat penjualan mimpi untuk menjadi cantik lewat industri kosmetik. Pada akhirnya pergeseran makna kecantikan yang menjadi akibatnya. Hal ini dilakukan dengan

pembentukan kesadaran kebudayaan yang kemudian dijadikan sebagai sesuatu yang sah dan benar dalam pandangan umum masyarakat. Fenomena yang terjadi pada masyarakat, terutama kaum perempuan ini menunjukkan bahwa makna yang sebelumnya tidak ada dapat diciptakan atau terbentuk dan kemudian dapat benar-benar dipercaya ada. Dengan demikian terbentuklah standarisasi persepsi kecantikan dalam masyarakat. 2. Iklan produk kecantikan juga berdampak bagi pola konsumsi masyarakat, terutama kaum perempuan yang menjadi lebih konsumtif terhadap produk kecantikan. Masyarakat pun terjebak pada ketergantungan untuk mengeksploitasi diri lewat pemakaian produk-produk kecantikan.

Konsumsi menjadi terkonstruksi secara sosial, kebutuhan konsumsi masyarakat diarahkan sesuai dengan produk yang dihasilkan oleh industri kecantikan. Jadi konsumsi bukan lagi didasarkan kebutuhan, namun bergeser ke arah pembentukan citra dan gaya hidup, yang dalam hal ini berkaitan dengan kecantikan.

17

B. SARAN 1. Sebaiknya masyarakat lebih selektif dalam hal konsumsi, terutama yang berkaitan dengan produk kecantikan. 2. Sebaiknya kita lebih kritis terhadap berbagai pengaruh dari luar, berbagai pembentukan nilai dan citra yang kemungkinan dilatarbelakangi oleh motif-motif kapitalis.

18

DAFTAR PUSTAKA

Amir Piliang, Yasraf. 2004. Dia yang dilipat : Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung : Jalasutra Barker, Chris. 2004. Cultural Studies (edisi terjemahan Indonesia). Yogayakarta: Kreasi Wacana Baudrillard, Jean P. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogayakarta: Kreasi Wacana Chaney, David. 2009. Lifestyles Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra

19

Anda mungkin juga menyukai