Sejak abad ke 20 Plato diserang dari berbagai arah. Dalam tradisi filsafat misalnya, Nietzche
memandang Plato sebagai pemikir awal yang menyebarkan sumber nihilisme di Eropa.
Sementara Heidegger meyakini Plato telah melupakan pembicaraan Ada dalam filsafat,
dengan menyatakan bahwa Plato telah mengawali sejarah metafisikasejarah kelupaan akan
ada. Dan Delueze menyerang pemikiran Plato sebagai filsafat transendensi.3
Kritik besar-besaran pada pemikiran Plato juga bukan hanya hadir dalam tradisi filsafat. Dalam
lanskap sosial-ekonomi-politik, ajaran Plato tentang Negara yang Adil pun tidak lepas dari
kritikan. Adalah Karl Popper yang mengritik habis-habisan konsep Negara Adil Plato sebagai
sumber dari totaliterisme. Anggapan Popper ini didasarkan pada negara yang diideal-Idealkan
Plato, sebagaimana ia tulis dalam bukunya:
Analisa sosiologi Plato mempermudah penjelasan program politiknya. Tuntutan fundamentalnya
dapat ditunjukan dengan dua buah formula. Formula pertama berhubungan dengan teori
Idealisnya tentang perubahan dan kemandegan, sedangkan yang kedua berhubungan dengan
naturalismenya. Formula Idealisnya itu adalah: Hentikan semua perubahan Politik! Perubahan
adalah suatu kejahatan, kemandegan adalah kebaikan. Semua perubahan dapat dihentikan jika
negara itu merupakan salinan sempurna dari aslinya, yaitu Forma atau Ide kotanya. Jika timbul
pertanyaan bagaimana hal ini bisa dipraktikan, kita dapat menjawabnya dengan formula naturalis,
yaitu: Kembalikan ke kodrat! Kembali ke jaman asli leluhur kita, negara primitif yang sesuai dengan
kodrat manusia, dan oleh karenanya bersifat stabil; kembali ke bentuk patriarki tribal pra-
Kejatuhan, kembali ke hakikat pemerintah kelas di mana minoritas cerdik pandai memerintah
mayoritas rakyat yang dungu.4
Dari kutipan di atas, terlihat bagaimana alih-alih negara itu Ideal tapi ujungnya keidealan
tersebut bisa mewujud dalam sistem totaliter: ketika tidak ada pembebasan pada individu.
Negara Adil versi Plato selalu saja didasarkan pada kebenaran para penguasa Platonik (Raja
Filsuf).5 Hal ini yang menurut Popper akan berimplikasi bahwa otoritas kebijakan negara
hanya boleh muncul dari satu pihak: raja (sekaligus) filsuf.
Namun ada yang luput dari pembacaan Popper, Raja Filsuf tidak seperti yang dibayangkan
akan mengatur segala elemen dalam masyrakat. Sebab menurut George Klosko, Raja Filsuf
memerintah bukan untuk dirinya sendiri. Plato juga memiliki batasan pada tindak-tanduk
yang didaulatnya sebagai Raja Filsuf.
Di antara batasan itu misalnya: 1) Penguasa tidak boleh menjadikan wewenangnya untuk
memonopoli barang dan jasa milik kaum produktor (petani dan pedagang); 2) Negara Adil
1
Tulisan ini dibuat sebagai pembacaan ulang penulis pada asumsi Popper yang mengatakan bahwa Plato
adalah orang yang mengawali toteliterisme melalui sistem pemerintahan yang dipegang oleh Raja Filsuf di bab
8 dalam bukunya Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya.
2
Mahasiswa yang terus mencoba mengada dengan berdiskusi, menulis, dan membaca.
3
Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme, (Yogyakarta: Resist Book, 2011), hlm. 31
4
Karl Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Terj. Uzair Fauzan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 109
5
Ibid, hlm. 174
Di sisi lain, kaum pedagang secara naluriah adalah orang-orang yang menyukai uang (seks,
makan, minum) sehingga secara instingtif mereka tidak peduli pada urusan politik. Dari
penggambaran ini saja kita bisa mengandaikan, bahwa para pedagang tidak rela bertukar
posisi dengan Raja Filsuf.7 Sebab Raja Filsuf harus memiliki rasa pengorbanan diri yang justru
tidak ada dalam kelas bawah yang hanya melulu bicara persoalan epithumia.
Selain Raja Filsuf yang menjadi sasaran kritik Popper, ia juga memersoalkan kemandegan
sebagai sesuatu yang baik tinimbang perubahan. Menurutnya, Plato telah menahan
bahkan lebih parah tidak menghendakilaju perubahan dan mendasarkan sistem negara
yang Ideal hanya pada satu masa (dalam hal ini masa awal/dahulu).
Dari pendasarannya pada masa lampau, salah satu asumsi negara yang diidealkan Plato
berkaitan dengan pengontrolan ekonomi. Menurut Russell, sistem ekonomi Plato
menyarankan komunisme. Kendati komunisme yang digaungkan Plato hanya bertitik tolak
pada otoritas kelas pemimpin8 dan kelas serdadu.9 Otoritas inilah yang menghalangi
kebebasan individu,dalam kerangka Popperiannegara seolah menjadi alat represi yang
dikendalikan oleh Raja Filsuf. Tapi di balik kritik Popper atas Plato, saya melihat vis-a-vis
antara komunisme dan liberalisme.
Komunisme plato jelas didasarkan pada cara-cara kolektif dalam berkehidupan. Russel
menyontohkannya seperti hidup dalam asrama, makan bersama secara berkelompok, atau
mereka dilarang memiliki barang pribadi kecuali memang sangat dibutuhkan. Semuanya
diperuntukan untuk kemaslahatan umum.10
6
A. Styo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), hlm. 254-255
7
Ibid, hlm. 255
8
Dalam Popper disebut sebagai Raja Filsuf.
9
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik Zaman Kuno hingga
Sekarang, Terj. Sigit Jatmiko, dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 150
10
Ibid, hlm. 150
Dari kutipan di atas, beberapa tesis liberalisme Popper jelas bertentangan dengan konsep
kolektivisme Plato. Pertentangan itu bisa dilihat dari dua poin. Pertama, Plato mendukung
kemandegan, tapi Popper justru mengarah pada perubahan/perombakan. Kedua, Plato
mengusung kolektivisme, sementara Popper mendaulat kebebasan individuyang memuat
dasar-dasar liberalisme.
Berbeda dengan Popper, Alain Badiou justru melihat positif gagasan idea Plato. Idea Plato
inilah yang Badiou rekonstruksi menjadi kebenaran yang dibedakan dari opini umum
masyarakat tentang apa yang patut dan tidak. Badiou mencoba menghidupkan idealisme
melalui Plato, namun uniknya sambil memerjuangkan idea tentang kesetaraan radikal. Degan
kata lain, ia mencoba menghidupkan idea komunisme yang abadi dengan mewujudkan
beragam masyarakat tanpa kelas.12
Tapi pertentangan antara gagasan komunisme Plato versus liberalisme Popper bukan yang
akan saya persoalkan. Saya hanya menunjukan bahwa Popper pun tidak lepas dari ideologi
tertentu dan ia mencoba memangkas ideologi lain yang berseberangan dengannya:
komunisme. Tulisan ini akan menjadi pembacaan ulang saya pada Popper terkait tuduhan
totaliter atas Plato. Terutama saya akan banyak membahas konten-konten yang ada di bab
delapan (tentang Raja Filsuf) dalam bukunya, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya
(2008).
Pembicaraan Raja Filsuf dalam kerangka Platonian penting untuk dihubungkan dengan
rasionalitas instrumental. Karena di dalam tulisan ini kita akan membahas perbedaan
rasionalitas instrumental kelas-kelas yang telah disebutkan dalam Negara Adil versi Plato.
Dalam kajian sosiologi, kajian rasionalitas instrumental mengemuka pada pandangan Weber.
Menurutnya, tindakan sosial terbagi dalam empat bagian. Pertama, tindakan tradisional.
Dalam tindakan ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang
diperoleh nenek moyang, tanpa refleksi dan perencanaan yang sadar. Kedua, tindakan afektif,
yaitu tindakan yang didominasi perasaan atau emosi dan tanpa diiiringi perencanaan secara
sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional dan merupakan ekspresi emosional
dari individu. Ketiga, tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan sosial yang dilakukan
seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan
dan ketersediaan alat untuk mencapainya. Keempat, tindakan rasionalitas yang berorientasi
pada nilai, yaitu sifat rasionalnya bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan
dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya
dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Dalam artian tindakan-tindakan sosial
11
Karl Popper, Liberalisme Beberapa Tesis, dalam Liberalisme, Ed. Detmar Doering, versi pdf dari
http://bukuliat.blogspot.com, hlm. 8
12
Martin Suryajaya, Op.Cit,hlm. 35
Dari kacamata Weber ini, saya akan mencoba mengelaborasi bahwa anjuran Plato tentang
Raja Filsuf sebagai pemimpin itu dimungkinkan. Bagi Weber, tindakan rasionalitas
instrumental merupakan sebuah tindakan yang didasarkan pada pertimbangan sadar yang
berkaitan dengan tujuan dari tindakan itu sendiri.
George Klosko berpendapat, tiap kelas yang digambarkan Plato memiliki rasionalitas
instrumentalnya masing-masing. Kelas pedagang memiliki rasionalitas instrumental berupa
keutamaan keugaharian14 (mengarah pada pencarian keuntungan). Kelas tentara memiliki
keutamaan keugaharian dan keberanian, artinya rasionalitas instrumentalnya mengarah pada
pencarian keuntungan dan mementingkan nilai-nilai harga diri yang benar. Sementara kelas
penguasa (dalam hal ini Raja Filsuf) menjadi bijak karena rasionalitasnya juga mengukur
batas-batas pikirannya sendiri.15
Secara sederhana pendasaran Plato tentang Raja Filsuf yang menjadi pemimpin itu tidak salah
amat. Sebab rasionalitas instrumentalnya pun telah memenuhi kualifikasinya. Selama kaum
produktor dan tentara belum mencapai kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh Raja Filsuf
maka ia tidak berhak untuk menjadi penguasa negara. Dan perlu diingat walaupun Raja Filsuf
yang diperkenankan oleh Plato menjadi sang penguasa, mereka juga tidak boleh berbuat
sewenang-wenang. Mereka harus mendasarkan diri pada kemaslahatan umat. Karena jika
tidak mendasarkan diri pada kemaslahatan umat dan ujung-ujungnya bertindak sewenang
dewek, ini akan jatuh pada oligarki dan tiraniyang justru Plato pun telah mengritiknya.
Tentang pembagian kerja, lebih jelasnya lihat bagan di bawah:
Saya melihat konsep Plato ini bukan totaliterisme seperti yang dikatakan Popper. Tapi justru
spesifikasi kerja. Contoh konkretnya, jika kita tidak memiliki keahlian untuk membuat besi
13
Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial; dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, (Jakarta:
Yayasan Putaka Obor Indoneisia), cet. II, hlm. 144
14
Lebih jauh silahkan baca buku khusus Plato tentang keugaharian di Platon, Xarmides: Keugaharian,
penerjemah dan penafsir A. Setyo Wibowo, (Yogyakarta: Kanisius).
15
George Klosko, The Development of Platos Political Theory dikutip dari A. Setyo Wibowo, Op.Cit, hlm.
Contoh lainnya, apakah militer seperti Menwa di UIN SGD Bandung berhak menjadi para
pemimpin? Jika kita memakai konsep Plato jawabannya jelas tidak bisa. Sebab Menwa
katakanlah hanya memiliki keugaharian dan keberanian. Menimbang peristiwa G 30 S saja
hanya berdasarkan satu film (Film G 30 S/PKI garapan Arifin C. Noer) bagaimana mereka bisa
merengkuh kebijaksanaan! Jalas, dalam konsepsi ini Menwa hanya bisa ditaruh di posisi para
penjaga.
Alih-alih memandang konsep ini sebagai totaliter justru saya melihatnya sebagai tawaran
spesifikasi kerja di abad pra masehi. Durkheim sebenarnya telah panjang lebar bicara tentang
spesifikasi kerja dalam bukunya yang terkenal The Division of Labour in Society. Menurutnya
pembagian kerja hadir menjadi sesuatu yang niscaya dalam masyarakat organik.16
Di dalam kajian sosiologi organisasi, spesifikasi kerja terbentuk karena masyarakat atau
kelompoknya itu heterogen. Ciri dari masyarakat homogen umumnya kurang memiliki konflik
antar sesama, hanya sedikit perbedaan pendapat di antara anggota kelompok, komunikasi
yang mengandalkan perasaan dan lebih banyak interaksinya. Sementara ciri masyarakat
heterogen memiliki intensitas konflik yang tinggi, interaksinya sedikit, serta memiliki banyak
perbedaan pendapat di antara anggota.17
Karena masyarakatnya heterogen maka akan lebih bermanfaat jika tugas-tugasnya itu
kompleks, kolektif, membutuhkan kreativitas tinggi, dan memerlukan penyelesaian yang
cepat.18 Bila kita relasikan pada konsepsi Plato, maka terlebih dahulu kita harus mengajukan
pertanyaan: Apakah masyarakat Athena saat itu dalam posisi heterogen sehingga memantik
Plato untuk mengeluarkan ajaran tentang Raja Filsuf?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita simak dulu dengan seksama sejarah
kemunculan ajaran-ajaran Plato ini dari uraian Setyo Wibowo ketika mengisi ceramah tentang
Platonisme di Salihara tanggal 19 Maret 2016:
Platon lahir di Athena tahun 428/427 SM, dan meninggal di Athena juga pada tahun 348/347
SM pada usia 81 tahun. Ia hidup persis di periode ketika polis (kota/negara) Athena yang
demokratis pelan-pelan meredup sebelum akhirnya nanti dikalahkan oleh Philippos Makedonia,
ayah Alexander Agung, sepuluh tahun setelah kematian Platon (tahun 338 SM).
16
Ritzer George, Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Terj.
Saut Pasaribu dkk, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 148. Untuk mempermudah pembacaan
Durkheim dan bagaimana relasi agensi pada struktur sosial silahkan baca Tony Rudyansjah, Emile Durkheim:
Pemikiran Utama dan Percabangannya ke Redcliffe-Brown, Fortes, Levi-Strauss, Turner, dan Holbraad, (Jakarta:
Kompas, 2015).
17
Alo Liliweri, Sosiologi dan Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 24-25
18
Ibid, hlm. 24
Dari uraian di atas saya mencatat ada keheterogenan di Athena. Sehingga dalam kerangka
sosiologi organisasi jika kelompok ingin lebih bermanfaat maka kerja-kerja anggota dalam
kelompok itu harus dispesifikasikan dan dikolektifkan. Spesifikasi dan kolektifisasi itulah yang
tercermin dari ajaran-ajaran Plato (tentang tiga kelas) seperti yang telah dibahas sebelumnya.
Untuk menguatkan bahwa saat itu Athena telah heterogen saya catatkan dalam beberapa
poin.
Disamping keheterogenan Athena waktu itu, tuduhan totaliterisme pada Plato yang dilakukan
Popper juga seperti membabi buta. Popper memukul rata ajaran Plato bahwa ia adalah dalang
di balik ide-ide totaliter. Padahal jika kita lihat pada bentuk-bentuk toliter pun bergam.
C. C. W. Taylor tidak memungkiri bahwa Plato bersifat totaliter, tapi jenis totaliternya belum
jelas seperti apa. Berawal dari itu Taylor berangkat dari tiga jenis totaliter sesuai dengan
tahapannya. Pertama, totaliterisme ekstrem, individu dikebawahkan dan menjadi eksploitasi
negara, contoh fiktifnya negara Oceania dalam novel Orwell, 1948; contoh konkretnya adalah
Nazi yang memiliki anti-humanis, anti-individu, dan anti-rasional. Kedua, totaliterisme lunak
yang mempunyai anggapan bahwa visi Negara sebagai kesatuan organ di mana individu bukan
menjadi sarana, karena individu bekerja keras demi negara itu sendiri. Ketiga, paternalisme,
di mana prioritas ada pada individu.19
Lalu di mana posisi Plato di balik ketiga bentuk totaliterisme itu? Menurut Taylor, pemikiran
Plato sesungguhnya hanya paternalisme dan bukan totaliterisme ideologis. Ajaran Plato
hanya didasarkan pada pengetahuan orang yang lebih tahu pada pengondisian negara. Di titik
ini, Plato tidak bisa disebut totaliter sebagaimana yang dituduhkan Popper.
Maka tidak ada bias bahwa kebahagian seolah-olah adalah kebahagian para Raja Filsuf yang
harus diterapkan bagi seluruh anggota lainnya. Kebahagian para filsuf dan kelas lainnya
dilakukan secara bersama-sama. Pada tataran praktisnya, para penjaga hanya memiliki
communal property dan communal family. Hal itu dilakukan bukan untuk keuntungan sempit
para penjaga, tapi agar mereka tidak mengganggu kepentingan Negara (bersama). Sementara
tanah dan property hanya dimiliki kelas bawah.
Kenapa Plato di sisi lain merujuk pada Sparta dibanding Athena? Karena Sparta sendiri pun
justru menerapkan gagasan yang sepertinya sama dengan ajaran Plato. Konstitusi Sparta
melarang warga Negaranya memerjualkan tanah. Bahkan private property diperbolehkan
dipakai secara bersama-sama walaupun hakikatnya tetap dimiliki oleh pribadi (dimiliki kelas
bawah).
Di sisi lain, Popper juga salah mengartikan kebahagiaan Platonik, menurutnya kebahagian
Plato lebih bersifat abstrak, sebuah happiness of the whole yang berdiri sendiri
mengorbankan individu-individu lainnya. G. Vlastos jelas tidak sepakat dengan argumen
Popper ini, dengan teliti ia menunjukan kesalahan pengambilan keputusan Popper tentang
happiness dalam buku The Republic. Menurut Vlastos happiness Plato bukan happiness of the
19
A. Setyo Wibowo, Op.Cit, hlm. 247
Konsep kelas dan korat sebenarnya bukan diawali oleh Plato. Adalah Orakel Delphoi dan
pembicaraan moralitas baru yang jauh mendahului ajaran kelas dan kodratnya Plato. Konsep
itu dinamakan Isonomia, yakni pembagian time (martabat) bagi setiap orang sesuai dengan
porsinya. Isonomia sebenarnya hadir dari mitologi Yunani, yakni suatu kepercayaan yang
didasarkan pada dewa-dewi Yunani. Saat itu, kedudukan peramal (orakel) menempati posisi
sentral dalam kehidupan keberagamaan orang Yunani.21 Ada beberapa situs peramal yang
terkenal, seperti Delphoi, Dodona, dan Lebadea. Tetapi situs yang paling terkenal saat itu
adalah kuil Apollo di Delphoi. Kisah keterkenalan Delphoi sebagai tempat ramal sebenarnya
sudah dimulai sejak Agamemnon, raja Argos, meminta nasihat peruntungan kaum Yunani
dalam perang Troia.22
Pembagian time juga turut hadir dalam ajaran-ajaran Plato yang bisa dilihat dari perdebatan
Sokrates bersama lawan debatnya. Salah satu lawan debat Sokrates saat itu yang gigih
memertanyakan konsep Raja Filsuf Sokrates adalah Glaukon. Ia kemudian mengajukan
pertanyaan pada Sokrates: mungkinkah polis ideal itu terengkuh? Atau hanya itu merupakan
politik Sokrates? Dan bagaimana langkah konkret menuju polis ideal itu? Untuk menjawab
pertanyaan dari Glakoun tersebut, Sokrates menekankan kehadiran Raja Filsuf sebagai solusi
merengkuh polis ideal. Hal itu seperti yang dicatat oleh Plato dalam Poleiteia:
Sampai ... para filsuf menjadi raja dalam negeri kita dalam mereka yang sekarang kita sebut raja
(basils) dan tuan (dunastai) mempelajari filsafat sungguh-sungguhsehingga terwujud rangkaian
antara kedua hal ini, yakni kekuatan politik dan filsafat (dumanis te politik kai philosophia)...
tak akan ada akhir masalah-masalah, Glaukon yang baik, di negeri kita ataupun, aku rasa, bagi
seluruh umat manusia. Sebelum hal itu terjadi, tak akan ada kesempatan bagi konstitusi yang telah
kita ungkapkan dalam teori untuk dipraktikan dalam batas-batas kemungkinan dan mewujud.
(Republic 473c9-e2)23
Dari pernyataan tersebut jelas melihat bahwa Raja Filsuf menjadi tonggak satu-satunya
kepemimpinan yang ada di suatu negara. Jika dihubungkan dengan model emansipasi Alegori
Gua dalam konteks pemikiran konstitusi Plato, kita akan mengetahui bahwa pembebasan itu
bisa dilakukan oleh orang yang berpengetahuan. Sebab dalam lanskap Plato, seorang
pemimpin politik adalah orang yang tahu cara mengurus polis. Demikian juga dalam Alegori
20
A. Setyo Wibowo, Op.Cit, hlm. 263-264
21
Bedakan dengan pendapat Plato, posisi sentral negara itu justru ada di tangan Raja Filsuf.
22
Martin Suryajaya, Sejarah Pemikiran Politik Klasik: Dari Prasejarah hingga Abad ke-4 M, (Tangerang:
Marjin Kiri, 2016), hlm. 52-53
23
Dikutip dari Ibid, hlm. 159
Kalau memang seperti itu apakah tuduhan Popper benar bahwa orang yang dianggap
memiliki pengetahuan bisa menimbulkan totaliterisme? Memang, Plato mendasarkan negara
dipimpin oleh orang-orang terbaik (dalam hal ini Raja Filsuf). Tetapi bagi Plato, orang-orang
baik itu juga tidak boleh bertindak semena-mena. Kenapa bisa seperti itu? Mari kita baca dari
yang disebut Plato sebagai degenerasi.
Walaupun ketiga bentuk pertama bisa digolongkan pada oligarki, yakni pemerintahan oleh
sebagian orang. Tapi Plato memiliki pengertian sendiri atas nama-nama tersebut. Aristokrasi
dalam versinya bukan pemerintahan yang dipimpin kaum bangsawan, melainkan oleh kaum
terbaik. Mungkin kata aristos sendiri yang bisa diterjemahkan pada baik atau bangsawan.
Maka tak aneh jika ada komentator yang bernama Laks, menyebut pemerintahan terbaik
Plato itu bukan aristokrasi tapi nookrasi.25
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa tuduhan totaliter Popper bisa diragukan. Karena
konsep aristokrasi Plato bukan aristokrasi seperti biasanya. Aristokrasi Plato adalah nookrasi,
di mana kerja kenegaraan itu terspesialisasi sesuai kemampuan anggota yang ada dalam
negara itu.
24
Lebih jauh coba baca Popper tentang perubahan dan kemandegan, Op.Cit, hlm. 47-72
25
Martin Suryajaya, Sejarah..., Op.Cit, hlm. 164