Anda di halaman 1dari 3

EMANSIPASI atau EKSPLOITASI

Oleh
Akhmad Nurhudah

 “Semestinya…kita bertanya apakah siap hidup serasi dengan kaum pria


— hidup yang didasarkan pada saling menghargai perbedaan masing-
masing, namun juga saling mengakui betapa kita saling membutuhkan dan
saling menginginkan.”
(Danielle Crittenden)

“Wanita dijajah pria sejak dulu”, begitu salah satu bait syair lagu yang popular di Indonesia.
Syair ini menyadarkan kita bahwa eksploitasi wanita telah berjalan sistematis dari masa ke masa.
Uniknya eksploitasi ini muncul dalam beragam bentuk yang terkadang tidak disadari oleh wanita itu
sendiri. Jika, wanita masa Ibu Kartini, dipaksa menjual harga dirinya kepada Belanda, wanita kini
dengan rela menjual segalanya demi uang sekian juta. Jika, Ibu Kartini di zaman Belanda berusaha
menyadarkan wanita dari kebodohan dan penjajahan, maka ‘Kartini’ sekarang mesti menyadarkan
wanita bahwa dirinya lebih terhormat daripada uang sekian juta.
Raden Ajeng Kartini adalah simbol perjuangan Wanita Indonesia. Beliau juga merupakan
pelopor dari gerakan emansipasi Wanita. Ia dengan gigih membela dan memperjuangkan hak-hak
kaum Wanita. Serta, beliau rela berdiri dipaling depan demi menyuarakan bahwa Wanita berhak
bebas dan terlepas dari belenggu kaum penjajah. serta Wanita tak semestinya dijajah oleh kaum Pria.
Kebebasan Wanita pada saat itu sangat dibatasi. Budaya patriarki sangat didewakan pada
masa itu. Kedudukan dan derajat Wanita dianggap lebih rendah daripada Pria. Oleh karena itu,
mereka tidak memiliki kebebasan sebagaimana yang dimiliki oleh kaum Pria. Baik itu kebebasan
mengeyam pendidikan, kebebasan bekerja, kebebasan memiliki jabatan bahkan kebebasan atas
pendapat. Semua hal tersebut tidak dimilik oleh kaum Wanita.
Atas dasar itulah Raden Ajeng Kartini sebagai seorang gadis yang dilahirkan di lingkungan
priayi dan dari keluarga yang maju. merasa bahwa dirinya harus membawa kaumnya dari belenggu
adat istiadat masyarakat, yang berpendapat bahwa “Derajat Wanita itu lebih rendah daripada kaum
Pria”. Kartini mengawali perjuangannya dengan mencoba mendirikan sekolah untuk anak-anak gadis
di kota kelahirannya Jepara. Ia merasa bahwa ia harus mengangkat derajat dan martabat seorang
wanita melalui ilmu pengetahuan. Berbekal tekad dan kemauan keras ia terus berupaya dalam rangka
memperbaiki nasib kaum wanita disekitarnya. Dari hal itulah Kartini terus tergerak hatinya untuk
membawa perubahan dan mengupayakan gerakan emansipasi Wanita pada saat itu.
Zaman yang serba modern ini, gerakan emansipasi telah banyak dilakukan oleh kaum Wanita
di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Kedudukan Wanita dan Pria pada masa ini sangat jauh berbeda
dari masa lampau. Bahkan tidak jarang kedudukan Wanita justru lebih tinggi daripada Pria. Dan tidak
sedikit pula Wanita-wanita yang berprestasi dan mengharumkan nama Indonesia. Melihat hal yang
demikian tentu, Wanita saat ini tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Seiring perkembangan zaman
itulah, Wanita Indonesia dapat mensejajarkan diri mereka dengan kaum Pria dari berbagai bidang
kehidupan, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan lain sebagainya. Kartini masa kini
adalah sebutan yang paling cocok disandang oleh wanita Indonesia saat ini.
Kartini masa kini adalah orang yang mandiri, baik secara finansial maupun dalam
keperibadian. Serta mereka memiliki kecerdasan dan daya guna. yang artinya, mampu memberikan
manfaat, baik itu untuk diri mereka sendiri maupun untuk lingkungannya.
Akan tetapi, sesuai kodratnya sebagai seorang wanita, mereka memang diciptakan berbeda
dari kaum Pria. Dalam ber-emansipasi, bukan suatu kesalahan sebagai seorang Wanita berpendidikan
tinggi. Dan, memiliki derajat yang lebih tinggi daripada Pria. Namun, bukan juga suatu keharusan
seorang Wanita menjalani hidupnya dengan tanggung jawab bekerja ataupun melakukan tugas-tugas
yang seharusnya dilakukan oleh kaum Pria. Selama wanita itu belum memiliki pasangan hal itu
mungkin dapat ditoleran. Namun, akan berbeda cerita jika Wanita tersebut sudah memiliki pasangan
hidupnya.
Tantangan yang akan dihadapi oleh kaum Wanita saat ini dalam ber-emansipasi, yakni harus
menjalankan peran ganda tanpa harus meninggalkan kodratnya sebagai seorang Wanita. Disatu sisi,
Wanita dituntut untuk selalu “produktif” dalam karir maupun kehidupan bermasyarakatnya. Namun,
di sisi lain bagi seorang Wanita yang belum memiliki pasangan mereka harus mengabdi pada orang
tua. Dan jika telah memiliki pasangan hidup, Wanita dituntut mengabdi pada suami. Serta menjadi ibu
dan panutan bagi anak-anaknya kelak. Hal itulah yang akan menjadi tantangan terbesar bagi kaum
Wanita.
Jika dahulu kala, wanita disimpan sebagai untuk memuaskan pria, kini ia dipajang dalam
iklan untuk memuluskan komoditas yang dipasarkan, bahkan tak jarang wanita itu sendiri telah
menjadi komoditas yang diperdagangkan. Bukankah mobil mulus akan terlihat lebih indah jika
diduduki wanita mulus? Bukankah rokok akan lebih laris jika dijajakan oleh wanita yang menantang?
Tidakkah minuman akan lebih menarik jika memperlihatkan sedotan wanita? Begitulah, dengan
kemasan yang apik, para pencipta citra dan pelaku bisnis memanfaatkannya dan mempublikasikan
sederetan istilah untuk mempengaruhi persepsi manusia, khususnya wanita. Istilah ‘menarik’,
‘cantik’, ‘anak gaul’, ‘gengsi’, ‘gokil’, dan seabrek lainnya, menjadi trend perkembangan zaman dan
pergaulan, sehingga kita seolah terasing jika tidak ikut dalam arus itu. Hasilnya, jiwa materialisme,
konsumerisme, dan hedonisme menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan.
Secara cermat, kita melihat bahwa eksploitasi terhadap wanita diterapkan secara dalam dan
sitematis baik dengan kajian teoritis maupun budaya yang praktis. Secara teoritis, doktrin-doktrin
agama ditafsirkan sedemikian rupa oleh sekelompok orang untuk mendudukan posisi wanita di bawah
kendali laki-laki. Sederet teks-teks sakral dikumpulkan untuk membuktikan bahwa pesan-pesan
Tuhan memang memihak laki-laki dan menempatkan perempuan sebagai makhluk yang harus
diwaspadai, dimarahi, dan dijadikan abdi laki-laki. Adapun secara ilmiah, para ilmuwan menciptakan
sekumpulan teori yang mendukung mitos-mitos tentang perempuan, seperti perempuan itu rendah
akalnya, misterius sifatnya, ditakdirkan untuk mengabdi pada laki-laki, dan tidak kuat fisiknya.
Untuk menghapus semua kesan hina ini, memancarlah semangat mendunia yang
menghembuskan isu kesetaraan gender atau emansipasi. Suara-suara yang saling sambung antar
generasi ke generasi memberikan andil bagi pembentukan opini dunia terhadap peran dan kedudukan
wanita dalam seluruh struktur kehidupan manusia, baik agama, budaya, sosial, ekonomi, maupun
politik. Tak urung, sebagai realisasi ide tersebut telah terbentuk gerakan sejagat untuk mengangkat
harkat dan martabat wanita yang sepanjang hayat keberadaanya selalu tertindas sebagai makhluk
setengah jadi  dan warga kelas dua di bumi ini.
Terlebih lagi, abad modern belakangan ini dianggap sebagai abad kesadaran untuk
menciptakan hubungan yang harmonis antara pria dan wanita. Ramalan John Naisbitt dan Patricia
Aburdene dalam buku Megatrend 2000 tampaknya benar, bahwa wanita akan mengambil semua
peran dalam berbagai lini kehidupan. Karena itu, perbincangan tentang wanita telah menjadi bagian
dari kajian filsafat, sains, bahkan agama. Corak pandangan berkembang, mulai dari yang
menghinakan hingga yang memuliakan.
Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa pria dan wanita adalah berbeda. Banyak penelitian
dan buku ditulis untuk membuktikannya. Perbedaan itu tidak hanya menyangkut jenis kelamin saja,
tetapi juga faktor-faktor lain yang melekat pada keduanya. Namun, perbedaan tersebut bukanlah ingin
menunjukkan kekurangan dan ketidaksempurnaan pada salah satunya, tetapi sebaliknya, itu
merupakan hikmah penciptaan dan karya utama alam dalam menjaga keseimbangan dan hubungan
timbal balik antara pria dan wanita, yang dalam ungkapan Danielle Crittenden, ‘semestinya…kita
bertanya apakah siap hidup serasi dengan kaum pria-hidup yang didasarkan pada saling menghargai
perbedaan masing-masing, namun juga saling mengakui betapa kita saling membutuhkan dan saling
menginginkan.” (Crittenden, 2002: 238)
Tidak ada manusia yang meminta dirinya menjadi pria atau wanita. Jenis kelamin, merupakan
ketetapan ilahiah yang bekerja dengan sistem keadilan dan kebijaksanaan Tuhan. Karenanya, Tuhan
Sang Pencipta, tidak mempersoalkan manusia dari sisi fisikal ini, melainkan lebih melihat inti
keberadaan manusia sebagai makhluk yang berakal dan memiliki sisi ruhaniah yang suci.
Kesempurnaan manusia, tidaklah dipandang dari sudut biologis dan anatomi tubuhnya, melainkan dari
psikologis dan konstruksi ruhaninya.
Dengan demikian, wanita memiliki andil setara dengan pria dalam menggapai kesempurnaan
diri dari seluruh aspeknya, karena ruhani manusia tidak memiliki label jenis kelamin. Artinya, hakikat
kemanusiaan bukanlah pria dan bukan pula wanita. Melainkan, sejauh mana aktualisasi potensi
kemanusiaanlah yang menjadi ukuran derajat manusia di sisi Sang Pencipta. Sudah mafhum secara
umum, bahwa secara normatif Kitab Suci  banyak membicarakan wanita-wanita mulia yang melebihi
kaum Adam. Kita mengenal Maryam Ibunda Nabi Isa as, Ratu Bilqis, Ibunda Nabi Musa as, Khadijah
istri Rasulullah saaw, dan Fatimah al-Zahra ummu abiha dan sebagainya.
Jika kita memahami secara jeli, kemuliaan mereka bukan hanya karena ritual agama yang
istiqamah (terus menerus), tetapi juga karena peran mereka di ranah publik dalam memperbaiki
masyarakat, melawan kekuasaan zalim, mendidik, serta partisipasi sosial- politik dan keagamaan.
Karena itu, sebagai upaya untuk kembali mengaktualkan peran wanita, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan, diantaranya: Pertama, melakukan berbagai kajian sistematis dengan mengaktifkan
perempuan untuk mengenal dan memahami diri sendiri. Kedua, menentang segala bentuk usaha
diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan baik yang dilakukan dalam keluarga, masyarakat,
maupun dalam pekerjaan. Ketiga, melakukan redefenisi dan rekonstruksi pandangan manusia tentang
kemuliaan wanita. Keempat, reinterpretasi (menafsirkan kembali) doktrin keagamaan mengenai
perempuan secara kritis dan objektif. Dengan usaha dan kerja keras, mudah-mudahan kita dapat
merubah tangisan “Kartini” menjadi seyuman bahagia. 
Guru Smanggar

Anda mungkin juga menyukai