Anda di halaman 1dari 7

Perempuan dan Feminisme: Menyelami Pemikiran dan Gerakan RA Kartini

Oleh: Dinita Ayu Novela

Kecerdasan pemikiran Bumiputera tidak akan maju jika perempuan ketinggalan dalam usaha
itu. Perempuan adalah pembawa peradaban.
RA Kartini

Perempuan dan Feminisme


Secara etimologis, kata perempuan memiliki arti “empu, tuan, penyokong, sokong, puan,
dan pengampu”. Sementara itu menurut bahasa sanskerta, kata perempuan muncul dari kata per +
empu + an. Per memiliki arti makhluk dan Empu berarti mulia, tuan, atau mahir. Zoetmulder
menambahkan bahwa kata perempuan berasal dari kata mpu, empu, ampu, artinya orang yang
terhormat; tuan; atau yang mulia.1 Dengan demikian perempuan dimaknai sebagai makhluk yang
memiliki kemuliaan atau kemampuan.
Berbicara mengenai perempuan sepertinya tidak akan pernah habis. Seiring dengan
berjalannya waktu, pemaknaan perempuan mulai bergeser. Stigma manusia lemah, dependen dan
tidak lebih hebat dari laki-laki masih sering dilekatkan pada sosok perempuan. Padahal laki-laki
dan perempuan adalah sama dalam hal kemanusiaan. Hak antara perempuan dan laki-laki adalah
setara. Hal itulah yang diamini feminisme, yaitu menempatkan perempuan sebagaimana mestinya
perempuan ditempatkan setara dengan laki-laki dalam hal kemanusiaan. Perempuan berhak untuk
berkarya di berbagai bidang, berhak untuk bekerja, mencari uang, memimpin, mendapat
pendidikan tinggi, dan lain sebagainya. Hal ini selaras seperti apa yang dikatakan oleh Saparinah
Sadli.
Perempuan dengan kodratnya mempunyai potensi untuk mengembangkan sifat-sifat yang
diperlukan sesuai dengan pilihannya tentang berkeluarga dan berkarya. Oleh karena itu,
kurang relevan untuk mempertentangkan antara karier dan keluarga. Keduanya—sebagai
suatu pilihan—membawa sebuah tanggung jawab. Sudut pandang yang memilah-milah, ini
urusan perempuan dan itu urusan laki-laki, sebenarnya membuat kita merugi. Kita
mengabaikan setengah potensi bangsa ini, yang mempunyai kemampuan sama untuk
mencapai cita-cita masyarakat madani.2

1
Dipa Nugraha, “Perempuan, Wanita, atau Betina?”
(https://www.researchgate.net/publication/275034845_Perempuan_Wanita_atau_Betina/link/553023580cf27acb0de
85478/download, diakses pada 19 Juni 2020)
2
Saparinah Sadli, Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan, (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2010), h. xiii.
Selain itu, dalam konsep gendernya dikatakan bahwa perbedaan suatu sifat yang melekat
baik pada kaum laki-laki maupun perempuan merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural.
Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, kasih sayang, anggun, cantik, sopan, emosional
atau keibuan, dan perlu perlindungan. Sementara laki-laki dianggap kuat, keras, rasional, jantan,
perkasa, galak, dan melindungi. Padahal sifat-sifat tersebut merupakan sifat yang dapat
dipertukarkan. Berangkat dari asumsi inilah kemudian muncul berbagai ketimpangan diantara
laki-laki dan perempuan.
Konstruksi sosial yang membentuk pembedaan antara laki-laki dan perempuan itu pada
kenyataannya mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan. Pembedaan peran, status,
wilayah, dan sifat mengakibatkan perempuan tidak otonom. Perempuan tidak memiliki kebebasan
untuk memilih dan membuat keputusan baik untuk pribadinya maupun lingkungan karena adanya
pembedaan-pembedaan tersebut. Berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan tersebut
adalah, subordinasi, marginalisasi, stereotipe, beban ganda dan kekerasan terhadap perempuan.
Melihat kenyataan yang ada mengenai beberapa isu tentang perempuan dalam berbagai
aspek yang termaktub diatas, mempengaruhi munculnya gerakan yang menuntut hak-hak terhadap
perempuan. Salah satunya yaitu lahirnya feminisme yang digunakan sebagai nama untuk sebuah
gerakan sosial yang mengusung tentang hak-hak perempuan di Seneca Falls, New York oleh
Elizabeth Cady Stanton dan kawannya, Susan B. Anthony pada tahun 1848. Elizabeth Cady
Stanton dan kawannya, Susan B. Anthony adalah yang pertama kali melakukan pengorganisasian
gerakan sosial perempuan di abad ke-19 yang berjuang untuk penghapusan perbudakan di Amerika
Serikat dan hak perempuan untuk memilih. Gerakan ini kemudian disebut sebagai feminisme
gelombang pertama. Maka tak hayal jika ada yang menyebutkan bahwa feminisme dikatakan lekat
dengan perempuan. Hal tersebut dikarenakan memang pada awal kemunculannya feminisme
selalu tentang perempuan.
Menurut Nadya Karima Melati, satu abad berikutnya, perjuangan pergerakan perempuan
yang bernafas dalam ideologi sosialisme diusung oleh feminis Eropa seperti Clara Zetkins, Rosa
Luxemburg, dan Emma Goldman. Semangat feminisme dan pembebasan terhadap perbudakan dan
penjajahan kemudian menular ke negara-negara Asia dan Afrika yang berada di bawah penjajahan
beberapa negara Eropa pada awal abad ke-20. Pemikiran tentang hak-hak perempuan mendapat
pengaruh dari munculnya pemikiran Abad Pencerahan tentang individu, negara, dan hak asasi
warga negara.3
Pada abad yang sama, Indonesia masih berupa wilayah kerajaan-kesultanan dan kesadaran
tentang sebuah bangsa belum terbentuk. Setelah tahun 1900an, muncul ide tentang bangsa dan
kebebasan dari penjajahan yang nantinya hadir dalam benak para pendiri bangsa Indonesia. Salah
satu tokoh feminis RA Kartini misalnya, dalam surat-suratnya yang dibukukan berjudul Habis
Gelap Terbitlah Terang memberikan fondasi awal tentang imajinasi kemerdekaan bangsa
Indonesia. Buku tersebut merupakan kurasi dari surat menyurat Kartini dengan Stella Zeehandelar,
seorang feminis sosialis dari Belanda.
Ketika paham sosialisme menyeruak di parlemen Belanda pada akhir abad ke-17, muncul
tokoh-tokoh liberal dan sosialis yang menentang penjajahan terhadap bangsa negara. Maka
tuduhan bahwa feminisme adalah ideologi dari Barat menjadi tidak relevan karena jika tidak ada
pertukaran ide dan gagasan tentang “bebas dari penindasan dan hidup yang layak sebagai seorang
manusia”, maka Indonesia tidak pernah lahir. Indonesia lahir karena salah satunya ada pertukaran
dan dialog antar feminis yang menyadari posisinya sebagai manusia dan keperempuanan, serta
pikiran tentang kebebasan dan keadilan.
Selanjutnya Feminisme gelombang kedua muncul setelah perang dunia II tahun 1940an.
Kajian dan publikasi terkait perempuan senyap ditelan perang. Pada perang dunia II, perempuan
mengambil alih tugas laki-laki di pabrik dan mencicipi bagaimana dunia publik. Sayangnya setelah
perang selesai, dimulai propaganda untuk para perempuan kembali ke rumah. Gelombang kedua
lekat dengan kehadiran kaum intelektual yang menentang perang dan melihat bagaimana perang
dan penjajahan telah menghancurkan sebuah negara dan mengoyak-ngoyak hak asasi manusia.
Sedangkan, feminisme gelombang ketiga hadir bersamaan dengan negara-negara Asia-
Afrika yang telah melewati serangkaian perjuangan kemerdekaan. Kini, sejarah tidak selalu
tentang Eropa Barat tapi muncul perspektif perempuan dari negara lain. Lahir setelah Civil Rights
Movement dan penghapusan diskriminasi berdasarkan warna kulit, gelombang ketiga
memunculkan apa yang disebut feminisme interseksional untuk melihat bahwa analisis gender
harus dilengkapi dengan kelas sosial, warna kulit, identitas seksual, dan konteks lokasi yang
memengaruhi lapisan penindasan.

3
Nadya Karima Melati, “Apa yang Perlu Diketahui tentang Dasar-dasar Feminisme (1)”
(https://magdalene.co/story/yang-perlu-diketahui-tentang-dasar-dasar-feminisme, diakses pada 19 Juni 2020)
Menurut Nadya Karima Melati, feminisme adalah bagian dari sejarah kemerdekaan dan
revolusi Indonesia. Kata feminisme memang kurang populer pada masa awal perjuangan
kemerdekaan karena adanya tuntutan untuk menjadi nasionalis dan pribumi dengan menolak hal-
hal yang berbau Barat seperti Marxisme, yang diadaptasi oleh Soekarno menjadi Marhaenisme
dan feminisme menjadi emansipasi. Tapi pada prinsipnya sama, yaitu kesetaraan bagi para
perempuan di wilayah Hindia Belanda yang bergerak menjadi Indonesia.4

Pemikiran dan Gerakan RA Kartini


Salah satu tokoh yang dilabeli sebagai pelopor feminis di Indonesia yang pemikiran dan
gerakannya hendak dibahas kali ini adalah RA Kartini.
RA Kartini lahir pada 21 April 1879 dari keluarga bangsawan Jawa. Kartini tumbuh
sebagai warga dunia yang percaya bahwa pendidikan bagi kaum perempuan adalah kunci penting
emansipasi manusia—atau, paling tidak, bagi masyarakat Jawa tempatnya tinggal. RA Kartini
telah merasakan sebuah ketertindasan terhadap dirinya sebagai perempuan, tetapi tidak
mendapatkan kesempatan untuk menyatakan perasaan dan pikirannya secara langsung, namun
melalui sebuah proses panjang dengan menulis surat-surat yang menorehkan pemikirannya tentang
keadaan perempuan. RA Kartini banyak melahirkan pemikiran yang Ia tuangkan dalam tulisan-
tulisannya.
RA Kartini beberapa kali melahirkan sejumlah tulisan, seperti "Upacara Perkawinan pada
Suku Koja” yang terbit di Holandsche Lelie saat berusia 14 tahun. Bahkan, Kartini juga
merencanakan menulis sebuah saga berupa kisah sejarah tanah Jawa. Tanda bahwa pemikiran
Kartini semakin berkembang dan matang bisa dilihat dalam surat terakhirnya kepada Nyonya
Abendanon terkait rencana pemerintah menyelidiki akar kemiskinan masyarakat Jawa. Kartini
menulis bahwa akar sesungguhnya kemiskinan orang Jawa terletak pada masalah pajak dari
kebijakan yang dibuat pemerintah kolonial sendiri. Gagasan seperti ini pula yang menjadi landasan
kritik kaum pergerakan antikolonial terhadap kebijakan pemerintah Hindia-Belanda saat itu.5
Dalam surat-suratnya yang dibukukan berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”
memberikan fondasi awal tentang imajinasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Buku tersebut

4
Nadya Karima Melati, “Apa yang Perlu Diketahui tentang Dasar-dasar Feminisme (2)”
(https://magdalene.co/story/dasar-dasar-feminisme-2, diakses pada 19 Juni 2020)
5
Andi Achdian, “Membaca Kartini, Membaca Ulang ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’” (https://tirto.id/membaca-
kartini-membaca-ulang-habis-gelap-terbitlah-terang-cH2C, diakses pada 19 Juni 2020)
merupakan kurasi dari surat menyurat Kartini dengan Stella Zeehandelar, seorang feminis sosialis
dari Belanda. Pemikiran Kartini awal abad 20 adalah peta menuju jalan kemajuan, bahwa manusia
antarmanusia seharusnya berlaku setara. Kartini percaya bahwa pendidikan bagi kaum perempuan
adalah kunci penting emansipasi manusia. Pemikirannya sangat prospektif dan menjangkau jauh
ke masa depan.
Sri Hidayati Djoeffan dalam penelitiannya mengenai “Gerakan Feminisme di Indonesia:
Tantangan dan Strategi Mendatang”, mendeskripsikan bahwa sejarah feminisme ketika zaman
kolonial telah dipelopori oleh RA Kartini. Ia muncul akhir abad ke 20 (1879-1904). Pada masa itu,
RA Kartini diperlakukan tidak adil oleh orang tuanya dengan “dipingit” tidak seperti saudara laki-
lakinya yang disekolahkan di Universitas Leiden negeri Belanda. Ia kemudian mempelopori
dibukanya Sekolah untuk mendidik wanita.6
Sosok R.A Kartini adalah salah satu contoh perempuan yang peduli terhadap kesetaraan
hak perempuan terutama di bidang pendidikan. Perjuangannya untuk para perempuan agar bisa
menikmati dunia pendidikan di masa kolonial patut menjadi inspirasi bagi para perempuan masa
kini. Kesadaran perempuan yang lebih maju, mulai muncul ketika Kartini mempertanyakan hak-
hak perempuan atas pendidikan. Sebagai pendidik generasi penerus bangsa, menurutnya
perempuan harus mendapat pendidikan yang cukup dan posisi yang tinggi di masyarakat. Ia juga
menyerukan gagasan nasionalisnya.
Menurut Saparinah Sadli, RA Kartini yang hidup pada sekitar pengujung abad ke-19 amat
tertarik akan adanya gerakan suffrage melalui tulisan-tulisan seorang perempuan India yang
bernama Pandita Rambai. Ketertarikan Kartini terhadap tulisan-tulisan Pandita Rambai itu
disebabkan Kartini menilai bahwa Rambai sebagai perempuan non-Barat telah mampu
mengutarakan pikiran-pikirannya secara jelas dan gamblang, khususnya mengenai nasib anggota
masyarakat yang digolongkan sebagai perempuan. Sehubungan dengan itu, dan oleh karena
perjuangan Kartini sendiri bertujuan agar perempuan Indonesia juga memperoleh hak penuh untuk
memperoleh pendidikan sebagaimana kaum lelaki, wajar saja jika orang-orang menganggap
Kartini sebagai seorang Feminis.7
Gerakan RA Kartini adalah sebuah perjuangan dengan memberikan semangat dan
pemikiran bagi bangsa Indonesia, terutama kaum perempuan, untuk bisa maju seperti laki-laki

6
Sri Hidayati Djoeffan, “Gerakan Feminisme di Indonesia”, Mimbar No. 3, Th. XVII Juli – September 2001, h. 286.
7
Saparinah Sadli, op.cit., h. 59-60.
dalam segala bidang, khususnya dalam mengejar pendidikan dan ilmu pengetahuan. Hal ini
dikarenakan RA Kartini merasa terjajah dari kungkungan adat istiadat dan budaya yang
menempatkan perempuan disudut kehidupannya. Pada masa itu, perempuan hanyalah
menjalankan kodratnya saja tanpa diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi yang ada
pada dirinya. Padahal setiap manusia diberikan potensi masing-masing yang menyertai dirinya.
Perjuangan RA Kartini juga ingin menggerakan perempuan untuk bisa keluar dari
permasalahan hidup yang sama seperti yang dialaminya pada masa tersebut. Kartini yang merasa
terjajah sebagai seorang perempuan berusaha keluar dari belenggu adat yang menempatkannya di
posisi kelas dua di bawah laki-laki. Sehingga dapat dikatakan bahwa Kartini adalah penggagas
gerakan feminisme pertama kali di Indonesia karena kegigihannya ingin menjadikan seorang
perempuan yang berpendidikan luas.
Gerakan RA Kartini adalah sebuah perjuangan dengan memberikan semangat dan
pemikiran bagi bangsa Indonesia, terutama kaum perempuan, untuk bisa maju seperti laki-laki
dalam segala bidang, khususnya dalam mengejar pendidikan. RA Kartini memberikan semangat
dalam perjuangan kaum perempuan untuk meraih persamaan. Hal ini dilakukannya melalui
hobinya menulis dan membaca, serta tukar pikiran dengan rekannya di Belanda. Tak berhenti
sampai disitu saja, RA Kartini kemudian melanjutkan gerakan perjuangannya dengan membuat
sebuah yayasan pendidikan bagi perempuan, memperjuangkan hak-hak perempuan, dan
penyuluhan kesehatan, kesejahteraan kaum ibu dan anak-anak.
DAFTAR BACAAN

Andi Achdian, “Membaca Kartini, Membaca Ulang ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’”
(https://tirto.id/membaca-kartini-membaca-ulang-habis-gelap-terbitlah-terang-cH2C,
diakses pada 19 Juni 2020)

Dipa Nugraha, “Perempuan, Wanita, atau Betina?”


(https://www.researchgate.net/publication/275034845_Perempuan_Wanita_atau_Betina/
ink/553023580cf27acb0de85478/download, diakses pada 19 Juni 2020)

Nadya Karima Melati, “Apa yang Perlu Diketahui tentang Dasar-dasar Feminisme (1)”
(https://magdalene.co/story/yang-perlu-diketahui-tentang-dasar-dasar-feminisme, diakses
pada 19 Juni 2020)

Nadya Karima Melati, “Apa yang Perlu Diketahui tentang Dasar-dasar Feminisme (2)”
(https://magdalene.co/story/dasar-dasar-feminisme-2, diakses pada 19 Juni 2020)

Saparinah Sadli, Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2010), h. xiii.

Sri Hidayati Djoeffan, “Gerakan Feminisme di Indonesia”, Mimbar No. 3, Th. XVII Juli—
September 2001, h. 286.

Anda mungkin juga menyukai