FILSAFAT DAKWAH
“Hakikat Dakwah”
MANAJEMEN DAKWAH
2018/2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah Filsafat Dakwah dengan
judul Hakikat Dakwah tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan untuk memenuhi Mata Kuliah
Filsafat Dakwah. Maka dari itu tidak lupa kami mengucapkan Terimakasih pada teman-teman
yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Namun tidak lepas dengan semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dalam segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada kami membuka selebar-lebarnya saran dari pembaca yang ingin diberikan kepada
kami.
Semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami
dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan yang relevan pada makalah
berikutnya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................1
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................2
A. Makna dan Lingkup Dakwah...........................................................................................................2
B. Dakwah sebagai Kebutuhan Manusia..............................................................................................4
C. Tujuan dan Orientasi Dakwah.........................................................................................................7
D. Hukum dan Kewajiban Dakwah......................................................................................................9
BAB III PENUTUP...................................................................................................................................11
KESIMPULAN.....................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat, seperti dikemukakan Jenny Teichmann, membahas masalah-masalah
yang bersifat umum (general), dan mendasar (fundamental). 1 Tujuan dari pencarian dan
penyelidikan filsafat adalah untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam
menyangkut masalah-masalah yang dikaji baik berupa ilmu, kebenaran, akal, realitas,
makna, jiwa, dan nilai-nilai.
Inti dari filsafat, menurut ‘Abid Jabiri adalah pemikiran (al-fikr), tepatnya
menciptakan pemikiran (khalq al-mafahim), bukan dari tiada (laysa min al-‘adam),
melainkan dari sesuatu (pemikiran) yang sudah ada sebelumnya (‘an syay’in ma).
Penciptaan pemikiran itu memiliki tiga kemungkinan. Pertama, menciptakan dalam arti
mengulang pemikiran-pemikiran (paham-paham) lama. Kedua, menciptakan dalam arti
memperkuat pemikiran-pemikiran yang dominan dalam suatu masyarakat. Ketiga,
menciptakan dalam arti menganalisis dan mengkritik paham-paham yang dianggap
menyimpang. Semua pemikiran, bagi Jabiri, terikat oleh ruang dan waktu (al-fakr al-
waqt) alias temporal (mu’aqqat). Jadi tak ada pemikiran yang lahir dari ruang yang
kosong. Setiap pemikiran, sesungguhnya merupakan interaksi dan respons terhadap
pemikiran yang berkembang pada zaman nya atau pada masa sebelumnya.2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Makna dan Lingkup Dakwah?
2. Bagaimana Dakwah sebagai Kebutuhan Manusia?
3. Bagaimana Tujuan dan Orientasi Dakwah?
4. Bagaimana Hukum dan Kewajiban Dakwah?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Makna dan Lingkup Dakwah
2. Mengetahui Dakwah sebagai Kebutuhan Manusia
3. Mengetahui Tujuan dan Orientasi Dakwah
4. Mengetahui Hukum dan Kewajiban Dakwah
1
Jenny Teichmann dan Katherine C. Evans, Philosophy: A Beginner’s Guide, (Blackwell Publishing, 1999), h. 1.
2
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna dan Lingkup Dakwah
Dalam bahasa al-Qur'an, dakwah terambil dari kata دعوة- يدعو- دعاyang secara
lughawi (etimologi) memiliki kesamaan makna dengan kata al nida ( )االالنداءرسولyang
berarti menyeru atau memanggil.3 Kata ini dan devirasinya menurut informasi yang
diperoleh dari peneliti al-Qur'an kenamaan Muhammad Fu'ad 'Abd. al- Baqy terulang
sebanyak 215 kali.4 Ketika menjelaskan istilah tersebut, pakar bahasa Ibn Manzur
menyebutkan beberapa arti yang terkandung seperti berikut :
Pertama, meminta pertolongan ( )الستعاثةseperti ucapan seseorang ketika bertemu
musuhnya dalam keadaan sendirian fad'u al-muslimin yang menurut Ibn Manzur dapat
disamakan dengan, istaghtsu al muslimin (minta tolonglah pada muslimun).5 Kedua,
menghambakan diri ('Ibadah), baik kepada Allah SWT maupin kepada selain Allah
SWT. Seperti dalam firman-Nya (Qs.al-A'raf/7:194). Ketiga, memanjatkan permohonan
kepada Allah SWT (berdoa). Keempat, persaksian Islam (syahadat al Islam). Kelima,
memanggil atau mengundang (al-nida). Seperti dalam firman Allah (Qs. Al-
Ahzab/33:46). Kesimpulan ini, olej al-Asfihany didasarkan atas firman Allah SWT (Qs.
An-Nur/24:63). Islam disebut sebagai agama dakwah (din al-da’wah), karena ia
mengajak orang agar berkenan mengikuti seruannya. Perngertian dakwah yang dimaksud
menurut Ali Mahfuz lebih dari sekedar ceramah dan pidato, walaupun memang secara
lisan dakwah dapat diidentikan dengan keduanya. Lebih dari itu, dakwah juga meliputi
tulisan (bil al-qalam) dan perbuatan sekaligus keteladanan (bi al-hal wa al-qudwah).
Dakwah Islam adalah dakwah basirah, maknanya berarti dakwah yang
disebarluaskan dengan cara damai dan bukan dengan kekerasan, serta menutamakan
aspek kognitif (kesadaran intelektual), dan afektif (kesadaran emosional). Dakwah
demikian ini, lebih lanjut sebagai dakwah persuasif (membujuk).
3
Muhammad Hasan al-Jamsi, al-Du’at wa al-Da’wat al-Islamiyyah al- Mu’asirah, (Damaskus: Dar al Rasyid, tt.),
h.24
4
Lihat Muhammad SAW Fuad Abd. Al-baqi, Mu’jam Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-
Fikr,2000), h. 330-333
5
Muhammad Mukarram Ibn Manzur al-Afriki al-misri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Sadir, tt), Cet. Pertama, Juz
14, h.285
2
Dalam al-Qu’an, disebutkan bahwa tujuan dari pengutusan Rasulullah adalah
sebagai rahmat bagi semesta alam. Arti dari pernyataan ini, yaitu bahwa kedatangan
Rasulullah dengan risalah islam itu harus mendatangkan ketengan dan kebahagian hidup
bagi manusia.
Bagi Ahmad Mahmud, dakwah jika ditinjau dari segi kosakata, merupakan
bentukan kata kerja inklinasi (kecondongan) dan motivasi (fi’lum imalatun wa
targhibun). Melalui analisis ini, dakwah diartikan sebagai usaha memberikan penawaran
kepada orang supaya bersikap condong dan termotivasi melakukan ajaran Islam itu.
Menerjemahkan dakwah agar dapat dipahami dari berbagai sisi ilmiah pada
dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan dua hal, doktrin dan sejarah Islam. Dari segi
doctrinal, Islam mengklam sebagai agama universal yang melampaui sekat-sekat
keyakinan, teritorial, maupun ras kemanusiaa.6
Secara doctrinal, keuniversalan Islam sebagai alas an dasar dakwah dapat ditilik
dari tiga aspek, yakni teologi, yurisprudensi, dan norma etis.
1. Teologis, doktrin Islam menyangkal konsep Tuhan komunal, seperti dalam agama
yahudi misalnya.
2. Yurisprudensi, doktrin Islam menegaskan bahwa perintah dan larangan dalam
Islam pada tujuannya yang prinsipil diciptakan untuk menegaskan nilai-nilai
kemanusiaan yang universal.
3. Etis,doktrin Islam menegaskan bahwa tujuan dari perisalahan Islam yaitu untuk
membimbing sisi transendensi (spiritual) manusia yang melekat dalam
karakteristik penciptaannya (fitrah).
3
Pelaksanaan dakwah, karena telah menjadi bagisan intrinsic dari Islam itu sendiri,
merespons sejumlah permasalahan social dan menerjemahkan dalam dua terminology,
amat makruf dan nahi mungkar. Baik amar makruf maupun nahi mungkar, dalam al-
Qur’an diposisikan dalam ranah profetik Islam, yaitu menyosialisasikan nilai-nilai
kebaikan universal (al-khair). Dan hendaklah kamu menjadi kaum yang mengajak
kepada khair, yaitu menyeruh kepada makruf dan mecegah dari mungkar, mereka itulah
orang-orang yang beruntung (Qs. Ali Imran/3:104)
4
petunjuk agama dan dakwah, termasuk kebutuhan yang dapat ditangguhkan. Walaupun
kebutuhan terhadap dakwah termasuk yang dapat ditangguhkan, dalam akumulasi yang
memuncak, efek bola saljunya berpengaruh besar dalam kehancuran sebuah masyarakat.
Masyarakat yang di bombing melalui dakwah, hidupnya akan teratur, banyak melahirkan
kebaikan dan oleh karena itu secara historis ia akan terus eksis. Adapun masyarakat yang
tidak dibimbing dakwah, hidupnya semrawut, melahirkan banyak kejahatan dan oleh
karena itu ia akan punah.
Dengan dimikian, kebutuhan dakwah boleh dibilang sebagai “investasi
berjangka” umat manusia. Dakwah diperlukan saat sekarang, demi kelangsungan hidup di
masa mendatang. Apabila kebutuhan manusia disklasifikasikan ke dalam primar,
sekunder, dan tersier, maka kebutuhan kepada dakwah digingkan sebagai kebutuhan yang
mengatasi segala kebutuhan fisik yang tempral. Demikian, karena hiidup manusia tidak
dapat survive tanpa dakwah dan petunjuk agama. Jika dirujuk akar permasalahannya,
sebetulnya kebutuhan manusia pada dakwah berangkat dari tiga pijakan teologis.
Pertama, ketundukan dan kepasrahan manusia kepada kehendak Tuhan. Kedua,
pandangan terhadap superioritas manusia terhadap alam. Ketiga kerapuhan batin atau roh
manusia.
Dengan dimikian, kebutuhan dakwah boleh dibilang sebagai “investasi
berjangka” umat manusia. Dakwah diperlukan saat sekarang, demi kelangsungan hidup di
masa mendatang. Apabila kebutuhan manusia disklasifikasikan ke dalam primar,
sekunder, dan tersier, maka kebutuhan kepada dakwah digingkan sebagai kebutuhan yang
mengatasi segala kebutuhan fisik yang tempral. Demikian, karena hiidup manusia tidak
dapat survive tanpa dakwah dan petunjuk agama. Jika dirujuk akar permasalahannya,
sebetulnya kebutuhan manusia pada dakwah berangkat dari tiga pijakan teologis.
Pertama, ketundukan dan kepasrahan manusia kepada kehendak Tuhan. Kedua,
pandangan terhadap superioritas manusia terhadap alam. Ketiga, kerapuhan batin atau
roh manusia.
Secara general, hanya ada dua sistem hidup yang berlaku dalam kehidupan di
dunia ini. Pertama, sistem hidup yang mengunggulkan Tuhan, di sini, posisi manusia
tunduk dan pasrah mengikuti aturan-Nya. Dalam sistem ini, yang menjadi sentral dan
rujukan hidup adalah semua aturan -aturan-Nya, baik seperti tersurat, terdapat dalam
5
kitab suci maupun yang tersirat, seperti terdapat dalam ciptaannya (sunnat Allah).
Kedudukan manusia di dalamnya dipandang sebagai selegasi Tuhan yang diberi mandate
untuk mengelola bumi beserta isinya. Dalam posisi ini, manusia tidak memiliki
wewenang yang berdiri sendiri, lebih dari itu, baik cita-cita dan aktivitas manusia, mesti
di rujukkan kepada semua kehendak Ilahi. Sistem hidup inilah yang kemudia disebut
dengan sistem Islam.
Kedua, sistem yang didasarkan pada kebodohan dan ke semena-menaan. Dalam
sistem ini, perjalanan hidup manusia mengikuti kehendak nafsu hewaninya yang kotor
dan rendah, menjauh dari petunjuk-petunjuk Ilahi yang luhur serta memusuhi Allah
dalam kekuasaan dan kewenangan-Nya. Manusia memandang tujuan hidup ini adalah
kesenangan dan mencari keuntungan dunia semata. Karena ciri dari sistem ini ditandai
dengan menjauhnya manusia dari pengetahuan dan dekat dengan kebodohan, makai a
disebut sistem jahiliah.
Sistem Islam adalah system yang humanis (manusiawi), artinya system ini
menghendaki agar sejarah hidup manusia berjalan di atas kodratnya yang fitri. Kodrat
manusia adalah makhluk yang melangit dan membumi. Sebagai makhluk yang melangit,
secara kodrati manusia terhbung dengan alam kebutuhan yang suci dan transeden. Dalam
hal ini, manusia secara rohani berasal dari langit dan akan kembali kelangit, Adapun
sebagai makhluk yang membumi, secara kodrati manusia terikat dalam kesatuan
hubungannya dan alam. Ia di beri tanggung jawab untuk membangun hubungan yang
harmonis dengan alam dan menjadi pemakmurnya. Ia juga di beri hak untuk
memanfaatkan segala karunia yang diciptakan Tuhan di ala mini. Sistem Islam
menempatkan manusia pada kedua posisi tersebut secara seimbang. Karena itu, apabila
manusia mengaplikasikan sistem ini, hidupnya akan dilipahkan berkah dari langit dan
bumi. Adapun siapa yang mencari sistem Islam, Maka Tuhan bahkan juga kodrat
manusia itu sendiri tidak akan menerimanya malahan akan mengalami kerugian akibat
dari perbuatannya.
Sementara itu, dakwah membawa misi menegakkan sistem islam dengan menebar
nilai-nilainya yang luhur di seluruh penjuru dunia. Melalui dakwah, hidup manusia
diteguhkan dan dibimbing agar sejalan dengan prinsip Islam, dari iklim hidup yang
menyesatkann kepada petunjuk Ilahi yang menyelamatkan mengembalikan posisi
6
manusia sebagai kodratnya, sebagai makhluk yang melangit dan membumi. Melalui
dakwah, akan tercipta taman Firdaus di muka bumi dan kehendak Tuhan akan terwujjud
di dalamnya.
Untuk mengukuhkan nilai keunggulan manusia atas alam, Tuhan menurunkan
petunjuk-Nya kepada manusia berupa agama yang hanif. Menurut keterangan Al-Qur’an,
agama hanif itu telah diselaraskan dengan fitrah manusia. Demikian informasi QS ar-
Rum/30:30. Sehingga apabila ia mengikutii petunjuk agama hanif itu, ia akan menjadi
manusia yang sejati (true man/insan kamil). Dalam kaitan ini, Islam sebagai agama
dakwah memuat banyak perintah dan larangan yang tujuannya adalah membentuk
masyarakat yang manusiawi. Itulah sebabnya, sementara peikir berpendapat bahwa Al-
Qur’an sebagai kitab dakwah adalah kitab manusia, karrna ia berbicara untuk manusia
atau tentang manusia.
Kalau demikian alur pikirnya, maka tujuan dakwah sebetulnya tidak lain dari
tujuan Islam itu sendiri yakni transformasi sikap kemanusiaan (attitude of humanity
transformation) atau yang dalam terminologi Al- Qur'an disebutkan al-ikhraj min al-
zulumat ila al-nur. Menurut pakar tafsir Abu Zahrah, al-nur (cahaya) adalah simbol dari
7
karakteristik asal kemanusiaan (fitrah). Disebut demikian, karena hidup manusia akan
bersinar hanya jika ia secara natural mengikuti karakter asal tersebut. Sebaliknya, al-zulm
(kegelapan) adalah simbol yang menunjuk kepada situasi penyimpangan dari karakter
asalnya. Cahaya itu, kata Abu Zahrah amat terang ketika pertama kali manusia lahir,
lambat laun, ia semakin redup sejalan dengan tingkat menjauhnya manusia dari cahaya
itu yang tidak lain adalah komitmen primordial.
8
kedinamisan ini sendiri sejatinya adalah hadiah dari sikap hidup yang mengesakan Tuhan
(tauhid), yang darinya tercipta ruang untuk saling berpesan dengan kebenaran (tawasau
bi al-haq) dan kesabaran (tawasau bi al-sabr), atau saling mengajak kepada kebaikan (al-
amru bi al-ma'ruf), dan mencegah kemungkaran (nahi'an al-munkar). Inilah "cahaya/nur"
sebagai tujuan Islam dalam konseptualnya, atau bentuk "umat teladan/khairu ummah"
sebagai tujuan dakwah dalam wujud praktisnya.
9
diharuskan mempersaksikan keimanannya ini kepada publik. Selain melalui amal saleh,
persaksian iman juga diwujudkan dalam bentuk dakwah, saling berpesan dengan
kebajikan dan ketakwaan, atau dengan menyuruh yang makruf dan mencegah yang
mungkar.
Kedua, dakwah dikumi sebagai kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Hal ini
berarti, dakwah merupakan kewajiban yyang dibebankan kepada komunitas tertentu yang
berkompeten dalam suatu masyarakat. Bila didalamnya terlah ditemukan sekelompok
orang yang mewakili tugas itu, maka gugurlah kewajiban untuk yang lain. Sebaliknya,
jika tidak ada, maka anggota masyarakat itu mendapat dosa seluruhnya.
Ketiga, dakwah dihukumi wajib individual (fard’ain) sekaligus wajib kolektif
(fard kifayah). Maksudnya, hokum asal dakwah itu wajib ‘ain, sehinga setiap mukmin
memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan agamanya sesuai dengan taraf
kemampuan dan kapasitasnya masing-masing.7
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
7
DR. A. Ilyas Ismail, M.A. & Prio Hotman, M.A. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban
Islam (Jakarta: Kencana, 2011)
10
DAFTAR PUSTAKA
11
Muhammad Hasan al-Jamsi, al-Du’at wa al-Da’wat al-Islamiyyah al- Mu’asirah, (Damaskus:
Dar al Rasyid, tt.), h.24
Lihat Muhammad SAW Fuad Abd. Al-baqi, Mu’jam Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim,
(Beirut: Dar al-Fikr,2000), h. 330-333
Muhammad Mukarram Ibn Manzur al-Afriki al-misri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Sadir, tt),
Cet. Pertama, Juz 14, h.285
Dr. Hasaan Ibrahim Hasan, dkk., (Kairo: Maktabah Nahdah al-Misriah,1970), h. 261.
DR. A. Ilyas Ismail, M.A. & Prio Hotman, M.A. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun
Agama dan Peradaban Islam (Jakarta: Kencana, 2011)
12