Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT DAKWAH

“Hakikat Dakwah”

Dosen Pengampu : Drs. Study Rizal LK, MA

Disusun oleh Kelompok 3:

Agung Priyanto 11180530000048

Amanda Reswara 11180530000080

M. Puja Illahi 11180530000110

Dinda Pitaloka 11180530000146

Mutiara Rahmah Husaini 11180530000144

Nur Barkah 11180530000148

MANAJEMEN DAKWAH

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018/2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah Filsafat Dakwah dengan
judul Hakikat Dakwah tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan untuk memenuhi Mata Kuliah
Filsafat Dakwah. Maka dari itu tidak lupa kami mengucapkan Terimakasih pada teman-teman
yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.

Namun tidak lepas dengan semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dalam segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada kami membuka selebar-lebarnya saran dari pembaca yang ingin diberikan kepada
kami.

Semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami
dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan yang relevan pada makalah
berikutnya.

Tangerang, 7 Oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................1
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................2
A. Makna dan Lingkup Dakwah...........................................................................................................2
B. Dakwah sebagai Kebutuhan Manusia..............................................................................................4
C. Tujuan dan Orientasi Dakwah.........................................................................................................7
D. Hukum dan Kewajiban Dakwah......................................................................................................9
BAB III PENUTUP...................................................................................................................................11
KESIMPULAN.....................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat, seperti dikemukakan Jenny Teichmann, membahas masalah-masalah
yang bersifat umum (general), dan mendasar (fundamental). 1 Tujuan dari pencarian dan
penyelidikan filsafat adalah untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam
menyangkut masalah-masalah yang dikaji baik berupa ilmu, kebenaran, akal, realitas,
makna, jiwa, dan nilai-nilai.
Inti dari filsafat, menurut ‘Abid Jabiri adalah pemikiran (al-fikr), tepatnya
menciptakan pemikiran (khalq al-mafahim), bukan dari tiada (laysa min al-‘adam),
melainkan dari sesuatu (pemikiran) yang sudah ada sebelumnya (‘an syay’in ma).
Penciptaan pemikiran itu memiliki tiga kemungkinan. Pertama, menciptakan dalam arti
mengulang pemikiran-pemikiran (paham-paham) lama. Kedua, menciptakan dalam arti
memperkuat pemikiran-pemikiran yang dominan dalam suatu masyarakat. Ketiga,
menciptakan dalam arti menganalisis dan mengkritik paham-paham yang dianggap
menyimpang. Semua pemikiran, bagi Jabiri, terikat oleh ruang dan waktu (al-fakr al-
waqt) alias temporal (mu’aqqat). Jadi tak ada pemikiran yang lahir dari ruang yang
kosong. Setiap pemikiran, sesungguhnya merupakan interaksi dan respons terhadap
pemikiran yang berkembang pada zaman nya atau pada masa sebelumnya.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Makna dan Lingkup Dakwah?
2. Bagaimana Dakwah sebagai Kebutuhan Manusia?
3. Bagaimana Tujuan dan Orientasi Dakwah?
4. Bagaimana Hukum dan Kewajiban Dakwah?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Makna dan Lingkup Dakwah
2. Mengetahui Dakwah sebagai Kebutuhan Manusia
3. Mengetahui Tujuan dan Orientasi Dakwah
4. Mengetahui Hukum dan Kewajiban Dakwah

1
Jenny Teichmann dan Katherine C. Evans, Philosophy: A Beginner’s Guide, (Blackwell Publishing, 1999), h. 1.
2

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna dan Lingkup Dakwah
Dalam bahasa al-Qur'an, dakwah terambil dari kata ‫ دعوة‬- ‫ يدعو‬- ‫ دعا‬yang secara
lughawi (etimologi) memiliki kesamaan makna dengan kata al nida (‫ )االالنداءرسول‬yang
berarti menyeru atau memanggil.3 Kata ini dan devirasinya menurut informasi yang
diperoleh dari peneliti al-Qur'an kenamaan Muhammad Fu'ad 'Abd. al- Baqy terulang
sebanyak 215 kali.4 Ketika menjelaskan istilah tersebut, pakar bahasa Ibn Manzur
menyebutkan beberapa arti yang terkandung seperti berikut :
Pertama, meminta pertolongan (‫ )الستعاثة‬seperti ucapan seseorang ketika bertemu
musuhnya dalam keadaan sendirian fad'u al-muslimin yang menurut Ibn Manzur dapat
disamakan dengan, istaghtsu al muslimin (minta tolonglah pada muslimun).5 Kedua,
menghambakan diri ('Ibadah), baik kepada Allah SWT maupin kepada selain Allah
SWT. Seperti dalam firman-Nya (Qs.al-A'raf/7:194). Ketiga, memanjatkan permohonan
kepada Allah SWT (berdoa). Keempat, persaksian Islam (syahadat al Islam). Kelima,
memanggil atau mengundang (al-nida). Seperti dalam firman Allah (Qs. Al-
Ahzab/33:46). Kesimpulan ini, olej al-Asfihany didasarkan atas firman Allah SWT (Qs.
An-Nur/24:63). Islam disebut sebagai agama dakwah (din al-da’wah), karena ia
mengajak orang agar berkenan mengikuti seruannya. Perngertian dakwah yang dimaksud
menurut Ali Mahfuz lebih dari sekedar ceramah dan pidato, walaupun memang secara
lisan dakwah dapat diidentikan dengan keduanya. Lebih dari itu, dakwah juga meliputi
tulisan (bil al-qalam) dan perbuatan sekaligus keteladanan (bi al-hal wa al-qudwah).
Dakwah Islam adalah dakwah basirah, maknanya berarti dakwah yang
disebarluaskan dengan cara damai dan bukan dengan kekerasan, serta menutamakan
aspek kognitif (kesadaran intelektual), dan afektif (kesadaran emosional). Dakwah
demikian ini, lebih lanjut sebagai dakwah persuasif (membujuk).

3
Muhammad Hasan al-Jamsi, al-Du’at wa al-Da’wat al-Islamiyyah al- Mu’asirah, (Damaskus: Dar al Rasyid, tt.),
h.24
4
Lihat Muhammad SAW Fuad Abd. Al-baqi, Mu’jam Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-
Fikr,2000), h. 330-333
5
Muhammad Mukarram Ibn Manzur al-Afriki al-misri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Sadir, tt), Cet. Pertama, Juz
14, h.285

2
Dalam al-Qu’an, disebutkan bahwa tujuan dari pengutusan Rasulullah adalah
sebagai rahmat bagi semesta alam. Arti dari pernyataan ini, yaitu bahwa kedatangan
Rasulullah dengan risalah islam itu harus mendatangkan ketengan dan kebahagian hidup
bagi manusia.
Bagi Ahmad Mahmud, dakwah jika ditinjau dari segi kosakata, merupakan
bentukan kata kerja inklinasi (kecondongan) dan motivasi (fi’lum imalatun wa
targhibun). Melalui analisis ini, dakwah diartikan sebagai usaha memberikan penawaran
kepada orang supaya bersikap condong dan termotivasi melakukan ajaran Islam itu.
Menerjemahkan dakwah agar dapat dipahami dari berbagai sisi ilmiah pada
dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan dua hal, doktrin dan sejarah Islam. Dari segi
doctrinal, Islam mengklam sebagai agama universal yang melampaui sekat-sekat
keyakinan, teritorial, maupun ras kemanusiaa.6
Secara doctrinal, keuniversalan Islam sebagai alas an dasar dakwah dapat ditilik
dari tiga aspek, yakni teologi, yurisprudensi, dan norma etis.
1. Teologis, doktrin Islam menyangkal konsep Tuhan komunal, seperti dalam agama
yahudi misalnya.
2. Yurisprudensi, doktrin Islam menegaskan bahwa perintah dan larangan dalam
Islam pada tujuannya yang prinsipil diciptakan untuk menegaskan nilai-nilai
kemanusiaan yang universal.
3. Etis,doktrin Islam menegaskan bahwa tujuan dari perisalahan Islam yaitu untuk
membimbing sisi transendensi (spiritual) manusia yang melekat dalam
karakteristik penciptaannya (fitrah).

Adapun dari tinjauan sudut historis, data-data sejarah memperlihatkan fenomena


sosialisasi Islam dari dua aspek, politik dan kultural. Pertama, melalui politik, Islam
sebagai keyakinan dan praktis telah mengalami sosialisasi dalam bentuk penyatuan suku-
suku arab, bahkan kemudian melampaui teritorial. Kedua, melalui kulural, data historis
memperlihatkan kepada kita tentang fenomena sosialisasi Islam dalam banyak aspek
kehidupan berbudaya, baik yang terejawantah dalam bentuk institusi maupun dalam
bentuk norma-norma dan etika yang menjadi tolok ukur perilaku dan tindakan
masyarakat.
6
Dr. Hasaan Ibrahim Hasan, dkk., (Kairo: Maktabah Nahdah al-Misriah,1970), h. 261.

3
Pelaksanaan dakwah, karena telah menjadi bagisan intrinsic dari Islam itu sendiri,
merespons sejumlah permasalahan social dan menerjemahkan dalam dua terminology,
amat makruf dan nahi mungkar. Baik amar makruf maupun nahi mungkar, dalam al-
Qur’an diposisikan dalam ranah profetik Islam, yaitu menyosialisasikan nilai-nilai
kebaikan universal (al-khair). Dan hendaklah kamu menjadi kaum yang mengajak
kepada khair, yaitu menyeruh kepada makruf dan mecegah dari mungkar, mereka itulah
orang-orang yang beruntung (Qs. Ali Imran/3:104)

B. Dakwah sebagai Kebutuhan Manusia


Dari Al-Qur’an didapat keterangan bahwa tujuan hidup manusia adalah menjadi
wakil Tuhan di muka bumi. Sebagai wakil Tuhan, Manusia ditugaskan untuk
memakmurkan bumi ini melalui pengembangan potensi-potensi kebaikan yang telah
dianugerahkan Tuhan, baik di alam makro (dunia) maupun di alam mikro (diri manusia).
Untuk melakukan tugas tersebut, Tuhan memberikan dua petunjuk kepada manusia.
Pertama, petunjuk jiwa yang terdiri dari akal sehat dan Nurani, dan kedua, petunjuk
agama. Dengan kedua petunjuk ini, manusia dapat membedakan yang baik dan
bermanfaat dari yang buruk dan merusak kehidupannya. Apabila manusia mengikuti
kedua petunjuk itu, ia mampu mengembangkan segala potensi kebaikan, apakah itu di
alam mikro bahkan juga di alam makro.
Secara psikis, jiwa manusia lebih cenderung kepada kebaikan dan menginginkan
kebaikan ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain. Namun
demikian, dalam kondisi tertentu manusia memilih untuk melupakan seruan jiwanya dan
berpaling kepada seruan kejahatan. Pada kondisi demikian, manusia berpotensi besar
berbuat kerusakan dan melahirkan banyak kejahatan-kejahatan. Ketika kejahatan-
kejahatan ini muncul, hidup manusia di muka bumi jadi tidak berkualitas. Karena tugas
nya sebagai wakil Tuhan untuk mengembangkan kebajikan-kebajikan tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Berarti, jika manusia ingin kembali ke posisi semula, harus
mengikuti apa yang ditunukkan oleh akal sehat dan bisikan nuraninya.
Untuk dapat terus eksis secara historis, manusia terikat dengan sejumlah
kebutuhan yang tersusun secara hierarkis. Kebutuhan tersebut ada yang terkait langsung
dengan kelangsungan hidupnya dan bersifat mendesak seperti kebutuhan-kebutuhan fisik
misalnya, tetapi ada juga yang mendapat ditangguhkan. Kebutuhan manusia akan

4
petunjuk agama dan dakwah, termasuk kebutuhan yang dapat ditangguhkan. Walaupun
kebutuhan terhadap dakwah termasuk yang dapat ditangguhkan, dalam akumulasi yang
memuncak, efek bola saljunya berpengaruh besar dalam kehancuran sebuah masyarakat.
Masyarakat yang di bombing melalui dakwah, hidupnya akan teratur, banyak melahirkan
kebaikan dan oleh karena itu secara historis ia akan terus eksis. Adapun masyarakat yang
tidak dibimbing dakwah, hidupnya semrawut, melahirkan banyak kejahatan dan oleh
karena itu ia akan punah.
Dengan dimikian, kebutuhan dakwah boleh dibilang sebagai “investasi
berjangka” umat manusia. Dakwah diperlukan saat sekarang, demi kelangsungan hidup di
masa mendatang. Apabila kebutuhan manusia disklasifikasikan ke dalam primar,
sekunder, dan tersier, maka kebutuhan kepada dakwah digingkan sebagai kebutuhan yang
mengatasi segala kebutuhan fisik yang tempral. Demikian, karena hiidup manusia tidak
dapat survive tanpa dakwah dan petunjuk agama. Jika dirujuk akar permasalahannya,
sebetulnya kebutuhan manusia pada dakwah berangkat dari tiga pijakan teologis.
Pertama, ketundukan dan kepasrahan manusia kepada kehendak Tuhan. Kedua,
pandangan terhadap superioritas manusia terhadap alam. Ketiga kerapuhan batin atau roh
manusia.
Dengan dimikian, kebutuhan dakwah boleh dibilang sebagai “investasi
berjangka” umat manusia. Dakwah diperlukan saat sekarang, demi kelangsungan hidup di
masa mendatang. Apabila kebutuhan manusia disklasifikasikan ke dalam primar,
sekunder, dan tersier, maka kebutuhan kepada dakwah digingkan sebagai kebutuhan yang
mengatasi segala kebutuhan fisik yang tempral. Demikian, karena hiidup manusia tidak
dapat survive tanpa dakwah dan petunjuk agama. Jika dirujuk akar permasalahannya,
sebetulnya kebutuhan manusia pada dakwah berangkat dari tiga pijakan teologis.
Pertama, ketundukan dan kepasrahan manusia kepada kehendak Tuhan. Kedua,
pandangan terhadap superioritas manusia terhadap alam. Ketiga, kerapuhan batin atau
roh manusia.
Secara general, hanya ada dua sistem hidup yang berlaku dalam kehidupan di
dunia ini. Pertama, sistem hidup yang mengunggulkan Tuhan, di sini, posisi manusia
tunduk dan pasrah mengikuti aturan-Nya. Dalam sistem ini, yang menjadi sentral dan
rujukan hidup adalah semua aturan -aturan-Nya, baik seperti tersurat, terdapat dalam

5
kitab suci maupun yang tersirat, seperti terdapat dalam ciptaannya (sunnat Allah).
Kedudukan manusia di dalamnya dipandang sebagai selegasi Tuhan yang diberi mandate
untuk mengelola bumi beserta isinya. Dalam posisi ini, manusia tidak memiliki
wewenang yang berdiri sendiri, lebih dari itu, baik cita-cita dan aktivitas manusia, mesti
di rujukkan kepada semua kehendak Ilahi. Sistem hidup inilah yang kemudia disebut
dengan sistem Islam.
Kedua, sistem yang didasarkan pada kebodohan dan ke semena-menaan. Dalam
sistem ini, perjalanan hidup manusia mengikuti kehendak nafsu hewaninya yang kotor
dan rendah, menjauh dari petunjuk-petunjuk Ilahi yang luhur serta memusuhi Allah
dalam kekuasaan dan kewenangan-Nya. Manusia memandang tujuan hidup ini adalah
kesenangan dan mencari keuntungan dunia semata. Karena ciri dari sistem ini ditandai
dengan menjauhnya manusia dari pengetahuan dan dekat dengan kebodohan, makai a
disebut sistem jahiliah.
Sistem Islam adalah system yang humanis (manusiawi), artinya system ini
menghendaki agar sejarah hidup manusia berjalan di atas kodratnya yang fitri. Kodrat
manusia adalah makhluk yang melangit dan membumi. Sebagai makhluk yang melangit,
secara kodrati manusia terhbung dengan alam kebutuhan yang suci dan transeden. Dalam
hal ini, manusia secara rohani berasal dari langit dan akan kembali kelangit, Adapun
sebagai makhluk yang membumi, secara kodrati manusia terikat dalam kesatuan
hubungannya dan alam. Ia di beri tanggung jawab untuk membangun hubungan yang
harmonis dengan alam dan menjadi pemakmurnya. Ia juga di beri hak untuk
memanfaatkan segala karunia yang diciptakan Tuhan di ala mini. Sistem Islam
menempatkan manusia pada kedua posisi tersebut secara seimbang. Karena itu, apabila
manusia mengaplikasikan sistem ini, hidupnya akan dilipahkan berkah dari langit dan
bumi. Adapun siapa yang mencari sistem Islam, Maka Tuhan bahkan juga kodrat
manusia itu sendiri tidak akan menerimanya malahan akan mengalami kerugian akibat
dari perbuatannya.
Sementara itu, dakwah membawa misi menegakkan sistem islam dengan menebar
nilai-nilainya yang luhur di seluruh penjuru dunia. Melalui dakwah, hidup manusia
diteguhkan dan dibimbing agar sejalan dengan prinsip Islam, dari iklim hidup yang
menyesatkann kepada petunjuk Ilahi yang menyelamatkan mengembalikan posisi

6
manusia sebagai kodratnya, sebagai makhluk yang melangit dan membumi. Melalui
dakwah, akan tercipta taman Firdaus di muka bumi dan kehendak Tuhan akan terwujjud
di dalamnya.
Untuk mengukuhkan nilai keunggulan manusia atas alam, Tuhan menurunkan
petunjuk-Nya kepada manusia berupa agama yang hanif. Menurut keterangan Al-Qur’an,
agama hanif itu telah diselaraskan dengan fitrah manusia. Demikian informasi QS ar-
Rum/30:30. Sehingga apabila ia mengikutii petunjuk agama hanif itu, ia akan menjadi
manusia yang sejati (true man/insan kamil). Dalam kaitan ini, Islam sebagai agama
dakwah memuat banyak perintah dan larangan yang tujuannya adalah membentuk
masyarakat yang manusiawi. Itulah sebabnya, sementara peikir berpendapat bahwa Al-
Qur’an sebagai kitab dakwah adalah kitab manusia, karrna ia berbicara untuk manusia
atau tentang manusia.

C. Tujuan dan Orientasi Dakwah


Dalam banyak literatur, para ahli telah menjelaskan bahwa tema sentral dakwah
adalah Islam. Arti dari pernyataan ini adalah dakwah sebagai implementasi dari publikasi
ajaran agama, menjadikan Islam sebagai wawasan dan basis ruang geraknya sekaligus.
Demikian dekat jarak antara keduanya, sehingga Islam dan dakwah tidak memiliki celah
kecuali hanya terpaut dalam posisi ideologi dan aplikasi, atau antara ajaran dan
pengamalan. Sebutlah Islam sebagai format dasar tentang konsep Pedoman tingkah laku
manusia tentang apa yang semestinya dan tidak semestinya, maka dakwah adalah sebuah
proses realisasi Konsep ini secara implementatif. Sebagai implementasi dari sebuah
konsep, seluruh kebijakan dakwah dan langkahnya tidak terlepas dari apa yang telah
digariskan dalam konsep dasar tersebut. Dari sini dapat dipahami, bahwa dakwah
tidaklah memiliki wujud yang berdiri sendiri, lebih dari itu, secara hakiki, dakwah adalah
bentuk fisik-empiris dari ajaran Islam yang dari situ dakwah mengarahkan setiap
kebijakan dan langkahnya.

Kalau demikian alur pikirnya, maka tujuan dakwah sebetulnya tidak lain dari
tujuan Islam itu sendiri yakni transformasi sikap kemanusiaan (attitude of humanity
transformation) atau yang dalam terminologi Al- Qur'an disebutkan al-ikhraj min al-
zulumat ila al-nur. Menurut pakar tafsir Abu Zahrah, al-nur (cahaya) adalah simbol dari

7
karakteristik asal kemanusiaan (fitrah). Disebut demikian, karena hidup manusia akan
bersinar hanya jika ia secara natural mengikuti karakter asal tersebut. Sebaliknya, al-zulm
(kegelapan) adalah simbol yang menunjuk kepada situasi penyimpangan dari karakter
asalnya. Cahaya itu, kata Abu Zahrah amat terang ketika pertama kali manusia lahir,
lambat laun, ia semakin redup sejalan dengan tingkat menjauhnya manusia dari cahaya
itu yang tidak lain adalah komitmen primordial.

Dakwah sebagai perpanjangan tangan dari keyakinan Islam, ber-concern untuk


mengajak manusia untuk mebali berkomitmen kepada tauhid beserta semua implikasinya.
Melalui komitmen tauhid ini, manusia diajak untuk memilih pandangan hidup yang
natural, senatural pengetahuan Tuhan terhadap alam ini dan bersama-sama dengan alam
tunduk dan pasrah kepada ketentuan-Nya (al-Islam). Pandangan hidup netural yang
secara konkret oleh al-Quran dijelaskan sebagai sikap tunduk dan pasrah kepada-Nya,
merupakan satu-satunya pandangan hidup yang mampu memberikan beruntungan dalam
hidup manusia. Sebaliknya, pandangan atau sikap hidup yang melawan ketentuan natur,
dinilai sebagai yang tertolak, karena mengingkari hakikat jati diri manusia itu sendiri
sebagai bagiam dari natur. Pengingkaran jati diri manusia tidak menghasilkan apa-apa
kecuali akan berakhir dengan kerugian-kerugian.
Tauhid Dalam lompatan terjauhnya, membawa pandangan hidup yang mengarah
kepada egalitarian manusia, kemanusiaan yang bertanggung jawab, hingga pembebasan
sosial. Adapun ungkapan dakwah rahmatan lil alamin, pada hakikatnya nya merupakan
rangkaian dari kata kerja dengan tujuan pekerjaan itu. Sehingga terjemahan dari
ungkapan dakwah rahmatan lil alamin, adalah dakwah bertujuan untuk menciptakan
rahmat bagi semesta alam. Sementara itu syarat terwujudnya rahmat bagi semesta adalah
ketika manusia menjadi terbebas dari tekanan tirani-tirani (thaghut) baik yang semata atas
nama kekuasaan (tirani sekuler), maupun Tirani yang mengatasnamakan agama (tirani
religi). Dari sini, kebebasan tersebut kemudia berkembang menjadi sikap kemanusiaan
yang bertanggung jawab, dan pada gilirannya, semua itu melahirkan perubahan besar
masyarakat dalam kerangka egalitarianisme.
Perkembangan dan kemajuan aspek material hidup, atau ketenangan spiritual,
adalah cahaya (nur) yang kepadanya Islam melalui dakwahnya ditujukan. Semua itu
hanya akan dapat dicapai dalam suatu iklim masyarakat yang dinamis. Adapun

8
kedinamisan ini sendiri sejatinya adalah hadiah dari sikap hidup yang mengesakan Tuhan
(tauhid), yang darinya tercipta ruang untuk saling berpesan dengan kebenaran (tawasau
bi al-haq) dan kesabaran (tawasau bi al-sabr), atau saling mengajak kepada kebaikan (al-
amru bi al-ma'ruf), dan mencegah kemungkaran (nahi'an al-munkar). Inilah "cahaya/nur"
sebagai tujuan Islam dalam konseptualnya, atau bentuk "umat teladan/khairu ummah"
sebagai tujuan dakwah dalam wujud praktisnya.

D. Hukum dan Kewajiban Dakwah


Menurut A. Karim Zaidan, dakwah pada mulanya adalah tugas para rasul.
Masing-masing mereka ditugasi untuk mengajak manusia menyembah Allah SWT
semata sesuai dengan syariat yang diturunkan. Ada yang tebatas pada kaum tertentu dan
pada waktu tertentu pula, namun ada juga yang ditugasi untuk mengajak kepada seluruh
umat manusia di sunia tanpa mengenal batas waktu seperti Nabi Muhammad SW . jadi,
para rasul itu semuanya adalah dai yang mempunyai misi suci mengajak orang ke jalan
Tuhan. Setiap seorang rasul wafat, maka diutuslah Rasul berikutnya untuk meneruskan
dakwah mengajak manusia kepada tauhid dan tugas itu berkesinambungan antar para
rasul hingga di utusnya Nabi Muhammad penutup rasul.
Sebagaiman ditemukan dalam nas-nas agama yang qath’iy, Rasulullah adalah
Nabi terakhir, tiada lagi Nabi sesudahnya. Sementara itu, Islam, risalah yang diturunkan
Allah kepada beliau diaykini sebagai risalah yang kekal dan berlaku hingga akhir zaman.
Kalau demikian, maka harus ada yang menggantikan tugas Rasulullah untuk menyiarkan
risalahnya tersebut kepada umat manusia. Itulah sebabnya, umat Islam sebagai pengikut
Rasulullah dikatakan sebagai sekutu Rasulullah dalam hal tugas menyiarkan risalah Islam
itu. Kemudian muncul persoalan, siapakah yang berkewajiban meneruskan dakwah Rasul
itu? Apa semua umat muslim berkewajiban dakwah ataukah sebagian kelompok saja?
Para pakar berselisih paham dalam menanggapi soal ini. Sejauh pemikiran yang
berkembang, perselisihan dalam masalah ini dapat dikelompokan dalam tiga pendapat
sebagai dijelaskan berikut ini.
Pertama, dakwah dihukumi sebagai kewajiban personal (fard’ain). Maksudnya,
dakwah merupakan kewajiban bagi setiap muslim; ia akan diganjar jika melaksanakannya
sebagaimana akan berdosa jika meninggalkannya. Dakwah menjadi kewajiban personal,
karena ia merupakan tuntutan (implikasi) iman. Setiap orang yang mengaku beriman,

9
diharuskan mempersaksikan keimanannya ini kepada publik. Selain melalui amal saleh,
persaksian iman juga diwujudkan dalam bentuk dakwah, saling berpesan dengan
kebajikan dan ketakwaan, atau dengan menyuruh yang makruf dan mencegah yang
mungkar.
Kedua, dakwah dikumi sebagai kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Hal ini
berarti, dakwah merupakan kewajiban yyang dibebankan kepada komunitas tertentu yang
berkompeten dalam suatu masyarakat. Bila didalamnya terlah ditemukan sekelompok
orang yang mewakili tugas itu, maka gugurlah kewajiban untuk yang lain. Sebaliknya,
jika tidak ada, maka anggota masyarakat itu mendapat dosa seluruhnya.
Ketiga, dakwah dihukumi wajib individual (fard’ain) sekaligus wajib kolektif
(fard kifayah). Maksudnya, hokum asal dakwah itu wajib ‘ain, sehinga setiap mukmin
memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan agamanya sesuai dengan taraf
kemampuan dan kapasitasnya masing-masing.7

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

7
DR. A. Ilyas Ismail, M.A. & Prio Hotman, M.A. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban
Islam (Jakarta: Kencana, 2011)

10
DAFTAR PUSTAKA

Jenny Teichmann dan Katherine C. Evans, Philosophy: A Beginner’s Guide, (Blackwell


Publishing, 1999), h. 1.

11
Muhammad Hasan al-Jamsi, al-Du’at wa al-Da’wat al-Islamiyyah al- Mu’asirah, (Damaskus:
Dar al Rasyid, tt.), h.24

Lihat Muhammad SAW Fuad Abd. Al-baqi, Mu’jam Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim,
(Beirut: Dar al-Fikr,2000), h. 330-333

Muhammad Mukarram Ibn Manzur al-Afriki al-misri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Sadir, tt),
Cet. Pertama, Juz 14, h.285

Dr. Hasaan Ibrahim Hasan, dkk., (Kairo: Maktabah Nahdah al-Misriah,1970), h. 261.

DR. A. Ilyas Ismail, M.A. & Prio Hotman, M.A. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun
Agama dan Peradaban Islam (Jakarta: Kencana, 2011)

12

Anda mungkin juga menyukai