Anda di halaman 1dari 23

Dilema Kajian Gender

dalam konteks pascakolonial

Katrin Bandel
Masjid Jendral Sudirman, 18 Oktober 2016
Dilema apa?
Wacana gender kerapkali dimanfaatkan
(dieksploitasi) sebagai bagian dari wacana
kolonial.

Kalau kita bekerja di bidang


kajian/aktifisme gender, dan tidak
mengembangkan kesadaran kritis akan hal
itu, kita mudah menjadi/dijadikan bagian
dari wacana semacam itu, demi legitimasi
(neo)kolonialisme.
wacana kolonial – apa itu?
wacana yang melegitimasi kolonialisme

membuat penjajah merasa berhak, bahkan


berkewajiban, untuk menguasai (“membina”)
dunia non-Barat

membuat manusia terjajah lama-lama


cenderung menerima gagasan bahwa mereka
inferior, dan bahwa apa yang dibawa/dimiliki
penjajahnya bersifat lebih “maju”
kemajuan/Pencerahan

Seluruh umat manusia dibayangkan mesti melalui


perkembangan yang sama, dari primitif menjadi
modern. Modernitas ini umumnya dikaitkan dengan
rasionalitas (kemampuan berpikir rasional/saintifik).
Dengan narasi semacam itu, otomatis orang Barat
terlihat paling maju, paling modern. Budaya lain
diyakini berada pada stadium yang sudah dilalui oleh
budaya Barat.

“primitif” “maju”
seperti anak-anak modern
dewasa
mission civilisatrice (misi pemberadaban)

gagasan yang pada awalnya dikembangkan di


Perancis pada abad 19, kemudian menjadi ciri
imperialisme Barat secara umum

asumsi dasar: superioritas Eropa

orang Eropa perlu “memajukan” manusia lain,


membawa peradaban ke belahan dunia lain

kolonialisme membawa berkah bagi yang dijajah


Feminisme sebagai bagian dari wacana
kolonial?

•Semua perempuan seakan-akan perlu “beremansipasi”


dengan cara yang sama, mengikuti langkah perempuan
Barat yang konon paling maju.

•Untuk itu perempuan non-Barat konon perlu dibebaskan/


dimajuan oleh penjajah, atau oleh feminis Barat.

•Ketertindasan perempuan non-Barat cenderung dijelaskan


sebagai akibat budayanya atau agamanya, kompleksitas
relasi kuasa diabaikan (termasuk peran kolonialisme dan
kapitalisme global).
Gayatri Chakravorty Spivak

lahir 1942 di Calcutta


S1 sastra Inggris di Calcutta 1959
S2 di Cornell University
S3 di University of Iowa

mengajar di Amerika Serikat


terlibat dengan pendidikan guru di daerah pedesaan di India
dan Bangladesh
Contoh 1: Can the subaltern speak?
(sati di India)

If, in the context of colonial production, the subaltern has


no history and cannot speak, the subaltern as female is
even more deeply in shadow.

Gayatri Spivak, “Can the subaltern speak?”, 1985


contoh sati (India)
sati = seorang janda “membakar diri” (melompat ke dalam
api) pada saat jenazah suaminya dibakar
perspektif penjajah perspektif perspektif pribumi/
(Inggris) perempuan nasionalis (laki-laki)
(subaltern)
sati merupakan tindakan perempuan membakar
kriminal yang kejam, diri atas kehendaknya
perempuan (janda sendiri sebagai tanda
yang akan dipaksa mem-
bakar diri harus di- ? kesetiaan, keberanian-
nya pantas dikagumi
selamatkan

(laki-laki putih men- (sati sebagai “ciri


yelamatkan perempuan keindiaan”, menunjuk-
coklat dari laki-laki coklat) kan jati diri)
Giulio Ferrario, 1816
Sri Rani Sati," an oleograph print published by S. S. Brijbasi, Bombay, c.1960's
The subaltern cannot speak. […] The female
intellectual as intellectual has a circumscribed task
which she must not disown with a flourish.
Contoh 2: tentang Jane Eyre

Novel Jane Eyre karya penulis Inggris


Charlotte Brontë (1847) dirayakan
sebagai salah satu karya perempuan yang bermutu
tinggi dan mengandung gagasan proto-feminis.

2 tokoh perempuan
- tokoh utama yang sangat positif, mandiri,
mengundang simpati: Jane, perempuan Inggris

- tokoh mengerikan yang hanya muncul sebagai


ancaman/pembawa musibah: Berta, perempuan
Kreol dari Karibik
Spivak mengangkat tokoh tersebut (1985):

Feminis sebelumnya cenderung merayakan tokoh


Jane, tapi sama sekali mengabaikan
Berta, atau memaknainya sebagai
semacam lambang saja (lambang
imaji gelap perempuan dsb).

Seperti yang dilacak Spivak, ternyata


terdapat ideologi imperialis dalam
novel Jane Eyre. Tokoh Berta yang
digambarkan gila, berbahaya, dan
mengerikan, mewakili dunia “belum
beradab” yang perlu “diperadabkan”
(legitimasi kolonialisme).
PEREMPUAN DUNIA KETIGA DI MATA FEMINIS
BARAT

Chandra Talpade Mohanty,


“Under Western Eyes: Feminist Scholarship and
Colonial Discourses”
(1988)

kecenderungan feminis Barat yang dikritik:


• berangkat dari pandangan universalis bahwa pengalaman perempuan
pada dasarnya sama di mana-mana (sisterhood – persaudaraan
perempuan sedunia)
• melihat perempuan dunia ketiga selalu sebagai korban (patriarki) yang
tidak berdaya

perempuan dunia ketiga = adik yang kurang beruntung/ kurang


maju, harus dibantu dan direpresentasikan
the Other yang dibutuhkan untuk definisi diri sebagai
perempuan maju
masalah mendasar: definisi “perempuan”

diasumsikan dari awal apa itu perempuan,


apa kebutuhan mereka (dengan
menggunakan standar Barat)

Lalu adat lokal, agama, sistem kekerabatan


dsb seakan-akan datang belakangan,
menghalangi kepentingan si perempuan itu.

(artinya: semua perempuan seakan-akan


secara naluri ingin hidup seperti perempuan
Barat)
pemahaman teoritis yang lebih memadai:

Tidak ada definisi universal tentang


perempuan, keinginan dan kebutuhannya.
Gender dikonstruksi secara kontekstual,
bukan ada sebelumnya. Maka kebutuhan
perempuan tidak bisa diasumsikan seragam.
Aksi kelompok FEMEN di Paris, 2012
11 Maret 2013
aksi ketelanjangan aktifis Tunisia
Amina Tyler lewat posting fb, untuk
kelompok FEMEN (kelompok
feminis yang didirikan 2008 di
Ukraina)

4 April: “Topless Jihad Day”

“tubuhku adalah milikku,


bukan sumber kehormatan
orang lain”
Dilemanya apa dalam pekerjaan kita?

Jasmin Zine (sosiolog, Kanada)


Antara Orientalisme dan Fundamentalisme:
Perempuan Muslim dan Keterlibatan Feminis
(2008)

Perempuan Muslim yang bekerja di bidang gender terjebak


antara dua jenis penindasan yang sama-sama patriarkis:
1.Imperialisme dan islamofobia
2.Fundamentalisme di dunia Islam sendiri

“By exposing issues of sexism within our own communities


and societies, Muslim feminists are immediately subject to the
racism and Islamophobia that negatively essentializes these
experiences as the defining referents of the Muslims and
Islam.” (Zine, hlm. 40)
Bagaimana cara menghadapi dilema itu?

Ganti perspektif!

Perlihatkan bahwa yang menyebabkan


ketidakadilan gender bukan sesuatu yang
inheren pada budaya atau agama tertentu,
tapi terkait erat dengan relasi kekuasaan
global. Misalnya, fundamentalisme agama
seringkali menguat akibat kemiskinan,
globalisasi, dan kesenjangan sosial.

Anda mungkin juga menyukai