Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Poetika Vol. IV No.

1, Juli 2016

REPRESENTASI PENINDASAN GANDA DALAM NOVEL MIRAH DARI BANDA


BERDASARKAN PERSPEKTIF FEMINISME POSKOLONIAL

Awla Akbar Ilma


Alumni S2 Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada

Abstrak
Penelitian ini secara khusus mengkaji bentuk-bentuk penindasan ganda yang terdapat dalam
novel Mirah dari Banda berdasarkan perspektif feminisme poskolonial. Hasil analisis menunjukkan
bahwa novel mewacanakan kedudukan inferior perempuan akibat dominasi sistem kolonialisme
Belanda dan Jepang serta dominasi patriarki baik lelaki kolonial maupun pribumi. Melalui dua
bentuk penindasan demikian, perempuan pribumi menderita dan berada di level terendah dalam
situasi kolonial. Terkait dengan waktu penerbitannya, yakni tahun 1980 novel Mirah dari Banda
termasuk novel nostalgia atas penindasan dan perjuangan melawan kolonialisme. Sikap nostalgia
demikian sekaligus dapat dianggap sebagai refleksi atas kemungkinan hadirnya penindasan-
penindasan ganda terhadap perempuan saat ini yang identik dengan era kapitalisme (imperialisme)
dan masih mengakarnya ideologi patriarki.

Kata Kunci: Mirah dari Banda, perempuan, penindasan ganda, nostalgia.

Abstract
This study specifically examines the multiple forms of oppression that is found in the novel
Mirah dari Banda by postcolonial feminist perspective. The analysis showed that the novel talk
about inferior position of women as a result of the dominance of Dutch and Japanese colonial
system and patriarchal domination both colonial and indigenous men. With the two forms of
oppression Thus, indigenous women suffer and the lowest level in a colonial situation. Associated
with the time of publication, the 1980 novel Mirah dari Banda include nostalgia novel of
oppression and the struggle against colonialism. Thus at the same nostalgic attitude can be
regarded as a reflection on the possibility of the presence of the double oppression of women today
which synonymous with the era of capitalism (imperialism) and still rooted patriarchal ideology.

Keywords: Mirah dari Banda, women, double oppression, nostalgia.


Pendahuluan diskriminasi dan penindasan perempuan dalam
Gender dan ketidaksetaraan hingga kini sistem budaya patriarki. Pandangan ini secara
masih terus menjadi persoalan penting signifikan memulai kesadaran untuk tidak
meskipun perjuangan kesetaraan telah menjadikan alasan seks sebagai halangan untuk
dilakukan ribuan tahun di berbagai tempat. Jika melibatkan diri dalam sektor publik.
kita menengok ke belakang, Madame Bovoir, Beranjak dari tahun yang terlalu lampau,
Lady Mary, Wartley Montega dapat dikatakan di era 60-an era, dimana konsep demokrasi
beberapa perempuan yang berupaya memulai mulai hadir, muncul kesadaran lebih lanjut
kesadaran akan menjadi perempuan. Nilai-nilai bahwa perempuan masih berada dalam
universalitas yang dikemukakan pada zaman ketidakadilan sosial. Selesainya perang dunia
pencerahan, filsafat perubahan politik abad 17 dan kebebasan politik hak-hak sipil bagi
dan 18, serta hadirnya revolusi Prancis dan perempuan tidak dirasa membebaskan dirinya
Amerika menginspirasi pandangannya untuk untuk keluar menuju sektor publik dan
melihat posisi perempuan dalam relasinya memperoleh hak-hak ekonomis secara nyaman.
dengan laki-laki. Aspek biologis dipandang Dipengaruhi oleh filsafat dekontruksi,
menjadi masalah fundamental hadirnya logosentrisme laki-laki dalam oposisi biner

3
Jurnal Poetika Vol. IV No. 1, Juli 2016
coba dilihat secara kritis. Tokoh-tokoh seperti yang menggambarkan pengalaman perempuan
Helena Civous dan Julius Kristeva kemudian pada masa kolonial secara menyeluruh dari Era
melihat bahwa gender telah dikontruksi secara Belanda hingga Jepang adalah novel Mirah
sosial oleh kuasa laki-laki melalui tata cara dari Banda (MdB) karya Hanna Rambe.
hegemonik sehingga muncul kesepakatan akan Secara singkat, novel MdB merupakan
ketertundukan perempuan. novel yang menggambarkan kedudukan
Di era 80 dan 90-an, era dimana inferior perempuan di Kepulauan Banda pada
posmodernisme tumbuh secara pesat, muncul masa kolonialisme Belanda dan Jepang.
pemikiran dan gerakan feminis yang melihat Kedudukan tersebut muncul akibat dari
problem kesetaraan sebagai problem penindasan ganda yang mereka alami berupa
konteksual yang terkait dengan posisi dan kewajibannya sebagai seorang pribumi yang
keberadaan perempuan yang berbeda-beda. harus tunduk terhadap kekuasaan Belanda dan
Tokoh-tokoh seperti Gayatri Spivak, kewajiban untuk tunduk kepada laki-laki
Mohantly, dan Corby berupaya untuk kolonial dan bahkan pribumi melalui
menjembatani sisi ini sebagai paham kedudukannya sebagai pemuas nafsu seksual.
partikularitas dari sebuah problematika. Spivak Sementara pada masa kolonial Jepang, para
misanya, ia melihat bahwa teks sastra barat perempuan dominan didudukkan sebagai hasrat
tidak memiliki kesadaran akan efek-efek pemuas hasrat seksual militer Jepang.
kolonialisme terutama terhadap perempan- Untuk melihat bagaimana bentuk
perempuan di negara dunia ketiga. Sementara kekerasan yang terjadi dalam novel MdB
Corby melihat bahwa patriarki dan opresi
terkait situasi kolonialisme, tulisan ini
perempuan terkait dengan pengalaman
berupaya membicarakannya melalui perspektif
penindasan yang berhubungan dengan
teori feminisme pascakolonial. Teori ini akan
perbedaan budaya. Artinya, problem tidak
merujuk pada asumsi penindasan ganda, baik
berdasarkan koridor deterministik biologis
sistem kolonial, lelaki kolonial, maupun lelaki
semata, melainkan juga sosial dan kultural.
pribumi. Sementara itu, pembahasan
Sehingga faktor-faktor seperti kelas, ras, etnis,
selanjutnya yang akan dipaparkan dalam
mempengaruhi makna, ekspresi dan
pengalaman gender. tulisan ini ialah maksud dan gagasan yang
Penjelasan terakhir ini memiliki melatarbelakangi hadirnya novel MdB di era
signifikasi nyata dengan konteks Indonesia. pascakolonial ini.
Fakta historis sebagai negeri terjajah dalam
beberapa hal masih memunculkan pengalaman- Teori Feminisme Poskolonial
pengalaman kolonialisme. Ketertindasan serta Dalam memandang ketidakadilan gender,
inferiorisasi menjadi aspek yang selalu muncul teori poskolonial menganggap bahwa kaum
dalam setiap obrolan, refleksi, yang tidak perempuan, terutama di Dunia Ketiga, telah
hanya tampak dalam wujud fisik, namun juga menanggung beban penindasan ganda: dari
dalam tataran abstrak, terutama dalam ruang bangsa kolonial dan dari kaum lelaki pribumi.
representasi kebudayaan. Menarik untuk Poskolonialisme mempostulatkan “Perempuan
disimak, terlepasnya Indonesia dari belenggu di Dunia Ketiga” sebagai korban par
kolonial memunculkan ekspresi atas excellence –korban dari ideologi imperial dan
pengalaman secara lebih leluasa. Novelnovel patriarki pribumi ataupun patriarki asing yang
yang secara nyata menunjukkan visi demikian, terlupakan ( Gandhi, 2007:xi; 108).
misalnya novel Njai Mirdja karya J. Kleian Bentuk ketidakadilan gender terhadap
(1983), Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua perempuan Dunia Ketiga ini berkaitan dengan
Bangsa (1980) karya Pramoedya Ananta Toer, landasan praktik kolonial yang lahir dari
Ca Bau Kan (1999) dan Kembang Jepun pandangan dunia yang percaya terhadap
(2006) karya Remy Sylado, Kadarwati Wanita superioritas mutlak manusia terhadap bukan
dengan Lima Nama karya Pandir Kelana manusia atau sub-manusia, laki-laki terhadap
(1982) dan sebagainya. Sementara itu, salah perempuan, dan modern atau progresif
satu novel yang muncul di era “pascakolonial” terhadap tradisional atau biadab. Sehubungan

4
Jurnal Poetika Vol. IV No. 1, Juli 2016
dengan itu, penjajah membedakan laki-laki Cara kerja kritikisme feminis poskolonial
dengan perempuan dan bertindak sesuai berkaitan dengan ide, cara penilaian, cara
dengan pembedaan itu. Laki-laki menjadi pandang, dan cara
target umum kebijakan sehingga mereka selalu mengimajinasikan (representasi) perempuan di
diperhitungkan dalam berbagai hal. Proses negeri terjajah dan di tempat-tempat tertentu di
penjajahan tersebut tetap akan membedakan Barat. Di satu pihak, pendekatan ini
jenis kelamin sejauh penjajah berjenis kelamin berkonsentrasi pada konstruksi perbedaan
laki-laki dan menggunakan identitas gender gender pada masa penjajahan, melalui wacana
untuk membatasi kebijakan. kolonial dan antikolonial. Di pihak lain,
Pada dasarnya dalam situasi kolonial perhatian ditujukan pada representasi
terdapat hierarki empat kategori- bukan dua. perempuan dalam wacana poskolonial dengan
Puncak hierarki diduduki oleh laki-laki konsentrasi pokok pada karya-karya penulis
(Eropa), perempuan (Eropa), bumiputra (laki- perempuan (McLoed, 2000:172).
laki negeri jajahan), dan liyan (perempuan Sebagaimana diketahui, praktik
negeri jajahan). Berdasarkan posisi tersebut pembacaan feminis berkaitan erat dengan
perempuan negeri jajahan dijajah oleh orang- kontestasi terhadap autoritas patriarkal. Dalam
orang Eropa sebagai warga negeri jajahan dan hal ini, patriarki mengacu pada sistem politik,
sebagai perempuan negeri jajahan. Mereka material, dan imajinatif yang bertumpu pada
didominasi, dieksploitasi, dan diinferiorisasi kuasa laki-laki dan pemarjinalan perempuan.
sebagai warga negeri jajahan bersama dengan Patriarki memiliki kesejajaran dengan
laki-laki negeri jajahan dan kemudian secara kolonialisme pada tataran konkret dan tataran
terpisah diinferiorisasi dan dimarjinalisasi imajinasi. Keduanya menegaskan sistem
sebagai perempuan negeri jajahan (Oyewumi, representasional yang menciptakan tatanan
2005:340). dunia yang disajikan kepada individu sebagai
Dengan demikian, perempuan dalam sesuatu yang normal dan benar. Sebagaimana
masyarakat terjajah bahkan disebut sebagai kolonialisme, patriarki hadir pula dalam
sasaran-sasaran riil dari wacana-wacana perlawanan terhadap kekuasaan. Berdasarkan
kolonialis dan nasionalis. Jadi, meskipun sering kesejajaran itu, feminisme dan poskolonialisme
terjadi perbedaan dan persaingan dalam memiliki tujuan yang sama, yaitu melawan
memperebutkan perempuan pribumi, patriarki- penindasan (McLeod, 2000:174).
patriarki kolonial dan pribumi tetap saling
bekerja sama untuk menjaga agar kaum Novel dan Ruang Representasi
perempuan berada dalam posisi inferior Novel merupakan karya seorang
(Loomba, 2003:286). pengarang secara personal sebagai hasil
Berdasarkan penjelasan demikian komunikasi intensif terhadap lingkungan yang
penelitian ini menggunakan perpaduan antara melingkupinya sehingga mampu menampilkan
teori poskolonial dengan teori feminisme. realitas yang terjadi bahkan yang tersembunyi.
Secara praktik, teori feminisme poskolonial Meskipun demikian, novel tidak selamanya
telah mengikuti jalur evaluasi yang konvergen, melihat realitas secara berimbang, melainkan
yaitu jalur yang memperhatikan dengan suatu mengandung kepentingan dan bahkan ruang
kajian dan pertahanan “yang lain” yang tempat ideologi tertentu beroperasi. Dengan
terpinggirkan dalam struktur represif dominasi demikian, novel memiliki kekuatan untuk
dan mengikuti jalan teoretis yang sangat mengarahkan daya kognitif manusia pada
serupa. Teori feminisme poskolonial yang serangkaian pemahaman melalui simbol dan
serupa tersebut berusaha merespon hierarki tanda untuk kemudian membentuk sikap yang
gender, budaya, ras yang telah ada dan mengarahkan khalayaknya pada
keduanya menjadi bagian dari postrukturalisme perilakuperilaku tertentu. Oleh karena itu,
yang menolak oposisi biner terhadap kontruksi novel tepat diteliti dan ditempatkan sebagai
wewenang patriarki dan kolonialisme (Gandhi, ruang representasi untuk dibongkar dan dilihat
1998:107). secara seksama terkait kepentingan, maksud,

5
Jurnal Poetika Vol. IV No. 1, Juli 2016
dan makna yang ingin dihadirkan di balik berdebar-debar. Ia langsung menuju
nuansa penggambarannya. Dalam membaca kepada saya dan membentak kenapa saya
novel MdB penelitian ini secara intensif duduk-duduk sedangkan orang lain sibuk
menggunakan cara baca reading is a women mengangkat pala...
untuk melihat bagaimana perempuan Ia duduk di samping saya, di tanah.
dihadirkan dalam teks. Saya bergeser, ia bergeser. Geser
menggeser akhirnya kami bergumul.
Novel Mirah dari Banda sebagai Saya tak ingat asal mulanya. ( halaman
Representasi Penindasan Ganda 187)
Novel MdB sebagai bagian dari
kasusastraan Indonesia berupaya Praktik pergumulan yang ditunjukkan
menggambarkan inferiorisasi kolonialisme dalam kutipan di atas menunjukkan kuasa
Belanda terhadap perempuan pribumi. Dalam lelaki pribumi terhadap perempuan kuli. Tubuh
menggambarkannya novel MdB menguraikan perempuan kuli dianggap sebagai situs tempat
formasi-formasi sosial dan kultural perempuan kekuasaan patriarki tradisional berkuasa,
terjajah dengan kedudukannya sebagai babu, mengingat pergumulan ini dilakukan oleh
nyai, dan kuli di perkebunan. Dalam profesi lelaki pribumi terhadap perempuan pribumi
demikian mereka pun tak dapat lepas dari dalam situasi kolonialisme.
berbagai penindasan dan pelecehan seksual. Bahkan ketika dewasa Mirah pun
Sebagai babu, Tokoh Mirah memiliki diangkat menjadi nyai oleh Tuan Besar. Dalam
kewajiban untuk mengurus urusan rumah relasi pergundikan, seorang nyai akan
tangga, mengurus Nyonya Besar, menyiapkan mengalami berbagai penindasan, pengabaian,
segala peralatan sebelum Noni berangkat dan kekejaman seksual. Sebagai seorang nyai
sekolah, dan ia pun tidak diizinkan untuk pekerjaan Mirah terpusat pada peran melayani
beristirahat (Rambe, 2010:151,159). Dalam suami. Hal itu terbukti melalui kutipan berikut.
keseharian, ia selalu siap menerima perintah
dan selalu duduk bersimpuh di lantai, Susahlah menjadi
sementara Nyonya Besar maupun anak- perempuan semacam saya ini. Ke sana
anaknya duduk di kursi rotan (Rambe, kemari hanya alat. Alat pemuas nafsu
2010:155). Dalam situasi ini, ia selalu Tuan Besar, alat pemeras dari para buruh
mengalami tekanan dan ketakutan. kontrak yang dulu rekan saya di hutan
Sementara sebagai kuli, para perempuan pala. ( halaman 213–214)
dalam novel dituntut untuk bekerja keras di
perkebunan. Jika mereka melakukan kesalahan Kondisi demikian menunjukkan bahwa
dengan mengambil buah pala yang masih muda Mirah tengah mengalami masa sulit
mereka akan terkena hukuman, yakni harus berkepanjangan sebagai kuli dan nyai serta
mencabuti rumput di rumah Tuan Besar dan tidak bisa lepas dari kekerasan seksual. Ia
tidak mendapat uang (Rambe, 2010:168). tertindas oleh sistem kolonialisme dan sistem
Prosedur jam kerja kerja mereka pun sangat patriarki. Sebagai perempuan pribumi ia
ketat, dimulai dari pagi hari ketika masih gelap tertaklukan oleh lelaki pribumi dan lelaki
gulita hingga sore hari selama enam hari dalam kolonial. Dengan dominasi dari dua pihak –
seminggu (Rambe, 2010:169,142). Ironisnya lelaki Belanda dan lelaki pribumi, budaya
sebagai kuli, para perempuan tidak dapat lepas patriarki asing dan patriarki tradisional,
dari pelecehan seksual. Praktik demikian nyata kolonialisme dan patriarki– menunjukkan
dilakukan Marinyo, mandor pribumi yang bahwa perempuan telah mengalami penindasan
berasal dari Ambon, kepada tokoh Mirah. ganda sehingga ia semakin berada dalam posisi
inferior, terbungkam tanpa memiliki ruang
Datanglah seorang laki-laki dari untuk berbicara.
jauh. Saya tahu dia Marinyo, bawahan Secara praktis, dominasi sistem
mandor dari perek kami. Hati saya kolonialisme dan patriarki dilakukan atas latar

6
Jurnal Poetika Vol. IV No. 1, Juli 2016
belakang ideologi kolonialisme yang bersifat dan mempersetan dunia di sekitar
maskulin dan pandangan liyan terhadap mereka. ( halaman 320–321)
perempuan pribumi. Dalam teori poskolonial,
liyan diartikan sebagai subjek yang dibedakan Kutipan di atas jelas menunjukkan bahwa
atau dimarginalkan karena wacana imperial tentara Jepang menganggap jugun ianfu hanya
dan kolonial. Keliyanan tersebut dibentuk oleh sebatas sebagai objek pelampiasan seksual.
wacana yang membedakan pusat imperial atau Praktik ini menggambarkan kedudukan
kolonial dengan pribumi (Ashcroft, 1998:170). perempuan terjajah sebagai pihak yang
Sebagai liyan, perempuan pribumi dianggap tersubordinasi. Perlakuan demikian ternyata
sebagai pihak yang irasional, primitif, bodoh, terkait erat dengan kelonggaran yang diberikan
pemalas, kulit gelap, pantas menjadi budak, penguasa militer kepada pasukannya sebab hal
dan sebagainya. Dengan berpandangan yang diprioritaskan adalah kemampuan dan
demikian pihak Belanda menjadi merasa yakin daya tahan mereka saat berada di medan
untuk mendominasi penduduk pribumi bahkan perang. Oleh karena itu, apapun yang dapat
merasa sebagai pihak yang memperadabkan membantu militer Jepang memenangkan
bangsa timur melalui cara eksploitasinya. perang akan diperbolehkan oleh pemerintah.
Hal ini jelas menegaskan adanya kaitan antara
Novel Mirah dari Banda sebagai penyediaan jugun ianfu dengan tujuan
Representasi Dominasi Militer Jepang penguasaan (Juningsih, 1999:32).
Sistem kolonialisme Jepang yang Dengan demikian, tampak bahwa praktik
berusaha mengeksploitasi Hindia Belanda kolonialisme Jepang membawa ideologi
secara dominatif tergambar jelas dalam novel patriarkat. Hal ini terbukti pula melalui watak
MdB. Tokoh-tokoh perempuan pada masa kemiliteran Jepang yang dijiwai tradisi samurai
kolonial Jepang dalam novel MdB diuraikan yang mencerminkan bangunan maskulin
mengalami nasib serupa seperti halnya pada dengan ciri mempergunakan senjata dalam
masa penjajahan Belanda. Dalam beberapa hal menyerang dan menundukkan perempuan.
bahkan mereka lebih menderita. Hal ini Setelah ditundukkan, perempuan hanya
terbukti melalui kondisi tokoh Mirah yang dipergunakan sebagai alas tidur (Rahayu,
semula menjadi nyai Tuan Besar kini semakin 1998:12). Dengan demikian, latar belakang
menderita dengan hidup terpencil di munculnya penindasan ini ialah peliyanan atas
pengungsian, mengalami kelaparan dan perempuan negeri terjajah oleh militer Jepang
kekurangan pakaian serta rentan terhadap serta kuatnya ideologi patriarki dan
kekerasan seksual yang dilakukan oleh maskulinitas pada diri militer Jepang.
penduduk pedalaman. Ironisnya, dalam situasi demikian, lelaki
Selain itu, marak praktik pelecehan pribumi pun ikut melakukan penindasan. Ia
seksual terhadap perempuan oleh militer menjadi perantara pengambilan perempuan
Jepang dengan menjadikanya sebagai yang kelak dijadikan sebagai jugun ianfu.
perempuan penghibur atau jugun ianfu di Dalam kisahnya terdapat seorang lelaki yang
markas militer Jepang. Sebagai jugun ianfu datang ke kampung Andano sebagai suruhan
mereka tidak dapat lepas dari unsur penipuan, tentara Jepang. Status orang suruhan tersebut
pemaksaan dan penindasan. Semula mereka adalah penduduk pribumi. Ia bertugas mencari
dijanjikan untuk bersekolah di Tokyo, tetapi perempuan Belanda atau Indo yang melarikan
janji tersebut tidak pernah terwujud. Mereka diri di kampung-kampung pinggiran.
justru dikirim ke Hollandia untuk dijadikan Kepala kampung sudah di
sebagai pemuas seksual militer Jepang. muka pintu rumah pengungsian kami.
Sebagai jugun ianfu menerima perlakuan Bersamanya turut dua tentara Jepang dan
kejam tentara Jepang. satu orang cokelat sebagai penunjuk
Serdadu yang datang biasanya jalan. (halaman 268)
bahkan memandang wajahnya pun tidak.
Mereka langsung menyerbu tubuhnya

7
Jurnal Poetika Vol. IV No. 1, Juli 2016
Kutipan di atas menunjukkan terdapatnya dan seksual memproduksi dan mereproduksi
penduduk pribumi (satu orang cokelat) yang perempuan sebagai subordinasi laki-laki Nyai
membantu militer Jepang dalam merekrut Ontosoroh menjadi rentan (Sudibyo, 2010:5).
perempuan Indo. Pengetahuan penduduk Sanikem dan Surati tokoh-tokoh novel tampak
pribumi mengenai lokasi kampungkampung menjadi korban atas keserakahan ayahnya yang
pinggiran dimanfaatkan oleh militer Jepang terobsesi dengan jabatan birokrasi kolonial.
untuk membantu mendapatkan para Mereka dijadikan sebagai alat barter oleh
perempuan. Bantuan dari lelaki pribumi kepada Ayahnya. Perjuangan yang mereka lakukan tak
militer Jepang tersebut membuat perempuan sanggup melawan, ia tetap membentur kuasa
negeri jajahan mengalami dua penindasan kolonial yang tak tergoyahkan.
secara tegas, yakni dari lelaki kolonial dan Kehadiran karya-karya demikian di era
lelaki pribumi. Penindasan ganda ini pascakolonial menunjukkan adanya kontinuitas
mengakibatkan kaum perempuan menjadi ingatan masa lalu yang sulit untuk pudar.
semakin tidak berdaya dan terus terbungkam. Munculnya tema-tema ketertindasan
Mereka semakin tidak memiliki ruang untuk perempuan di era kolonialisme sebagai kaum
mengemukakan suaranya. terbawah yang mengalami penindasan ganda
merupakan “suara keras” yang selama ini tidak
Ideologi Feminis Poskolonial dalam terdengar. Representasi ini kiranya sepakat
Imajinasi Pengarang dengan opini yang dikemukakan Gayatri
Kehadiran novel MdB pada tahun 1983 Spivak dalam esainya “Can The Subaltern
dengan kisah perempuan di era kolonialisme Speak?” bahwa dalam suasana dominasi
menunjukkan adanya kontinuitas ingatan masa terdapat kelompok inferior yang menjadi
lalu yang sulit untuk dilupakan. Bahkan dalam subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa
tingkatannya, kedudukan inferior perempuan dalam kalangannya sendiri.
yang ditampilkan novel MdB tampak sesuai Pemahaman dan kesadaran mengenai
dengan fakta kedudukan perempuan di Hindia realitas demikian menjadi perangsang para
Belanda masa kolonialisme. Relevansi antara penulis novel untuk menghasilkan karya
fakta dan fiksi ini menunjukkan bahwa novel dengan tema perempuan dalam situasi
MdB telah berupaya menggambarkan kolonial. Strategi utama yang tentu
kekuasaan kolonial berdasarkan pengalaman dikedepankan dalam memahami kondisi
kolonisasi yang dirasakan oleh kaum kolonial adalah pemeriksaan ulang terhadap
perempuan, ia mewacanakan kolonialitas. dikotomi-dikotomi penindasan, seperti
Representasi atas kedudukan perempuan “kolonial-antikolonial”, “buruhmajikan”,
demikian, tak hanya nampak dalam novel MdB “sipil-militer”, “elite-subaltern” serta tak hanya
saja, melainkan juga nampak dalam beberapa memperhatikan “aktor-aktor luar”, melainkan
novel lain. Dalam penelitian yang dilakukan juga “aktor-aktor dalam” seperti keberadaan
oleh Sudibyo dkk (2010), diketahui bahwa lelaki pribumi sendiri. Aktivitas demikian
novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa sekaligus menjawab pernyataan Spivak bahwa
kelompok-kelompok subaltern atau mereka
karya Pramoedya Ananta Toer mengangkat
yang tertindas memang sama sekali tidak bisa
kasus nyai yang lemah dan rentan mengalami
berbicara. Dengan demikian, kehadiran novel
penindasan. Pramoedya dalam kedua novel
dengan tema dan perspektif demikian menjadi
memang menghadirkan nyai yang berbeda
semacam agen bagi dirinya sendiri (perempuan
dengan mengubah stereotipe buruknya. Ia
bagi suara perempuan sendiri) untuk bersuara
digambarkan sebagai sosok yang tegar, pekerja
mengatasi keterbungkaman yang selama ini
keras, bisa dipercaya, hemat, dan tekun belajar.
membelenggu.
Meski demikian, ketika berhadapan dengan
kuasa kolonial dan patriarki sebagai sistem
sosial yang dibangun berdasarkan dominasi Refleksi di Era Kapitalisme
laki-laki atas perempuan dan organisasi sosial Pertanyaan terakhir yang perlu dijawab
yang menyeluruh yang secara sosial, politis, adalah mengapa novel-novel tentang

8
Jurnal Poetika Vol. IV No. 1, Juli 2016
penindasan kolonial di era (Mirah dari Banda) secara keseluruhan layak menjadi contoh bagi
muncul setelah Indonesia merdeka? Mengapa Indonesia. Artinya, ruang nostaligia menjadi
tema demikian tidak muncul saja ketika ruang nyata bagi maksud utama kehadiran
kolonialisme berlangsung sebagai bentuk novel-novel yang berbau kekejaman
resistensi nyata terhadap dominasi kolonialisme (Sudibyo dkk, 2011).
kolonialisme? Sementara itu, terkait dengan kondisi
Jawaban atas pertanyaan ini terkait zaman sekarang, dimana globalisasi menjadi
dengan kondisi dan sifat kolonialisme yang pertautan utama warga dunia. Hierarki
dominatif sehingga tidak memungkinkan para dominatif antara Barat dan Timur masih akan
penulis untuk melakukan resistensi secara terus berlangsung. Sebagaimana yang
langsung. Artinya, kolonial secara nyata telah dipaparkan oleh Leela Gandhi (2001:4),
membungkam suara perlawanan dengan kolonialisme tidaklah berakhir dengan
ancaman yang bersifat dominatif. Di sisi lain, kolonialisme. Proses penguasaan tersebut
kuatnya hegemoni kolonial yang secara mengalami perubahan bentuk tidak hanya
sistematis menyatakan bahwa perempuan bersifat pengendalian pada sarana sistem
adalah makhluk liyan, rendahan, bodoh, tepat reproduksi material, melainkan bahkan bekerja
bekerja di sektor domestik terus menerus lebih canggih dengan bergerak pada ranah
memproduksi pengetahuan bahwa perempuan mental dan terjadi dalam berbagai segi pranata
harus berada di belakang laki-laki. Oleh karena kehidupan. Fenomena ini secara konkrit
itu, munculnya novel yang bersifat resistensi disebut sebagai imperialisme yang justru
yang menggelorakan semangat kesadaran akan merupakan bentuk tertinggi dari kolonialisme.
kebebasan merupakan efek nyata dari Sepanjang pertengahan akhir abad 19
kemerdekaan. kapitalisme memasuki tahap tertinggi dengan
Sementara itu, kehadiran novel dengan ciri utamanya, yakni semangat kebebasan yang
tema dan perspektif demikian tidaklah “padahal” secara tidak langsung menjadi
sematamata menunjukkan kebebasan bersuara pembenaran atas penguasaan yang bersifat
saja, melainkan juga bermaksud untuk monopolistik. Industrialisasi merupakan wujud
memberi ingatan nostalgia terhadap kekejaman nyata dari fenomena ini. Indonesia sebagai
kolonialisme. Novel dengan perspektif negeri jajahan secara strategis merupakan pasar
demikian merupakan jalan bagi kita sebagai potensial oleh negara-negara industri kapitalis,
generasi selanjutnya untuk melihat Eropa Barat, Amerika bahkan termasuk Cina.
bentukbentuk realitas penindasan yang terjadi Berbagai produk kecantikan, konsep
pada masa lalu. Bukan kemudian bermaksud kecantikan, fashion, dan lain-lain menjelma
untuk memunculkan sikap dendam untuk menjadi kontruksi ideologis yang membekas
membalas, melainkan menumbuhkan dalam benak perempuan Indonesia. Konsep
kesadaran bahwa kolonialisme adalah satu kecantikan berupa kulit putih, langsing, dan
kejahatan kemanusiaan besar. Sikap nostalgis sebagainya yang mengacu pada konsep
terhadap penjajahan demikian semakin nyata perempuan barat kini kian mengedepan. Para
jika kita membandingkannya dengan novel- perempuan pun berbondong-bondong
novel karya NH Dini seperti Jepun Negerinya mengikuti tren tersebut tanpa mencoba untuk
Hiroko (2000) dan Namaku Hiroko (1977). mempertanyakan.
Dalam pembacaan secara komparatif dengan Kondisi demikian menyadarkan bahwa
novel tersebut, akan tampak kemenduaan sebagai negeri bekas jajahan Indonesia takkan
perspektif: jika pengarang novel membicarakan pernah bebas seutuhnya dari pengaruh
masa lalu mengenai sistem kolonialisme penjajahan dalam bentuk apapun. Bahkan
Jepang, maka ia akan menceritakan kekejaman menurut Bhabha, negeri jajahan, akan sangat
penjajahan Jepang terhadap Indonesia. Akan sulit lepas dari kultur si penjajah. Artinya,
tetapi, jika ia melihat Jepang saat ini kehadiran novel yang bernafaskan resistensi
(kontemporer), maka ia akan melihat Jepang yang membangkitkan kesadaran akan
adalah negara yang ramah, yang bersih, yang ketertindasan perempuan di era kolonialisme

9
Jurnal Poetika Vol. IV No. 1, Juli 2016
bukanlah semata-mata membicarakan dengan kondisi globalisasi yang kuat akan
permasalahan kolonialisme saja. Akan tetapi, dominasi kapitalisme kehadiran novel
merupakan refleksi untuk tetap waspada demikian menjadi semacam refleksi atas
terhadap kekuasaan imperialisme yang di bentukbentuk penguasaan terhadap perempuan
dalamnya memungkinkan adanya penindasan yang mungkin hadir dalam bentuknya yang
ganda (imperialisme dan patriarki) yang lain yang tetap menempatkan perempuan
bersifat dominatif dan hegemonik dalam dalam hierarki terendah di antara lelaki barat
wujud-wujud yang lain. dan lelaki timur.

Kesimpulan
Novel sebagai representasi atas realitas Daftar Pustaka
sosial menunjukkan situs-situs ideologi yang
berpihak. Secara keseluruhan hadirnya novel Ashcroft Bill, Gareth Griffiths, and Helen
MdB merupakan usaha menghadirkan suara Tiffin. 1998. Key Concepts in Post-
dirinya sendiri sebagai kaum inferior yang Colonial Studies. London: Routledge.
selama ini terbungkam. Berdasarkan analisis Baay, Reggie. 2010. Nyai & Pergundikan di
terhadap novel MdB melalui perspektif Hindia Belanda. Diterjemahkan oleh
feminisme poskolonial diketahui bahwa novel Siti Hertina. Jakarta: Komunitas
tersebut berusaha mewacanakan kedudukan Bambu.
inferior perempuan akibat dominasi sistem
Eagleton, Terry. 2002. Marxisme dan Kritik
kolonialisme Belanda dan Jepang. Pada masa
Sastra. Diterjemahkan oleh Roza
itu perempuan ditempatkan sebagai babu, nyai,
Muliati dkk. Yogyakarta: Penerbit
kuli, jugun ian fu yang rentan terhadap
Sumbu.
kekejaman fisik. Di samping itu, munculnya
peran pribumi sebagai perantara pihak kolonial Gandhi, Leela. 2007. Teori
dan beberapa kali ikut melakukan kekerasan Poskolonial Upaya Meruntuhkan
seksual mengakibatkan perempuan pribumi Hegemoni Barat. Diterjemahkan oleh
semakin tertindas. Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah.
Jakarta: CV Triarga Utama.
Pada dasarnya praktik penindasan ini
terjadi karena latar belakang praktik penjajahan Hellwig, Tineke. 2007. Citra Kaum
maupun sistem patriarki yang menggunakan Perempuan di Hindia Belanda.
ideologi maskulinitas, penstereotipan, dan Diterjemahkan oleh Mien Joebhaat.
pandangan liyan terhadap kaum perempuan di Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
negeri terjajah. Oleh karenanya, para Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/
perempuan negeri terjajah secara jelas Pascakolonialisme. Diterjemahkan oleh
mengalami penindasan dari dua pihak, yakni Hartono Hadikusumo. Yogyakarta:
sistem kolonialisme dan patriarki, lelaki Bentang Budaya.
kolonial dan lelaki pribumi, budaya patriarki McLeod, John. 2000. Beginning
asing dan patriarki pribumi. Dengan penindaan Postkolonialism. Manchester:
ganda ini mereka menjadi terus berada dalam Manchaster University Press.
posisi inferior, terbungkam tanpa memiliki
Mills, Sarra. 2009. “Teori Feminis
ruang untuk berbicara.
Poskolonial” dalam Teori-Teori
Patut diperhatikan bahwa novel MdB Feminis Kontemporer (ed. Stevi
merupakan novel yang diterbitkan pada tahun Jackson dan Jackie Jones). Yogyakarta:
1983 dan diterbitkan kembali pada tahun 2010 Jalasutra.
sehingga novel ini merupakan novel yang lahir Onghokham. 1991. “Kekuasaan dan
dalam situasi pascakolonial atau setelah
kemerdekaan. Dengan demikian, novel ini Seksualitas: Lintasan Sejarah Pra dan
merupakan novel nostalgia atas penindasan dan Masa Kolonial” dalam Prisma 7 Juli
perjuangan pada masa kolonialisme. Terkait 1991. Yogyakarta.

10
Jurnal Poetika Vol. IV No. 1, Juli 2016
Oyewumi, Oyeronke. 2005. “Coloniazing
Bodies and Minds” dalam
Postcolonialisms: An Anthology of
Cultural Theory and Critism (ed. Desai,
Gauraf and Supriya Nair.). Oxford:
Berg.
Rambe, Hanna. 2010. Mirah dari Banda.
Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sianipar, Gading. 2004.
“Mendefinisikan Pascakolonial?”
dalam Hermeneutika Pascakolonial
Soal Identitas (ed. Mudji Sutrisno).
Yogyakarta: Kanisius.
Slemon, Stephen. 1995. “Unsettling the
Empire: Resistance Theory for the
Second World” dalam The Post-
Colonial Studies Reader (ed. Bill
Ashcroft). London: Routledge.
Spivak, Gayatri. 2010. Can the Subaltern
Speak. New York: Columbia University
Press
Sudibyo, dkk. 2010. “Representasi
Perempuanperempuan Rentan dalam
Novel Bumi Manusia dan Anak Semua
Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer:
Kajian Feminisme Pascakolonial”.
Laporan Penelitian Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada.
Sudibyo, dkk. 2011. “Kritik atas Praktik
Dehumanisasi Fasisme Jepang dalam
Novel Indonesia Dasawarsa
20002010”. Laporan Penelitian
Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada.

11

Anda mungkin juga menyukai