Anda di halaman 1dari 4

Nama : Mir`Atul Hayati Putri

NIM : 202110360311092

POSTKOLONIALISME (POSTCOLONIALISM)

Sheila Nair

Postkolonialisme meneliti bagaimana masyarakat, pemerintah, dan orang-


orang di wilayah yang sebelumnya dijajah di dunia melakukan hubungan
internasional. Penggunaan istilah 'post' oleh para sarjana postkolonial sama sekali
tidak menunjukkan bahwa efek atau dampak dari pemerintahan kolonial sekarang
sudah lama hilang. Sebaliknya, ini menyoroti dampak yang masih dimiliki oleh
sejarah kolonialisme dan imperialisme dalam membentuk cara berpikir kolonial
tentang dunia, dan bagaimana bentuk-bentuk pengetahuan dan kekuasaan Barat itu
meminggirkan dunia non-Barat. Sebaliknya, ini menyoroti dampak yang masih
dimiliki oleh sejarah kolonialisme dan imperialisme dalam membentuk cara berpikir
kolonial tentang dunia, dan bagaimana bentuk-bentuk pengetahuan dan kekuasaan
Barat itu meminggirkan dunia non-Barat. Dengan mengangkat isu-isu seperti ini,
postkolonialisme mengajukan pertanyaan yang berbeda terhadap teori HI, dan
memungkinkan tidak hanya menjadi sebuah pembacaan alternatif atas sejarah, tetapi
juga perspektif alternatif tentang peristiwa dan masalah kontemporer....

Dasar-Dasar Postkolonialisme

Diskursus, terutama hal-hal yang tertulis atau diucapkan, mengkonstruksi


negara dan masyarakat non-Barat sebagai ‘orang lain’ (others), atau berbeda dengan
Barat, biasanya dengan cara yang membuat mereka tampak menjadi lebih rendah
(inferior). Gagasan wacana ini memungkinkan para sarjana untuk memanfaatkan
kerangka acuan untuk berpikir tentang dunia dan masalahnya yang tidak hanya
berada dalam analisa yang didasarkan pembuktian fakta-fakta (facts) empiris untuk
mendorong dan mendukung argumen teori HI tradisional, seperti realisme dan
liberalisme. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana karakterisasi kemiskinan global
sering kali disertai dengan gambaran dan narasi dari pemerintah dan masyarakat non-
Barat sebagai primitif, hiper- maskulin, agresif, kekanak-kanakan, dan banci secara
bersamaan. Singkatnya, postkolonialisme berpendapat bahwa menangani dan
menemukan solusi untuk kemiskinan dan ketidaksetaraan global bertentangan dengan
representasi dari pihak lain yang mempersulit pembuat kebijakan Barat untuk
melepaskan bias mereka dan mengatasi faktor struktural global yang mendasarinya
seperti bagaimana modal dan sumber daya diakumulasi dan mengalir di seluruh dunia
itu mengakibatkan dan memproduksi ketidaksetaraan atau ketimpangan di segala
bidang. Analisis yang berfokus hanya pada kelas, telah gagal mempertimbangkan
bagaimana identifikasi ‘Dunia Ketiga’ atau Third World (istilah yang dikembangkan
selama Perang Dingin untuk menggambarkan negara-negara yang tidak beraliansi
dengan Amerika Serikat atau Uni Soviet) sebagai kelompok yang bercirikan
‘terbelakang’, ‘primitif’ atau ‘non-rasional’, terkait dengan marjinalisasi ekonomi
yang terus menerus (persisten).

Postkolonialisme juga mendemonstrasikan bagaimana pandangan Barat


tentang Islam dan penganutnya, yang sebenarnya hanya merupakan manifestasi dari
ketidak-amanan Barat sendiri. Dia menyebutnya sebagai ‘Orientalisme’ karena ia
membangun ide tertentu dari apa yang disebut ‘Timur’ atau ‘Orient’, yang berbeda
dari Barat, dan yang dalam cara berpikir biner atau dualistik dianggap berasal dari
Timur, dan karakteristik penduduknya yang pada dasarnya berlawanan dengan Barat.
Ini berbeda dengan atribut yang lebih positif yang biasanya dikaitkan dengan Barat
seperti rasionalitas, maskulinitas, peradaban, dan modernitas. Misalnya, Fanon
menunjukkan bagaimana ras membentuk cara penjajah berhubungan dengan yang
terjajah, dan sebaliknya, dengan memperhatikan bagaimana beberapa orang di bawah
pemerintahan kolonial mulai menginternalisasi ide-ide perbedaan ras yang melihat
‘orang lain’ (others) sebagai inferior terhadap orang Eropa kulit putih. Dalam
perdebatan seperti ini, postkolonialisme tidak menanyakan siapa yang dapat
dipercaya dengan senjata semacam itu, tetapi siapa yang menentukan siapa yang
dapat dipercaya dan siapa yang tidak dapat, dan mengapa?. Hanya dengan melihat
persaingan antar negara untuk memperoleh senjata nuklir saja, tidak akan memberi
tahu kita cukup banyak tentang cara kerja kekuasaan dalam hubungan internasional
seperti bagaimana perlombaan senjata nuklir yang didukung oleh beberapa kekuatan
negara Barat itu mengkonstruksikan wacana bagi negara-negara lain (others),
sehingga mereka menjadi dianggap tidak mampu memiliki senjata semacam itu sama
sekali.

Postkolonialisme dan Marginalisasi Wanita Kulit Berwarna

Seperti semua teori HI, ada perdebatan internal di antara para sarjana
postkolonial, dan dalam hal ini juga tumpang tindih yang signifikan dengan
feminisme, terutama feminisme ‘gelombang ketiga’ (third wave) yang menjadi
menonjol di tahun 1990-an. Bell Hooks (2000) mengamati bahwa apa yang disebut
‘second wave’ atau ‘gelombang kedua’ feminisme pada pertengahan hingga akhir
abad ke-20 telah muncul dari wanita dalam posisi istimewa, dan tidak mewakili
wanita Afrika-Amerika seperti dirinya yang tetap berada di pinggiran masyarakat,
baik secara politik, ekonomi dan budaya/sosial. Dia menyerukan aktivisme dan
politik feminis alternatif, yang kritis dan khas.

Misalnya, apakah wanita kulit hitam dari lingkungan miskin di sisi selatan Chicago
mengalami seksisme dengan cara yang sama seperti wanita kulit putih dari pinggiran
kota yang lebih kaya? Hal yang sama mungkin berlaku untuk wanita kulit berwarna
dan wanita kulit putih dari kelas sosial yang sama. Wanita kulit berwarna dan wanita
kulit putih di Amerika Serikat mengalami ‘heteropatriarki’ - sebuah tatanan
masyarakat yang ditandai oleh dominasi heteroseksual pria kulit putih - secara
berbeda meskipun mereka berasal dari kelas sosial yang sama. Sebaliknya, mereka
menyoroti kebutuhan untuk melawan tidak hanya patriarki (secara luas dipahami
sebagai kekuatan laki- laki atas perempuan), tetapi juga klasisme dan rasisme yang
mengutamakan perempuan kulit putih daripada perempuan kulit berwarna. Di banyak
bagian lain di negara-negara terjajah, wanita berdiri bahu-membahu dengan pria
dalam gerakan nasionalis untuk menggulingkan pemerintahan kolonial, menunjukkan
bahwa wanita dalam konteks budaya, sosial dan politik yang berbeda mengalami
penindasan dengan cara yang sangat berbeda.

Dalam memahami kekuasaan, dengan demikian, membutuhkan perhatian serius pada


interseksi bidang ini, dan bagaimana mereka tertanam dalam masalah yang sedang
dihadapi. Tragedi itu mengungkap eksploitasi dan kondisi kerja yang menyedihkan
dari para wanita ini, yang dipekerjakan oleh kontraktor lokal perusahaan Amerika
untuk membuat mainan dan boneka binatang untuk dijual di pasar Barat (Eropa dan
Amerika Serikat). Sebagian opini media di bawah ini menggambarkan pengabaian
yang mengejutkan atas tentang kehidupan para wanita itu; Para eksekutif ini tahu
bahwa keuntungan mereka berasal dari jerih payah kaum muda dan orang malang di
Timur Jauh, mereka bisa hidup dengan itu, dengan hidup yang nyaman. Para ahli
postkolonial berpendapat bahwa kondisi yang sangat eksploitatif dan pengabaian
terhadap keselamatan para pekerja ini menunjukkan bahwa nilai yang lebih rendah
dianggap berasal dari ‘tubuh cokelat’ dibandingkan dengan yang berkulit ‘putih’.
Pencarian untuk margin keuntungan setinggi mungkin memaksa negara-negara
berkembang untuk ‘berlomba ke tempat yang paling bawah’ (a race to the buttom) di
mana mereka bersaing untuk mendapatkan tenaga kerja dan biaya produksi termurah
untuk menarik investasi dari perusahaan multinasional. Para ilmuan postkolonial
menjelaskan kegagalan untuk mengubah kondisi ini, dengan mengungkap bagaimana
ras, kelas dan gender bersatu untuk mengaburkan penderitaan para pekerja ini, yang
berarti bahwa pengawas pabrik, seperti pemilik Rana Plaza dan Kader Factory, tidak
dimintai pertanggungjawaban (atau tidak dikontrol pekerjaannya agar sesuai dengan
standar yang berlaku) sampai tragedi itu terjadi.

Kesimpulan

Menyatukan keprihatinan yang mendalam dengan sejarah kolonialisme dan


imperialisme, bagaimana bisa hal ini dibawa hingga saat ini, dan bagaimana
ketidaksetaraan dan penindasan yang tertanam dalam hubungan ras, kelas dan gender
dalam skala global itu sangat penting bagi pemahaman kita tentang hubungan
internasional. Dengan memperhatikan dengan cermat bagaimana aspek-aspek global
ini bermain dalam konteks tertentu, postkolonialisme memberi kita lensa konseptual
yang penting dan alternatif yang memberi kita seperangkat alat teoretis berbeda untuk
mengungkap dan membongkar kompleksitas dunia ini.

Anda mungkin juga menyukai