Anda di halaman 1dari 12

POSKOLONIALISME:

Analisis Teori Praktik Sosial dalam Case Program NSS


Oleh:
Novita Ayu Febriana

A. Latar belakang
Masalah dan isu mengenai emansipasi, kebebasan berpendapat, dan juga
kesetaraan dalam hal gender ( terutama dalam kacamata perempuan ) masih menjadi
isu yang seksi untuk dibahas dalam ranah kekinian. Hal ini dikarenakan Indonesia
menjadi Negara yang memiliki diversitas budaya yang tertinggi di dunia1. Diversitas
budaya ini menyebabkan wacana pencarian identitas akan nilai – nilai yang dianut
oleh budaya bangsa. Terutama bagaimana memposisikan perempuan di tengah budaya
patriarkis di beberapa suku di Indonesia, kemudian bagaimana seseorang harus
bersikap, berperilaku dan berpartisipasi dalam sebuah wadah yang lebih besar yaitu
Negara atau pemerintahan. Persoalan ini memberikan pengantar kepada sebuah studi
yaitu yang biasa disebut pascacollonialism atau poskolonial. Mengapa disebut sebagai
pasca colonial ? Karena konsep ini bertujuan menjawab/kritik atau konstruksi
terhadap warisan imperialisme/kolonialisme negara – negara barat baik di bidang
kultur, sosial, ekonomi, hukum dlsb.
Sebelum masuk ke penjelasan mengenai poskolonialisme, penulis akan
menjelaskan mengenai bagaimana kolonialisme tersebut terjadi sehingga bisa ditarik
benang merahnya atau relasinya terhadap pembahasan pos/pasca nya. Kolonialisme
atau Imperialisme adalah suatu proses penjajahan yang dilakukan oleh sekelompok
bangsa “yang menjajah” dan ada sekelompok bangsa yang “dijajah”. Sekelompok
bangsa yang menjajah adalah “imperial” yaitu Negara – Negara dunia ketiga pasca
revolusi industri. Mereka adalah bangsa – bangsa Eropa dan Perserikatannya. Ada
juga sebagian Asia Timur yang memenangkan peperangan seperti Jepang dan China.
Bangsa – bangsa tersebut memiliki misi menguasai sebagian bahkan sampai
keseluruhan Negara – Negara jajahan mereka dengan melakukan praktik – praktik
penjajahan seperti ekspansi wilayah, penguasaan modal/capital ( alam, sumberdaya
manusia, alat tukar dlsb ), penyebaran ajaran agama ( gospel ), kulturisasi ( mulai
penggabungan sampai dengan penghilangan/penggantian ) yang dilakukan mulai dari
yang permukaan seperti peninggalan artefak ( barang/benda yang menunjukkan
1
Sukarwo, Wirawan. Jurnal Desain Vol.04/03 Mei 2017, KRISIS IDENTITAS BUDAYA: STUDI POSKOLONIAL
PADA PRODUK DESAIN KONTEMPORER, Program DKV Universitas Indraprasta PGRI.

1
identitas mereka, bahasa, kebiasaan, dlsb ), strukturasi berupa pengaturan dalam ranah
hukum, adat, pelestarian genetika/keturunan dengan perkawinan, sampai dengan
sistem nilai yaitu menyebarkan nilai – nilai dominasi antara patron-client, yang
berarti kehidupan masyarakat yang dijajah sangat tergantung oleh si Patronase atau
induk. Kehidupan bermasyarakat diciptakan “ketergantungan” akibat penguasaan atas
capital yang dimiliki oleh Negara yang dijajah sehingga Negara yang dijajah tidak
memiliki daya serta kekuasaan atas dirinya sendiri. Akar penyebab dari hal tersebut
adalah penguasaan akses – akses teknologi, kemajuan peradaban dan juga penguasaan
alat – alat peperangan oleh penjajah yang menyebabkan Negara yang dijajah
mengalami penindasan, diskriminasi dan juga ketertinggalan. Setelah adanya
kemerdekaan sekalipun, adanya wacana mengenai “kondisi terjajah” sekali lagi tidak
bisa dihilangkan. Adanya pengaruh dan juga sisa – sisa warisan penjajahan juga
masih meninggalkan jejak dalam bentuk identitas social, budaya, hukum, politik dlsb.
Salah satu contoh peninggalan budaya/warisan penjajahan adalah mengenai
persoalan pola asuh antara orang tua dengan anak. Posisi orang tua berkuasa penuh
atas anaknya hal ini dibangun dari warisan – warisan pola asuh turun temurun
sehingga apapun yang dilakukan oleh anaknya didasarkan pada strukturasi aturan –
aturan orang tua. Bentuknya adalah seperti pembatasan jam dalam bermain, belajar,
makan, tidur, dan seluruh akses sumber daya seperti teknologi, ekonomi, pengetahuan
dlsb. Komunikasi yang terjadi berpola structural yaitu posisi orang tua yang kuat dan
si anak yang lemah dan harus menurut apa kata orang tua. Jika terjadi pelanggaran,
akan ada hukuman bagi mereka dan hukuman tersebut melibatkan fisik/kekerasan
( seperti yang dilakukan oleh penjajah dulu  memperlakukan yang dijajah seperti
benda atau hewan peliharaan yang seakan tidak memiliki keinginan, pikiran dan
perasaan). Akibatnya ada perasaan “terbelenggu” yang dirasakan oleh sang anak yang
mengakibatkan jika kondisinya sudah tertekan, ada dorongan untuk memberontak,
menuntut kemerdekaan dan rasa marah akibat terus menerus diposisikan seperti bukan
manusia.
Itu adalah sebagian contoh kecilnya saja yang terjadi dalam sekup mikro dan
masih banyak hal yang lainnya yang bersifat makro. Oleh karena itu, muncullah
diskursus yang mengkritisi hal tersebut mulai dari segi pemikiran sampai dengan
implikasi praksis. Diskursus tersebut berjalan seiring dengan berkembangnya
pemikiran mengenai humanisme dan posmodernisme yang menekankan pada mulai
munculnya keinginan, kehendak bebas seorang individu yang itu adalah manusia yang
2
memiliki persepsi, pengetahuan, rasa dan dorongan untuk terbebas dari belenggu
dominasi atau kekuasaan. Wacana kritis yang berkembang mulai menyuarakan
mengenai kondisi – kondisi yang dialami oleh “kaum terjajah” yang kemudian
berkembang dalam berbagai bidang seperti seni, sastra, ekonomi, politik, budaya,
gender dlsb. Pemikiran mengenai kritik terhadap dominasi kekuasaan dan penjajahan
tersebut dinamakan Poskolonialisme yang bisa dimaknai lebih luas, sifatnya
(timeless) atau tidak terbatas oleh waktu bahwa memang Negara – Negara yang
dijajah sudah merdeka secara de jure, namun secara de facto mereka belum bisa lepas
dari trauma penjajahan, bahkan masih terjadi “penjajahan terselubung” karena secara
warisan dan eksistensi bentuk penjajahan itu pasti ada karena adanya pihak yang
dominan, sehingga terdapat adanya bentuk kemerdekaan/perlawanan yang dilakukan
oleh “kaum terjajah”.
Para ilmuwan poskolonialisme antara lain Gramsci yang meneliti mengenai
pengaruh hegemoni ideology terhadap identitas, Gayatri C Spivak mengenai
Subaltern yang mengembangkan konsep mengenai kaum sub altern yang tidak
mempunyai kuasa untuk berbicara, dibatasi dan diskriminasi akibat strukturisasi
agama yang terjadi di india, Pierre Bordieu yang mengulik mengenai bagaimana
sebuah praktik social ( Habitus, arena, agen dan struktur saling terkait dan
mempengaruhi ), Edward Said mengenai pandangan barat mengenai timur, Focoult
dan masih banyak lagi. Salah satu ilmuwan yang mengembangkan teori mengenai
poskolonialisme ini adalah Homi K Babha melalui teori hibriditas. Prinsip dari semua
teori ini adalah menggambarkan bagaimana dominasi tersebut terjadi dan
mempengaruhi kaum yang dianggap tertindas/ minoritas dan kekuatan yang dibangun
oleh kaum tersebut untuk bisa lepas atau berjuang dari dominasi.
Kembali kepada isu gender, posisi perempuan di Indonesia masih menjadi topic
diskusi hangat yang banyak diangkat oleh berbagai pihak. Hal ini berkaitan dengan
nilai dan peran perempuan di dalam masyarakat yang stereotype nya masih seringkali
menjadi obyektivikasi, korban, atau pihak – pihak yang diperjuangkan hak – hak dan
kesetaraannya.
Menurut survei Women's Health and Life Experiences pada 2016 silam, satu dari
tiga perempuan Indonesia yang berusia 15-64 tahun mengaku pernah mengalami
kekerasan fisik dan seksual. Perempuan juga masih menghadapi rintangan hukum dan
diskriminasi di lapangan kerja. Dengan angka sebesar 51% pada 2017 silam,
keterlibatan perempuan Indonesia di pasar tenaga kerja masih jauh di bawah rata-rata
3
pria sebesar 80%. Rendahnya partisipasi perempuan pada pasar tenaga kerja diyakini
antara lain disebabkan oleh tingginya persepsi/tuntutan akan pernikahan, memiliki
anak, pendidikan yang rendah dan perubahan struktur ekonomi di pedesaan yang
ditandai dengan melemahnya sektor pertanian sebagai dampak migrasi dari desa ke
kota2.
Oleh karena itu, selain banyaknya usaha – usaha para aktivis perempuan di
sejumlah LSM dan lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan dan
anak, seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi di Era IoT ( Internet of
things ) ini banyak para public figure, influencer yang juga ikut menginspirasi dan
mendorong kalangan perempuan di Indonesia untuk bergerak maju dan andil dalam
mendukung kesetaraan gender dalam peran sertanya di berbagai sector di masyarakat.
Salah satu influencer tersebut adalah Putri Tanjung, CEO pemilik PT CT Corp dengan
berbagai anak perusahaan yang dimiliki. Putri melalui berbagai unggahannya di
Media Sosial memotivasi para generasi muda untuk tidak hanya “bicara” saja
mengenai kesetaraan gender tetapi membuktikan melalui prestasi yang ia raih,
kerjasama yang ia ciptakan dan juga program yang ia buat bahwa ia bisa mewujudkan
peran aktif perempuan dalam sector usaha kreatif di bidang ekonomi, seni dan
budaya. Ini juga tidak lepas dari factor – factor strukturasi di sekitarnya dan juga
modal – modal yang ia miliki sehingga ia bisa mewujudkan impian semua
“perempuan” di Indonesia yaitu menjadi subyek “independen” yang berperan aktif di
sistem di masyarakat atas keinginannya sendiri. Hal ini menarik untuk diulik sebab
dengan ini kita bisa memahami bagaimana proses Putri Tanjung bisa melakukan
empowering kepada perempuan di Indonesia dan juga bagaimana atau apa saja yang
ia alami, sehingga ia bisa terdorong untuk menjadi Agen yang mendorong terjadinya
perubahan social di masyarakat dan melakukan tugasnya sebagai the agent of change
yang mewakili suara perempuan di Indonesia melalui program yang ia buat sendiri
yaitu NSS ( Ngobrol Sore Semaunya) yang ditayangkan lewat platform digital yang
banyak di konsumsi saat ini yaitu Youtube.
Fenomena ini akan di analisis berdasarkan kajian teoritis melalui pendekatan
poskolonial yaitu Teori Praktik Sosial yang di gagas oleh Pierre Bordieu yang
berfokus mengkaji mengenai bagaimana hubungan antara modal yang dimiliki oleh
Agen sehingga ia bisa mempengaruhi struktur dan interaksi yang terjadi di dalamnya.

2
Sumber : https://www.dw.com/id/bagaimana-skor-indonesia-di-indeks-kesetaraan-gender-2018/a-
45552865, data UNICEF, diakses pada 11 januari 2021 21.00.

4
B. Fokus Analisis
Apa saja modal – modal yang dimiliki oleh Putri Tanjung sehingga ia bisa menjadi
agen perubahan yang menyuarakan woman empowering di masyarakat Indonesia dan
bagaimana ia mewujudkannya lewat program NSS ?
C. Kajian teoritis
Teori Praktik Sosial Pierre Bourdieu3
Teori yang dianggap tepat guna membedah focus analisis pada permasalahan
ini adalah Teori Praktik Sosial oleh Pierre Bourdieu. Pierre Bourdieu dalam Outline
of a Theory of Practice (1977) tepat digunakan untuk membedah fenomena sosial
yang ada karena teori ini menggunakan pendekatan dialektis. Maknanya adalah
adanya empowering yang dilakukan oleh Putri Tanjung tidak bisa muncul begitu saja
karena ia menyuarakannya. Tetapi ada factor – factor lain yang mempengaruhinya
dan menjadikannya sebagai agen yang melakukan perubahan di masyarakat melalui
aksi yang ia lakukan. Bourdieu dalam skema teoritisnya mengenai practice sangat
menekankan pentingnya melihat practice sebagai proses dialektika dari
penginkorporasian struktur dan pengobjektivikasian habitus. Artinya “Self” atau
keberadaan Putri Tanjung sebagai Agen juga tidak bisa dilepaskan dari interaksinya
dengan lingkungan sosialnya, pengaruh “habitus” yang ada di sekitarnya.
Bourdieu berusaha mendamaikan oposisi dikotomi agen-struktur, individu-
masyarakat, dan determinisme-kebebasan. Bourdieu juga berusaha membongkar
mekanisme dan srategi dominasi yang dilihatnya tidak saja sebagai akibat-akibat luar,
tetapi lebih dalam, yakni akibat yang dibatinkan. Maknanya adalah ada proses
Internalisasi yang dialami oleh Agen, yang mengakibatkan munculnya dorongan
untuk melakukan perubahan social. Bourdieu juga mengembangkan teori dominasi
simbolis yang sangat terkait dengan studi-studi budaya. Teori Perjuangan kelas yang
dikembangkan oleh Marx menurutnya hanya berkutat pada determinisme kelas yang
mereduksi bidang sosial pada ekonomi dianggap Bourdieu telah menyebabkan
pembagian kelas yang mengabaikan kondisi objektif. Perjuangan kelas menurut
Bourdieu dipandang sebagai perjuangan simbolis yang ditentukan berdasarkan
akumulasi dari ekonomi, budaya, dan sosial. Bourdieu juga menjelaskan bahwa
habitus merupakan satu bentuk epistemologi sejarah dalam kerangka mengungkap

3
Dikutip dari : https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/bcf462f1c3653a197ab594cc8411168d.pdf ,
konsep dan landasan teori

5
relevansi praktis sebuah wacana. Sebagai hasil dari proses sejarah, habitus
menghasilkan praktik, baik bagi individu, maupun kelompok. Habitus hadir untuk
memberikan jaminan atas pengalaman masa lalu yang diletakkan dalam setiap
organism dalam bentuk skema persepsi, pemikiran, dan tindakan, juga aturan formal
dan norma yang tersurat guna menjamin kesesuaian praktik-praktik sepanjang waktu
(Bourdieu, 1977:143).
Habitus merupakan mediator penghubung antara agency atau practice dengan
sruktur atau capital (Modal) dan field (Arena). Habitus merupakan skema-skema
generative atau Mekanisme yang memungkinkan terciptanya ruang reproduksi
pemikiran, tindakan, dan persepsi yang terus menerus dan tidak dapat dipisahkan
dengan “kesejarahan”. Habitus juga dapat dikatakan sebagai ketidak sadaran kultural
yang merupakan produk historis sejak manusia dilahirkan dan berinteraksi dalam
realitas sosial. Hal ini berarti habitus bukanlah kodrat, bukan pula bawaan ilmiah
biologis maupun psikologis, namun merupakan hasil pembelajaran lewat pengalaman,
aktivitas bermain, dan juga pendidikan dalam masyarakat. Semua pembelajaran
terkadang terjadi secara halus, tidak disadari, dan tampil sebagai hal wajar sehingga
seolah-olah menjadi sesuatu hal yang alamiah (Mahin, 2009:44).
Bourdieu memahami persebaran modal sebagai parameter yang menentukan
posisi dominan suatu agen. Agen yang mempuyai akumulasi modal terbanyak maka
akan masuk pada kelas dominan, demikian pula sebaliknya. Menurut Bourdieu,
terdapat 4 tipe modal, yakni modal ekonomi ( kemampuan finansial yang dimiliki
agen, misalnya uang, komoditas-komoditas, maupun sumber daya dalam berbagai
bentuk), modal kultural (meliputi berbagai pengetahuan sah yang dimiliki agen),
modal sosial (yakni jaringan sosial yang bernilai antar individu), dan modal simbolik
(yang berasal dari kehormatan dan prestise) (Bourdieu dalam Mahin, 2009). Modal
dalam pemahaman Bourdieu dapat membantu kita mengidentifikasi modal yang
dimiliki oleh seluruh golongan agen ketika memasuki “arena” dan lebih dalam lagi
dalam mengetahui cara mereka dalam mengkonversikannya menjadi sebuah modal
simbolik (termasuk di dalamnya, cara mereka mengumpulkan modal sosial tersebut
bagi kepentingan dan kebutuhan mereka di masa kini) (Segara, 2011).
Relasi antara habitus dan modal yang diuraikan diatas memungkinkan lahirnya
arena sebagai ruang pertarungan untuk saling mendominasi guna mencapai tujuan
(posisi) yang diinginkan. Arena merupakan ruang untuk melakukan kontestasi
ataupun negosiasi guna memperebutkan kekuasaan simbolik.
6
D. Analisis
1. Proses terbentuknya Habitus
Seperti yang telah dijabarkan diatas, konsep habitus adalah mekanisme
dimana seorang Agen mengalami apa yang disebut Internalisasi dan
Eksternalisasi. Internalisasi adalah proses terbentuknya skema pemikiran,
dialektika hingga penghayatan yang di dapat melalui pengalaman – pengalaman,
pembelajaran lewat lingkungan, pola asuh dlsb yang menginspirasi atau
membentuk motif seorang Putri Tanjung untuk menjadi agent of change yang
melakukan perubahan social di masyarakat. Untuk mengetahui proses internalisasi
yang terjadi, penulis mengambil data mengenai proses dialektika dan munculnya
pemikiran Putri Tanjung mengenai memulai bisnisnya sendiri4. Pada Awalnya
dimulai dari pengamatan yang ia lakukan dari usaha yang dirintis oleh Ayahnya
Chaerul Tanjung yang merupakan pengusaha dan masuk ke dalam deretan orang
terkaya di Indonesia (menurut majalah FORBES). Ia mendengar dan melihat
bagaimana perjuangan yang dialami oleh ayahnya mulai dari belum punya apa –
apa ( rumah sepetak, toilet diluar tidak punya toilet sendiri ) sampai dengan
memiliki usaha sendiri atas kerja keras yang dilakukan oleh ayahnya. Ayahnya
sebagai sosok orang yang mendorong dia untuk menjadi anak yang mandiri,
bertanggung jawab dan di kondisikan dari kecil ia sering diajak ke kantor
ayahnya, melihat ayahnya bekerja, dlsb. Selain itu juga ia ditanamkan nilai – nilai
kemandirian, memegang teguh komitmen dan juga harus bekerja keras jika ingin
mendapatkan sesuatu ( melalui pola didik ibu dan ayahnya ). Ini yang
mempengaruhi dia untuk senantiasa mendapatkan prestasi atau apapun yang bisa
dia raih baik di bidang akademis maupun non akademis. Namun, perjuangan
dalam mendapatkan prestasi dan usahanya tidak selancar apa yang ia bayangkan.
Ia sendiri mengakui jika ia kesulitan di beberapa mata pelajaran seperti eksakta
dan sejenisnya. Selain itu kondisi fisiknya yang saat itu masih kecil ( tidak
dijelaskan umur berapa )5 sering di bully karena berambut kriwul, berkulit sawo
matang dlsb dan sering tidak dianggap karena tidak bisa apa – apa tetapi karena
anak orang kaya jadi mendapatkan priviledge nya sangat mudah. Disamping itu ia
juga di umur remajanya sering di remehkan kalau dia bisa berhasil dengan mudah
4
Sumber data : Wawancara Putri Tanjung dengan Raditya dika di youtube Raditya dika dengan judul “BISNIS
DARI UMUR 15 TAHUN ALA PUTRI TANJUNG”.
5
Sumber data : NSS wawancara Putri tanjung dan cinta laura di youtube dengan judul “NSS Ep.13 - Cinta Laura:
Melarikan Diri ke Amerika Sampai Takut Pulang ke Indonesia”.

7
karena “modal bapaknya”, dan sering mendengarkan celetukan – celetukan
perempuan itu bisa apa sih, khan nanti juga ujung – ujungnya nikah dan jadi ibu
rumah tangga juga. Hal ini yang kemudian mendorong dia untuk bekerja keras
belajar apa yang dia bisa, membuktikan kalau ia bisa berhasil tanpa bantuan
bapaknya dan ia bisa berhasil kelak di masa depan.
Sehingga dari proses internalisasi yang demikian, terciptalah eksternalisasi
yaitu usaha – usaha yang dia lakukan adalah berusaha bukan menjadi orang yang
paling pintar tetapi paling mau jika disuruh, mau bekerjasama, mau bekerja keras,
dan mau berteman dengan siapapun. Hasilnya adalah ia ditunjuk sebagai wakil
ketua kelas saat SMP, kemudian menjadi Ketua Kelas, kemudian aktif di berbagai
ekskul dan keorganisasian dan dari sanalah terbentuk jiwa yang bebas,
kepercayaan diri serta kreatifitas dari seorang Putri Tanjung. Prestasi yang
pertama kali ia lakukan adalah mengadakan event – event untuk acara kelas, acara
sekolah sampai menjadi event organizer pertama dari acara ulang tahun temannya
sendiri. Semua itu akhirnya menginspirasinya untuk menjadi seseorang yang
seperti apa ia di masa depan hingga akhirnya ia memutuskan untuk bersekolah di
Amerika dengan mengambil jurusan multimedia dan saat ini berkiprah di ekonomi
kreatif yang berbasis digital. Darisanalah kemudian ia cukup dikenal oleh
kalangan public figure dan juga memperkenalkan dirinya ke public sebagai CEO
dari Creative preneur yang kemudian berkembang menjadi PT CT Corp dan
membuat platform digital mandiri bernama CXO media dan berkiprah di youtube.
Salah satu segmen yang ia buat yang memang bertujuan untuk menginspirasi
generasi muda terutama perempuan adalah NSS ( Ngobrol Sore semaunya ) yang
darisini nantinya akan diketahui bagaimana perannya dalam me literasi public
mengenai peran – peran perempuan di Indonesia, dan memperlihatkan
eksistensinya sebagai salah satu perempuan yang berani speak up/tampil di public
dengan mengundang berbagai nara sumber yang tidak hanya perempuan tetapi
juga laki – laki untuk menunjukkan bahwa secara keterlibatan ia bisa juga sehebat
mereka dan justru malah menginspirasi kaum laki – laki tersebut. Bentuk
eksternalisasi lainnya yang ia lakukan adalah saat ini ia mau dipilih sebagai staff
khusus presiden sebagai perwakilan dari generasi milenial yang dianggap bisa
mewakili kepentingan perempuan, pebisnis muda, dan generasi muda pada zaman
ini.
2. Modal – modal yang dimiliki
8
Menurut Bourdieu, terdapat 4 tipe modal, yakni modal ekonomi ( kemampuan
finansial yang dimiliki agen, misalnya uang, komoditas-komoditas, maupun
sumber daya dalam berbagai bentuk), modal kultural (meliputi berbagai
pengetahuan sah yang dimiliki agen), modal sosial (yakni jaringan sosial yang
bernilai antar individu), dan modal simbolik (yang berasal dari kehormatan dan
prestise) (Bourdieu dalam Mahin, 2009). Jika dilihat dari kepemilikannya, yang
pertama modal finansial yang dimiliki agen. Putri sudah memiliki usaha sendiri
sejak ia berumur 15 tahun dan memiliki perusahaan sendiri saat ia berumur 21
tahun darisanalah ia bisa mengkses kepemilikannya secara pribadi. Sehingga bisa
dibilang sudah tidak diragukan lagi ia memiliki modal ini. Yang kedua modal
kultural yaitu pengetahuan yang dimiliki oleh agen. Pendidikan yang ia tempuh
adalah Menilik dari akun Linkedlin-nya, Putri pernah menempuh pendidikan di
Anglo Chinese School Jakarta pada tahun 2006-2011. Ia juga melanjutkan
pendidikan di Australian Internasional School Singapore tahun 2012-2014 dan
Academy of Art University jurusan multimedia tahun 2015-2019 6. Dari
pendidikan ini putri mendapatkan pengetahuan mengenai bahasa inggris,
mandarin dan juga dari perkuliahannya ia mendapatkan kemampuan mengenai
teknologi dan digitalisasi yang mempengaruhi bisnisnya kelak. Ditambah
pengalaman – pengalamannya selama berbisnis yang membentuk kerangka
pengetahuannya dan skillnya mengenai manajemen, strategi dan juga SDM.
Selain itu menurut pemaparannya, ia juga senang sekali mengikuti seminar –
seminar mengenai usaha kreatif, pemberdayaan perempuan dan aktif dalam
mewacanakan muda bergerak yaitu gerakan partisipasi aktif pemuda dalam
memulai bisnis dan karyanya untuk negeri. Sehingga dari modal budaya, mulai
dari akses pendidikan hingga teknologi dan pengaruhnya ia juga miliki.
Selanjutnya yaitu modal social, dari penjelasan habitus diatas mengenai
bagaimana usahanya dalam menjalin relasi dan juga jalinan relasinya dengan
public figure melalui perkenalan dari berbagai kegiatan juga sudah ia miliki.
Selain itu ia juga mahir dalam berkomunikasi dilihat dari cara dia berteman dan
menjalin relasi, ia aktif menjadi pembicara di berbagai talkshow dan juga saat ini
bahkan ia memiliki acara dengan konsep talkshow secara mandiri dan ia menjadi
6
Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Latar Belakang Pendidikan 7 Staf Khusus Milenial
Jokowi, dari Putri Tanjung hingga Aminudin Ma'ruf, https://jogja.tribunnews.com/2019/11/22/latar-belakang-
pendidikan-7-staf-khusus-milenial-jokowi-dari-putri-tanjung-hingga-aminudin-maruf?page=2 Editor: Rina
Eviana, diakses pada tanggal 11 januari 2021 pukul 03.30

9
hostnya. Yang terakhir yaitu modal simbolik atau berupa penghormatan/posisi.
Tidak bisa dinafikkan, keberadaan ayahnya juga mendukung nilainya di mata
relasi, public dan masyarakat sehingga ia akhirnya sangat mudah untuk dikenali,
dan menjadi perhatian bagi khalayak. Dengan modal ini juga akhirnya putri bisa
berkenalan dengan Presiden RI, punya akses dengan menteri, dan juga pejabat
Negara lainnya untuk kemudian ia undang di acara NSS. Nama Putri Tanjung
yang kemudian sangat melekat dengan sang ayah yaitu Chaerul Tanjung.
Sehingga ia juga memiliki modal simbolik berupa pengaruh posisi yang dimiliki
ayahnya di Indonesia.
3. Hasil interaksi Habitus, Modal oleh Agen melalui Arena
Konsep arena ( field ) adalah dimana habitus, modal dan agen saling
berinteraksi dan membentuk sebuah perubahan social di masyarakat. Adanya
program NSS (Ngobrol Sore Semaunya) ini menjadi arena tempat ke semua factor
tersebut berinteraksi. Sedikit penjelasan mengenai NSS. NSS adalah suatu
program talkshow yang digawangi oleh CXO media dimana pemiliknya adalah
Putri Tanjung sendiri. Melalui NSS ini, putri menggagas ide mengenai peran
perempuan di berbagai sector dengan mengundang narasumber yang rata – rata
public figure (pekerja seni) namun bekerja di berbagai bidang seperti najwa
shihab, Nagita Slavina, Andien, Raisa, Ayla dimitri dlsb. Ia juga mengundang
beberapa tokoh seperti Gita Wirjawan, Sandiaga Uno dlsb yang prinsipnya sedang
menyentuh pasar millennial namun dengan bahasan mengenai isu – isu yang
membentuk pemikiran pemuda, perempuan dan pembangunan. Disini ia menjadi
pembawa acaranya sendiri (host) dan membawakan dengan gaya bicara ala Putri
sesuai dengan pengalamannya, masa lalunya, impiannya dan pengetahuannya agar
selalu nyambung dengan topic yang dibahas.
Dialektika yang terjadi adalah tentang bagaimana NSS ini menjadi relevan
dengan kebutuhan atau masalah kurangnya literasi, keterbatasan perempuan di
segala akses, dan stereotype – stereotype yang terjadi di masyarakat kemudian
dengan modal – modal yang ia miliki dan ia sendiri yang menjadi agennya untuk
kemudian melakukan banyak eksternalisasi terhadap internalisasi yang ia alami,
yang dialami oleh public figure lain untuk kemudian di sosialisasikan melalui
media massa dan banyak ditonton oleh viewers dengan tujuan meng influence
generasi saat ini untuk lebih maju dan berperan aktif di usia muda tanpa terbatasi
oleh status, gender dan pendidikan. Bahwa semua orang sukses, public figure
10
yang ia undang dulunya juga berasal dari 0. Yang kemudian lewat kerja keras,
usaha serta factor x : keberuntungan, do’a, dan juga bakat yang dimiliki mereka
bisa sukses dan seberuntung saat ini. Hal – hal tersebut kemudian terus digali dan
disebarkan di masyarakat agar mempengaruhi mindset, keinginan serta motivasi
untuk juga melakukan apa yang ia dan narasumber lain khususnya perempuan
lakukan.
E. Penutup
Kesimpulan dari analisis studi kasus NSS oleh Putri Tanjung menurut teori praktik social
Pierre Bordieu adalah sebagai seorang agen Putri juga dipengaruhi oleh habitus yang
membentuk motivasi ia untuk melakukan pembuktian, dan menyuarakan bahwa ia sebagai
perempuan Indonesia juga bisa berperan aktif di berbagai sector. Habitus tersebut merupakan
masa lalunya, pengalaman yang ia miliki dan nilai – nilai yang ia serap dari keluarganya
untuk selalu bekerja keras dan komitmen membuktikan potensi diri. Habitus tersebut
kemudian membentuk dan berinteraksi dengan modal – modal yang ia miliki yaitu ekonomi,
simbolik, budaya dan juga social. Seluruh rangkaian tersebut kemudian berinteraksi di dalam
arena yang ia buat yaitu program NSS untuk memberikan juga pengaruh kepada masyarakat
agar lebih terliterasi, melek terhadap peran perempuan dan juga menciptakan generasi muda
yang lebih berani dalam bertindak dan berusaha.
Jika hal ini di implementasikan terhadap dakwah, apa yang dilakukan putri ini juga bisa
menginspirasi agen dakwah yang mempunyai modal social, ekonomi, simbolik dan budaya
untuk memiliki usaha menginteraksikannya dalam sebuah arena yang bisa diakses oleh
masyarakat sehingga bisa membawa perubahan secara positif di masyarakat. Co : seorang
anak ustad/kyai yang dilahirkan di kondisi masyarakat yang disekitarnya terdapat lokalisasi/
kerusakan moral kemudian ia melakukan proses internalisasi yang pada akhirnya membawa ia
pada ide – ide perubahan yang sesuai dengan kondisi masyarakat tersebut dan menjawab
tantangan zaman. Misalnya melalui pemberdayaan ekonomi, kepengajaran digital untuk
wirausaha ( menggantikan usaha – usaha yang sebelumnya bertentangan dengan aqidah) dlsb.

11
Daftar Referensi :

Bungin, Burhan, Sosiologi Komunikasi – Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di
Masyarakat, Cet.6 th 2013, Kencana Prenada Media Group : Jakarta.

Martono, Nanang, Sosiologi Perubahan Sosial – Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial, google
books, Rajagrafindo : Jakarta.

Setiawan, Rahmat, Subaltern, Politik Etis, dan Hegemoni dalam Perspektif Spivak, Jurnal Universitas PGRI Adi
Buana Surabaya, Poetika : Jurnal Ilmu Sastra, Vol. VI No. 1 Juli 2018

Sukarwo, Wirawan. Jurnal Desain Vol.04/03 Mei 2017, KRISIS IDENTITAS BUDAYA: STUDI
POSKOLONIAL
PADA PRODUK DESAIN KONTEMPORER, Program DKV Universitas Indraprasta PGRI.

Sumber : https://www.dw.com/id/bagaimana-skor-indonesia-di-indeks-kesetaraan-gender-2018/a-45552865,
data UNICEF, diakses pada 11 januari 2021 21.00.

Dikutip dari : https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/bcf462f1c3653a197ab594cc8411168d.pdf , konsep


dan landasan teori

Sumber data : Wawancara Putri Tanjung dengan Raditya dika di youtube Raditya dika dengan judul “BISNIS
DARI UMUR 15 TAHUN ALA PUTRI TANJUNG”.

Sumber data : NSS wawancara Putri tanjung dan cinta laura di youtube dengan judul “NSS Ep.13 - Cinta Laura:
Melarikan Diri ke Amerika Sampai Takut Pulang ke Indonesia”.

12

Anda mungkin juga menyukai