Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TENTANG

CHILDFREE “BUDAYA

CHILDFREE”

DOSEN PENGAMPU :

M. SYAHRIRAMDANI S.I.Kom.,M.I.Kom

DISUSUN OLEH :

DHETA AULIA NURBANA (220900039)

LAZUARDO HARTONO (220900015)

UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


DAFTAR ISI

Daftar isi.........................................................................................................2

Pengertian Childfree.......................................................................................3

Pengertian Masyarakat...................................................................................4

Pengertian Budaya..........................................................................................5

Fenomena Budaya Childfree..........................................................................6

Proses Perkembangan Budaya Childfree.......................................................8

Faktor Pendukung Budaya Childfree.............................................................10

Karakteristik Budaya Childfree......................................................................11

Pandangan Antropologi Dalam Kebudayaan Childfree.................................12

Pembahasan Kelompok..................................................................................14

Daftar Pustaka................................................................................................16

2
1. Pengertian Childfree

Secara umum, arti childfree (bebas anak) adalah kondisi ketika seseorang atau
pasangan memutuskan untuk tidak memiliki keturunan. Sebenarnya, childfree
bukanlah konsep baru. Bahkan, konsep childfree sudah banyak diterapkan di luar
negeri, terutama negara maju.

Istilah childfree juga banyak dikenal atau lebih familiar di kalangan para
feminis dan dalam agenda-agenda feminisime. Menurut buku berjudul “Feminisme
dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam” dijelaskan bahwa
feminisme merupakan suatu gerakan yang memiliki tujuan untuk mewujudkan
kesetaraan gender secara kuantitatif. Artinya, pria maupun wanita harus saling
berperan, baik itu dalam maupun di luar rumah.

Kondisi tersebut kemudian memacu para feminis untuk menciptakan beberapa


gerakan, di antaranya adalah keputusan perempuan dan pasangan untuk childfree.
Keputusan childfree ini digunakan oleh seorang perempuan, untuk memilih
kebebasannya untuk menjadi seorang ibu maupun mengalami proses hamil hingga
melahirkan.

Pengertian Childfree Menurut Beberapa Sumber :

Menurut laman HeylawEdu, istilah childfree mengacu kepada keputusan


seseorang ataupun pasangan untuk tidak memiliki keturunan atau tidak memiliki
anak.

Menurut Oxford Dictionary istilah childfree merupakan suatu kondisi di mana


seseorang atau pasangan tidak memiliki anak karena alasan yang utama yaitu pilihan.

Cambridge Dictionary pun mendefinisikan istilah childfree hampir serupa


seperti apa yang dijelaskan oleh Oxford Dictionary, yaitu kondisi di mana seseorang
atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak.

3
2. Pengertian Masyarakat

Masyarakat berasal dari bahasa inggris yaitu "society" yang berarti


"masyarakat", lalu kata society berasal dari bahasa latin yaitu "societas" yang
berarti "kawan". Sedangkan masyarakat yang berasal dari bahasa arab yaitu
"musyarak"

Masyarakat adalah sekelompok manusia yang terjalin erat karena sistem


tertentu, tradisi tertentu, konvensi dan hukum tertentu yang sama, serta mengarah
pada kehidupan kolektif yang saling berinteraksi atau bergaul dengan kepentingan
yang sama

Pengertian Masyarakat Menurut Beberapa Ahli :

a. Menurut Mack Ever (Profesional Politik), arti Masyarakat sebagai suatu sistem
dari cara kerja dan prosedur, otoritas dan saling bantu-membantu yang meliputi
kelompok-kelompok dan pembagian-pembagian sosial, sistem pengawasan
tingkah laku manusia dan kebebasan. Sistem yang kompleks dan selalu
berubah dari relasi sosial.

b. Menurut Ralph Linton (Antropolog), adalah sekelompok manusia yang telah


cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga dapat terbentu organisasi yang
mengatur setiap individu dalam masyarakat tersebut dan membuat setiap individu
dalam masyarakat dapat mengatur diri sendiri dan berpikir tentang dirinya
sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan tertentu.

c. J.L Gillin (Antropolog), mengartikan masyarakat sebagai sebuah kelompok


manusia yang tersebar yang memiliki kebiasaan (habit), tradisi (tradition), sikap
(attitude) dan perasaan persatuan yang sama.

d. Menurut S.R. Steinmentz (Ahli Sosiologi), masyarakat didefinisikan sebagai


kelompok manusia yang terbesar meliputi pengelompokan-pengelompokan
manusia yang lebih kecil yang mempunyai perhubungan erat dan teratur.

4
3. Pengertian Budaya

Kata budaya itu sendiri adalah suatu bahasa yang berasal dari dua bahasa
yakni sansekerta, dan Inggris. Menurut bahasa sansekerta kata budaya berarti
buddhayah yang artinya bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal.
Sedangkan menurut bahasa Inggris budaya dikenal dengan kata culture yang berasal
dari bahasa latin yaitu colere yang memiliki arti yaitu mengolah atau mengerjakan.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh
sekelompok orang. Kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya. Budaya itu
terbentuk dari beberapa unsur yang rumit. Diantaranya yaitu adat istiadat, bahasa,
karya seni, sistem agama dan politik. Bahasa sama halnya dengan budaya, yakni
suatu bagian yang tak terpisahkan dari manusia.

Oleh sebab itu, banyak dari sekelompok orang cenderung menganggap hal
tersebut sebagai sesuatu yang diwariskan secara genetis. Seseorang dapat
berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki budaya berbeda dan
menyesuaikan perbedaan di antara mereka, membuktikan bahwa budaya bisa
dipelajari.

Pengertian Budaya Menurut Beberapa Ahli :

a. Effat Al-Syarqawi (Filsafat Kebudayaan Islam), mendefinisikan budaya dari


pandangan agama islam, Budaya merupakan suatu khazanah sejarah sekelompok
masyarakat yang tercermin di dalam kesaksian dan berbagai nilai yang
menggariskan bahwa suatu kehidupan harus memiliki makna dan tujuan rohani.

b. Menurut Koentjaraningrat (Antropolog), Budaya diartikan oleh Koentjaraningrat


sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah serta mengubah
semesta alam.

c. Menurut Parsudi Suparlan (Antropolog), Budaya merupakan semua pengetahuan


manusia yang dimanfaatkan untuk mengetahui dan memahami pengalaman serta
lingkungan dialaminya.

5
4. Fenomena Budaya Childfree

Fenomena childfree belakangan ini marak diperbincangkan warganet di


media sosial Twitter. Perbincangan mengenai keputusan childfree atau tidak memiliki
anak tersebut ramai didiskusikan warganet mulai dari sudut pandang agama hingga
budaya. Prinsip hidup tersebut masih dianggap tabu di Indonesia. Tentu saja hal ini
disebabkan oleh perspektif culture masyarakat yang masih menganggap pernikahan
adalah keputusan untuk memiliki keturunan.

Fenomena ini mulai menjadi trend dan bahkan meningkat di Indonesia.


Seperti yang tengah menjadi sorotan media yang mana seorang publik figur
memutuskan dan mengumumkan kepada publik bahwa ia memilih hidup tanpa anak.
Hal ini pun menjadi bahan perbincangan publik yang mana gaya hidup ini masih
dinilai tabu di tengah budaya Indonesia.

Budaya menikah dan memiliki keturunan hingga saat ini masih melekat di
tengah kehidupan sosial. Namun keputusan untuk tidak memiliki anak atau
menganut hidup bebas anak merupakan hak hidup seseorang. Semua tentu memiliki
latar belakang masing-masing.

Perempuan mempunyai tuntutan tradisional untuk mampu menjadi seorang


istri dan ibu yang melahirkan anak merupakan suatu kewajiban dan keharusan,
bahkan tak jarang kita mendengar asumsi dari masyarakat bahwasannya jika
perempuan sudah berhasil mempunyai anak maka dinobatkan menjadi wong wadon
tulen yang artinya perempuan yang sebenarnya dan seutuhnya, adanya doktrin-
doktrin tersebut juga berangkat dari kebudayaan dahulu, memang benar dan juga
tidak dapat dipungkiri bahwa kita masyarakat Indonesia tidak dapat terlepas dari
kebudayaan dahulu, sebab apapun yang kita lakukan sekarang akan berkaitan pada
era dahulu, dan itu akan terus melekat pada masyarakat

6
Fenomena childfree terkadang memang merupakan keputusan berdua antara
suami dan istri yang sudah sepakat mengambil keputusan ini demi tercapainya
keinginan yang telah mereka rancang. Banyak pihak yang lebih menitikberatkan hal
tersebut kepada perempuan, karena dianggap melupakan peran perempuan dalam
sebuah rumah tangga, yaitu mempunyai kodrat untuk hamil dan melahirkan seorang
anak. Padahal lelaki juga memiliki andil dalam pengambilan keputusan tersebut.

Dengan ekspektasi yang di bangun masyarakat dalam kehidupan sosial


merupakan bagian yang penting terkait pembatasan kebebasan terhadap individu.
Pembatasan yang ekstrim terhadap kaum perempuan yang sejak dulu dibatasi oleh
ekspektasi masyarakat menjadi sebuah keharusan yang memaksa.

Dalam rangka memperjuangkan kesetaraan dan kebebasan bagi kaum


perempuan muncul gerakan feminisme. Gerakan feminisme bertujuan untuk
menyamakan hak perempuan yang selama ini dibatasi dan dihalangi. Feminisme
mempunyai pemikiran yang menganggap laki-laki dan perempuan mempunyai hak
yang sama dalam bidang politik, hak seksual, sosial, ekonomi, dan intelektual.

Perempuan yang memperjuangkan hak hanya menjadi objek dan subjek narasi
publik yang seakan berkompetisi mencari simpati dari masyarakat dengan
memandang perempuan hanya dengan kesederhanaan yang terlalu sederhana dan juga
dengan definisi yang terlalu kompleks

Banyak orang memandang feminisme sudah melewati batas, dianggap terlalu


jauh dalam membela hak-hak perempuan, yang terjebak dalam ketidakpastian nilai
dan identitas yang ada dalam masyarakat. Pandangan tersebut di satu sisi dapat
dijadikan sebuah refleksi, akan tetapi di sisi lain dapat berpotensi memperpanjang
masa kuasa atau supremasi laki-laki. Pada faktanya memperjuangkan hak-hak
perempuan memang sangat sulit apalagi konstruksi sosial budaya yang ada
membentuk batasan atau ketentuan masyarakat berdasarkan gender.

7
5. Proses Perkembangan Budaya Childfree

Sejarawan Rachel Chrastil di Washington Post menyebut


kalau childfree memiliki perbedaan arti di masa lalu. Yakni, diartikan sebagai para
wanita, sudah menikah atau belum, yang tidak ingin membesarkan anak. Hal ini
pernah menjadi kelaziman di perkotaan dan perdesaan Eropa pada awal tahun 1500-
an. Biasanya ini terjadi pada perempuan yang memilih berkarier dibanding menikah
muda, seperti kebiasaan perempuan saat itu.

Dikutip dari, CNBC Indonesia - Dalam dua tahun terakhir di Indonesia,


konsep childfree menjadi perbincangan publik. Sesuai namanya, konsep ini
diputuskan pasangan untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan mereka. Setiap
pasangan tentu memiliki alasan tertentu ketika tak ingin memiliki anak dalam
hubungan pernikahan mereka. Tak ada benar atau salah. Namun yang pasti keputusan
untuk tak punya anak harus menjadi keputusan bersama pasangan.

Mereka yang memilih bekerja hanya fokus pada kariernya saja. Sekalipun
memutuskan untuk menikah mereka sama sekali tidak terpikirkan untuk mempunyai
anak. Kecenderungan ini bertahan hingga lama. Namun, tetap saja secara statistik
angkanya jauh lebih rendah dibanding mereka yang memiliki anak.

Namun, dalam penelusuran Rachel, keputusan childfree yang ditandai dengan


menurunnya angka kelahiran terjadi pada kurun 1800-an di Eropa dan Amerika
Serikat. Ini tentu disebabkan oleh pesatnya industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Kini, para perempuan sudah masuk industri, sehingga cenderung nyaman hidup
sendiri karena sudah memenuhi standar kehidupan yang lebih baik. Sekalipun sudah
menikah, keputusan childfree tetap tak goyah.

Di Indonesia, Ketika keputusan childfree mengalami peningkatan di Barat


pada kurun 1800-an, di Indonesia tidak demikian. Sebab, di Indonesia pada kurun
waktu tersebut ada filosofi "Banyak Anak Banyak Rezeki". Jelas, filosofi ini
bertentangan dengan konsep childfree. Asal-usul filosofi ini berawal dari
masa cultuurstelsel atau tanam paksa yang terjadi pada tahun 1830-1870.

8
Hadirnya kewajiban tersebut membuat penduduk pribumi mempunyai anak
banyak. Sebab, semakin banyak anak artinya tenaga kerja juga bertambah. Artinya,
semakin banyak pula keuntungan yang didapat.

Beranjak dari sinilah tak heran kalau pada masa dahulu banyak orang tua
memiliki anak lebih dari 10. Perlahan, pandangan ini pun terus mengakar di
kehidupan keseharian masyarakat Indonesia, sampai Indonesia merdeka tahun 1945
yang mengandalkan agraris sebagai mata pencaharian utama. Barulah mulai
mengalami penurunan ketika alat kontrasepsi diperkenalkan dan terjadi perubahan
pola dari agraris ke industri sejak tahun 1960-an.

Karena terjadi perubahan itulah, sama seperti pola yang terjadi di Eropa dan
Amerika Serikat sebelumnya, konsep childfree mulai tersebar luas di Indonesia.

9
6. Faktor Pendukung Budaya Childfree

Faktor Pendukung adalah faktor yang mendukung,mengajak,dan


bersifat untuk ikut serta dalam dukungan sesuatu hal. Ada beberapa faktor yang
membuat para pasangan suami-istri memilih untuk childfree, diantaranya :

1. Faktor Ekonomi
Ada orang yang tidak yakin juga cemas bahwa mereka tidak akan bisa memenuhi
biaya hidup anak, sehingga dirasa memberatkan dirinya. Kematangan finansial
dinilai menjadi faktor paling penting ketika ingin punya anak. Bagi mereka,
rezeki berupa materi perlu disiapkan sejak awal agar dapat menghidupi anak.

2. Faktor Mental
Selain keuangan, kesiapan mental juga juga tak boleh diabaikan, lantaran
menjadi orang tua bukanlah hal mudah. Kejiwaan atau batin disebut sebagai
penyanggah kebahagiaan antara orang tua dengan anak. Bila diri tidak stabil
sambil mendidik anak, maka bisa berdampak pada psikis anak ke depannya.

3. Faktor Personal
Anak dirasa sebagai penghambat kesuksesan karir, selain itu kehadiran anak
dinilai merepotkan hidup seseorang. Bahkan mereka yang punya pengalaman
traumatis juga khawatir tidak bisa menjadi orang tua yang baik.

4. Faktor Budaya
Kehadiran anak dalam sebuah pernikahan yang dianggap utama sehingga banyak
keluarga dan kerabat yang menantikannya, bahkan hingga kerap menanyakan
yang terkesan menyudutkan. Hal itulah yang memungkinkan seseorang memilih
childfree.

5. Over Populasi
Padatnya penduduk dunia menjadi alasan bagi sebagian orang untuk tidak
memiliki anak. Sehingga mereka ingin menstabilkan jumlah populasi agar tidak
menambah beban bumi.

10
7. Karakteristik Budaya Childfree

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakteristik adalah tanda,


ciri, atau fitur yang bisa digunakan sebagai identifikasi. Karakteristik juga bisa
diartikan sebagai sesuatu yang bisa membedakan satu hal dengan lainnya.

Beberapa karakteristik dari budaya childfree, antara lain :

1. Mereka menganggap dengan adanya kehadiran seorang anak akan mengganggu


keromantisan mereka berdua.

2. Mereka yang merasa hanya cukup menghidupi finansial hanya untuk mereka
berdua, dengan adanya kehadiran seorang anak sudah tentu jelas
membutuhkan finansial yang jauh lebih banyak.

3. Mengurus anak akan membuat waktu mereka tersita dan tidak dapat menikmati
waktu sendiri atau bersama.

4. Biasanya karena saking lamanya menanti kehadiran buah hati yang tak
kunjung datang diberikan oleh sang Maha Pencipta membuat mereka putus
harapan dan menganggap hidup tanpa seorang anak pun tak merubahnya
menjadi terpuruk.

5. Karir dan jabatan yang tinggi yang membuat mereka hanya memikirkan dunia
pekerjaan dan tak ada waktu untuk bersenda gurau bersama anak dirumah,
menurut mereka daripada memiliki anak tanpa pengasuhan dari orang tuanya
secara langsung ada baiknya pilihan child free sudah paling tepat untuk
mereka, dan biasanya terjadi pada wanita karir yang jabatannya sudah tinggi
dan setel kehidupannya.

11
8. Pandangan Antropologi Dalam Kebudayaan Childfree

Perdebatan mengenai childfree dapat dilihat sebagai gugatan terhadap relasi


manusia dan alam, terutama childfree yang didasarkan pada alasan untuk menjaga
ekologi. Dalam gerakan lingkungan yang menjadi trend di masa kini, manusia kerap
dianggap sebagai virus yang menjangkiti Bumi. Dalam pemahaman ini, seolah-olah
manusia bukanlah bagian dari Bumi, melainkan parasit yang harus dikontrol.

Kedudukan manusia yang unik ini membuat manusia sendiri yang harus
mengontrol diri mereka, termasuk dengan childfree. Seperti yang diutarakan Malthus
dan Hardin (Seorang Ekologis), Bumi memiliki batas dan kelak tidak akan bisa
memenuhi kebutuhan manusia yang terus menerus bertambah.

Dalam perdebatan childfree, satu hal yang tidak bisa dibantah adalah krisis
ekologis. Childfree dianggap sebagai langkah penting untuk mengatur populasi mulai
dari diri sendiri, yang juga bisa dipandang erat dengan neoliberalisme yang
menekankan individualitas. Agama sendiri, seperti misalnya Islam di Indonesia yang
kerap menentang childfree, tidak membantah mengenai krisis ekologis, tetapi
menolak krisis ekologis dijadikan sebagai dasar melakukan childfree yang menurut
mereka tidak sesuai syariat.

Dari sisi sains, krisis ekologis, terutama karena ulah manusia, semakin
menegaskan bahwa Bumi sedang berada dalam antroposen. Antroposen sendiri
adalah kala yang bermula ketika aktivitas manusia mulai memiliki pengaruh global
terhadap ekosistem Bumi.

Childfree dapat dikatakan lahir dari anggapan ini. Beberapa alasan


mendukung dan menerapkan childfree terutama filosofis dan ekologis bermula dari
anggapan bahwa krisis ekologis sekarang ini perlu ditangani dengan pengurangan dan
kontrol pertumbuhan populasi.

Mengutip esai Terry Eagleton di The Nation (2004) yang berjudul "Human,
All Too Human", manusia telah menjadi terlalu manusia. Eagleton melihat bahwa ada

12
dua humanis, satu yang tidak menekankan kedaulatan manusia atas alam dan satu lagi
menekankan itu.

Peran agama sebagai mode eksistensi tidak bisa diremehkan di sini,


terlebih di tengah modernitas yang mendorong antroposentrisme dan dikotomi
nature/culture. Dengan kata lain, sains dan agama harus berintegrasi untuk mencari
jalan keluar dari kedua masalah tersebut. Bahkan integrasi ini juga dapat melibatkan
ilmu sosial seperti pada Philippe Descola (Profesor Tamu Terhormat di Peter Wall
Institute) dan Bruno Latour (Dosen Wall Exchange) yang menggunakan ilmu sosial
untuk melihat ontologi non-barat (Ilmu yang membahas hakikat yang ada yang
merupakan realita baik berbentuk jasmani atau konkrit maupun rohani atau abstrak).

13
9. Pembahasan Kelompok

Menurut pendapat kelompok kami, childfree sebaiknya tidak dilakukan.


Karena ketika sepasang lelaki dan wanita menikah, salah satu tujuan utamanya adalah
memiliki keturunan yang akan menjadi generasi penerus bangsa kedepannya nanti.
Ada banyak resiko yang dapat terjadi ketika menerapkan childfree, diantaranya :

1. Merasa sendiri dan kesepian ketika sudah berusia lanjut kelak, karena tidak
adanya keluarga lain yang bisa menghibur dikala sepi selain pasangan itu
sendiri.

2. Tidak ada tempat untuk mengutarakan isi hati ketika tidak mendapat
dukungan emosional dari pasangan.

3. Tidak bisa ikut berkontribusi untuk memajukan negara, karena tidak memiliki
generasi penerus yang bisa dididik untuk selalu mencintai negara ini.

Dan kami juga menyoroti pada faktor over populasi, sebenarnya bumi ini
luas. Dan jika adanya pertambahan populasi manusia, tidak dipungkiri di bagian bumi
lainnya ada juga pengurangan populasi manusia, seperti meninggal dunia. Dan bumi
yang sudah kita rusak ini, seharusnya kita mengajarkan kepada generasi kita kelak
untuk memperbaiki kesalahan kita dengan merawat bumi dengan sebaik baiknya,
ketika kita sudah tidak mampu melakukan hal tersebut.

Tentu disadari bahwa childfree dalam perspektif Islam tidak dibolehkan.


Adapun jika menunda keturunan karena alasan tertentu yang dapat memberatkan dan
membahayakan pasangan tersebut maka boleh saja.

Jadi ketika ada pasangan yang memilih untuk childfree, mungkin mereka
perlu untuk merehatkan diri dahulu, dan berpikir jauh kedepan tentang kehidupan nya
kelak, Karena sebagai makhluk sosial tentu kita tidak bisa melakukan apapun sendiri,
kita membutuhkan bantuan orang lain, dan hal itu sama ketika kita berusia lanjut
kelak, baiknya ada anak yang ikut menemani dan membantu kita.

14
Dan jika ada argumensi, bahwa tidak semua anak bisa membanggakan,
belum tentu semua anak bisa berbakti kepada orang tua nya kelak, itu persoalan
berbeda. Tugas kita sebagai orang tua adalah mengasuh, mendidik dan menjadi
motivator untuk anak kita kelak. Berikan contoh yang baik terhadap mereka, karena
ketika anak anak, dan belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, yang mereka lihat dan terapkan adalah orang tua nya.

Tetapi ketika anak berbuat sebuah kesalahan, kita tidak bisa langsung
menuduh salah anak atau salah orang tua nya, ada baiknya di cari tahu dulu
permaslahannya seperti apa, dan bersama sama mencari jalan keluar. Dengan didikan
yang baik, bukan sebuah hal yang tidak mungkin bahwa anak bisa mengharumkan
nama keluarga dan negara.

15
10. Daftar pustaka

1. Ananda,Istilah-Childfree,gramedia.com,2023

2. Prasetyo Donny:Irwansyah,Memahami Masyarakat


dan Perspektifnya,dinastirev.org,Desember 2019

3. Min Mas,18 Peengertian Masyarakat Menurut Definisi Para Ahli


Terlengkap,pelajaran.co.id,14 Februari 2023

4. Nur Azizah Laeli, Pengertian Budaya: Ciri-ciri, Fungsi, Unsur,


dan Contohnya,gramedia.com,2021

5. Ana R.D,Anis W.F.A,Yohanna M.P, Fenomena Childfree Sebagai


Budaya Masyarakat Kontemporer Indonesia Dari Perspektif Teori
Feminis,stisnq.ac.id,2023

6. Fadhilah Eva,CHILDFREE DALAM PERSPEKTIF


ISLAM,journal.uii.ac.id,17 Juni 2022

7. Anggitasari Vidya Dwi, Apa Itu Child Free? Pengertian, Penyebab,


Dampak, dan Cara Menghindarinya,mengerti.id,14 Februari 2023

8. Karunia H, Firas A, Siamrotul A.M, MANUSIA, TERLALU (BANYAK)


MANUSIA: KONTROVERSI CHILDFREE DI TENGAH ALASAN
AGAMA, SAINS, DAN KRISIS EKOLOGI,ejournal.uin-suka.ac.id,no date

16

Anda mungkin juga menyukai