Anda di halaman 1dari 7

TUGAS PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

PERTEMUAN KE 11

NAMA : Jihan Zaelani

NIM : 1824090023

HARI KULIAH : Selasa, 16.10 - 18.40

NAMA DOSEN : TATIYANI, Dra, MSi.

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA


Tugas :

1. Jelaskan pengertian akulturasi dalam konteks masyarakat plural dan majemuk

2. Jelaskan keterkaitan antara stres akulturasi dengan culture school

3. Jelaskan kasus2 stres akulturasi

4. Jelaskan sikap terhadap lingkungan yang berkaitan dengan perilaku lintas budaya

Jawaban

1) Interaksi sosial dalam Masyarakat Majemuk Masyarakat majemuk (plural society)


menurut Garna terkait dengan dua konsep dasar, yaitu: ...
1) keragaman etnik adalah suatu keadaan yang mampu memperlihatkan wujud
pembagian kekuasaan di antara kelompok masyarakat yang tergabung atau disatukan,
rasa menyatu melalui dasar kesetiaan, pemilihan nilai bersama dan pembagian kekuasaan,
2) masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok ras dan
etnik yang berbeda di bawah suatu sistem pemerintahan dan paksaan.12 Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang pluralistik dan tentu dapat dikategorikan sebagai
masyarakat majemuk. Beragam etnik mendiami bumi Indonesia, yang dalam satu daerah
setiap individu yang berbeda etnik berinteraksi satu dengan yang lainnya. Kemajemukan
kehidupan masyarakat inilah yang senantiasa mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia.

2) Teori Akulturasi dikemukakan oleh Berry (1987) dan Teori Culture Shock dikemukakan
oleh Oberg (1960). Akulturasi adalah suatu proses dimana kita mengadopsi budaya baru
dengan mengadopsi nilai-nilainya, sikap, dan kebiasaannya. Akulturasi adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi disaat orang yang berasal
dari suatu budaya masuk ke dalam budaya yang berbeda. Akulturasi selalu ditandai
dengan perubahan secara fisik dan psikologi yang terjadi sebagai hasil dari adaptasi yang
dipersyaratkan untuk memfungsikan dalam konteks budaya yang baru atau budaya yang
berbeda.
Hasil dari berbagai macam pengalaman dan berbagai hal yang berhubungan dengan stres
saat memasuki budaya baru disebut dengan kondisi Culture Shock. Hal ini akan
menghasilkan disorientasi, kesalahpahaman, konflik, stres dan kecemasan. Kalervo
Oberg mengaplikasikan culture shock untuk efek yang dihubungkan dengan tekanan dan
kecemasan saat memasuki budaya baru yang dikombinasikan dengan sensasi kerugian,
kebingungan, dan ketidakberdayaan sebagai hasil dari kehilangan norma budaya dan
ritual sosial. Model culture shock digambarkan dengan curve, atau Lysgaard
menyebutnya “U-Curve Hypothesis”. Kurva ini diawali dengan perasaan optimis dan
bahkan kegembiraan yang akhirnya memberi jalan kepada frustrasi, ketegangan, dan
kecemasan sebagai individu tidak dapat berinteraksi secara efektif dengan lingkungan
baru mereka. Secara spesifik Kurva U ini melewati empat tingkatan, yaitu: (1) Fase
optimistik, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U.
Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu
sebelum memasuki budaya baru. (2) Masalah kultural, fase kedua di mana masalah
dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, sistem
lalu lintas baru, sekolah baru, dan sebagainya. Fase ini biasanya Lusia Savitri Setyo
Utami: Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya 192 ditandai dengan rasa kecewa dan
ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam culture shock. Orang menjadi bingung dan
tercengang dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustrasi dan mudah tersinggung,
bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.
(3) Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya.
Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam
caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru
mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan. (4) Fase penyesuaian, fase terakhir,
pada puncak kanan U, orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-
nilai, adaptasi khusus, pola komunikasi, keyakinan, dan lain-lain). Kemampuan untuk
hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan
menikmati. Namun beberapa hal menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam dua
budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu,
dan memunculkan gagasan tentang W Curve, yaitu gabungan dari dua U Curve.
Ketika orang-orang kembali ke rumah setelah tinggal lama di budaya asing, mereka akan
mengalami putaran lain dari culture shock, kali ini dalam budaya asli mereka. Contohnya
seperti pelajar yang kembali dari belajar di luar negeri, mereka akan berbeda dan
memiliki perpektif yang berbeda dan melihat dunia dengan perspektif yang berbeda.
Pelajar mengeluh, mengkomunikasikan pengalaman mereka di luar negeri kepada teman
dan keluarga mereka sering sulit dilakukan. Inilah yang kemudian terjadi dalam tahapan
Kurva W.

3)

 Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran secara mendalam mengenai


penerapan strategi akulturasi pada Frater Batak Toba di Ordo “X” di kota
Bandung. Variabel penelitian ini adalah strategi akulturasi dengan menggunakan
metode studi kasus. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan
keseluruhan populasi Frater Batak Toba di Ordo “X” di kota Bandung yaitu
sebanyak tiga orang. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner “Language,
Identity and Behavior” yang diambil dari Birman dan Tricket serta wawancara
mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi pembentukan strategi akulturasi
berdasarkan teori dari Ward. Adapun aspek-aspek dalam strategi akulturasi
mencakup tiga aspek yaitu kompetensi bahasa, Identitas budaya dan perilaku atau
aktivitas budaya. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ketiga responden
menerapkan strategi akulturasi yang berbeda-beda. Perbedaan ini berkaitan
dengan perbedaan penerapan strategi akulturasi pada aspek-aspek yang ada di
setiap responden. Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menyarankan untuk
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sampel yang lebih banyak
agar didapatkan gambaran secara umum mengenai strategi akulturasi orang Batak
Toba di Bandung serta meneliti mengenai kontribusi aspek-aspek penerapan
strategi akulturasi.

 Kasus Akulturasi Kebudayaan yang terjadi Di Indonesia Salah satu yang menjadi
headline surat kabar beberapa waktu yang lalu adalah kasus Prita Mulyasari .
Beliau dapat dikatakan sebagai korban akulturasi kebudayaan . Ketika budaya kita
masih membatasi pernyataan pendapat dan berbicara , banyak lapisan masyarakat
yang tidak suka akan keadaan seperti ini . Saat itu , dengan embel-embel
demokrasi , maka kebebasan berbicara pun diproklamirkan . Kebudayaan kita
yang biasanya terarah ( baca tertekan ) dalam menyampaikan pendapat , langsung
berubah menjadi kebudayaan yang blak-blakan atai ceplas-ceplos . Muncul
sebuah jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kebebasan kita
dalam berbicara pun memakai dasar berupa substansi yang datangnya dari luar .
HAM ( Hak Asasi Manusia ) dianggap sebagai dasar paling kuat untuk menopang
hak kebebasan untuk berbicara. Pada awal mula kebudayaan untuk bebas
berbicara memberikan angin segar bagi warga . Masyarakat yang tadinya (
tertekan ) untuk menyatakan pendapat dan kritik merasa lebih leluasa . Kasus
Prita Mulyasari boleh jadi dikatakan sebagai suatu hasil akhir dari kebudayaan
yang telah berakulturasi . Budaya bebas berbicara yang kita inginkan telah
didapatkan . Kesemuanya didapatkan dengan mengadopsi substansi asing (HAM )
yang terkesan kuat jika digabungkan .Namun kita hanya melihat pada
penyelesaian masalah di tingkatan yang rendah . Kita tidak memperhitungkan
produk akhir kebudayaan baru tersebut . Siapa sangka , kebudayaan bebas
berbicara sendiri menjadi salah satu bumerang bagi kebebasan berpendapat
 Konflik Papua
Kami Bukan Monyet, Ahli Jelaskan Alasan Panggilan Hewan Itu Menghina
Konflik di Papua yang baru saja terjadi merupakan konflik yang sangat kompleks
dan tidak sederhana. Bahkan, Laksono mengatakan konflik ini sudah mengakar
dan ada banyak PR yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. "Ada krisis
akulturasi serius dan kita butuh kerja keras sepanjang hayat," ujar Laksono.

Memahami krisis akulturasi Berbicara ke belakang, Indonesia dulu tidak memiliki


preseden. Maksudnya, di zaman dahulu tidak ada Indonesia dan Indonesia
merupakan konstruksi baru. Penduduk nusantara hidup di bawah pemerintahan
Kerajaan dan sebagian besar lainnya hidup di komunitas kesuku-bangsaan tanpa
mengenal struktur kebangsaan. "Ketika Indonesia merdeka, kedua komunitas
secara serentak menghadapi dunia baru dengan modalitas dan pengalaman hidup
berbeda. Dari yang awalnya tunduk pada raja jadi menghormati Presiden," ujar
Laksono. Beruntung bagi komunitas yang dulunya hidup di bawah kerajaan, tidak
ada hambatan dari struktur tradisionalnya. Namun, di banyak daerah lain, hal
seperti ini tidak terjadi. Laksono mengatakan, para elit lama tetap ingin
memegang kuasa, sementara imajiner nasionalisme kita rakyat yang berkuasa
lewat demokrasi. "Jadi, dari sekian ratus juta penduduk Indonesia, dengan lebih
dari 200 suku bangsa dan ribuan bahasa, sebenarnya sangat bermasalah di
Indonesia," ujar dia. Sayangnya, permasalahan bahasa ini acap kali disepelekan
dan tidak dipedulikan. Padahal pindah bahasa, dari bahasa ibu ke bahasa nasional,
yakni bahasa Indonesia adalah sesuatu yang sulit. Contoh saja, masih banyak
orang dewasa dan anak-anak yang tinggal di daerah lebih bisa mengucapkan
bahasa ibu dibanding bahasa Indonesia, terlebih lagi masyarakat yang tinggal di
timur Indonesia. "Kita (antropolog) lihat ada masalah-masalah seperti ini dalam
perubahan sosial. Ini yang kita sebut dalam antropologi sebagai krisis akulturasi,"
jelas Laksono. Krisis akulturasi yang dimaksud Laksono muncul karena budaya
yang kita miliki serba kurang untuk merespons perubahan-perubahan baru. "Kita
tidak memiliki kebudayaan berwarganegara dalam pengalaman historis kita.
Bahkan ketika hidup di kesultanan, rakyat tidak berwarganegara tapi jadi abdi
kerajaan," ujar dia. "Nah, ketika kita masuk dalam kehidupan berwarganegara
tanpa pengetahuan budaya berwarganegara, orang-orang Indonesia "ngamuk"
karena dituntut melakukan hal baru. Ini tanda kegagalan beralih dari kehidupan
komunal menjadi warga negara yang memiliki aturan baru," ujar Laksono.
Pentingnya bahasa Indonesia Laksono salut karena penutur bahasa Indonesia ada
ratusan juta orang, jauh lebih banyak dibanding penutur bahasa Belanda yang
mungkin hanya puluhan juta orang. Ini artinya bahasa Indonesia merupakan
bahasa besar dan prestasi besar untuk bangsa Indonesia untuk mengembangkan
bahasa persatuan. Bahasa merupakan media untuk menyerap dan menyampaikan
aspirasi pada "dunia". Dunia di sini adalah lingkungan tempat kita menjalani
kehidupan sehari-hari. "Dengan bahasa pula, orang berkomunikasi, berbagi rasa,
membangun mimpi bersama untuk hidup bersama sebagai warga negara," ujar
Laksono. Namun, Laksono berujar, adanya krisis akulturasi membuat gesekan,
termasuk lintas SARA menjadi sangat sensitif. Hal ini mengakibatkan kita gagal
meresapi pengetahuan baru dan cara-cara hidup bernegara yang baru untuk
dijadikan pola hidup bersama, meski kemerdekaan Indonesia sudah digaungkan
selama 74 tahun. Baca juga: Polisi Jamin Keamanan Mahasiswa asal Papua di
Malang Oleh sebab itu, Laksono mengatakan sebagai masyarakat yang tinggal di
Indonesia harus tahu diri dan bisa saling menghormati serta menggunakan budi
bahasa Indonesia sebaik mungkin. Bahasa yang digunakan dengan tepat dan
sesuai tempat, setidaknya dapat meminimalisir hal-hal yang berbau sensitif.
Selain itu, negara juga harus ikut serta dalam membereskan permasalahan ini,
sebab ada banyak hal yang disebut Laksono masih menjadi PR bersama. Salah
satunya adalah menanamkan kebhinekaan pada masing-masing individu untuk
menekan rasisme di negara dengan berbagai suku bangsa seperti Indonesia.
Artikel ini telah mengalami penyuntingan judul. Judul sebelumnya: Konflik
Papua adalah Rasisme dan Tanda Adanya Krisis Akulturasi Serius.
4)
 Konformitas adalah tekanan untuk memiliki sikap atau memiliki perilaku dalam suatu
cara yang konsisten dengan aturan-aturan yang menunjukkan orang seharusnya
berperilaku.
 Dua motif utama yang menyebabkan orang berperilaku konformitas adalah keinginan
untuk disukai orang-orang lain dan keinginan untuk menjadi benar atau akurat.
 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku orang untuk melakukan konformitas antara
lain adalah kohesifitas, ukuran kelompok, dan tipe norma kelompok.
 Kajian perbandingan lintas budaya terhadap perilaku konformitas dapat dibagi menjadi:
perbandingan subsisten ekonomi, perbandingan negara-negara maju, perbandingan
perilaku konformitas terhadap norma kelompok dalam kelompok berdimensi budaya
kolektivistik dan individualistik, perbandingan lintas budaya kelompok mayoritas dan
kelompok minoritas dalam suatu masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai