Anda di halaman 1dari 13

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Konseling Lintas Budaya


Dosen Pengampu : Ibu Hayu Stevani, M.Pd

Disusun oleh :
Anita Maulidya Ariaputri (202001500651)
Miskah Shabrinah (202001500821)
Andika Putri(202001500777)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“TRANSISI BUDAYA”. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi syarat nilai mata
kuliah Konseling Lintas Budaya.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, baik menyangkut isi maupun penulisan. Kekurangan-kekurangan tersebut
terutama disebabkan karena kelemahan dan keterbatasan pengetahuan serta kemampuan
penulis. Hanya dengan kearifan dan bantuan dari berbagai pihak untuk memberikan kritik dan
saran yang konstruktif maka kekurangan-kekurangan tersebut dapat diperkecil. Namun dalam
penulisan makalah ini ada sepercik harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, serta diridhai oleh Allah SWT amin.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Jakarta,

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Berbicara tentang kebudayaan Indonesia yang ada dibayangan kita adalah sebuah
budaya yang sangat beraneka ragam. Bagaimana tidak, Indonesia merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia, hal inilah yang menyebabkan Indonesia memiliki kebudayaan
yang beranekaragam.

Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa,
dan karya manusia. Indonesia sendiri sebagai negara kepulauan dikenal dengan
keberagaman budaya nya, yang mana keanekaragaman itulah menunjukan betapa
pentingnya aspek kebudayaan bagi suatu negara. Karena jelas kebudayaan adalah suatu
identitas dan jati diri suatu bangsa dan negara.

Kebudayaan Indonesia bukanlah suatu yang padu dan bulat, tetapi adalah suatu yang
terjadi dari berbagai unsur-unsur suku bangsa. Di daerah Indonesia yang sangat luas
terdapat bermacam macam kebudayaan, yang satu berbeda dari yang lain disebabkan oleh
perjalanan yang berbeda.

Sebagaimana diketahui, bahwa unsur sejarah yang menentukan perkembangan


kebudayaan Indonesia itu terbagi menjadi lima lapisan yaitu, (1) kebudayaan Indonesia
asli, (2) kebudayaan India , (3) kebudayaan islam, (4) kebudayaan modern, (5) kebudayaan
Bhineka Tunggal Ika.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan akulturasi?
2. Apa yang dimaksud culture shock?
3. Apa yang dimaksud dengan pewarisan budaya?
4. Apa yang dimaksud dengan paradigm konseling dalam transisi?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui apa itu akulturasi
2. Memahami culture shock
3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pewarisan budaya
4. Mengetahui dan memahami paradigm konseling dalam transisi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Akulturasi

Istilah “akulturasi” secara umum mengacu pada proses perubahan budaya yang
terjadi ketika dua atau lebih budaya bersentuhan satu sama lain. Proses ini, bagi
seorang individu, melibatkan perolehan nilai-nilai budaya, norma, bahasa, dan
perilaku masyarakat yang dominan (Atkinson, 2004). Pendekatan melting pot
adalah teori akulturasi awal yang mengemukakan bahwa kelompok imigran
sepenuhnya berasimilasi dengan budaya utama AS setelah memasukkan elemen budaya
mereka sendiri ke dalam pot. Kritik terhadap teori melting pot telah menunjukkan
bagaimana asimilasi total hanya dapat diakses oleh imigran Eropa, sedangkan
imigran kulit berwarna diharapkan untuk mengadopsi cara-cara budaya dominan tanpa
diizinkan untuk membawa unsur-unsur dari budaya asli mereka. Dengan kata lain, nilai-
nilai budaya dari budaya asli perlahan-lahan hilang dan nilai-nilai budaya masyarakat
dominan secara bertahap diadopsi, mengabaikan kemungkinan perubahan dalam
masyarakat dominan yang mungkin terjadi melalui kontak dengan budaya lain.
Penelitian ekstensif Berry (1997) tentang akulturasi psikologis
membawanya untuk mengidentifikasi dua fenomena dasar: (1) pergeseran perilaku,
proses umum di mana individu menjauh dari pola perilaku yang dipelajari dalam
budaya asli dan bergerak menuju pola perilaku yang ditemukan dalam budaya tuan
rumah; dan (2) stres akulturasi, atau apa yang oleh beberapa penulis disebut sebagai
"kejutan budaya" (Oberg, 1960) untuk menggambarkan keadaan kecemasan yang
muncul dari ketidaktahuan bagaimana berperilaku dalam budaya baru. Pedersen
(1995) menguraikan beberapa karakteristik kejutan budaya: (1) Isyarat umum tentang
bagaimana berperilaku hilang. (2) Nilai-nilai pribadi sepertinya tidak dihormati oleh
warga negara tuan rumah. (3) Perasaan disorientasi dapat menyebabkan kecemasan,
depresi, atau permusuhan. (4) Ketidakpuasan dengan budaya baru mungkin secara
bersamaan dialami sambil mengidealkan hal-hal yang dulu ada di budaya rumah.
(5) Keterampilan koping mungkin tidak lagi bekerja. (6) Mungkin ada perasaan bahwa
situasinya permanen dan tidak akan membaik.
Beberapa model telah diajukan untuk tahapan yang mungkin dilalui seseorang
dalam proses penyesuaian budaya (Adler, 1975; Fontaine, 1983; Oberg, 1960;
Pedersen, 1995). Fase pertama adalah "bulan madu" yang berlangsung dari beberapa
hari sampai enam bulan. Selama tahap awal ini ada perasaan senang dan ingin tahu
yang positif tentang budaya baru. Fase kedua, yang ditandai dengan ketidakpuasan
dan perasaan tidak mampu, dapat berlangsung sekitar dua sampai tiga bulan
(Fontaine, 1983). Fase berikutnya mungkin melibatkan perasaan depresi dan orang
tersebut mungkin ingin kembali ke budaya asalnya, jika itu adalah pilihan. Perasaan
duka dan duka karena kehilangan keluarga, teman, dan budaya yang akrab juga
mungkin ada (Furnham & Bochner, 1986). Fase terakhir, saat orang tersebut
benar-benar nyaman dengan kedua budaya tersebut, adalah kontroversial. Berry (1997)
menyatakan bahwa derajat stres akulturasi yang dialami seseorang bergantung pada
beberapa faktor. Salah satu faktor penting berkaitan dengan tingkat toleransi terhadap
keragaman etnis yang ada dalam masyarakat dominan. Berry (1997) dan Berry, Kim,
Power, Young, dan Bujaki (1989) mengacu pada empat mode atau strategi
akulturasi yang diambil oleh individu saat mereka berakulturasi. Strategi pertama
asimilasi di mana mereka melepaskan identitas, sikap, dan perilaku mereka sendiri demi
identitas, sikap, dan perilaku yang diamati dalam masyarakat dominan. Strategi kedua
separatis dengan mempertahankan identitas dan nilai budaya mereka sambil
menolak nilai-nilai masyarakat yang dominan.
Strategi ketiga individu yang terpinggirkan yang melepaskan nilai-nilai
budayanya sendiri dan juga menolak nilai-nilai masyarakat yang dominan. Strategi
keempat adalah opsi terintegrasi atau bikultural di mana individu memilih untuk
mempertahankan identitas dan budayanya sementara pada saat yang sama
mengidentifikasi dan mengadopsi sikap dan perilaku budaya baru. Menurut Berry
(1997), strategi akulturasi yang ditemukan memiliki adaptasi yang lebih positif
untuk semua jenis kelompok akulturasi adalah strategi bikulturalitas atau integrasi.
strategi integrasi didasarkan pada kemauan dan fleksibilitas untuk mengakomodasi dua
budaya; sikap positif ada di pihak individu yang berusaha untuk berintegrasi serta
dari budaya tuan rumah; dan keterlibatan dalam dua komunitas budaya memberikan
dua sistem dukungan sosial.
Akulturasi budaya adalah proses sosial yang berkaitan dengan kebudayaan di tengah
masyarakat. Hal ini terjadi jika ada satu budaya bercampur dengan budaya lainnya
sehingga menciptakan harmonisasi yang baru.
Lantas bagaimana akulturasi budaya itu bisa terjadi dan apa saja contohnya? Temukan
jawabannya di bawah ini.

Apa yang Dimaksud dengan Akulturasi Budaya?


Istilah akulturasi mengacu pada penggabungan budaya-budaya yang berbeda tanpa
melepaskan sifat asli dari budaya itu sendiri. Kata akulturasi sendiri berasal dari Bahasa
Latin acculturate yang artinya tumbuh dan berkembang bersama.
Dalam buku Komunikasi Lintas Budaya karya Wina Puspita Sari dan Menati Fajar
Rizki dijelaskan bahwa akulturasi budaya merupakan bersatunya unsur kebudayaan
yang berbeda hingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan ciri khas
budaya aslinya.
Koentjaraningrat juga menjelaskan akulturasi budaya sebagai proses di mana
sekelompok orang dengan budaya tertentu berhadapan dengan elemen budaya asing.
Elemen itu kemudian diterima dan diproses menjadi budaya mereka tanpa
menghilangkan budaya itu sendiri.

Faktor Terjadi Akulturasi Budaya dan Penghambatnya


Akulturasi dapat terjadi lantaran didukung oleh faktor-faktor berikut ini:

• Pertambahan jumlah penduduk


• Perubahan alam
• Penemuan baru di berbagai bidang yang mampu memengaruhi budaya
sebelumnya
• Kontak dengan budaya lain
• Sengketa atau konflik dengan negara-negara lain
Di samping itu, proses akulturasi budaya dapat terhambat bila terjadi hal-hal ini:

• Adanya pandangan negatif pada budaya asing


• Masyarakat memegang teguh budaya asli dan tak ingin dicampuri unsur lain
• Sulit membuka diri pada pengaruh luar
• Lokasi yang terisolasi

Strategi Akulturasi Budaya


Merupakan strategi yang digunakan suatu individu atau kelompok saat berinteraksi
dengan budaya yang berbeda. Menurut Jhon W. Berry dalam jurnalnya yang
berjudul Acculturation: Living Successfully In Two Cultures, berikut 4 strategi
akulturasi yang bisa diterapkan:

1. Strategi asimilasi; saat individu tidak ingin memelihara identitasnya sehingga


ia cenderung terbuka terhadap budaya lain
2. Strategi separasi; individu memegang teguh budaya aslinya dan menghindari
budaya asing
3. Strategi integrasi; individu merasa tertarik untuk menjaga budaya asli tapi tetap
membangun interaksi dengan budaya lain
4. Strategi marginalisasi; kemungkinan menjaga budaya asli dan terpapar budaya
asing sangat kecil

Apa Saja Contoh Akulturasi Budaya?


Di Indonesia sendiri, proses akulturasi telah terjadi sejak lama. Bahkan hingga saat ini
kita pun bisa menikmati produk dari hasil akulturasi tersebut. Beberapa contohnya
yaitu:

• Candi Borobudur; hasil akulturasi budaya Indonesia dengan tradisi Hindu –


Buddha
• Kaligrafi; perpaduan tulisan Arab dengan budaya Indonesia
• Menara Kudus; akulturasi antara Islam dan Hindu
• Gambang Kromong; kesenian musik hasil akulturasi budaya Indonesia dan
Tiongkok
• Masjid Langgar Tinggi; hasil akulturasi arsitektur Jawa dan Tiongkok
• Barongsai; pertunjukan budaya populer hasil percampuran antara budaya
Indonesia dan Tiongkok
• Wayang Mahabarata; pertunjukan wayang hasil akulturasi budaya Indonesia
dan India.
B. Culture Shock

Pengertian culture shock Culture shock atau gegar budaya adalah perasaan di
mana seseorang merasa tertekan serta terkejut ketika berhadapan dengan lingkungan
dan budaya baru. Seseorang yang mengalami gegar budaya, biasanya akan merasa
cemas, bingung, frustasi. Sebab, dia kehilangan tanda, lambang, dan cara pergaulan
sosial yang diketahuinya dari kultur asal. Aang Ridwan dalam buku Komunikasi
Antarbudaya: Mengubah Persepsi dan Sikap dalam Meningkatkan Kreativitas Manusia
(2016), menjelaskan bahwa culture shock atau gegar budaya adalah kondisi saat
seseorang mengalami goncangan mental dan jiwa, yang disebabkan adanya
ketidaksiapan dalam menghadapi kebudayaan asing dan baru baginya.
Kondisi tersebut menyebabkan seseorang stres, frustasi, gelisah, tidak percaya
diri, hingga depresi. Contohnya, aktor Iqbaal Ramadhan dari Indonesia. Dia harus
pindah ke Amerika untuk mengenyam pendidikan. Pergaulan dan gaya hidup di
Amerika sangatlah bebas. Sementara di Indonesia ada norma dan aturan yang menjadi
batasan pergaulan dan gaya hidup masyarakatnya. Sehingga hal ini membuatnya
merasa terkejut dengan budaya Amerika. Cara mengatasi culture shock Berikut
beberapa cara mengatasi culture shock atau gegar budaya: Menyadari dan mengakui
perasaan tidak nyaman Individu yang mengalami gegar budaya perlu menerima
kenyataan, bahwa dirinya memang tidak mengetahui apa yang sedang dihadapinya.
Dengan begitu, individu akan memiliki rasa ingin tahu untuk mengenal, memahami,
dan juga mempelajari hal baru tersebut, termasuk budaya. Berpikiran terbuka Individu
harus bisa menerima perbedaan yang ada dan terjadi di lingkungan barunya. Seperti
adat istiadat dan norma, kebiasaan, tingkah laku, agama, makanan, cara bersosialisasi,
dan lain sebagainya.
Contoh, seseorang yang beragama Islam dan tidak pernah mengonsumsi babi,
mungkin akan terkejut ketika harus tinggal di Medan. Dia mungkin frustrasi, karena
selama ini menganggap babi itu haram. Untuk mengatasinya, dia harus membiasakan
berpikiran terbuka. Selain itu, dia harus menyadari bahwa tidak semua orang seperti
dirinya yang menganggap babi itu haram. Dengan berpikiran seperti ini, ia akan
memaklumi dan tidak akan terganggu lagi dengan perbedaan itu. Membuka diri
terhadap hal baru Kemauan untuk menyikapi segala sesuatu yang baru dan berbeda
sebagai kesempatan belajar dan mendapat pengalaman, bisa menjadi salah satu cara
mengatasi culture shock. Misalnya, mengikuti kegiatan di lingkungan setempat tanpa
rasa takut dan berusaha percaya diri. Dengan begitu, kebiasaan dan budaya yang
berlaku di lingkungan tersebut, akan lebih mudah dipahami. Terlibat langsung dengan
budaya tersebut Proses adaptasi akan lebih mudah dilakukan ketika terlibat langsung
dengan budaya baru. Baca juga: Keberagaman Sosial Budaya dan Masalahnya
Misalnya, berbicara mengunakan bahasa setempat, mengikuti kegiatan atau organisasi
yang ada di lingkungan tersebut, mencoba makanan khas lingkungan setempat, dan lain
sebagainya.

Fase-fase Culture Shock Dalam proses terjadi culture shock seseorang


mengalami beberapa fase-fase, hal ini diklasifikasikan Ridwan (2016:198) kedalam
enam bagian yakni sebagai berikut:

a. Contact Saat kontak pertama dengan budaya kedua, individu masih terbiasa dengan
budayanya sendiri. Dalam fase awal bersinggungan dengan budaya barunya, individu
baru merasakan sedikit dari budaya barunya. Dalam fase kontak ini ditandai dengan
rasa gembira dan euforia memasuki pengalaman barunya. Individu akan merasa
terpesona dengan budaya baru yang dialami dan sangat berbeda dari budaya aslinya.

b. Disintegration Fase kedua ditandai dengan masa kebingungan dan disorientasi.


Perbedaan budaya semakin jelas terlihat, dari segi perilaku, nilai, dan sikap yang
mengganggu ekspektasi individu. dengan perbedaan yang semakin jelas, perasaan
tegang dan frustasi mulai naik. Pemahamannya tentang budaya tidak lagi bisa
digunakan dan tidak dia tidak bisa mendapatkan perilaku yang diprediksi. Bukan hanya
itu, tetapi perasaan menjadi seseorang yang berbeda, terisolasi, dan tidak cukup baik
pun tumbuh karena tuntutan situasi. perasaan-perasaan itulah yang membawa
disintegration of personality sebagai bentuk dari kurangnya kepastian akan identitas di
lingkungan barunya.

c. Reintegration Fase reintegrasi ini ditandai dengan adanya penolakan budaya baru
yang kuat. Adanya persamaan dan perbedaan budaya ditolak melalui stereotyping,
generalisasi, evaluasi, dan sikap yang terlalu judgmental. Dalam fase perlawanannya
ini individu cenderung akan berkumpul dengan orang yang memiliki latar belakang
budaya yang sama dengan dirinya. Hal ini tidak sepenuhnya negatif, karena ini adalah
tanda berkembangnya kesadaran akan adanya perbedaan budaya. Fase ini adalah
dimana individu harus menentukan apakah dia akan tinggal dan beradaptasi atau
kembali ke budaya asalnya.

d. Autonomy Tahapan autonomy atau kemandirian ditandai dengan meningkatnya rasa


sensitivitas dan pemahaman akan budaya baru. individu yang pada awalnya ragu untuk
melangkah ke budaya barunya, mulai terbiasa dengan situasi yang dialami. Individu
merasa lebih rileks dan mulai bisa memahami orang lain secara verbal maupun
nonverbal. Meskipun pemahamannya akan budaya baru tidak sedalam apa yang dia
rasakan, tetapi orang lain menganggap dia sudah menguasai budaya barunya.
Kemampuan individu dalam mempelajari budaya ini datang dari kurangnya simbol-
simbol budaya lama dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi baru. Dalam fase
ini individu sudah mengembangkan fleksibilitas dan kemampuan mengatasi perbedaan
budaya.

e. Independence Fase terakhir ini ditandai dengan munculnya kemandirian dalam hal
sikap, emosi, dan perilaku, tetapi tetap bergantung pada pengaruh budaya yang masuk.
Individu dalam menerima dan mencerna ide-ide baru dari perbedaan dan persamaan
budaya, sekaligus memunculkan rasa percaya dan sensitivitas pada budaya barunya.
Individu juga dapat melihat dirinya sebagai seorang yang sangat dipengaruhi oleh
budaya dan didikan yang dia terima.

Terdapat beberapa reaksi awal yang ditimbulkan jika seseorang terpapar kepada culture
shock, secara komprehensif hal ini dinyatakan oleh Ridwan (2016:204) yaitu sebagai
berikut: a. Perasaan sedih, kesepian, frustasi, dan stereotype negatif terhadap budaya
barunya b. Munculnya rasa sakit secara fisik akibat dari psikosomatis, seperti diare,
maag, dll. c. Perubahan temperamen d. Rasa rindu akan rumah (homesick) e.
Mempertanyakan kembali identitas diri yang diyakini selama ini. Jika sebelumnya dia
meyakini bahwa dirinya adalah orang yang menarik, tiba-tiba dia merasa bahwa dia
adalah sosok orang yang tidak istimewa f. Kehilangan kepercayaan diri g. Keinginan
untuk terus bergaul dengan orang yang memiliki budaya sama dengannya
Dimensi Dalam Culture Shock

Terdapat beberapa dimnesi dalam culture shock. Amalia (2020: 26) membagi dimensi
dalam culture shock kedalam tiga bagian yang disebut dengan ABC, yaitu Affective,
Behavior, dan Cognitive.

a. Affective Proses pada Affective berhubungan dengan perasaan dan emosi yang
dapat menjadi positif ataupun negatif. Individu yang berada dalam lingkungan
baru akan merasa bingung, cemas, curiga dan juga sedih. Selain itu individu
akan mudah merasa tidak tenang, merasa takut, tidak aman, merasa kehilangan,
kehilangan identitas, dan merindukan kampung halaman (homesick).
b. Behavior Dimensi behavior merupakan bentuk dari perilaku individu yang
dapat mempengaruhi seseorang ketika mengalami culture shock, individu
mengalami kekeliruan nilai, kebiasaan, dan asumsi yang mengatur interaksi
individu yang mencakup komunikasi verbal dan nonverbal di setiap negara.
Dimensi ini juga berkaitan dengan pembelajaran budaya. Pembelajaran tersebut
merupakan suatu proses pembelajaran yang dilakukan oleh pendatang untuk
memperoleh pengetahuan sosial dan keterampilan agar dapat bertahan
dilingkungan masyarakat yang baru.
c. Cognitive Dimensi ini merupakan sebuah gabungan antara Affective dan
Behavioral yang merupakan perubahan pesepsi pada diri individu dalam
identifikasi etnis dan nilai-nilai akibat kontak budaya. Kontak budaya yang
sering dialami individu adalah kesulitan bahasa Karena berbeda negara,
memiliki kesulitan dalam interaksi sosial. Bagi individu yang mengalami
culture shock proses mengenal suatu budaya daerah lain merupakan suatu
konsep untuk mengidentifikasi, yang terdiri dari sikap, nilai-nilai, dan perilaku.

C. Pewarisan Budaya
a. Pengertian pewarisan budaya Merupakan suatu proses peralihan nilai- nilai dan norma-
norma yang dilakukan dan diberikan melalui pembelajaran oleh generasi tua ke generasi yang
muda. Contoh – contoh yang menyebabkan pewarisan budaya muncul Sosialisasi pertama
seorang anak adalah bersama ibunya sosialisasi antar masyarakat

b. Tujuan pewarisan budaya :


1. Pengenalan nilai, norma, dan adat istiadat dalam hidup.
2. Terciptanya keadaan yang tertib, tentram harmonis dalam masyarakat.
3. Usia manusia terbatas

c. Proses Pewarisan Budaya


Proses pewarisan budaya disebut juga transmission of culture berlangsung sepanjang masa,
selama pendukung budaya yang bersangkutan tidak punah. Prosesnya berjalan dari generasi
yang satu ke generasi berikutnya. Pewarisan tersebut dilakukan melalui suatu proses belajar
yang disebut sosialisasi dan enkulturisasi. Dalam proses sosialisasi tersebut terdapat pula proses
internalisasi.
1. Proses Sosialisasi atau proses pemasyarakatan adalah proses
belajar individu tentang perilaku kelompoknya sehingga ia dapat
berperilaku sesuai dengan perilaku kelompoknya. Untuk dapat
memahami terjadinya proses sosialisasi, para ahli menggunakan
adat istiadat, pola pengasuhan anak, tingkah laku seks yang
dilakukan oleh suatu masyarakat dan riwayat hidup beberapa
individu dalam sesuatu masyarakat sebagai bahan penelitian.
Dalam sosialisasi tersebut terjadi proses internalisasi, dimana
proses yang berlangsung selama hidup manusia, yaitu proses
belajar menanamkan kepribadian dalam segala perasaan, hasrat,
nafsu dan emosi yang diperlukan sepanjang
hidupnya. Menurut Cooley, keluarga merupakan tempat
sosialisasi primer, yaitu tempat pertama kali individu belajar
berperilaku.
2. Proses enkulturisasi atau proses pembudayaan
(institutionalization, Inggris) merupakan proses panjang
semenjak awal kehidupan dalam lingkungan keluarga, kemudian
dalam lingkungan yang makin lama makin luas. Proses
enkulturisasi adalah proses belajar dan menyesuaikan alam
pikiran serta sikap terhadap adat, sistem norma, serta semua
peraturan yang terdapat dalam kebudayaan suatu masyarakat.
Dalam suatu masyarakat tentu ada individu yang mengalami
berbagai hambatan dalam proses internalisasi, sosialisasi dan
enkulturisasi sehingga individu tersebut mengalami kesukaran
dalam menyesuaikan kepribadiannya dengan lingkungan sekitar.
Individu tersebut dapat berperilaku tidak sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku sehingga perilakunya dapat disebut diviant
atau suatu bentuk perbuatan penyimpangan.

b. Media pewarisan budaya dalam masyarakat modern dan tradisional

Pada masyarakat tradisional, proses pewarisan budaya berlangsung


secara sederhana dan tidak terlalu komplek seperti masyarakat kota
(modern). Masyarakat tradisional terbentuk atas dasar genealogis,
sosial, teritorial dan religius. Keterbelakangan, perkembangan dan
kemajuan budaya daerah tersebut tergantung pada potensi dan sikap
mental masing-masing pendukung budaya
Namun karena sikap mental yang berbeda maka hasilnya juga
berbeda. Sikap mental yang apatis terhadap pembangunan akibat
rendahnya pendidikan membuat modernisasi juga berjalan lambat.
Dari perjalanannya terdapat budaya yang masih sederhana, misalnya
suku-suku pedalaman, atau budaya berkembang dimana modernisasi
sudah berjalan namun minat terhadap pembangunan masih harus
dibina, misalnya Dayak Ngaju, Gayo dan Alas, Banjar, Badui.

Ciri-ciri Pewarisan budaya pada masyarakat tradisional


1. Bentuk pewarisan dilakukan secara lisan melalui tutur dari mulut ke mulut
2. Menjunjung tinggi nilai kelompok sebagai nilai kebenaran
3. Nilai-nilai yang oleh nenek moyang dianggap bernilai luhur tetap dipertahankan
seringkali nilai rasio harus mengalah terhadap nilai moral
4. Sifat kolektif kehidupan tetap merupakan wujud kehidupan kolektif masyarakat
tradisional
5. Masyarakat tradisional sulit atau lambat menerima perubahan atau unsur-unsur baru dari
luar yang dikhawatirkan akan mengubah nilai yang sudah mapan

Ciri-ciri Pewarisan budaya pada masyarakat modern

Organisasi sosial
a. Bidang Pendidikan
Sekolah merupakan sarana pewarisan budaya paling mendasar setelah keluarga. Media ini
bersifat formal dan dikatakan mendasar karena proses pembelajaran berlangsung secara
terencana dan sistematis terhadap seorang individu. Dalam proses pewarisan, sekolah
mempunyai fungsi :
- memperkenalkan, memelihara dan mengembangkan unsur-unsur budaya
- mengembangkan kekuatan penalaran
- memperkuat kepribadian
- menumbuhkembangkan semangat kebangsaan.

b. Kesenian, dilembagakan secara formal melalui lembaga pendidikan. Disamping itu terjadi
pengemasan kesenian sesuai selera publik sehingga menjadi komersialisasi budaya
c. Bidang Perekonomian
Bidang ekonomi terbagi dalam tiga bidang kegiatan yaitu produksi, konsumsi dan distribusi
d. Bidang Politik Pemerintahan
Lembaga pemerintahan, baik pemerintah pusat, daerah, negara sampai RT RW merupakan
sarana enkulturisasi maupun sosialisasi bagi warganya. Peran yang diemban adalah sosialisasi
berbagai norma hukum, peraturan dan perundang-undangan. Peran serta masyarakat dalam
bidang politik disalurkan lewat lembaga partai politik. Sarana ini berfungsi sebagai
penyelenggaran sistem pemerintahan yang demokratis.

2. Media Masa
Media massa merupakan sarana yang paling efektif dalam pembentukan kepribadian
individu, karena media tersebt dapat memperluas cara berfikir dan wawasan pengetahuan
individu dalam proses pewarisan budaya.
Dampak positif pengaruh unsur budaya asing sebagai akibat perkembangan media
massa dan teknologi informasi antara lain:
- mempercepat proses pembangunan karena masuknya iptek yang tepat guna
- memperluas cakrawala berfikir dan berwawasan luas
Dampak negatif dari masuknya budaya asing melalui sarana pewarisan media massa
atau akibat globalisasi adalah:
- cultural shock, yaitu ketidaksiapan individu menerima perubahan
- cultural lag, hal ini disebabkan masuknya budaya asing yang tidak serempak
sehingga terjadi ketimpangan budaya, terdapat masyarakat yang sudah dapat menggunakan
tetapi di satu sisi terdapat pula ketertinggalan pada masyarakat tertentu
- anomi, yaitu pergeseran nilai dan norma sehingga sering terjadi konflik atau
norma yang ada mulai ditinggalkan tetapi norma yang baru belum diakui atau terbentuk
Menurut W. F. Oghburn ketertinggalan kebudayaan disebabkan oleh:
1. kelangkaan penemuan pada penyesuaian kebudayaan
2. halangan mekanis terhadap penyesuaian perubahan
3. heterogenitas masyarakat
4. dekatnya hubungan dengan kebudayaan materi
5. nilai-nilai kelompok
Dalam kehidupan dewasa ini media massa yang paling berperan dalam mempengaruhi
khalayak adalah televisi karena televisi adalah media massa yang paling banyak dikonsumsi
oleh masyarakat serta kini telah menjangkau di pelosok pedesaan.

D. Paradigma Konseling Dalam Transisi

Para teoritikus itu “mencari” dengan teliti kesesuaian antara pendamping psrtoral yang
dipertimbangkan dari perspektif paradigma-paradigma sikologis dengan pendampingan
pastoral yang dipertimbangkan dari perspektif biblis atau teologis tradisional. Alasan-
alasan teologis dan biblis sengaja “dikembangkan” sejajar dengan pemahaman-
pemahaman sikologis demi kualitas dan struktur dari pelayanan konseling namun semua
ini tampaknya dibuat lebih dari perspektif sikologis daripada teologis. Hasil akhirnya,
tentu saja suatu korelasi yang longgar antara pertimbangan-pertimbangan yang teologis-
biblis dan yang sikologis-sikoterapis.

Sebagaimana terjadi pada literatur didalam pusat-pusat konseling klinispun (yang


menjamur selama dasawarsa perkembangan konseling sangat cepat) telah terjadi
perdebatan dan ketegangan yang makin tinggi diantara pendirian-pendirian sikologis dan
diantara paradigma-paradigma teologis dan sikologis. Tentu saja praktik konseling ikut
bertambah subur. Usaha untuk mengorientasikan masyarakat ke arah perspektif sikologis
terhadap duka cita, konflik antara pribadi, dan hubungan antara keluarga merupakan
pekerjaan yang menarik dan bermanfaat.

Paradigma yang dikembangkan blocher berimplikasi pada model praktik profesional.


Pada layanan profesional modern ( masa perkembangan sikoanalisah) pendekatan
konseling sering disebut sebagai model kesehatan mental masyarakat (community mental
health model) model konseling dan sikoterapi yang berorientasi pada tahap muka
perorang dengan menggunakan satu atau beberapa instrumen atau intervensi yang
tersedia dalam praktik profesional.

Bimbingan dan konseling komprehensif, merupakan paradigma layanan bimbingan dan


konseling yang diadopsi dari model nasional ASCA. Pendekatan komprehensif
(comprehensive in scope) merupakan konsep layanan yang merefleksikan pendekatan
pada landasan program, sistem layanan, manajemen dan akuntabilitas (foundation,
delivery, management accountability).
BAB III

Penutup

A. Kesimpulan
Budaya adalah perpaduan diantara unsur-unsur kebudayaan yang berbeda dan
bersatu dalam membentuk upaya kebudayaan baru tanpa dengan maksud
menghilangkan kepribadian kebudayaan yang asli.

Anda mungkin juga menyukai