Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

“TEORI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL”

Dosen Pengampu :
Dr. Suratno, M. Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 4
1. Mulyani (1401420044)
2. Safrudin Wahyu Jadmiko (1401420144)
3. Intan Nurkhaliza (1401420181)
4. Susi Hartiningsih (1401420234)
5. Katrien Widalaksita (1401420304)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan Multikultural dengan judul
“Teori Pendidikan Multikultural” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan.
Dengan bantuan dari berbagai pihak makalah ini dapat kami. Terutama kepada Bapak
Dr. Suratno, M. Pd. selaku dosen mata kuliah Pendidikan Multikultural yang telah memberikan
arahan. Kami juga menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah
ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Dan kami mengucapkan mohon maaf
apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan.

Semarang, 06 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
1.3 Tujuan ................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Teori Pendidikan Multikultural ............................................................................. 2
2.2 Pendidikan Multikultural dan Tinjauan Didaktik dan Metodik ............................ 4
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 11
3.2 Saran .................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki banyak budaya yang beragam jenisnya
mulai dari Sabang sampai Merauke. Dari ke 33 provinsi yang ada di Indonesia
semuanya memiliki budaya yang menjadi ciri khasnya masing-masing. Namun
walaupun budaya tersebut berbeda-beda, masyarakat Indonesia tetap dapat hidup
berdampingan dengan rukun karena adanya sikap toleransi dan saling menghargai satu
sama lainnya. Bhineka Tunggal Ika yang telah menjadi semboyan Bangsa Indonesia
juga mampu mempererat tali persaudaraan antar budaya yang ada di Indonesia.
Budaya yang beragam menjadikan Indonesia sebagai Negara yang
multikultural. Walaupun multikultural Indonesia tetap memandang sama rata semua
budaya yang ada di Indonesia. Hal ini berarti tidak ada budaya yang mendominasi yang
menjadi aliran utama di Indonesia. Budaya yang beragam atau multikultural merupakan
aset berharga yang dimiliki Bangsa Indonesia dan merupakan kekayan bangsa
Indonesia.
Indonesia juga tetap memasukkan budaya masing-masing daerah ke kurikulum
tambahan, seperti muatan lokal. Dalam muatan lokal diberikan pembelajaran tentang
budaya yang dimiliki masing-masing daerah dan diajarkan didaerah itu sendiri, hal
tersebut merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya Indonesia.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana teori pendidikan multikultural?
2. Bagaimana Pendidikan Multikultural ditinjau dari segi didaktik dan Metodik?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini yaitu:

1. Untuk megetahui dan menambah wawasan mengenai teori pendidikan


multikultural.
2. Untuk mengetahuidan menambah wawasan Pendidikan Multikultural dari tinjauan
didaktik dan metodik.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Pendidikan Multikultural


Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang membahas mengenai
perbedaan budaya dan etnis secara mengglobal sehingga pembelajarannya cukup rumit
karena tidak membahas hanya etnis dan budaya saja, tetapi juga membahas emic.
Pendidikan multikultural dalam pandangan para pakar mendefiniskan atau menjelaskan
pendidikan multicultural dari berbagai perspektifnya masing-masing. Para pakar yang
mengeluarkan teori-teori tersebut yaitu sebagai berikut:

a. Horrace Kallen
Menurut Horrace Kallen multicultural yaitu jika budaya suatu bangsa memiliki
banyak segi, nilai-nilai dan lainnya budaya tersebut disebut oleh Horrace Kallen
sebagai pluralisme budaya atau Cultularl Pluralism). Horrace menggambarkan
pluralism budaya sebagai penghargaan berbagai tingkat perbedaan, tetapi masih
terdapat dalam batas-batas dalam menjaga persatuan nasional. Kallen dalam
penjelasannya mencoba menggambarkan penjelasannya dalam lingkup daerah yaitu
Amerika yang mana masing-masing etnis dan budaya di Amerika saling berkontribusi
unik sehingga menambah variasi etnik dan budaya di Amerika. Dalam teorinya juga,
Kallen menjelaskan sekaligus mengakui bahwa budaya yang dominan dalam
masyarakat harus juga diakui oleh masyarakat sendiri. sebagai contoh yaitu
keberagaman budaya yang ada di Jawa, budaya yang paling dominan di Jawa yaitu
budaya Jawa namun juga terdapat budaya-budaya yang sedikit dominan di Jawa yang
akan menambah variasi dan keberagaman budaya yang ada di Jawa.
b. Jams A. Banks
Jams A. Banks merupakan seorang yang dikenal sebagai perintis dari teori
pendidikan multicultural hal tersebut dikarenakan Banks lebih menekankan dan lebih
terfokus pada pendidikan multicultural. Menurut Banks, pendidikan lebih mengarah
pada bagaimana berfikir dari pada apa yang dipikirkan serta Banks juga menjelaskan
bahwa siswa harus diajari tentang bagaimana cara memahami berbagai jenis
pengetahuan, konstruksi pengetahuan serta interpretasi yang berbeda-beda walaupun
terkadang interpretasi pengetahuan tersebut berlawanan dengan pikiran siswa itu
sendiri. Banks mengindentifikasikan tiga kelompok yang berbeda dalam hal
keberadaan kelompok-kelompok budaya di Amerika Serikat. Yang pertama yaitu

2
tradisionalis barat. Kelompok ini beranggapan bahwa mereka berada dalam keadaan
terancam dan berbahaya karena mengenyampingkan kelompok fiminis, minoritas dan
reformasi multicultural yang lain. Tapi kelompok ini masih sedikit memberikan
perhatian terhadap pengajaran keanekaragaman atau multikultur.
c. Judith M. Green
Menurut Green, keunikan multikulturalisme tidak hanya dimiliki oleh Amerika,
melainkan juga negara-negara lain yang mana negara tersebutpun harus
mengakomodasikan berbagai kelompok kecil dari berbagai budaya yang berbeda-beda.
Amerika dalam pandangan Green merupakan negara yang melakukan perubahan besar
dalam transformasi berkat pendidikan, hal tersebut dikarenakan Amerika menganggap
bahwa cara untuk melakukan perubahan yang efektif adalah melalui pendidikan tidak
terkecuali pendidikan multikulturalnya. Amerika yang sejak keberadaannya telah
memiliki masyarakat yang mempunyai kebudayaan yang beragam yang dimana
berbagai budaya telah bersatu melalui perjuangan, interaksi serta kerja sama.
d. Bill Martin
Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism: Consumerist or
Transformational?, Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu tentang
multikulturalisme memunculkan pertanyaan tentang "perbedaan" yang nampak sudah
dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda sosial dan politik, jika
multikulturalisme lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai kelompok yang
berbeda, maka harus benar-benar menjadi 'pertemuan' dari berbagai kelompok itu yang
tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi semua umat manusia lewat
pembuatan perbedaan yang radikal (Martin, 1998: 128)
Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari Afrosentris dan
tradisionalis Barat. Martin menyebut Afrosentris dan tradisional Barat itu sebagai
"consumerist multiculturalism". Selanjutnya, Martin mengusulkan sesuatu yang baru.
Multikulturalisme bukan “konsumeris” tetapi “transformational”, yang memerlukan
kerangka kerja. Martin mengatakan bahwa di samping isu tentang kelas sosial, ras, etnis
dan pandangan lain yang berbeda, diperlukan komunikasi tentang berbagai segi
pandangan yang berbeda. Masyarakat harus memiliki visi kolektif tipe baru dari
perubahan sosial menuju multikulturalisme yaitu visi yang muncul lewat transformasi.
Martin memandang perlu adanya perubahan yang mendasar di antara
kelompok-kelompok budaya itu sampai diketemukan adanya visi baru yang dimiliki
dan dikembangkan bersama. Untuk mencapai tujuan itu sangatlah dibutuhkan adanya
3
komunikasi antar berbagai segi pandang yang berbeda. Mengapa ini penting? Karena
selama ini masing-masing kelompok bersikap tertutup terhadap kelompok yang lain
dan tidak ada komunikasi tanpa prasangka di antara kelompok-kelompok yang ada.
e. Martin J. Beck Mastutik
Martin J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang masyarakat
multikultural di masyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan. Matustík
mengatakan "Semua segi dalam pembicaraan budaya saat ini mengarah pada pemikiran
kembali norma barat (the western canon) yang mengakui bahwa dunia multikultural
adalah benar-benar nyata adanya " (Matustík, 1998). Dalam artikelnya, "Ludic,
Corporate and Imperial Multiculturalism: Impostors of Democracy and Cartographers
of the New World Order," Matustik menulis, "perang budaya, politik dan ekonomi
menyerang pada segi yang mana, bagaimana dan lewat siapa sejarah multikultural
dijelaskan."
Matustík mengatakan bahwa teori multikulturalisme meliputi berbagai hal yang
semuanya mengarah kembali ke liberalisasi pendidikan dan politik Plato, filsuf Yunani.
Sebuah karya Plato yang berjudul Republik, bukan hanya memberi norma politik dan
akademis klasik bagi pemimpin dari negara ideal yang dia cita-citakan, namun juga
menjadi petunjuk dalam pembahasan bersama tentang pendidikani bagi yang tertindas
(Matustík, 1998). Ia yakin bahwa kita harus menciptakan pencerahan multikultural baru
(a new multicultural enlightenment) yaitu "multikulturalisme lokal yang saling
berkaitan, secara global sebagai lawan dari monokultur nasional" (Matustík, 1998).
2.2 Pendidikan Multikultural dari Tinjauan Didaktik dan Metodik
Metode atau metoda berasal dari bahasa Yunani, yaitu metha dan hodos. Metha
berarti melalui atau melewati dan hodos berarti jalan atau cara. Metode berarti jalan
atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam bahasa Arab,
metode disebut thariqah. Mengajar berarti menyajikan atau menyampaikan pelajaran.
Jadi, metode mengajar berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan
pengajaran agar tercapai tujuan pengajaran. (Ghunaimah, 1952: 177)
Metodik dapat pula dibagi kepada dua macam yaitu: (1) metodik umum, dan (2)
metodik khusus. Metodik umum membicarakan cara mengajar pada setiap mata
pelajaran pada umumnya, seperti: cara mengajar Agama, Bahasa, Sejarah, Ilmu
Pengetahuan Alam dan sebagainya. Di dalam ilmu itu dibicarakan juga berbagai
metode mengajar yang dapat digunakan pendidik dalam kegiatan pembelajaran.
Metodik Khusus, membicarakan bagaimana menyajikan bahan pelajaran tertentu
4
kepada peserta didik tertentu. Misalnya; metodik khusus mengajarkan Agama di SD,
berbeda dengan di SLTP, berbeda pula dengan SMA, dan berbeda lagi dengan di
Perguruan Tinggi.
Sedangkan istilah Didaktik berasal dari bahasa Yunani yaitu: didastikas yang
berarti pandai mengajar atau didascein yang berarti mengajar. Dari kata didascein
diistilahkan didaktike techne yang berarti teknik mengajar. Dengan demikian yang
dimaksud dengan didaktik, yaitu ilmu yang membicarakan atau memberikan prinsip
tentang cara-cara menyampaikan bahan pelajaran, sehingga dikuasai dan dimiliki oleh
peserta didik. Dengan perkataan lain; ilmu tentang mengajar dan belajar, tegasnya,
suatu ilmu tentang pendidik mengajar dan peserta didik belajar. Jadi dalam didaktik
terkandung dua kegiatan yaitu: kegiatan “mengajar” dan “belajar". Kegiatan mengajar
dipihak pendidik sedangkan kegiatan belajar dipihak peserta didik. Dengan kegiatan
mengajar pendidik yang aktif, sedangkan kegiatan belajar peserta didik yang aktif.
Didaktik pada umumnya dibedakan menjadi dua macam, ' yaitu (1) Didaktik
Umum, dan (2) Didaktik Khusus. Didaktik umum memberikan prinsip-prinsip umum
yang berhubungan dengan penyajian bahan pelajaran yakni motivasi, peragaan-
peragaan, minat dan lain-lain agar anak menguasainya. Prinsip-prinsip itu berlaku bagi
semua mata pelajaran, apakah biologi, Pendidikan Agama Islam, psikologi geograh dan
sebagainya. Jadi Didaktrk Umum ialah ilmu yang membicarakan tentang bagaimana
proses pembelajaran pada umumnya yang berlaku untuk tiap-tiap mata pelajaran dan
bahan pelajaran. Didaktik Umum ini sering juga disebut “Ilmu Pengajaran Umum" atau
“Ilmu Mengajar secara Umum". Didaktik Khusus membicarakan tentang cara mengajar
bidang studi tertentu di mana prinsip Didaktik Umum digunakan. Didaktik Khusus
perlu sebab setiap mata pelajaran mempunyai ciri-ciri khas yang berlainan dengan mata
pelajaran lainnya. Didaktik Khusus disebut juga Metodik.
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan berfungsi menanamkan
kesadaran di kalangan generasi muda akan identitas dirinya, identitas kolektifnya, serta
menumbuhkan calon warga negara yang baik dan terpelajar dalam masyarakat yang
homogen ataupun yang majemuk. Sementara itu, guru berfungsi untuk melatih dan
mendisiplinkan pikiran peserta didik, memberikan pendidikan moral dan agama,
menanamkan kesadaran nasionalisme dan patriotisme, menjadi warga negara yang
baik. Namun, dalam perannya guru dihadapkan pada berbagai kesulitan untuk
memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang. Hal ini disebabkan pada era
global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi sehingga memerlukan lembaga
5
pendidikan dan guru yang memiliki peran dan kesadaran multikultural, yaitu kesadaran
untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada orang-orang yang memiliki
kebutuhan berbeda. Untuk itu, peran guru dan pihak sekolah diperlukan memenuhi
berbagai kebutuhan peserta didik, antara lain sebagai berikut.
1. Membangun Paradigma Keberagamaan

Guru merupakan faktor penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai


keberagamaan yang inklusif dan moderat di persekolahan. Hal ini disebabkan guru
yang memiliki paradigma pemahaman keberagamaan yang moderat akan mampu
mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagaman kepada peserta
didik di sekolah. Peran guru dalam hal ini, yaitu sebagai berikut:
a. Guru harus mampu bersikap demokratis. Artinya, dalam segala tingkah
lakunya, baik sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif (bersikap tidak
adil atau menyinggung) peserta didik yang menganut agama yang berbeda
dengannya.
b. Guru seharusnya memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian
tertentu yang berhubungan dengan agama.
Selain guru, peran sekolah juga sangat penting dalam membangun lingkungan
pendidikan yang pluralis dan toleran terhadap semua pemeluk agama. Oleh sebab
itu, sekolah sebaiknya memerhatikan hal-hal berikut.
a. Sebaiknya sekolah membuat dan menerapkan peraturan lokal, yaitu peraturan
sekolah yang diterapkan secara khusus di sekolah tertentu. Dengan
diterapkannya peraturan ini diharapkan semua unsur yang ada, seperti guru,
kepala sekolah, pegawai administrasi, dan peserta didik dapat belajar untuk
selalu menghargai orang lain yang berbeda agama di lingkungan mereka.
b. Untuk membangun rasa saling pengertian beragama antar peserta didik,
sekolah diharapkan berperan aktif dalam menggalakkan dialog keagamaan
dengan bimbingan guru-guru.
c. Buku-buku pelajaran yang digunakan dan diterapkan di sekolah sebaiknya
adalah buku-buku yang dapat membangun wacana peserta didik tentang
pemahaman keberagamaan yang moderat.
2. Menghargai Keragaman Bahasa
Guru harus memiliki sikap menghargai ”keragaman bahasa” dan
mempraktikkan nilai-nilai tersebut di sekolah sehingga dapat membangun sikap
6
peserta didik agar mereka selalu menghargai orang lain yang memiliki bahasa,
aksen, dan dialek yang berbeda. Oleh karena itu, guru harus menunjukkan sikap
dan tingkah laku yang selalu menghargai perbedaan bahasa yang ada. Dengan
demikian, diharapkan peserta didik akan mempelajari dan mempraktikkan sikap
yang sama.
3. Membangun Sensitivitas Gender
Dalam pendidikan multikultural, pendidikan memiliki peran yang sangat
strategis untuk membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya
menjunjung tinggi hak-hak perempuan dan membangun sikap anti diskriminasi
terhadap kaum perempuan. Oleh karena itu, guru dituntut untuk memiliki peran
dalam membangun kesadaran peserta didik terhadap nilai-nilai kesadaran gender
dan sikap anti diskriminasi terhadap kaum perempuan di sekolah dengan cara
berikut.
a. Guru harus memiliki wawasan yang cukup tentang kesetaraan gender.
Wawasan ini penting karena guru merupakan figur utama yang menjadi pusat
perhatian peserta didik di kelas sehingga diharapkan mampu bersikap adil dan
tidak diskriminatif terhadap peserta didik perempuan ataupun laki-laki.
b. Guru harus mampu mempraktikkan nilai-nilai keadilan gender secara langsung
di kelas atau di sekolah.
c. Sensitif terhadap permasalahan gender di dalam ataupun di luar kelas.
Sementara itu, sekolah juga memiliki peran yang sangat penting dalam
menanamkan nilai-nilai tentang kesetaraan dan keadilan gender dengan cara
berikut.
a. Sekolah harus memiliki sekaligus menerapkan undang-undang sekolah anti
diskriminasi gender.
b. Sekolah harus berperan aktif untuk memberikan pelatihan gender terhadap
seluruh staf, termasuk guru dan peserta didik agar penanaman nilai-nilai
tentang persamaan hak dan sikap anti diskriminasi gender dapat berjalan
dengan efektif.
c. Untuk memupuk dan menggugah kesadaran peserta didik tentang kesetaraan
gender dan sikap anti diskriminasi terhadap kaum perempuan, pihak sekolah
dapat mengadakan seminar atau kegiatan sosial lainnya yang berkaitan
dengan pengembangan kesetaraan gender.
4. Membangun Sikap Kepeduliaan Sosial
7
Guru dan sekolah memiliki peran terhadap pengembangan sikap peserta
didik untuk peduli dan kritis terhadap segala bentuk ketidakadilan sosial, ekonomi,
dan politik yang ada di dalam ataupun di luar lingkungan sekitarnya.
a. Guru harus memiliki wawasan yang cukup tentang berbagai macam fenomena
sosial yang ada di lingkungan para peserta didiknya, terutama yang berkaitan
dengan masalah kemiskinan, pengangguran, para siswa yang tidak dapat
melanjutkan sekolah, korupsi, pengusuran, dan lain-lain.
b. Guru dapat menerapkan sikap tersebut di sekolah atau di kelas, dengan cara
bersikap adil kepada seluruh siswa tanpa harus mengistimewakan salah satu
dari mereka meskipun latar belakang status sosial mereka berbeda.
Pihak sekolah sebaiknya membuat dan menerapkan peraturan fenomena
ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik yang ada di sekitar mereka. Dengan
diberlakukannya peraturan tersebut diharapkan dapat membangun sikap siswa
untuk percaya diri, menghargai orang lain, dan bertanggung jawab. Kegiatan lain
yang dapat dilaksanakan oleh pihak sekolah adalah menyelenggarakan acara bakti
sosial atau aksi nyata lainnya secara bulanan atau tahunan. Dengan demikian,
peserta didik dapat merasakan permasalahan masyarakat yang ada di Sekitar atau
di luar lingkungannya.
5. Membangun Sikap Anti Diskriminasi Etnis
Guru berperan sangat penting dalam menumbuhkan sensitivitas anti
diskriminasi terhadap etnis lain di sekolah. Oleh sebab itu, seorang guru dituntut
untuk:
a. memiliki pemahaman dan wawasan yang cukup tentang sikap anti
diskriminasi etnis sehingga dapat memberikan contoh secara langsung melalui
sikap dan perilakunya yang tidak memihak atau tidak berlaku diskriminatif
terhadap peserta didik yang memiliki latar belakang etnis atau ras tertentu;
b. memberikan perlakuan adil terhadap seluruh peserta didik yang ada. Dengan
demikian, diharapkan peserta didik meniru dan berlatih untuk bersikap dan
bertingkah laku adil terhadap teman-temannya yang berbeda etnis.
Demikian pula, pihak sekolah sebaiknya berperan aktif dalam membangun
pemahaman dan kesadaran siswa tentang pentingnya sikap menghargai dan anti
diskriminasi terhadap etnis lain melalui cara membuat pusat kajian atau forum
dialog untuk menggagas hubungan yang harmonis antaretnis.
6. Membangun Sikap Anti Diskriminasi terhadap Perbedaan Kemampuan
8
Pada aspek ini guru sebagai penggerak utama kesadaran peserta didik agar
selalu menghindari sikap yang diskriminatif terhadap perbedaan kemampuan
peserta didik, baik di dalam maupun di luar kelas, termasuk di luar sekolah.
Dengan memberikan contoh secara langsung kepada peserta didik diharapkan
peserta didik dapat mencontoh, menerapkan, dan membangun kesadaran untuk
tidak melakukan tindakan yang diskriminatif terhadap mereka yang memiliki
perbedaan kemampuan sehingga dapat saling memahami, menghormati, dan
menghargai.
Demikian pula, sekolah harus mampu menjadi institusi yang membangun
sikap peserta didik yang selalu menghargai orang lain yang memiliki kemampuan
berbeda dengan cara:
a. membuat dan menerapkan peraturan sekolah yang menekankan bahwa sekolah
menerima para peserta didik yang ”normal" dan memiliki kemampuan
berbeda;
b. menyediakan pelayanan khusus, seperti guru dengan keterampilan khusus
untuk menangani peserta didik yang memiliki perbedaan kemampuan dan
menyediakan fasilitas khusus, seperti ruangan khusus, tempat duduk khusus
atau fasilitas khusus lainnya;
c. memberikan pelatihan bagi guru-guru dan staf tentang cara bersikap dan cara
menghadapi peserta didik yang memiliki perbedaan kemampuan di sekolah
tersebut.
7. Membangun Sikap Anti Diskriminasi Umur
Sekolah seharusnya menerapkan peraturan yang intinya menyatakan
bahwa segala bentuk diskriminasi terhadap umur tertentu dilarang keras di sekolah
dan mewajibkan kepada peserta didik untuk selalu saling memahami dan
menghormati perbedaan umur yang ada di sekitar mereka. Sekolah sebaiknya
tidak memberikan batasan umur tertentu bagi seseorang yang akan masuk dan
belajar di sekolah tersebut apabila yang bersangkutan memiliki kemampuan dan
kemauan seperti yang telah diatur dalam undang-undang sekolah atau negara.
Guru dituntut memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang
pentingnya sikap yang tidak diskriminatif terhadap orang lain yang berbeda umur
diharapkan dapat mempermudah guru untuk memberikan contoh dan bimbingan
tentang bersikap kepada orang yang berbeda umur. Misalnya, guru harus dapat

9
memberikan perhatian yang sama terhadap peserta didiknya tanpa harus
membedakan anak yang lebih tua dengan yang lebih muda.
Untuk tercapainya tujuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh beberapa
komponen, seperti tujuan, kurikulum, pendidik, sarana dan prasarana dan
sebagainya. Komponen pendidik misalnya sangat menentukan kualitas hasil dari
proses pembelajaran. Begitu juga dengan komponen kurikulum, kurikulum
menempati peran penting dan sangat strategis, karena bagaimanapun tercapai
tidak tujuan pendidikan, sangat ditentukan oleh kurikulumnya. Menurut Ronald
C. Doll, kurikulum merupakan pengalaman yang ditawarkan kepada peserta didik
di bawah bimbingan dan arahan lembaga pendidikan.
Sebagai bagian dari perencanaan pembelajaran, kurikulum berisi tujuan
yang ingin dicapai, bahkan yang akan disajikan, alat-alat pengajaran, dan jadwal
waktu pembelajaran. Sebagai suatu system, kurikulum merupakan subsistem dari
keseluruhan kerangka organisasi pendidik dan system sekolah yang mencakup
penentuan kebijakan tentang kurikulum, susunan personalia, dan prosedur
pengembangan kurikulum, penerapan, evaluasi, dan penyempurnaannya. Dalam
kaitannya dengan pelaksanaan pendidikan, implementasi kurikulum diarahkan
kepada pencapaian tujuan. Tujuan dan materi yang hendak dicapai dalam
pendidikan disusun dalam kurikulum.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang membahas mengenai perbedaan
budaya dan etnis secara mengglobal sehingga pembelajarannya cukup rumit karena tidak
membahas hanya etnis dan budaya saja, tetapi juga membahas emic.Didaktik dan metodik
pendidikan multicultural yaitu bagai mana metode kusus dan umum untuk meninjau bagai
mana pendidikan multicultural dilaksanakan. Peran guru sebagai motivator para peserta
didik juga sangat berpengaruh besar bagi pendidikan di Indonesia.Pendekatan pendidikan
multicultural di Indonesia sangat banyak, Pendekatan Historis, Pendekatan Sosiologis,
Pendekatan Kultural, Pendekatan Psikologis, Pendekatan Estetik, dan Pendekatan
Berprespektif Gender
3.2 Saran
Pendidikan multikultural akan lebih bermakna dan melekat pada peserta didik ketika
peserta didik terlibat langsung dalam pembelajaran serta memiliki gambaran konkrit terkait
apa yang mereka pelajari. Kita sebagai pendidik harus mampu medengan rancang sebuah
pembelajaran yang memberikan pengalaman kepada peserta didik secara langsung,
sehingga apa yang kita sampaikan tersebut akan tetap melekat pada ingatan peserta didik.

11
DAFTAR PUSTAKA

Yaya Suryana dan H.A.Rusdiana. 2015. Pendidikan Multikultural. Bandung : Cv.Pustaka


Setia
Faiza. Makalah Multikultural. https://www.academia.edu/32221063/Makalah_multikultural
Diakses pada 6 Februari 2022
Mubarak, S dkk. 2016. Teori dan Pendekatan Pendidikan Multikultur.
http://syahrulassidiq.blogspot.com/2016/09/teori-dan-pendekatanpendidikan.html?m=
Diakses pada 6 Februari 2022
Toga, Pojoeang. 2019. Teori-Teori Pendidikan Multi Kultural.
https://pejoeangtoga.blogspot.com/2019/12/teori-teori-pendidikanmultikultural.html
Diakses pada 6 Februari 2022

12

Anda mungkin juga menyukai