MULTIKULTURAL
MAKALAH
Dosen Pengampu :
ii
BAB 1. PENDAHULUAN
4
BAB 2. PEMBAHASAN
5
memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi pengetahuan
(knowledge construction) dan interpretasi yang berbeda-beda, karena setiap siswa
memiliki pemikiran dan sudut pandang yang berbeda.
Siswa yang baik adalah siswa yang selalu mempelajari semua
pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam membicarakan konstruksi
pengetahuan. Dia juga perlu disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang dia
terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan oleh
kepentingan masing-masing. Bahkan interpretasi itu nampak bertentangan sesuai
dengan sudut pandangnya. Siswa seharusnya diajari juga dalam
menginterpretasikan sejarah masa lalu dan dalam pembentukan sejarah
(interpretations of the history of the past and history in the making) sesuai dengan
sudut pandang mereka sendiri. Mereka perlu diajari bahwa mereka sebenarnya
memiliki interpretasi sendiri tentang peristiwa masa lalu yang mungkin penafsiran
itu berbeda dan bertentangan dengan penafsiran orang lain.
Di dalam The Canon Debate, Knowledge Construction, and
Multicultural Education, Banks mengidentifikasi tiga kelompok cendekiawan
yang berbeda dalam menyoroti keberadaan kelompok–kelompok budaya di
Amerika Serikat :
1. Tradisionalis Barat: Sebagai budaya yang dominan dari peradaban barat.
2. Kelompok Afrosentris: yang menolak dudaya barat secara berlebihan dan
menganggap budaya dan sejarah orang afrika seharusnya menjadi sentral dari
kurikulum.
3. Kelompok multikulturalis yang percaya bahwa pendidikan seharusnya
direformasi untuk lebih memberi pengetahuan kepada orang yang berkulit
berwarna dan tentang wanita.
2.1.3 Bill Martin
Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism: Consumerist or
Transformational?. Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu tentang
multikulturalisme memunculkan pertanyaan tentang “perbedaan” yang nampak
sudah dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda sosial dan
politik, jika multikulturalisme lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai
6
kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi ‘pertemuan’ dari
berbagai kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi
semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin, 1998:
128).
Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari afrosentri dan
tradisionalos barat. Martin menyebut afrosentris dan tradisionalis barat itu sebagai
“consumerist multiculturalism” bukan “konsumeris” tetapi “transformational,
yang memerlukan kerangka kerja. Martin mengatakan bahwa dismping isu
tentang kelas sosial, ras, etnis dan pandangan lain berbeda, diperlukan komunikasi
tentang berbagai segi pandangan yang berbeda. Masyarakat harus memiliki visi
kolektif tipe baru dari perubahan sosial menuju multikulturalisme yaitu visi yang
muncul lewat transformasi. Martin memandang perlu adanya perubahan yang
mendasar diantara kelompok-kelompok budaya itu sampai diketemukan adanya
visi baru yang dimiliki dan dikembangkan bersama.
2.1.4 Martin J. Beck Matustik
Martin J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang
masyarakat multikultural di masyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan.
Matustík mengatakan “Semua segi dalam pembicaraan budaya saat ini mengarah
pada pemikiran kembali norma Barat (the western canon) yang mengakui bahwa
dunia multikultural adalah benar-benar nyata adanya ” (Matustík, 1998). Dalam
artikelnya, “Ludic, Corporate and Imperial Multiculturalism: Impostors of
Democracy and Cartographers of the New World Order,” Matustik menulis,
“perang budaya, politik dan ekonomi menyerang pada segi yang mana, bagaimana
dan lewat siapa sejarah multikultural dijelaskan.”
Matustík mengatakan bahwa teori multikulturalisme meliputi berbagai
hal yang semuanya mengarah kembali ke liberalisasi pendidikan dan politik Plato,
filsuf Yunani. Sebuah karya Plato yang berjudul Republik, bukan hanya memberi
norma politik dan akademis klasik bagi pemimpin dari negara ideal yang dia cita-
citakan, namun juga menjadi petunjuk dalam pembahasan bersama
tentang pendidikan bagi yang tertindas (Matustík, 1998). Ia yakin bahwa kita
harus menciptakan pencerahan multikultural baru (a new multicultural
7
enlightenment) yaitu “multikulturalisme lokal yang saling berkaitan, secara global
sebagai lawan dari monokultur nasional” (Matustík, 1998).
2.1.5 Judith M. Green
Judith M. Green menunjukkan bahwa multi kulturalisme bukan hanya di
AS. Kelompok budaya kecil harus mengakomodasi dan memiliki tolerensi dengan
budaya dominan. Amerika member tempat perlindungan dan memungkinkan
kelompok kecil itu mempengaruhi kebudayaan yang ada. secara bersama-sama
kelompok tersebut memperoleh kekuatan dan kekuasaan untuk membawa
perubahan dan peningkatan dalam ekonomi, partisipasi politis dan media masa.
untuk itu diperlukan pendidika dan dan lewat pendidikan amerika meraih
kesuksesan dalam transformasi dan sejak kelairan amerika selalu selalu memiliki
masyarakat multicultural yang telah bersatu lewat perjuangan, interaksi, dan kerja
sama.
8
3. Pendekatan Kultural. Pendekatan ini menitikberatkan kepada otentisitas dan
tradisi yang berkembang. Dengan pendekatan ini peserta didik bisa melihat mana
tradisi yang otentik dan mana yang tidak.
4. Pendekatan Psikologis. Pedekatan ini berusaha memperhatikan situasi
psikologis personal secara tersendiri dan mandiri. Artinya masing-masing peserta
didik harus dilihat sebagai manusia mandiri dan unik dengan karakter dan
kemampuan yang dimilikinya. Pendekatan ini menuntut seorang pendidik harus
cerdas dan pandai melihat kecenderungan peserta didik sehingga pendidik bisa
mengetahui metode-metode mana saja yang cocok untuk pembelajar.
5. Pendekatan Estetik. Pendekatan estetik pada dasarnya mengajarkan peserta
didik untuk berlaku sopan dan santun, ramah, mencintai keindahan dan
mengutamakan kedamaian. Sebab segala materi jika hanya didekati secara
doktrinal dan menekankan adanya otoritas-otoritas kebenaran maka peserta didik
akan cenderung bersikap kasar. Sehingga mereka memerlukan pendekatan estetik
untuk mengapresiasikan segala gejala yang terjadi di masyarakat dengan
melihatnya sebagai bagian dari dinamika kehidupan yang bernilai seni dan estetis.
6. Pendekatan Berpersepektif Gender. Pendekatan ini mencoba memberikan
penyadaran kepada pembelajar untuk tidak membedakan jenis kelamin antara
laki-laki dan perempuan. Sebab sebenarnya jenis kelamin bukanlah hal yang
menghalangi seseorang untuk mencapai kesuksesan, melainkan kerja nyata yang
dilakukannya. Dengan pendekatan ini, segala bentuk konstruksi sosial yang ada di
lembaga pendidikan yang menyatakan bahwa perempuan berada di bawah laki-
laki bisa dihilangkan.
Pendekatan ini hendak mengapresiasi seluruh kemampuan dan keunikan
yang ada dari setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Kesetaraan ada
pada keduanya ketika bicara soal kinerja, peran, dan kontribusi yang dapat
dilakukannya untuk masyarakat tanpa melupakan kodratnya masing-masing.
9
Banks dalam Suryana (2015:211), menjelaskan empat pendekatan untuk
mengintegrasikan pendidikan multikultural ke dalam kurikulum atau materi
pembelajaran di sekolah, berikut empat pendekatan pendidikan multikultural :
a. Pendekatan Kontribusi (The Contributions Approach) Pendekatan ini memiliki
ciri memasukkan pahlawan/pahlawan dari suku bangsa/etnis dan benda-benda
budaya ke dalam pelajaran yang sesuai.
b. Pendekatan Aditif (Aditif Approach) Pendekatan ini memiliki ciri yaitu
penambahan materi, konsep, tema, perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah
struktur, tujuan, dan karakteristik dasarnya serta dilengkapi dengan kurikulum
tanpa mengubah subtantif, modul, dan buku.
c. Pendekatan Transformasi (The Transformation Approach) Pendekatan
transformasi mengubah pemikiran dasar kurikulum serta menumbuhkan
kompetensi dasar siswa dalam melihat isu, tema, konsep, dan masalah dari
beberapa perspektif dan sudut pandang etnis.
d. Pendekatan Aksi Sosial (The Social Action Approach) Pendekatan yang telah
mencakup semua elemen yang ada pada pendekatan transformasi, namun ada
penambahan komponen yang mempersyaratkan siswa membuat aksi yang
berkaitan dengan konsep, isu, ataupun masalah yang dipelajari.
Menurut Bunnet dalam Suryana (2015:273), program pendidikan
multikultural memiliki tiga macam program yang dapat diterapkan oleh sekolah
dan masyarakat secara keseluruhan .
a. Berorientasi pada Materi (Content-Oriented Programs) Pendidikan
multikultural dimasukkan dalam setiap materi yang berkenaan dengan
keberagaman budayapada kurikulum dan materi pendidikan untuk meningkatkan
pengetahuan siswa tentang keanekaragaman.
b. Berorientasi pada Siswa (Student-Oriented Programs) Program ini tidak
dirancang untuk mengubah kurikulum melainkan membantu siswa dengan budaya
dan bahasa yang berbeda untuk menciptakan perubahan dalam mainstream
pendidikan. Tujuan program ini yaitu meningkatkan prestasi siswa dalam bidang
akademis meskipun terdapat perubahan besar dalam muatan kurikulum.
10
c. Berorientasi Sosial (Sosially-Oriented Programs) Berorientasi pada kehidupan
sosial yang berupaya mereformasi pendidikan maupun konteks politik dan budaya
pendidikan yang bertujuan meningkatkan toleransi budaya dan ras. Program-
program ini tidak hanya dirancang untuk menyatukan dan menstrukkan kembali
sekolah, namun meningkatkan hubungan diantara kelompok ras dan etniktanpa
membedakan perbedaan yang ada dalam setiap individu.
11
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
https://bit.ly/2HISSHY
https://bit.ly/3jhUs1d
https://bit.ly/2Skxwm1
eprints.umm.ac.id/44878/3/BAB II.pdf
13