Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN MULTIKULTURALISME

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Kajian Kearifan Lokal

Dosen Pengampu: Dr. Aris M. Pd

Disusun oleh:

Kelompok 9

Nurhayani 1808104043
Ilhan Nuf 1808104044
Siti Nur Aisah Amini 1808104080

Kelas 7C

Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial

Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON

CIREBON

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah Swt yang telah memberi rahmat dan
hidayah Nya sehingga kami dapat menyelesaikan masakalah ini yang berjudul
“Sejarah Perkembangan Multikulturalisme” penyusun makalah ini untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Kajian Kearifan Lokal. Kami mengharapkan makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pembaca,terutama bagi penulis sendiri.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Aris M.Pd yang telah membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas
tepat pada waktunya.
2. Rekan-rekan kelompok dan kelas yang telah ikut berpartisipasi dalam
keberlangsungan kegiatan presentasi.
3. Dan pihak-pihak yang telah membantu selama proses penyusunan makalah ini.
Menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk melengkapi
segala kekurangan dan kesalahan dari makalah ini.

Cirebon, 20 November 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................4

A. Latar Belakang.........................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4

C. Tujuan.....................................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................6

A. Pengertian Multikultural.............................................................................................................6

B. Sejarah Multikulturalisme..........................................................................................................6

C. Multikulturalisme di Indonesia....................................................................................................7

D. Pengertian Masyarakat Multikultural.........................................................................................8

E. Ciri-Ciri Masyarakat Multikultural..............................................................................................8

F. Penyebab Terciptanya Masyarakat Multikultural.......................................................................9

G. Konflik yang Muncul Akibat Keanekaragaman..........................................................................11

H. Pemecahan Masalah Keanekaragaman....................................................................................12

BAB III PENUTUP..................................................................................................................................14

A. Kesimpulan............................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................18

BAB I
3
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah Multikultural akhir-akhir ini mulai diperbincangkan di berbagai kalangan


berkenaan dengan merebaknya konflik etnis di negara ini. Multikultural yang dimiliki
Indonesia dianggap faktor utama terjadinya konflik. Konflik berbau SARA yaitu suku,
agama, ras, dan antargolongan yang terjadi di Aceh, Ambon, Papua, Kupang, Maluku dan
berbagai daerah lainnya adalah realitas yang dapat mengancam integrasi bangsa di satu sisi
dan membutuhkan solusi konkret dalam penyelesaiannya di sisi lain. Hingga muncullah
konsep multikulturalisme. Multikulturalisme dijadikan sebagai acuan utama terbentuknya
masyarakat multikultural yang damai.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Multikultural

2. Sejarah Multikultural

3. Multikultural di Indonesia

4. Pengertian Masyarakat Multikultural?

5. Ciri-ciri Masyarakat Multikultural?

6. Penyebab Terciptanya Masyarakat Multikultural?

7. Konflik yang Muncul Akibat Keanekaragaman?

8. Pemecahan Masalah Keanekaragaman?

C. Tujuan

1. Mengetahui Pengertian Multikultural

2. Mengetahui Sejarah Multikultural

3. Mengetahui Multikultural di Indonesia

4. Mengetahui Masyarakat Multikultural.

5. Mengetahui Ciri-ciri Masyarakat Multikultural.

4
6. Mengetahui Penyebab Terciptanya Masyarakat Multikultural.

7. Mengetahui Konflik yang Muncul Akibat Keanekaragaman.

8. Mengetahui Pemecahan Masalah Keanekaragaman.

BAB II

PEMBAHASAN
5
A. Pengertian Multikultural

Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan


seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang
menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya
(multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem,
budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.

B. Sejarah Multikulturalisme

Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah


menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19.
Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah
'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum
terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan
untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi
perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.

Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris


(English-speaking countries), yang dimulai di Afrika pada tahun 1999. Kebijakan ini
kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan
sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara
Eropa, terutama Inggris dan Perancis, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan
multikulturalisme.[8] Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di
Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya?

Jenis Multikulturalisme == Berbagai== macam pengertian dan kecenderungan


perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli,
membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam
multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):

1. Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat di mana berbagai kelompok


kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal
satu sama lain

2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang


membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum

6
minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan
ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum
minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun
sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini
diterapkan di beberapa negara Eropa.

3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kutural


utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan
menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima.
Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang
memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan
dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok bisa eksis sebagai
mitra sejajar.

4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural di mana kelompok-


kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi
lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-
perspektif distingtif mereka.

5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali


untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada
budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan
interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

C. Multikulturalisme di Indonesia

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang


sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan
istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia
yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan
dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu
(Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki
makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti
apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.

Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan


masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan
7
nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya
masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di
masyarakat.Multikultural dapat terjadi di Indonesia karena: 1. Letak geografis indonesia 2.
perkawinan campur 3. Iklim.

D. Pengertian Masyarakat Multikultural

Pada hakikatnya masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas


berbagai macam suku yang masing-masing mempunyai struktur budaya (culture) yang
berbeda-beda. Dalam hal ini masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun
memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial antarindividu di masyarakat
bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai
(peace co-exixtence) satu sama lain dengan perbedaan yang melekat pada tiap etnisitas sosial
dan politiknya. Oleh karena itu, dalam sebuah masyarakat multikultural sangat mungkin
terjadi konflik vertikal dan horizontal yang dapat menghancurkan masyarakat tersebut.

Menurut C.W. Watson (1998) dalam bukunya Multiculturalism, membicarakan


masyarakat multikultural adalah membicarakan tentang masyarakat negara, bangsa, daerah,
bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah, yang terdiri atas orang-orang yang
memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dalam kesederajatan.

E. Ciri-Ciri Masyarakat Multikultural

1. Terjadi segmentasi, yaitu masyarakat yang terbentuk oleh bermacam-macam suku, ras,
dll tapi masih memiliki pemisah. Yang biasanya pemisah itu adalah suatu konsep yang
disebut primordial. Contohnya, di Jakarta terdiri dari berbagai suku dan ras, baik itu suku dan
ras dari daerah dalam negeri maupun luar negeri, dalam kenyataannya mereka memiliki
segmen berupa ikatan primordial kedaerahaannya.

2. Memilki struktur dalam lembaga yang non komplementer, maksudnya adalah dalam
masyarakat majemuk suatu lembaga akam mengalami kesulitan dalam menjalankan atau
mengatur masyarakatnya alias karena kurang lengkapnya persatuan yang terpisah oleh
segmen-segmen tertentu.

3. Konsensus rendah, maksudnya adalah dalam kelembagaan pastinya perlu adanya suatu
kebijakan dan keputusan. Keputusan berdasarkan kesepakatan bersama itulah yang dimaksud

8
konsensus, berarti dalam suatu masyarakat majemuk sulit sekali dalam pengambilan
keputusan.

4. Relatif potensi ada konflik, dalam suatu masyarakat majemuk pastinya terdiri dari
berbagai macam suku adat dan kebiasaan masing-masing. Dalam teorinya semakin banyak
perbedaan dalam suatu masyarakat, kemungkinan akan terjadinya konflik itu sangatlah tinggi
dan proses peng-integrasianya juga susah.

5. Integrasi dapat tumbuh dengan paksaan, seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa
dalam masyarakat multikultural itu susah sekali terjadi pengintegrasian, maka jalan
alternatifnya adalah dengan cara paksaan, walaupun dengan cara seperti ini integrasi itu tidak
bertahan lama.

6. Adanya dominasi politik terhadap kelompok lain, karena dalam masyarakat multikultural
terdapat segmen-segmen yang berakibat pada ingroup fiiling tinggi maka bila suaru ras atau
suku memiliki suatu kekuasaan atas masyarakat itu maka dia akan mengedapankan
kepentingan suku atau rasnya.

F. Penyebab Terciptanya Masyarakat Multikultural

Pada dasarnya semua bangsa di dunia bersifat multikultural. Adanya masyarakat


multikultural memberikan nilai tambah bagi bangsa tersebut. Keragaman ras, etnis, suku,
ataupun agama menjadi karakteristik tersendiri, sebagaimana bangsa Indonesia yang unik dan
rumit karena kemajemukan suku bangsa, agama, bangsa, maupun ras. Masyarakat
multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi
multikulturalisme atau Bhinneka Tunggal Ika yang multikultural, yang melandasi corak
struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.

Berkaca dari masyarakat multikultural bangsa Indonesia, kita akan mempelajari


penyebab terbentuknya masyarakat multikultural. Keanekaragaman budaya dan masyarakat
dianggap pendorong utama munculnya persoalan-persoalan baru bagi bangsa Indonesia.
Faktor penyebab terciptanya masyarakat multikultural adalah sbb :

1. Faktor geografis, faktor ini sangat mempengaruhi apa dan bagaimana kebiasaan suatu
masyarakat. Maka dalam suatu daerah yang memiliki kondisi geografis yang berbeda maka
akan terdapat perbedaan dalam masyarakat (multikultural).

9
2. Pengaruh budaya asing, mengapa budaya asing menjadi penyebab terjadinya
multikultural, karena masyarakat yang sudah mengetahui budaya-budaya asing kemungkinan
akan terpengaruh mind set mereka.

3. Kondisi iklim yang berbeda, maksudnya hampir sama denga perbedaan letak geografis
suatu daerah.

4. Keanekaragaman Suku Bangsa, Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang
memiliki kekayaan budaya yang luar biasa banyaknya. Yang menjadi sebab adalah
keberadaan ratusan suku bangsa yang hidup dan berkembang di berbagai tempat di wilayah
Indonesia. Kita bisa membayangkan apa jadinya apabila masing-masing suku bangsa itu
mempunyai karakter, adat istiadat, bahasa, kebiasaan, dan lain-lain.

5. Keanekaragaman Agama, Letak kepulauan Nusantara pada posisi silang di antara dua
samudra dan dua benua, jelas mempunyai pengaruh yang penting bagi munculnya
keanekaragaman masyarakat dan budaya. Dengan didukung oleh potensi sumber alam yang
melimpah, maka Indonesia menjadi sasaran pelayaran dan perdagangan dunia. Apalagi di
dalamnya telah terbentuk jaringan perdagangan dan pelayaran antarpulau. Dampak interaksi
dengan bangsa-bangsa lain itu adalah masuknya beragam bentuk pengaruh agama dan
kebudayaan. Selain melakukan aktivitas perdagangan, para saudagar Islam, Hindu, Buddha,
juga membawa dan menyebarkan ajaran agamanya. Apalagi setelah bangsa Barat juga masuk
dan terlibat di dalamnya. Agama-agama besar pun muncul dan berkembang di Indonesia,
dengan jumlah penganut yang berbeda-beda. Kerukunan antarumat beragama menjadi idam-
idaman hampir semua orang, karena tidak satu agama pun yang mengajarkan permusuhan.

6. Keanekaragaman Ras, Salah satu dampak terbukanya letak geografis Indonesia, banyak
bangsa luar yang bisa masuk dan berinteraksi dengan bangsa Indonesia. Misalnya, keturunan
Arab, India, Persia, Cina, Hadramaut, dan lain-lain. Dengan sejarah, kita bisa merunut
bagaimana asal usulnya.

Bangsa-bangsa asing itu tidak saja hidup dan tinggal di Indonesia, tetapi juga mampu
berkembang secara turun-temurun membentuk golongan sosial dalam masyarakat kita.
Mereka saling berinteraksi dengan penduduk pribumi dari waktu ke waktu. Bahkan ada di
antaranya yang mampu mendominasi kehidupan perekonomian nasional. Misalnya,
keturunan Cina.

10
Dari keterangan-keterangan tersebut terlihat bahwa bangsa Indonesia terdiri atas
berbagai kelompok etnis, agama, budaya yang berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Berkaitan dengan perbedaan identitas dan konflik sosial muncul tiga kelompok sudut
pandang yang berkembang, yaitu:

a. Pandangan Primordialisme

Kelompok ini menganggap perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras,
agama merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun
budaya.

b. Pandangan Kaum Instrumentalisme

Menurut mereka, suku, agama, dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan
individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar baik dalam bentuk materiil
maupun nonmateriil.

c. Pandangan Kaum Konstruktivisme

Kelompok ini beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang
dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas bagi kelompok ini dapat diolah hingga membentuk
jaringan relasi pergaulan sosial. Oleh karena itu, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki
yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka
persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah.

G. Konflik yang Muncul Akibat Keanekaragaman

Sebagaimana telah dijelaskan di depan bahwa keragaman suku bangsa yang dimiliki
Indonesia adalah letak kekuatan bangsa Indonesia itu sendiri. Selain itu, keadaan ini
menjadikan Indonesia memiliki nilai tambah di mata dunia. Namun, di sisi lain realitas
keanekaragaman Indonesia berpotensi besar menimbulkan konflik sosial berbau sara (suku,
agama, ras, dan adat). Oleh karena itu, kemampuan untuk mengelola keragaman suku bangsa
diperlukan guna mencegah terjadinya perpecahan yang mengganggu kesatuan bangsa.
Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia umumnya muncul sebagai akibat keanekaragaman
etnis, agama, ras, dan adat, seperti konflik antaretnis yang terjadi di Kalimantan Barat,
Sulawesi Tengah, Papua, dan lain-lain.

11
Di Kalimantan Barat adanya kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan hukum
terhadap suku asli Dayak dan suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam.
Akhirnya, perasaan ini meledak dalam bentuk konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang
termarginalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif.
Sementara penegakan hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Sedangkan di Poso, Sulawesi Tengah konflik bernuansa sara mula-mula terjadi
pada tanggal 24 Desember 1998 yang dipicu oleh seorang pemuda Kristen yang mabuk
melukai seorang pemuda Islam di dalam Masjid Sayo. Kemudian pada pertengahan April
2000, terjadi lagi konflik yang dipicu oleh perkelahian antara pemuda Kristen yang mabuk
dengan pemuda Islam di terminal bus Kota Poso. Perkelahian ini menyebabkanterbakarnya
permukiman orang Pamona di Kelurahan Lambogia. Selanjutnya, permukiman Kristen
melakukan tindakan balasan.

Dari dua kasus tersebut terlihat betapa perbedaan mampu memicu munculnya konflik
sosial. Perbedaan-perbedaan yang disikapi dengan antisipasi justru akan menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan banyak orang. Oleh karena itu, bagaimana kita bersikap dalam
keanekaragaman benar-benar perlu diperhatikan.

H. Pemecahan Masalah Keanekaragaman

1. Menggunakan Kearifan Lokal

Ada sisi positif dan negatif dari kehadiran ratusan suku bangsa di Indonesia. Selain
bisa memperkaya khazanah kebudayaan nasional, juga menjadi pemicu munculnya
disintegrasi sosial. Sering kita dengar terjadinya perang antarsuku atau konflik sosial
antaretnis di Indonesia. Ada banyak alasan yang mendasarinya. Tetapi, yang menarik adalah
ternyata banyak suku bangsa yang mempunyai mekanisme atau cara di dalam menyelesaikan
permasalahan itu. Kisah tentang kehidupan masyarakat di Lembah Baliem, bisa jadi
merupakan contoh kearifan lokal yang dapat kita jadikan referensi dalam upaya mencarikan
solusi atas permasalahan antaretnis atau antarsuku bangsa di Indonesia.

2. Menggunakan Kearifan Nasional

Pada saat kita dihadapkan pada beragam konflik dan sengketa yang terjadi di antara
etnis atau suku bangsa yang ada di Indonesia, belajar dari sejarah adalah cara yang paling
tepat. Pada masa penjajahan Belanda kita merasakan betapa sulit merangkai nilai persatuan
untuk sama-sama menghadapi bangsa penjajah. Hingga ketika kita mulai menyadarinya di
12
tahun 1928. Saat itu kita mengakui Indonesia sebagai identitas bersama, yang mampu
mengatasi sejumlah perbedaan kebudayaan di antara suku bangsa yang ada. Nasionalisme
Indonesia pun terbentuk dalam wujud pengakuan bahasa, tanah air, dan kebangsaan.
Dampaknya adalah perjuangan menghadapi kolonialisme Belanda semakin menampakkan
hasilnya.

Puncak dari pencarian identitas itu ditemukan pada saat Pancasila disepakati sebagai
dasar negara dan petunjuk/arah kehidupan bangsa. Kompleksitas keragaman masyarakat dan
budaya di Indonesia pun bisa diakomodasi bersama. Dasar negara inilah yang digunakan oleh
para founding fathers kita pada saat mendirikan sebuah Negara nasional baru. Disebut negara
nasional karena negara Indonesia terdiri atas ratusan suku bangsa yang bisa hidup
berdampingan dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku
yang masing-masing mempunyai struktur budaya (culture) yang berbeda-beda. Ciri-ciri
masyarakat multikultural yaitu :Terjadi segmentasi, Memilki struktur, Konsensus rendah,
Relatif potensi ada konflik, Integrasi dapat tumbuh dengan paksaan dan Adanya dominasi
politik terhadap kelompok lain. Penyebab timbulnya masyarakat multikultural sbb: Faktor

13
geografis, Pengaruh budaya asing, Kondisi iklim yang berbeda, Keanekaragaman Suku
Bangsa, Keanekaragaman Agama danKeanekaragaman Ras. Konflik yang muncul karena
adanya keanekaragamaan, seperti konflik antar etnis. Penyelesaiannya dengan menggunakan
kearifan lokal dan kearifan nasional.

Multikulturalisme pertama kali digunakan secara luas pada tahun 1970-an, pertama-
tama oleh negara Kanada (1971), kemudian disusul oleh Australia (1973) sebagai bagian dari
kebijakan warga negara mendampingi dan mengelola keanekaragaman etnis yang berada di
wilayah pemerintahannya. Dilihat dari konteks ini, munculnya terminologi multikulturalisme
adalah sebentuk kesadaran kolektif yang kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan
negara atas lahirnya sejumlah konsekuensi baik sosial maupun kultural, terutama
konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan sebagai akibat dari gelombang migrasi
berskala besar yang terjadi pada dekade 1960-an dan akhir tahun 1970-an.

Sejak pertama kali dicetuskan oleh Komisi Kerajaan Kanada (Canadian Royal
Commission) pada 1995, penggunaan ‘multikuturalisme’ secara formal oleh negara
mendapatkan dukungan dari para politikus dan akademisi yang menggagas dan
mempromosikannya. Mereka menyebut kebijakan ini sebagai sebuah ’keharusan’ (imperatif)
politik yang bersifat progresif dan ekspresi resmi dari keyakinan akan keunggulan nilai-nilai
liberal seperti kesamaan, toleransi dan sikap inklusif (inclusiveness) terhadap para pendatang
(migrants) yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda-beda. Berikut kutipan dari
salah seorang pejabat pemerintah Kanada berkaitan dengan kebijakan “Multikulturalisme
yang diberlakukan di Kanada adalah sesuatu yang fundamental bagi kepercayaan kita bahwa
setiap warga negara adalah ‘sama’ (equal). Multikulturalisme menjamin setiap warga negara
untuk tetap mempertahankan indentitas mereka, berbangga atas leluhur mereka, dan
mempunyai ‘rasa’ kepemilikan yang mendalam’ (a sense of belonging)”.

Sementara itu, Australia mendeklarasikan diri multikultural dan memeluk paham


multikulturalisme di awal 1970-an sebagai tanggapan terhadap ‘meningkatnya jumlah orang-
orang Asia yang datang dan bermukim di situ’ dan ‘kehadiran para pendatang dari wilayah di
luar Australia yang tidak bisa digolongkan ke dalam tipe atau kategori tertentu’ . Hal yang
kurang lebih sama juga terjadi di Kanada, USA, Israel, Inggris, dan Jerman, meskipun unsur-
unsur penyusun multikultural di masing-masing negara ini berbeda-beda.

14
Di awal abad ke-21, sudah lazim bagi negara-negara Barat yang menganut paham
demokrasi liberal untuk menyebut diri mereka sebagai masyarakat multikultural
(multikultural societies), meskipun tidak semuanya menetapkan ‘kebijakan multikultural
yang resmi’ (official policies of mulculturalism). Bahkan sejumlah negara-bangsa yang
secara tradisional dikenal sebagai masyarakat yang homogen secara budaya, seperti Jerman
dan Jepang, tidak lagi bisa menyangkal fakta bahwa populasi mereka diwarnai dan
dipengaruhi oleh kemajemukan rasial dan etnis yang relatif tinggi dalam dua-tiga dekade
terakhir ini. Sebagai salah satu dampak akut dari migrasi global yang semakin intensif ,
“dunia menjadi tempat bagi negara-negara yang multi etnis , dengan komposisi lebih dari
30% populasi berasal dari masyarakat di luar negara tersebut.”

Indonesia memiliki sejarah multikulturalisme selama puluhan abad. Di Indonesia,


multikulturalisme telah ada di negeri ini jauh sebelum merdeka. Diterimanya kehadiran para
pendatang eropa yang akhirnya menjadi penjajah, dan kehadiran pedagang dari Timur
Tengah yang kemudian ikut membangun dan mengukir sejarah megeri ini, merupakan bukti
bahwa telah ada unsur multikultural dalam hati bangsa ini.

Sejarah kontemporer telah mencatat adanya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1908, lima
sila Pancasila, pasal 32 UUD 1945, simbol Bhineka Tunggal Ika pada lambang burung
Garuda Pancasila, dan semangat gotong royong, merupakan bukti tak terbantahkan tentang
jiwa dan semangat multikultural pada bangsa ini.

Secara historis, sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya yang kemudian
diikuti dengan masa yang disebut sebagai “era reformasi”, kebudayaan Indonesia cenderung
mengalami disintegrasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra, bahwa krisis moneter, ekonomi
dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya juga telah mengakibatkan
terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun
masyarakat (fabric of socirty) tercabik-cabik akibat berbagai krisis yang melanda masyarakat.

Krisis sosio budaya yang meluas itu dapat disaksikan dalam berbagai bentuk
disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita, misalnya: disintegrasi sosio-
politik yang bersumber dari euphoria kebebasan yang nyaris kebablasan, lenyapnya
kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit
sehingga mudah melakukan tindakan kekerasan dan anarki, merosotnya penghargaan
kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial, semakin meluasnya

15
penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya, berlanjutnya konflik dan
kekerasan yang bersumber atau sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti terjadi
di Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku Sulawesi Tengah, dan lain-lain.

Dari perspektif politik Indonesia, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa
Orde Baru memaksakan “mono-kulturalisme”, monokulturalitas, keseragaman, memunculkan
reaksi balik, yang bukan tidak tidak mengandung sejumlah implikasi negatif bagi
rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang pada hakikatnya multi-kultural. Bersamaan dengan
proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi pula peningkatan
gejala “provinsialisme dan etnisitas”.

Pemahaman terhadap kultur subjektif masyarakat menjadi sangat penting mengingat


selama 32 tahun perbedaan dianggap memiliki potensi destruktif yang berbahaya dan
mengancam kesatuan bangsa. Sehingga, realitas sosiologis dari keberagamaan masyarakat
direpresi dan didekonstruksi sesuai dengan arah kebijakan negara Orde Baru. Rekonstruksi
wacana etnisitas gaya Orde Baru memandang bahwa perbedaan dan keanekaragaman etnis
merupakan penghambat utama pembangunan nasional.

Derivasi dari kebijakan yang unfairness tersebut menyumbat terciptanya ruang publik
(free public sphere) bagi masyarakat dalam membangun dialog lintas kultural, bersosialisasi,
berinteraksi, dan saling komunikasi antar kelompok masyarakat multi-etnik. Padahal,
penyeragaman dan penihilan entitas lokal justru menjadi “bara dalam sekam” yang setiap saat
siap meledak, menjelma menjadi konflik sosialkamanusiaan yang menelan korban jiwa anak
bangsa.

Cultural engineering yang dilakukan negara lewat meretraadisionalisasi budaya etnis


selama masa pembangunan Orde Baru, diredusir untuk mengikuti laju perkembangan proyek
modernisasi politik negara. Salah satunya, mencampuradukkan komposisi penduduk
Indonesia agar bisa menjaga pertahanan nasional (lewat program wawasan nusantara) yang
berdampak langsung pada proses inkulturasi antar etnis di Indonesia menjadi kurang alamiah.
Sehingga, solidaritas bangsa sebagai unit budaya dan politik yang berangkat dari pengakuan
cultural distinctiveness unsur-unsur pembentukan bangsa tidak berkembang dengan baik.

Pemerintahan Orde Baru secara sistematik telah mengkooptasi potensi kelompok etnis
untuk berkembang secara optimal. Tidak hanya itu, distribusi kekuasaan dan marginalisasi
pembangunan melalui eksploitasi sumber daya alam dan ekonomi, membangun struktur
16
penindasan baru yang sangat hegemonik. Kekerasan politik yang dibangun negara menjadi
precipitating event terbentuknya herarki kekerasan dilapisan masyarakat bawah. Benih
disintegrasi sosial yang tumbuh dan berkembang dalam tubuh masyarakat ikut dibentuk oleh
kekuatan negara melalui pranata sosial dan instrument politiknya yang tidak berfungsi secara
maksimal.

Berangkat dari asumsi historis di atas, dibutuhkan rekonstruksi paragdimatik dalam


memaknai perbedaan dan pergeseran yang berlaku dalam komunitas kultur. Membangun
pemahaman kultur subjektif antar kelompok etnik adalah salah satu pondasi dalam upaya
membangun jalan resolusi konflik dan perdamaian dalam masyarakat.

Menurut analisis Muhaemin el-Ma’hady, akar sejarah multikulturalisme bisa dilacak


secara historis, bahwa sedikitnya selama tiga dasa warsa kebijakan yang sentralistis dan
pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat
untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya
perbedaan secara terbuka, rasional dan damai.

Kenyataan yang sulit diingkari, bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari sejumlah
besar kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain, sehingga negara-bangsa Indonesia secara
sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multicultural.

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh para pendiri bangsa ini untuk
mendesain kebudayaan Indonesia, bagi pada umumnya orang Indonesia kini
multikulturalisme adalah sebuah konsep yang masih asing

DAFTAR PUSTAKA

http://geoenviron.blogspot.com/2013/04/masyarakat-multicultural-dan_1110.html

http://makalahcyber.blogspot.com/2012/04/makalah-masyarakat-multikultural.html

Laning, Vina Dwi, 2007, SOSIOLOGI Kelas XI, Klaten, Cempaka Putih.

https://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme

https://www.coretanzone.id/2018/05/sejarah-perkembangan-multikulturalisme.html?m=1

17

Anda mungkin juga menyukai