Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

DIVERSITAS SOSIOKULTURAL

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Psikologi Pendidikan

Dosen Pengampu : Siti Mumun Muniroh, S. Pi, MA

Disusun Oleh ( Kelompok 11) :

1. Nur Lailatul Maghfiroh 2220018

2. Maziyyatus Saniyah 2220038

3. Sixnan Maulana 2220044

4. Nelly Nur Atiqoh 2220053

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta inayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Diversitas Sosiokultural ”,
yang menjadi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan.

Sholawat dan salam tetap kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW
yang mana telah mengantarkan kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang penuh dengan
nuril islam ini. Dalam penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk diajukan sebagai tugas mata
kuliah Psikologi Pendidikan. Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati perkenankan lah
kami menyampaikan rasa terima kasih kepada Bunda Siti Mumun Muniroh,S. Pi, MA. selaku
dosen penngampu mata kuliah Psikologi n Pendidikan.

Kami sebagai penyusun makalah ini menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan ini
masih jauh dari taraf sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritrik
yang sifatnya membangun dari semua pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah wawasan bagi pembaca. Terima kasih

i
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii

BAB I ( PENDAHULUAN ) ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ....................................................................................... 2

BAB II ( PEMBAHASAN ) ...................................................................................... 3

A. Pengertian Multikultural .......................................................................... 3


B. Pengertian danbentuk pendidikan multikultural ...................................... 4
C. Kultur Dan Etnis ..................................................................................... 5
D. Gender ...................................................................................................... 6

BAB III ( PENUTUP ) ............................................................................................... 9

A. Kesimpulan ............................................................................................. 9
B. Saran ....................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan arti kata, diversitas mempunyai arti perbedaan, kelainan dan keragaman.
Sementara itu sosiokultural berarti segi sosial dan budaya masyarakat. Jadi diversitas
sosiokultural secara makna kata dapat diartikan dengan perbedaan-perbedaan yang terdapat di
dalam masyarakat khususnya, mengenai sosial dan budaya masyarakat.

Dalam perspektif pendidikan, diversitas sosiokulutral sangat menarik untuk dikaji karena,
kebhinekaan yang terdapat dalam masyarakat merupakan potensi yang luar biasa untuk
pelaksanaan pembangunan, namun seiring dengan itu juga sebuah gunung es yang bisa sewaktu-
waktu akan meledak dan memicu konflik horizontal yang akan mencerai beraikan tatanan
kehidupan sosial masyarakat.

Kekerasan pada etnis cina di Jakarta pada bulan mei 1998 dan perang antar agama di
Maluku Utara pada tahun 1999-2003 dan Poso, perang etnis antara suku Dayak dan Madura
tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa melayang sia-sia, beberapa contoh
konkrit disamping yang dihadapi sekarang ini seperti korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme,
perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatism, pengrusakan lingkungan dan hilangnya
rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain adalah bentuk nyata akibat dari
diversitas sosiokultural tersebut.

Dengan demikian, keragaman ini diakui atau tidak akan menimbulkan berbagai macam
persoalan.1

B. RumusanMasalah
1. Apa Yang Dimaksud dengan Multikutltural ?

1
Santrock, John W. (2008), Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta : Kencana Prenada Media
group

1
2. Apa yang dimaksud dengan Kultur dan Etnis?
3. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Multikultural?
4. Apa yang dimaksud dengan Gender?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Multikultural
2. Untuk mengetahui maksud dari Kultur dan Etnis.
3. Untuk mengetahui apa yg dimaksud dengan Pendidikan Multikultural.
4. Untuk mengetahui maksud dari Gender.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Multikultural
Akar kata multikultuturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme
dibentuk dari kata multi(banyak), kultur (budaya) dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam
kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan
kebudayaannya masing-masing yang unik. Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan
dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu.
Jadi, multikulturalisme adalah suatu paham, corak, kegiatan, yang terdiri dari banyak budaya
pada suatu daerah tertentu.2
Multi kulturalisme merupakan lawan dari mono kulturalisme yang telah menjadi norma
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi
norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme
menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat
digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing
homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau
lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta
sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-
speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi
oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di
antara elit. Dalam perkembangannya, gerakan pendidikan tentang budaya majemuk
(multikultural education) mencapai puncaknya pada decade 1970/1980-an, terutama di lem-
baga-lembaga pendidikan Amerika Serikat. Secara sederhana, multikultura-lisme dapat
dipahami sebagai sikap bagaimana masing-masing kelompok bersedia untuk menyatu (integrate)
tanpa mempedulikan keragaman budaya yang dimiliki. Mereka semua melebur, sehingga
pada akhirnya ada proses “hidridisasi” yang meminta setiap individu untuk tidak menonjolkan
perbedaan masing-masing kultur. (Nadjamuddin Ramly,2005: XIV).

2
Yaqin, Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural. Penerbit Pilar Media Yogyakarta

3
Multikulturalisme di Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan.
Namun pada kenyataannya kondisi demikian tidak pula diiringi dengan keadaan sosial yang
membaik. Bahkan banyak terjadinya ketidak teraturan dalam kehidupan sosial di Indonesia pada
saat ini yang menyebabkan terjadinya berbagai ketegangan dan konflik.
Seiring dengan perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh adanya globalisasi banyak
terjadi krisis sosial-budaya yang terjadi di masyarakat. Misalnya seperti merosotnya penghargaan
dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial. Semakin luasnya
penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya. 3
B. Pengertian danbentuk pendidikan multikultural
Pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang
menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku,
dan aliran (agama). Pendidikan multikultural menekankan sebuah filosofi pluralisme budaya ke
dalam sistem pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan (equality), saling
menghormati dan menerima serta memahami dan adanya komitmen moral untuk sebuah keadilan
sosial.
Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang
interkulturalisme seusai Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran interkulturalisme
ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan
dari kolonialisme, diskriminasi rasial, dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di
negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru
merdeka ke Amerika dan Eropa. 4
Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti
(difference) atau “politics of recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas. Pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan

3
Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Post
Modernisme dan Studi Kultural. Pen. Kompas Jakarta

4
Hamid, Hasan S. Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional. dapat
diakses secara on-line di http://www.pdk. go.id/ balitbang
/Publikasi/Jurnal/No_26/pendekatan_hamid_hasan.htm

4
pandangan dasar bahwa sikap “indiference” dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari
ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek ,
2mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok
minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya.
Tujuan pendidikan Islam bukan sebatas mengisi pikiran siswa dengan ilmu pengetahuan
dan materi pelajaran, akan tetapi membersihkan jiwanya yang harus diisi dengan akhlak dan
nilai-nilai yang baik dan dikondisikan supaya biasa menjalani hidup dengan baik. Hal tersebut
sesuai dengan tujuan pendidikan multikultural, yaitu untuk menciptakan kehidupan yang
harmonis dalam masyarakat yang serba majemuk.
C. Kultur Dan Etnis
1. Kultur

Kultur adalah pola perilaku, keyakinan, dan semua prodk dari kelompok orang tertentu
yang diturunkan dari satu generasi kegenerasi lainnya. Produk itu berasal dari interitas antar
kelompok orang dengan lingkungannya selama bertahun-tahun (Chun Organizta & Marin 2002;
Thomas 2000). Kelompok kultural dapat sebesar Amerika Serikat atau sekecil suku Amazon
yang tersaing. Berapapun besarnya, Kulture kelompok itu akan memengaruhi perilaku
anggotanya (Berri,2000 Matsumoto, 2001) Psikolog Donal Campabell, dan rekannya (Brewer
dan Campabell,1976; Campabell dan Levine 1968). Menemukan bahwa orang-orang disemua
kultur cenderung :

• Percaya bahwa apa yang terjadi dalam kultur mereka adalah suatu yang “alami” dan “benar”
dan apa yang terjadi didalam kultur lain adalah “ tidak alami” dan “tidak benar” ;
• Menganggap bahawa kebiasaan kulutral mereka adalah valid secara versal ;
• Berperilaku dengan cara-cara yang sesuai dengan kelompok kultralnya;
• Mersa bangga dengan kelompok kulturalnya; dan
• Bermusuhan terhadap kelompok kultural lainnya.

Para psikolog dan pendidik yang mempelajari kulture sering kali tertarik untuk
membandingkan apa yang terjadi dengan satu kultur dengan apa yang terjadi dalam satu
atau beberapa kultur lain.
2. Etnis

5
Kata etnis berasal dari kata Yunani yang berarti “bangsa”. Etnisitas (enicity) adalah pola
umum karakteristik seperti warisan kultural, ras, agama, dan bahasa. Setiap orang adalah
anggota dari satu atau lebih kelompok etnis. Relasi orang-orang yang berbeda etnis, bukan
hanya di Amerika tetapi di seluruh dunia, sering kali dipenuhi dengan bias (pola penyimpangan)
dan konflik. Sedangkan ras (race), yang didiskreditkan sebagai konsep biologi, adalah
klasifikasi orang atau nahluk hidup lainnya berdasarkan karakter psikologi tertentu. Istilah ini
tidak pernah memuaskan untuk mendeskripsikan orang dalam pengertian ilmiah sebab manusia
sangat beragam sehingga tidak bisa dikotak-kotakkan secara ketat dalam kategori rasial.
Kata ras h dipakai secara longgar untuk segala sesuatu mulai dari adat, agam, sampai
warna kulit. Seorang psikolog sosial, James Jones (1994, 1997) menunjukkan bahwa orang
sering “menstereotipkan” orang lain berdasarkan alasan ras, dan secara keliru
mengklasifikasikan mereka sebagai ras yang kurang atau lebih cerdas, kompeten, bertanggung
jawab, atau kurang bisa diterima secara sosial. Meskipun istilah ras masih dipakai dalam
kosakata di Amerika, kita disini akan memakai istilah etnis atau etnisitas.5
D. Gender
Gender itu berasal dari bahasa latin “GENUS” yang berarti jenis atau tipe. Gender
adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk
secara sosial maupun budaya. Menurut Santrock (2011:194) gender adalah dimensi
sosiokultural dan psikologis dari pria dan wanita. Sementara itu Wolfolk (2009:260)
mengemukakan bahwa gender biasanya mengacu pada cirri-sifat dan pprilaku yanhg dinilai
tepat untuk laki-laki dan perempuan oleh budaya tertentu. Santrock membedakan istilah
gender dengan istilah jenis kelamin (seks). Jenis kelamin (seks) berhubungan dengan
dimensi biologis dari pria dan wanita. Peran gender (gender role) adalah ekspektasi sosial
yang merumuskan bagaimana pria dan wanita seharusnya berfikir, merasa dan berbuat.
Dalam konsep sosiologi, gender mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang
dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau
identitasnya dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai "seperangkat peran,

5
Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Post
Modernisme dan Studi Kultural. Pen. Kompas Jakarta

6
perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang
dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat."
Dengan demikian, gender adalah kajian perilaku atau pembagian peran antara
laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu
dan pada masa waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat
sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan. Misalnya
laki-laki mempunyai penis, memproduksi sperma dan menghamili, sementara perempuan
mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui dan menopause.
Bentuk hubungan gender dengan seks (jenis kelamin) adalah sebagai hubungan
sosial antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya
malah merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender
berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, akibat
perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang dianut.
Dari peran ataupun tingkah laku yang diproses pembentukannya di masyarakat itu
terjadi pembentukan yang “mengharuskan” misalnya perempuan itu harus lemah lembut,
emosional, cantik, sabar, penyayang, sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dll.
Sedangkan laki-laki harus kuat, rasional, wibawa, perkasa (macho), pencari nafkah dll.
Bertolak dari fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami
terlebih dahulu sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara
konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender. Pemahaman yang mendalam atas
kedua konsep tersebut sangatlah penting karena kesamaan pengertian (mutual
understanding) atas kedua kata kunci akan menghindarkan kita dari kemungkinan
pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang tindih antara masalah-masalah
perempuan yang muncul karena perbedaan akibat seks dan masalah-masalah perempuan
yang muncul akibat hubungan gender, disamping itu juga untuk memudahkan pemahaman
atas konsep gender yang merupakan kata dan konsep asing ke dalam konteks Indonesia.
Proses pembentukan yang diajarkan secara turun-temurun oleh orangtua,
masyarakat, bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa sengaja
memberikan peran (perilaku) yang sehingga membuat kita berpikir bahwa memang
demikianlah adanya peran-peran yang harus kita jalankan. Bahkan, kita menganggapnya
sebagai kodrat. . Padahal kodrat itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara

7
lain berarti “sifat asli; sifat bawaan”. Dengan demikian gender yang dibentuk dan terbentuk
sepanjang hidup seseorang oleh pranata-pranata sosial budaya yang diwariskan secara
turun temurun dari generasi ke generasi bukanlah bukanlah kodrat.
Dalam konsep gender, yang dikenal adalah peran gender individu di masyarakat,
sehingga orang mengenal maskulinitas dan femininitas. Sebagai ilustrasi, sesuatu yang
dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminin dalam budaya
lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosial-budaya
bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.
Pemakaian gender dalam wacana feminism mula pertama dicetuskan oleh Anne
Oakkley. Perbedaan antara seks (jenis kelamin) dan gender adalah bahwa yang pertama
berkaitan erat dengan ciri-ciri biologis dan fisik tertentu kromosom dan genitalia (eksternal
maupun internal). Sementara identitas gender lebih banyak dibentuk oleh persepsi sosial
dan budaya tentang stereotip perempuan dan laki-laki dalam sebuah masyarakat. Karena
gender ditentukan secara sosial, maka ideologi dan wawasan suatu masyarakat atau suatu
bangsa turut serta membangun gagasan tentang identitas ini (Siti Ruhaini Dzuhayatin.
1996:231).6

6
-----------------. 2004. Manajemen Pendidikan Nasional. Pen. PT Remaja Rosdakarya Bandung

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang
dibentuk secara sosial maupun budaya. Dan gender itu sendiri kajian perilaku atau pembagian
peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat
tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat
sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan.
Melalui proses sosialisasi, seseorang akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan
hidupnya. Dengan proses sosialisasi, seseorang “diharapkan” menjadi tahu bagaimana ia mesti
bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya, sehingga bisa menjadi
manusia masyarakat dan “beradab”.
Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan dari anggota masyarakat dan
hubungannya dengan sistem sosial. Sosialisasi menitikberatkan pada masalah individu dalam
kelompok. Oleh karena itu proses sosialisasi melahirkan pendirian dan kepribadian seseorang.

Sedangkan berbagai pengertian mengenai multikulturalisme dapat disimpulkan bahwa


inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu
kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan
untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun
bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara
satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Dari uraian tersebut bahwa gender dan
multikulturalisme tidak dapat dipisahkan.

B. Saran
Jika terdapat kesalahan dalam penulisan atau pegetikan makalah ini, kami selaku penulis
menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca, agar penulis dapat melakukan
perbaikan dikemudian hari. Dan semoga pnulisan makalah ini dapat memberikan manfaat dan
dapat menambah wawasan bagi kita semua.

9
DAFTAR PUSTAKA

Banks, J.A. 1993. Multicultural Education: Historical Development, Dimentions and Practrice.

Hamid, Hasan S. Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional. dapat


diakses secara on-line di http://www.pdk. go.id/ balitbang
/Publikasi/Jurnal/No_26/pendekatan_hamid_hasan.htm

Santrock, John W. (2008), Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta : Kencana Prenada Media
group
Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Post Modernisme
dan Studi Kultural. Pen. Kompas Jakarta
-----------------. 2004. Manajemen Pendidikan Nasional. Pen. PT Remaja Rosdakarya Bandung
Yaqin, Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural. Penerbit Pilar Media Yogyakarta

10

Anda mungkin juga menyukai