Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MATA KULIAH ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR


(MKDU4109.21)

MULTIKULTURALISME DALAM ERA GLOBALISASI

DISUSUN OLEH:

NELLY YULIANA
NIM. 043492327

UNIVERSITAS TERBUKA
FAKULTAS HUKUM ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (FHISIP)
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UPBJJ-UT TARAKAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat terselesaikannya Makalah dengan judul
“Multikulturalisme dalam Era Globalisasi” sebagai salah satu Tugas Mata
Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar (MKDU4109.21).
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih belum sempurna,
oleh karena itu segenap saran dan masukan sangat diharapkan untuk perbaikan.

Surabaya, 28 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DEPAN……………………………………………………………i
KATA PENGANTAR………………..……………………………………… vii
DAFTAR ISI………………..……………………………………………….. xvii

BAB 1 PENDAHULUAN..………………………………………………..1
1.1 Latar Belakang……………………………………………… 1

BAB 2 PEMBAHASAN…….….……………………………..………... 25
2.1 Puskesmas………….…..……………………….………...… 25
2.1.1 Definisi Puskesmas………………………....………. 25
2.1.2 Jenis Tenaga Kerja di Puskesmas………....………. 25
2.1.3 Pelaksanaan Tugas Tenaga Kerja di Puskesmas….... 26
2.2 Pelayanan ANC Terpadu Berdasarkan Permenkes RI
Nomor 97 Tahun 2014………..………..….…………….… 27
2.2.1 Definisi ANC Terpadu…………...……......………. 27
2.2.2 Alur Pelayanan ANC Terpadu di Puskesmas……... 31
2.2.3 Alur Pelayanan ANC Secara Umum di
Puskesmas……………………………………..……. 32
BAB 3 PENUTUP………….………………………………………….…..334
3.1 Kesimpulan……………………………………………..……334

DAFTAR PUSTAKA..………………………………………………………. 340

iii
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Multikulturalisme adalah sebuah konsep yang penting pada
perkembangan masyarakat Indonesia setelah masa kolonial. Kenyataan
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari beragam budaya yang
harus hidup berdampingan dalam satu kesatuan unit politik, yaitunegara.
Untuk memahami multikulturalisme kita perlu memahami perbedaannya
dengan konsep pluralisme karena dalam sehari-hari konsep multikultur dan
plural digunakan secara tumpang tindih. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi
yang mengakui dan mengagungkan perbedaan, yang mencakup perbedaan-
perbedaan individual dan perbedaan secara budaya. Multikulturalisme menjadi
acuan keyakinan untuk terwujudnya pluralisme budaya, dan terutama
memperjuangkan kesamaan hak berbagai golongan minoritas baik secara hukum
maupun secara sosial. Menurut Bhikhu Parekh, multikulturalisme bukan
sebuah doktrin politik maupun teori filsafat tentang manusia dan dunianya,
melainkan sebuah perspektif tentang kehidupan manusia.
Demikian pula menurut Parsudi Suparlan, akar kata multikulturalisme
adalah kebudayaan. Kebudayaan dalam konteks ini harus dipandang
sebagaipedoman bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, multikulturalisme
tercermin dalam interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan
manusia, baik itu kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan berbagai kegiatan
lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan.
Secara umum multikulturalisme biasanya berhubungan dengan konsep
etnisitas. Menurut H.A.R. Tilaar, multikulturalisme pada masa modern, terutama
dalam era globalisasi, berbeda dengan multikulturalisme pada masa lalu.
Multikulturalisme modern di dalam era globalisasi bersifat terbuka dan melihat
ke luar. Multikulturalisme tidak hanya berarti beragamnya kelompok etnis dalam
sebuah negara, tetapi juga seluruh kelompok etnisyang beragam di luar batas-
batas negara, termasuk di dalamnya perkembangan agama, isu jender, dan
kesadaran kaum marjinal. Bagaimana seseorang dapat memiliki kesadaran
multikultur adalah hasil dari perkembangan pribadi seseorang yang bangga
terhadap budayanya, namun dapat menghargai budaya lain dalam ikatan
komunitas yang lebih luas. Kesadaran multikultural berarti seseorang
mempunyai kesadaran serta kebanggaan memiliki dan mengembangkan budaya
komunitasnya sendiri, namun demikian dia akan hidup berdampingan secara
damai, bahkan saling bekerja sama dan saling menghormati dengan anggota
kelompok lain yang berbeda budaya.
2

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Multikulturisme
2.1.1 Pengertian Multikulturisme
Kata Multikultural adalah gabungan dari dua kata yakni ‘multi’ dan
‘kultural’. Secara umum kata ‘multi’ diartikan sebagai suatu yang jamak.
Sedangkan kata ‘kultural’ berasal dari bahasa Inggris dari kata culture yang
padanan kata dalam bahasa Indonesia ialah budaya. Budaya berasal dari bahasa
Sansekerta, merupakan gabungan kata dari ‘budhi’ dan ‘daya’ yang berarti budi
atau akal. Budaya menurut P.J. Zoetmulder adalah segala hasil dari segala cipta
karsa dan rasa.
Multikulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang
berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama
lain. Atau pengakuan dan promosi terhadap pluralisme kultural. Sedang yang lain
menyebutkan bahwa multikulturalisme menghargai dan berusaha melindungi
keragaman kultural. Sedang Suryadinata menyebutkan bahwa multikulturalisme
menghargai dan berusaha melindungi keragaman kultural. Multikulturalisme
bukanlah sebuah doktrin politik pragmatis maupun teori filsafat tentang
manusia dan dunianya, melainkan sebuah perspektif tentang kehidupan manusia
(paradigma).
Kata multikulturalisme pertama kali digunakan di Kanada tahun 1960-an.
Perdana Menteri Kanada, Pierre Trudeau menggunakannya untuk melawan
konsep biculturalism. Di masa sebelumnya, Kanada dikenal hanya terdiri atas
dua etnis yang saling bersaing: Inggris dan Prancis. Semenjak Trudeau,
dinyatakan bahwa Kanada multikultural karena terdiri atas etnis dan ras
berbeda seperti Inggris, Prancis, Indian, Inuit, serta kaum imigran dari
mancanegara seperti Cina, India, Jerman, Arab dan sebagainya.
Studi multikulturalisme kemudian disistematisasi serta dipopulerkan Will
Kymlicka lewat dua karyanya Liberalism, Community and Culture yang terbit
tahun 1989 serta Multicultural Citizenship yang terbit tahun 1995. Bagi
Kymlicka, pemberian ruang bagi kalangan minoritas suatu negara tidak bisa
dicapai hanya lewat jaminan hak-hak individual dalam undang-undang. Minoritas
yang dimaksud Kymlicka adalah minoritas budaya, yang secara praktik sosial
sehari-hari harus diperhatikan keunikan identitasnya. Gerakan multikultural
tersebut kemudian muncul di Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan
lain-lainnya.

2.1.2 Karakter dan Jenis Masyarakat Multikultural


Pierre L. van den Berghe (1983) membuat karakteristik masyarakat
multikultural yaitu:
3

1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang


seringkali memiliki sub kebudayaan yang berbeda-beda satu sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga
yang bersifat non komplementer.
3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-
nilai yang bersifat dasar.
4. Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang
satu dengan kelompok yang lain.
5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang
lain.
Sementara itu, dengan pengunaan istilah dan praktik dari
multikulturalisme, terdapat lima jenis multikulturalisme yang disampaikan dari
argumen Bikhu Parekh yaitu:
1. Multikulturalisme asosianis, yang mengacu pada masyarakat di mana
kelompok berbagai kultur menjalankan hidup secara otonom dan
menjalankan interaksi minimal satu sama lain. Contohnya adalah
masyarakat pada sistem “millet”, mereka menerima keragaman tetapi
mereka mempertahankan kebudayaan mereka secara terpisah dari
masyarakat lainnya.
2. Multikulturalisme akomodatif, yakni masyarakat plural yang memiliki
kultural dominan, yang membuat penyesuaian, mengakomodasi tertentu bagi
kebutuhan kultur minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif
merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum dan kekuatan sensitif
secara kultural, memberikan kesempatan kepada kaum minoritas untuk
mengembangkan kebudayaannya dan minoritas tidak menentang kultur
yang dominan. Multikultural ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis dan
beberapa negara Eropa yang lain.
3. Multikulturalisme otomatis, masyarakat yang plural di mana kelompok
kultural yang utama berusaha mewujudkan kesetaraan dan menginginkan
kehidupan otonom dalam kerangka politik secara kolektif dan dapat
diterima. Contoh dari multikultural ini adalah masyarakat Muslim yang
berada di Eropa yang menginginkan anaknya untuk memperoleh
pendidikan yang setara dan pendidikan anaknya sesuai dengan
kebudayaannya.
4. Multikulturalisme kritikal interaktif, masyarakat yang plural di mana
kelompok kultur tidak terlalu concern dalam kehidupan kultur otonom; tetapi
lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan
menegaskan perspektif distingtif mereka. Multikultural ini, berlaku di
Amerika Serikat dan Inggris perjuangan kulit hitam (apertheid) dalam
menuntut kemerdekaan.
5. Multikultural kosmopolitan, yang berusaha menghapuskan kultur sama
sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana individu tidak lagi
terikat dan committed kepada budaya tertentu. Ia secara bebas terlibat
dengan eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus
4

mengembangkan kultur masing-masing. Para pendukung multikultural ini


adalah para intelektual diasporik dan kelompok liberal yang memiliki
kecenderungan posmodernism dan memandang kebudayaan sebagai
resources yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas.

2.1.3 Faktor-faktor Kunci Multikulturalisme


Bhikhu Parekh menekankan bahwa ada beberapa hal yang menjadi
faktor-faktor kunci untuk memahami tentang multikulturalisme, yaitu:
1. Manusia dan kebudayaannya tidak dapat dipisahkan dalam artian bahwa
manusia tumbuh berkembang dan hidup dalam dunia yang terstruktur
oleh budaya, kemudian manusia mengatur hidup dan hubungan sosialnya
dalam suatu kerangka sistem makna tertentu, dan menempatkan identitas
budaya sebagai sesuatu yang bernilai dalam hidupnya. Coba pikirkan
apakah Anda merasa berbeda dengan teman-teman Anda dalam hal
budaya? Pernahkah Anda merasa tidak nyaman atau kesepian ketika
berada di suatu tempat yang baru yang kebudayaannya berbeda dengan
kebudayaan yang kita miliki? Coba Anda menonton film “Lost in
Translation”!
2. Budaya yang berbeda juga menggambarkan sistem makna dan visi
tentang hidup yang baik, yang berbeda antara satu budaya dengan
budaya yang lain. Artinya, sulit menentukan apakah suatu budaya lebih
baik dari pada budaya yang lain. Setiap kebudayaan berhak untuk
dihargai karena budaya itu berarti bagi anggotanya dan budaya
mencerminkan kekuatan kreatif. Tidak ada kebudayaan yang sempurna
dan berhak untuk memaksa kebudayaan lain, sementara perubahan
budaya yang baik selalu datang dari komponen dalam budaya itu sendiri.
Apakah kita dapat mengatakan bahwa orang-orang suku pedalaman
Papua lebih rendah dari pada orang –orang di Jawa karena makanan
pokok mereka bukan beras? Padahal dengan hidup di pegunungan
dan di tengah-tengah hutan tidak mungkin padi bisa tumbuh dengan subur
dan baik.
3. Pada dasarnya, hampir semua kebudayaan adalah plural, artinya
kebudayaan mencerminkan hasil interaksi yang terus-menerus antara
beragam tradisi dan berbagai cabang pemikiran. Sulit untuk menentukan
sebuah kebudayaan yang murni (sui generis). Kebudayaan tumbuh dan
berkembang dari interaksi, baik secara sadar maupun tidak sadar dengan
kebudayaan lain. Sebagian mendefinisikan identitas mereka dalam
kerangka apa yang mereka pandang sebagai sesuatu yang penting dan
baik bagi mereka (significant others) dan sedikitnya sebagian dari asal-
muasalnya dapat dikatakan multikultur.

2.1.4 Penyebab Timbulnya Masyarakat Multikultural di Indonesia


Kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam merupakan
fakta yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun. Keragaman Indonesia tidak saja
tercermin dari banyaknya pulau yang dipersatukan di bawah satu kekuasaan
5

negara, melainkan juga keragaman warna kulit, bahasa, etnis agama dan
budaya.10 Karena itu yang menjadi persoalan bukanlah kenyataan bahwa
bangsa ini adalah amat beragam (yang memang tak bisa disangkal), melainkan
cara kita memandang dan mengelola keragaman tersebut. Secara umum, faktor
penyebab timbulnya masyarakat multikultural adalah:
1. Keadaan Geografis
Keadaan geografis wilayah Indonesia yang terdiri lebih dari 17 ribu
pulau dan tersebar di suatu daerah equator sepanjang kurang lebih 300 mil
dari timur ke barat dan lebih dari 1000 mil utara ke selatan, merupakan faktor
yang sangat besar pengaruhnya terhadap tercapainya multikultural suku
bangsa di Indonesia. Pendatang terutama di kepulauan Indonesia sekitar
20.000 tahun yang lalu.
Menyusul kemudian Ras Melanesean Negroid pada sekitar 10.000
tahun yang lalu. Kehadiran ras-ras itu terjadi pada zaman Mesolithicur.
Terakhir datang Ras Malayan Mongoloid melalui 2 periode, zaman
Neolitikum dan zaman logam, sekitar tahun 2500 tahun sebelum Masehi. Ras
Austroloid kemudian pergi ke Australia dan sisa-sisanya ada di Nusa
Tenggara Timur dan Papua, sedangkan Ras Melanesian Negroid tinggal di
Maluku dan Papua. Kemudia Ras Malayan Mongoloid tinggal di Indonesia
bagian barat. Ras-ras tersebut yang kemudian disebut bangsa Indonesia dalam
bentuk keanekaragaman suku bangsa setelah melalui proses amal gamasi dan
isolasi.
Kondisi geografis yang telah mengisolir penduduk yang menempati
pulau dan daerah menumbuhkan kesatuan suku bangsa yang berbeda-beda.
Mereka mengembangkan mitos-mitos tentang asul-usul keturunan dan nenek
moyangnya.
2. Letak Wilayah yang Strategis
Letak Indonesia yang strategis antara Samudra Hindia dan Pasifik
sangat memengaruhi proses multikultural, seperti unsur kebudayaan dan
agama. Kepulauan Indonesia merupakan jalur lalu lintas perdagangan
antara India, Cina dan wilayah Asia Tenggara. Melalui para pedagang asing
pengaruh kebudayaan dan agama masuk ke wilayah Indonesia. Daerah
penyeberan kebudayaan dan agama yang tidak merata menyebabkan
terjadinya proses multikultural unsur kebudayaan dan agama. Pengaruh
agama dan kebudayaan Hindu-Budha pada awal tarikh Masehi hanya
berkembang di wilayah Indonesia barat. Pengaruh kebudayaan Cina
terutama hanya terjadi di daerah pantai dan kota-kota dagang. Pengaruh
kebudayaan Cina terutama hanya terjadi di daerah pantai dan kota-kota
dagang. Pengaruh ajaran Islam berkembang pada abad ke-13, terutama di
Indonesia bagian barat dan sebagian dari Maluku. Pengaruh kolonial Portugis
dengan Agama Katoliknya terjadi terutama di wilayah Nusa Tenggra
Timur. Pada abad ke-16 Belanda datang dan pada abad ke-17
mengembangkan Agama Kristen dan Katolik di beberapa daerah di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan kota-kota besar di Jawa.
3. Kondisi Iklim yang Berbeda
6

Wilayah lingkungan hidup suku-suku bangsa juga memperlihatkan


variasi yang berbeda-beda. Ada komunitas yang mengandalkan laut
sebagai sumber kehidupannya, seperti orang laut di Kepulauan Riau,
orang Bajo di Sulawesi Selatan dan Asmat di Papua. Karakter multikultural
ditambah lagi dengan perbedaan-perbedaan tipe masyarakatnya terlihat pada
komunitas kosmopolitan perkotaan, komunitas peralihan dari pertanian ke
industri dan sebagian lainnya masih mencirikan komunitas berbudaya suku
bangsa (tribal communites).
Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang
menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda di
Indonesia, yakni daerah pertanian sawah (wet rice cultivation) yang banyak
dijumpai di pulau Jawa dan Bali serta daerah pertanian ladang (shifting
cultivation) yang banyak kita jumpai di luar Pulau Jawa. Perbedaan
lingkungan ekologis tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan antara Jawa
dan luar Jawa dalam bidang kependudukan, ekonomi, sosial dan
budaya. Sistem pertanian sawah di Jawa mendorong tumbuhnya suatu tertib
kemasyarakatan yang mendasarkan diri pada kekuaasan di daratan.
Sedangkan sistem pertanian ladang di luar Jawa mendorong tumbuhnya
sistem kemasyarakatan yang mendasarkan diri pada kekuasaan di lautan
sehingga memiliki keunggulan dalam perdagangan. Apabila di Jawa
pernah tumbuh kekuasaan Mataram kuno dan Majapahit yang gemilang maka
di luar Jawa pun pernah berkembang kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang
cemerlang. Berkaitan dengan ini, Ibnu Khaldun menulis khusus satu bab
tentang korelasi peradaban dengan kondisi kesuburan tanah dan kelaparan
serta pengaruhnya terhadap tubuh dan perbuatan manusia.

2.1.5 Multikulturalisme dalam Masyarakat Modern di Indonesia


Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki tingkat
keanekaragaman yang sangat kompleks. Bila kita mengenal masyarakat sebagai
sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga
mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai
satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu maka konsep masyarakat tersebut
jika digabungkan dengan multikultural memiliki makna yang sangat luas dan
diperlukan pemahaman yang mendalam.
Berkaitan dengan multikultural, Soekarno juga pernah menegaskannya,
saat ditanya mengenai siapa bangsa Indonesia. “Bangsa Indonesia adalah semua
suku yang mendiami wilayah bekas jajahan hindia-belanda, baik keturunan
maupun siapa pun yang memiliki kesamaan watak, hasrat kuat bersatu padu
dan rasa senasib sepenanggungan akibat penjajahan,” tegas Soekarno yang gemar
mengadopsi perkataan Ernest Renan dan Otto Bauer. Sehingga jika bertumpu
pada perkataan Soekarno tersebut maka jelas bahwa bangsa Indonesia
terbentuk bukan karena kesamaan warna kulit, golongan, ras, ataupun agama
melainkan karena rasa kesatuan yang kuat atas dasar kedamaian dan kemerdekaan
sejati.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman etnis,
7

budaya, agama dan komunal, pemahaman akan multikultural menjadi sebuah


permasalahan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Terutama dalam pengakomodasian kepentingan dan suara politik kaum minoritas
dalam ruang publik. Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat
Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud
dalam bentuk komuniti-komuniti suku bangsa dan digunakannya kesukubangsaan
sebagai acuan utama bagi jati diri.
Berdasarkan ciri-ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh seseorang,
gerakan-gerakan tubuh yang dibarengi dengan bahasa yang digunakan dan logat
yang diucapkan dan berbagai simbol-simbol yang digunakan, ia akan
diidentifikasi dalam suku bangsa dari sesuatu daerah tertentu oleh orang lain. Bila
ciri-ciri tersebut tidak dapat dipergunakan maka seseorang tersebut akan
menanyakan dari mana asalnya.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia
merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu
beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau
di mana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang
membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah
kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada
keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi
pembentukan masyarakat yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika serta
mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa
Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan
yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat. Padahal
model masyarakat multikultural ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan
oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain kebudayaan bangsa,
sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang
berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di
daerah”. Oleh karena itu, secara hakiki multikulturalisme seharusnya adalah
konsep mutlak.
Dalam masyarakat modern, multikulturalisme lebih kompleks lagi.
Sebab budaya baru terus bermunculan akibat akses komunikasi dan informasi
yang tak terbendung. Menurut H.A.R. Tilaar, multikulturalisme pada masa
modern, terutama dalam era globalisasi, berbeda dengan multikulturalisme pada
masa lalu. Multikulturalisme modern di dalam era globalisasi bersifat terbuka
dan melihat ke luar. Adapun perubahan kultur dalam suatu masyarakat modern
di Indonesia dapat dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut:
1. Teori globalisasi era reformasi
Globalisasi menurut Malcolm Waters sebagaimana dikutip oleh
Muhatrom adalah: A social process in which the constrains of geography on
social and cultural arrangements recede and in which people are
becoming increasingly aware that they are receding (Sebagai proses sosial
yang di dalamnya terdapat desakan geografis atas penataan sosial dan budaya
mulai menyusut dan masyarakat menjadi semakin sadar bahwa mereka
akan mengalami penyusutan).
8

Peradaban manusia telah bergerak melalui tiga tahapan gelombang


yaitu, gelombang pertanian, industri dan terakhir informasi. Ketika
memasuki gelombang ini maka benturan masyarakat akan semakin
intensif. Melalui radio, televisi, faksimil dan internet, manusia seluruh
dunia dapat saling berkomunikasi dan saling memengaruhi. Dalam
keadaan seperti ini tidak ada seorang pun yang dapat membendung
serbuan pandangan nilai-nilai hingga produk yang tidak hanya berbeda
bahkan saling bertentangan.
2. Teori politik pengakuan
Charles Taylor menjelaskan, politik pengakuan merupakan konsekuensi
dari nilai-nilai masyarakat yang selama ini berkembang di Barat dan
kemudian menyebar ke seluruh dunia melalui angin yang disebut demokrasi.
Saat ini telah terjadi pergeseran konsep kehormatan kepada konsep martabat.
Kehormatan adalah sesuatu yang dimiliki atau diberikan kepada orang-orang
tertentu sementara martabat sebaliknya, ia dimiliki oleh semua orang, tidak
peduli dengan latar belakang sosial, budaya dan politiknya. Inilah yang oleh
Taylor disebut sebagai “politik kesamaan martabat”. Singkatnya, politik
pengakuan merupakan suara-suara mereka yang tertindas dan terpinggirkan.
Identitas kultural adalah given. Seorang anak dari bapak Jawa dan ibu
Jawa maka ia akan menyandang identitas sebagai suku Jawa. Ketika ia lahir
dari seorang ayah Tionghoa dan ibu Tionghoa, secara otomatis ia akan
mendapatkan identitas sebagai etnis Tionghoa. Dan juga, ketika seseorang
lahir dari ayah dan ibu seorang pemeluk agama Islam, seorang anak akan
langsung mendapat identitas sebagai pemeluk agama Islam, begitu juga bila
ibu dan bapak Kristen maka anaknya mendapat identitas pemeluk Kristiani.
Ketika terjadi pertemuan antara globalisasi negara-bangsa dan
kelompok identitas, maka kemunculan dari kelompok-kelompok identitas ini
semakin menguat. Globalisasi mendorong akan penguatan kesadaran politik
dalam kelompok-kelompok ini, dan membuka kesadaran yang mendorong
akan pentingnya identitas. Globalisasi memberikan kesempatan kepada
kelompok-kelompok identitas untuk menemukan akar identitasnya.

2.2 Kesetaraan
Kesetaraan menjadi konsep penting dalam memaknai keberagaman
budaya. Kita telah paham bahwa kehidupan kita saat ini tidak mungkin
terhindar dari keberagaman, khususnya keberagaman budaya. Pertama,
kesetaraan bicara tentang bagaimana cara pandang kita tentang keberagaman
budaya. Manusia memiliki dua karakteristik utama, yaitu selain semua manusia
memiliki karakteristik yang sama sebagai hasil proses natural danciptaan
Tuhan, manusia juga merupakan makhluk kultural. Penekanan pada
karakteristik pertama, menghasilkan pandangan yang biasanya dianut bahwa
manusia harus diperlakukan setara karena manusia memiliki karakteristik
yang sama, dan kesetaraan diartikan dengan memberi perlakuan yang kurang
lebih sama dan memberi mereka hak-hak yang kurang lebih sama.
Menurut pandangan lain (Bhikhu Parekh) menitikberatkan kesetaraan
9

pada karakteristik kedua, yaitu sebagai makhluk kultural. Manusia memiliki


beberapa kemampuan dan kebutuhan yang sama, tetapi perbedaan kultural
yang dimiliki, membentuk dan menyusun kemampuan dankebutuhan
setiap manusia secara berbeda dan bahkan, dapat membuat kemampuan
dan kebutuhan baru yang berbeda. Manusia juga memilikiidentitas bersama
yang dimediasi oleh budaya. Manusia adalah makhluk yang sama, tetapi juga
berbeda. Oleh karena itu, manusia harus diperlakukan setara karena dua
karakteristik sebagai makhluk sama dan sebagai makhluk yangberbeda.
Dengan argumentasi ini maka kesetaraan bukan berarti keseragaman perlakuan,
tetapi lebih kepada interaksi antara keseragaman dan perbedaan.
Hak yang setara tidak berarti adanya hak-hak yang sama karena individu
yang memiliki latar belakang budaya dan kebutuhan yang berbeda, mungkin
membutuhkan hak-hak yang berbeda untuk menikmati kesetaraan.
Kesetaraan harus mampu tidak saja menolak perbedaan-perbedaan yang tidak
relevan, namun juga harus diikuti oleh pengakuan yang penuh terhadap
perbedaan-perbedaan yang sah dan relevan dalam konteksnya. Kesetaraan
diwujudkan dalam beberapa tingkatan.

2.3 Problematika Keragaman dan Kesetaraan serta Solusi dalam Kehidupan


Masyarakat dan Negara
Isu kesetaraan di antara kelompok-kelompok budaya yang mendiami
suatu unit politik, yaitu negara menjadi tujuan yang penting untuk dicapai
dalam multikulturalisme. Bagaimana mencapai kesetaraan? Peran negara
dalam bentuk kebijakan dan pro aktif terhadap kelompok-kelompok budaya,
terutama kelompok minoritas untuk mencapai kesetaraan, memiliki peran
yang penting dalam multikulturalisme. Bagaimana kelompok-kelompok yang
berbeda budaya, dapat hidup berdampingan tanpa menghilangkan
identitaskebudayaannya, atau merasa tertindas karena budaya yang
berbeda merupakan kondisi yang harus diciptakan. Will Kymlicka
mengungkapkan terdapat sekurangnya tiga bentuk hak spesifik kelompok,
yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Hak atas pemerintahan sendiri
Di kebanyakan negara multibangsa, unsur bangsa cenderung menuntut
bentuk otonomi politik atau yurisdiksi wilayah, agar dapat memastikan
pengembangan yang bebas dan penuh dari kebudayaan mereka dan
kepentingan rakyatnya. Pada tingkat ekstrim, bangsa dapat menginginkan
melepaskan diri, apabila mereka berpikir bahwa penentuan nasib
sendiri itu, tidak mungkin di dalam negara yang lebih besar. Suatu
mekanisme untuk mengakui tuntutan akan pemerintahan sendiri adalah
federalisme, yang membagi-bagi kekuasaan antara pemerintahan pusat
dan sub-unit regional. Apabila kelompok minoritas terkonsentrasi secara
regional,batas-batas subunit federal dapat ditarik sehingga minoritas
kebangsaan dapat membentuk suatu mayoritas di salah satu subunit.
Dalam keadaan semacamitu, federalisme dapat memberikan pemerintahan
sendiri yang ekstensif bagi kelompok minoritas, yang menjamin
10

kemampuannya untuk mengambil keputusan di bidang-bidang tertentu


tanpa dikalahkan oleh masyarakat yang lebih besar.

2. Hak-hak polietnis
Kebijakan-kebijakan khusus kelompok yang dimaksudkan untuk
membantu kelompok etnis dan minoritas agama, untuk menyatakan
kekhasan budayanya dan harga diri, tanpa menghalangi keberhasilan
mereka dalam lembaga ekonomi dan politik dari masyarakat yang
dominan. Hak polietnis tidak dipandang sebagai hak sementara
karenaperbedaan budaya yang dilindungi ini bukan merupakan sesuatu
yang ingin kita hapus. Namun, hak-hak polietnis ini biasanya
dimaksudkan untuk mempromosikan integrasi ke dalam masyarakat yang
lebih besar, bukan untuk pemerintahan sendiri.
3. Hak-hak perwakilan khusus
Diilhami oleh keprihatinan yang terjadi pada demokrasi barat, bahwa
proses politik kurang terwakili, dalam arti proses tersebut gagal
mencerminkan keragaman penduduk. Proses yang mewakili akan
menyertakan anggota dari kelompok minoritas etnis, ras, perempuan,
orang miskin, penyandang cacat, dan lain-lain. Keterwakilanyang kurang
dari kelompok-kelompok yang secara historis dirugikan sudah menjadi
fenomena umum. Salah satu cara untuk mereformasi proses itu adalah
menjadikan partai politik lebih inklusif dengan mengurangi hambatan yang
menghalangi perempuan, minoritas etnis, atau kaum miskin, untuk
menjadi calon dari partai atau pemimpin partai. Cara lainnya
adalah menerapkan bentuk perwakilan proporsional, yang telah dihubungkan
dengan keterbukaan yang lebih besar.
Bhikhu Parekh mengungkapkan terdapat beberapa teori yang
menitikberatkan pada peran aktif negara untuk mewujudkan integrasi dalam
masyarakat multikultur. Berikut adalah tiga teori integrasi dalam masyarakat
multikultur yaitu:
1. Proceduralist
Pandangan ini menunjukkan bahwa perbedaan moral dan budaya yang
mendasar yang ada dalam masyarakat multikultur tidak dapat ditentukan
secara rasional, dan perhatian utama harus diberikan pada bagaimana
menjaga kedamaian dan stabilitas. Hal ini membutuhkan negara (state)
yang secara luas formal dan netral, dan mengesampingkan peraturan-
peraturan umum yang perlu ada secara minimal, dalam hal ini setiap
warganegara tetap bebas menentukan pilihan-pilihan hidup mereka. Apabila
negara berusaha untuk mencapai tujuan substantifnya sendiri, itu berarti
melanggar otonomi moral, dan melakukan diskriminasi kepada mereka
yang memiliki pandangan yang berbeda tentang kehidupan yang
baik. Menurut proceduralist negara yang formal dan mempunyai
pengaruh minimal, berusaha mengkombinasikan kesatuan politik yang
maksimal, dengankeberagaman yang maksimal. Kesatuan politik yang
maksimal perlu dicapai karena hal ini berarti negara tidak terlibat dengan
ketidaksepahaman moral dan kultural warga negaranya, dan tidak ada
11

permintaan yang kontroversial terhadap mereka. Keragaman yang


maksimal perlu dicapai karena mengurangi hambatan terhadap pilihan-
pilihan mereka.
2. Civic Assimilationist
Tidak seperti proceduralist, menurut pandangan ini, komunitas politik tidak
hanya setuju pada struktur kekuasaan, tetapi juga pada kebudayaan bersama.
Namun, tidak seperti pandangan assimilationist, kebudayaan bersama
seharusnya tidak meluas dan tidak melingkupi seluruhaspek kehidupan.
Kesatuan komunitas politik mendasarkan diri pada budaya politik bersama,
yang termasuk di dalamnya nilai-nilai publik dan politik, praktik, ide-ide,
institusi, model pemikiran politik, dan pemahaman diri. Jika warga negara
tidak memiliki kesamaan pandangan tentang budaya politik tersebut
maka mereka tidak dapat terlibat dalam dialog-dialog penting,
memformulasikan dan mengatasi perbedaan mereka, dan mencapai
tujuan bersama. Terlepas dari hambatan dalam budaya politik bersama,
warga negara harus bebas untuk menjalankan hidup menurut jalan hidup
yang dipilihnya sendiri dalam area personal. Bagi civic assimilasionist, area
publik menggambarkan keseragaman, sedangkan area personal,
termasuk di dalamnya keluarga dan kehidupan bermasyarakat,
menggambarkan keragaman. Keseragaman dalam area publik memastikan
adanya kesatuan dan menyediakan prinsip-prinsip untuk menentukan
keberagaman yang diperbolehkan. Pada area personal, masyarakat diberikan
kepercayaan untukbertoleransi dan bahkan, memperbolehkan adanya
perbedaan-perbedaan yang mendasar.
3. Milllet Models
Dalam pandangan ini, manusia adalah makhluk budaya yang tertanam
dalam komunitasnya. Semua hal yang berarti buat hidup manusia,
seperti tradisi, kegiatan, nilai, sistem makna, identitas,
keberlanjutan sejarah, norma perilaku, dan kehidupan keluarga berasal
daribudaya mereka. Sebagai institusi legal dan administratif, negara
tidak memiliki status moral. Negara adalah sebuah federasi
komunitas yang longgar atau kuat bersatu. Merupakan sebuah kerangka
kasar manakala komunitas harus secara bebas menjalankan cara hidup
tradisional mereka dan terlibat dalam interaksi sosial, politik, dan
ekonomi yang dipandang perlu. Negara diharapkan tidak saja untuk
menghindar dari mencampuri masalah internal kelompok, tetapi juga untuk
mengakui dan menginstitusionalisasikan otonomi mereka, serta mendukung
tradisi dan kegiatan mereka. Individu diasumsikan memberikan
loyalitasnya kepada komunitasnya terlebih dahulu, dan baru kemudian kepada
negara.
Namun, perlu disadari bahwa kenyataannya ketiga teori ini cukup sulit
dilaksanakan karena masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihannya.
Bhikhu Parekh banyak mengkritisi 3 model tadi, pertama untuk teori
Proceduralist, pertanyaannya bagaimana menjamin negara selalu netral? Lalu
untuk teori kedua Civic Assimilasionist, pertanyaan yang perlu diangkat adalah
apakah area publik dan area personal dapat selalu dipisahkan dengan tegas?.
12

Sementara itu, untuk Millet Model, salah satu kelemahannya adalah sulit
akhirnya untuk mempertahankan kesatuan unit politik dan menumbuhkan
solidaritas dan kohesi antara kelompok-kelompok budaya yang ada.
Kemudian, masalah lainnya adalah berbagai kelompok budaya kadang
tumpang tindih, seperti misalnya antara kelompok agama dan etnis. Dengan
demikian kelompok mana yang akan diberikan otonomi? Selain itu, kritik lain
terhadap pandangan multikulturalisme juga muncul dari Anne Philips yaitu:
1. Kritik pertama tentang permasalahan dalam multikulturalisme akan selalu
bersarang pada bagaimana mewujudkan kebijakan yang dapat
mengakomodasi seluruh kepentingan, terutama kepentingan kelompok
yang tidak beruntung atau minoritas. Kebijakan yang awalnya
dipertahankan atasnama seluruh anggota kelompok yang kurang
beruntung atau minoritas, ternyata pada akhirnya hanya menguntungkan
sebagian kelompok, malah menciptakan ketidakadilan yang baru. Terdapat
beberapa masalah yang dapat muncul sebagaimana berikut ini:
a. Kecenderungan yang muncul adalah sering kali kebijakan untuk
mengakomodasi kepentingan seluruh kaum minoritas, justru
menimbulkan masalah ketidakadilan yang baru.
b. Ada kekhawatiran bahwa kebijakan multikultural akan mengikis atau
sedikit demi sedikit akan merusak prinsip-prinsip utama
kewarganegaraan yang sama, mengesampingkan fondasi atau prinsip
dasar kesatuan sosial, dan membuat warga negara tidak mungkin
untuk mempertahankan rasa identitas nasional yang kuat.
c. Kecenderungan dalam sebuah kelompok budaya yang
menekan kelompok budaya minoritas dalam kelompoknya sendiri juga
sering kaliterjadi. Kebijakan multikultural sering kali justru memberi
ruang bagi penguasa kelompok minoritas untuk menekan anggota
kelompoknya sendiri (minorities within minorities).
Multikulturalisme mendorong adanya ketimpangan kekuasaan, seperti
yang diungkapkan oleh Ayelet Shachar, akomodasi yang ditujukan
untuk menjembatani ketimpangan kekuasaan antarkelompok, justru
dapat berakhir dengan mendorong munculnya hierarki kekuasaan
dalam kelompok tersebut.
2. Kritik kedua, menitikberatkan pada kelemahan multikulturalisme yang
cenderung mengesampingkan kohesi sosial, mencerai-berai identitas
nasional. Menurut Anne Philips, hal ini sangat terlihat ketika kita
menghubungkannya dengan politik redistribusi. Multikulturalisme
membuat orang fokus pada perbedaan kelompok dan bersatu dalam
kelompok-kelompok berdasarkan kesamaan-kesamaan karakteristik atau
budaya yang dimiliki. Di lain pihak, hal ini justru melemahkan ikatan
solidaritas, padahal ikatan ini penting untuk mengarahkan warga
negara, agar mendukung kebijakan redistribusi, khususnya dalam
konteks negara kesejahteraan. Artinya, masing-masing kelompok budaya
memiliki kepentingan masing-masing sehingga ada kecenderungan
memiliki solidaritas yang lemah terhadap kelompok budaya lain.
Selain itu, usaha toleransi kultural justru mencegah kelompok minoritas untuk
13

berintegrasi, dalam hal ini dapat menciptakan lahan yang subur untuk
tumbuhnya aksi-aksi militan. Toleransi memang di satu pihak justru
membuat perbedaan kelompok semakin jelas. Pada akhirnya, banyak
pulapraktik-praktik multikulturalisme yang salah kaprah, seperti
munculnyagerakan separatisme (pemisahan diri) yang membuat orang
susah untukmemandang dirinya sebagai bagian dari komunitas nasional yang
sama. Jika hal ini terjadi maka sulit bagi mereka untuk menerima kebijakan
redistribusibagi kelompok lain, manakala mereka kemungkinan besar
juga tidak ragu-ragu untuk membunuh warga negara lain yang mereka
pandang berbeda.
3. Kritik ketiga, terhadap multikulturalisme menitikberatkan pada gagasan
budaya itu sendiri. Pada dasarnya, multikulturalisme adalah sebuah jalan
menuju masyarakat yang lebih toleran dan inklusif karena multikulturalisme
adalah pandangan yang mengakui adanya perbedaan budaya dan
menolak adanya asimilasi pada tradisi budaya kelompok yang dominan.
Namun, hal ini dipandang membesar-besarkan kesatuan internal
suatu budaya, menonjolkan perbedaan-perbedaan yang sekarang sebenarnya
sudah semakin cair, dan membuat orang dari budaya lain terlihat lebih
eksotis dan berbeda sekali daripada yang sebenarnya. Pada titik ini,
multikulturalisme muncul tidak sebagai suatu bentuk pembebasan
budaya, tetapi justru menjadi penghambat budaya untuk berkembang.
Artinya, multikulturalisme memaksa anggota-anggota kelompok budaya
khususnya yang minoritas masuk dalam sebuah rejim keaslian,
mengingkari adanya kemungkinan untuk melintasi batas, meminjam
pengaruh-pengaruh kultural kelompok lain dalam mendefinisikan dan
meredefinisikan dirinya sendiri.
Masyarakat multikultural harus selalu mencari cara untuk menyatukan
tuntutan-tuntutan terhadap kesatuan dan keberagaman, mencapai kesatuan
politik, tetapi tanpa adanya penyeragaman budaya, menjadi inklusif tanpa
melakukan asimilasi, mencari unsur-unsur rasa memiliki bersama dengan
menghargai perbedaan kultural yang mereka miliki dan mensyukuri identitas
budaya yang beragam, tanpa melemahkan identitas bersama sebagai warga
negara
14

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah yang berjudul “Multikulturalisme dalam Era
Globalisasi” adalah dalam pelaksanaannya maka multikulturalisme tidak dapat
dipisahkan dengan negara, oleh karena itu berbagai cara dan model diperkenalkan
oleh para ahli untuk menjamin kesetaraan dalam masyarakat multikultur. Salah
satu prinsip dalam multikulturalisme adalah bagaimana menjamin kesetaraan.
Kesetaraan tidak sama dengan sama atau seragam untuk semua kelompok
budaya yang hidup dalam masyarakat. Will Kymlica mengenalkan 3 prinsip
dasar yang harus diperhatikan seperti pemerintahan sendiri, terjaminnya hak-hak
polietnis, dan prinsip keterwakilan dalam ruang-ruang politik, ekonomi, hukum.
Tokoh lain Bhikhu Parekh, juga mengenalkan 3 model, seperti proceduralist,
civic assimiliationist, dan millet model.
Menjamin kesetaraan tidaklah mudah apalagi menerapkan
multikulturalisme dalam suatu masyarakat, walaupun multikulturalisme
mungkin sebuah jawaban untuk menjembatani perbedaan budaya dalam
masyarakat. Salah satu tokoh Anne Philips, mengungkapkan beberapa hal
yang perlu dijadikan titik perhatian dalam menerapkan multikulturalisme, seperti
melemahnya identitas nasional, orang semakin fokus pada perbedaan kelompok
bukan pada kesamaan, solidaritas sosial terhadap kelompok yang berbeda
cenderung lemah.
Akhirnya dalam menghadapi keberagaman dan perbedaan budaya,
multikulturalisme perlu mencari keseimbangan antara keseragaman dalam
bentuk kebijakan publik untuk menuju identitas nasional tanpa ada
penyeragaman budaya atau asimilasi secara paksa.
15

DAFTAR PUSTAKA

A. Patricia Aguilera-Hermida, “College Students’ Use and Acceptance of


Emergency Online Learning Due to COVID-19,” Int. J. Educ. Res. Open,
vol. 1, p. 100011, 2020, doi: 10.1016/j.ijedro.2020.100011.
A. Sadikin and A. Hamidah, “Pembelajaran Daring di Tengah Wabah Covid-19,”
Biodik, vol. 6, no. 2, pp. 109–119, 2020, doi: 10.22437/bio.v6i2.9759.
G. Hergüner, S. Buğra SON, S. Hergüner Son, and A. Dönmez, “The Effect of
Online Learning Attitudes of University Students on Their Online Learning
Readiness,” TOJET Turkish Online J. Educ. Technol., vol. 19, no. 4, pp.
102–111, 2020.
Asrul and M. Afil, “Dampak Pembelajaran Online Terhadap Minat Belajar Siswa
pada Masa Pandemi Covid-19 di Sekolah SMPN Satap 1 Ladongi,” p. 11,
2020.

Anda mungkin juga menyukai