DISUSUN OLEH:
NELLY YULIANA
NIM. 043492327
UNIVERSITAS TERBUKA
FAKULTAS HUKUM ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (FHISIP)
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UPBJJ-UT TARAKAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat terselesaikannya Makalah dengan judul
“Multikulturalisme dalam Era Globalisasi” sebagai salah satu Tugas Mata
Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar (MKDU4109.21).
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih belum sempurna,
oleh karena itu segenap saran dan masukan sangat diharapkan untuk perbaikan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DEPAN……………………………………………………………i
KATA PENGANTAR………………..……………………………………… vii
DAFTAR ISI………………..……………………………………………….. xvii
BAB 1 PENDAHULUAN..………………………………………………..1
1.1 Latar Belakang……………………………………………… 1
BAB 2 PEMBAHASAN…….….……………………………..………... 25
2.1 Puskesmas………….…..……………………….………...… 25
2.1.1 Definisi Puskesmas………………………....………. 25
2.1.2 Jenis Tenaga Kerja di Puskesmas………....………. 25
2.1.3 Pelaksanaan Tugas Tenaga Kerja di Puskesmas….... 26
2.2 Pelayanan ANC Terpadu Berdasarkan Permenkes RI
Nomor 97 Tahun 2014………..………..….…………….… 27
2.2.1 Definisi ANC Terpadu…………...……......………. 27
2.2.2 Alur Pelayanan ANC Terpadu di Puskesmas……... 31
2.2.3 Alur Pelayanan ANC Secara Umum di
Puskesmas……………………………………..……. 32
BAB 3 PENUTUP………….………………………………………….…..334
3.1 Kesimpulan……………………………………………..……334
iii
1
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Multikulturisme
2.1.1 Pengertian Multikulturisme
Kata Multikultural adalah gabungan dari dua kata yakni ‘multi’ dan
‘kultural’. Secara umum kata ‘multi’ diartikan sebagai suatu yang jamak.
Sedangkan kata ‘kultural’ berasal dari bahasa Inggris dari kata culture yang
padanan kata dalam bahasa Indonesia ialah budaya. Budaya berasal dari bahasa
Sansekerta, merupakan gabungan kata dari ‘budhi’ dan ‘daya’ yang berarti budi
atau akal. Budaya menurut P.J. Zoetmulder adalah segala hasil dari segala cipta
karsa dan rasa.
Multikulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang
berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama
lain. Atau pengakuan dan promosi terhadap pluralisme kultural. Sedang yang lain
menyebutkan bahwa multikulturalisme menghargai dan berusaha melindungi
keragaman kultural. Sedang Suryadinata menyebutkan bahwa multikulturalisme
menghargai dan berusaha melindungi keragaman kultural. Multikulturalisme
bukanlah sebuah doktrin politik pragmatis maupun teori filsafat tentang
manusia dan dunianya, melainkan sebuah perspektif tentang kehidupan manusia
(paradigma).
Kata multikulturalisme pertama kali digunakan di Kanada tahun 1960-an.
Perdana Menteri Kanada, Pierre Trudeau menggunakannya untuk melawan
konsep biculturalism. Di masa sebelumnya, Kanada dikenal hanya terdiri atas
dua etnis yang saling bersaing: Inggris dan Prancis. Semenjak Trudeau,
dinyatakan bahwa Kanada multikultural karena terdiri atas etnis dan ras
berbeda seperti Inggris, Prancis, Indian, Inuit, serta kaum imigran dari
mancanegara seperti Cina, India, Jerman, Arab dan sebagainya.
Studi multikulturalisme kemudian disistematisasi serta dipopulerkan Will
Kymlicka lewat dua karyanya Liberalism, Community and Culture yang terbit
tahun 1989 serta Multicultural Citizenship yang terbit tahun 1995. Bagi
Kymlicka, pemberian ruang bagi kalangan minoritas suatu negara tidak bisa
dicapai hanya lewat jaminan hak-hak individual dalam undang-undang. Minoritas
yang dimaksud Kymlicka adalah minoritas budaya, yang secara praktik sosial
sehari-hari harus diperhatikan keunikan identitasnya. Gerakan multikultural
tersebut kemudian muncul di Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan
lain-lainnya.
negara, melainkan juga keragaman warna kulit, bahasa, etnis agama dan
budaya.10 Karena itu yang menjadi persoalan bukanlah kenyataan bahwa
bangsa ini adalah amat beragam (yang memang tak bisa disangkal), melainkan
cara kita memandang dan mengelola keragaman tersebut. Secara umum, faktor
penyebab timbulnya masyarakat multikultural adalah:
1. Keadaan Geografis
Keadaan geografis wilayah Indonesia yang terdiri lebih dari 17 ribu
pulau dan tersebar di suatu daerah equator sepanjang kurang lebih 300 mil
dari timur ke barat dan lebih dari 1000 mil utara ke selatan, merupakan faktor
yang sangat besar pengaruhnya terhadap tercapainya multikultural suku
bangsa di Indonesia. Pendatang terutama di kepulauan Indonesia sekitar
20.000 tahun yang lalu.
Menyusul kemudian Ras Melanesean Negroid pada sekitar 10.000
tahun yang lalu. Kehadiran ras-ras itu terjadi pada zaman Mesolithicur.
Terakhir datang Ras Malayan Mongoloid melalui 2 periode, zaman
Neolitikum dan zaman logam, sekitar tahun 2500 tahun sebelum Masehi. Ras
Austroloid kemudian pergi ke Australia dan sisa-sisanya ada di Nusa
Tenggara Timur dan Papua, sedangkan Ras Melanesian Negroid tinggal di
Maluku dan Papua. Kemudia Ras Malayan Mongoloid tinggal di Indonesia
bagian barat. Ras-ras tersebut yang kemudian disebut bangsa Indonesia dalam
bentuk keanekaragaman suku bangsa setelah melalui proses amal gamasi dan
isolasi.
Kondisi geografis yang telah mengisolir penduduk yang menempati
pulau dan daerah menumbuhkan kesatuan suku bangsa yang berbeda-beda.
Mereka mengembangkan mitos-mitos tentang asul-usul keturunan dan nenek
moyangnya.
2. Letak Wilayah yang Strategis
Letak Indonesia yang strategis antara Samudra Hindia dan Pasifik
sangat memengaruhi proses multikultural, seperti unsur kebudayaan dan
agama. Kepulauan Indonesia merupakan jalur lalu lintas perdagangan
antara India, Cina dan wilayah Asia Tenggara. Melalui para pedagang asing
pengaruh kebudayaan dan agama masuk ke wilayah Indonesia. Daerah
penyeberan kebudayaan dan agama yang tidak merata menyebabkan
terjadinya proses multikultural unsur kebudayaan dan agama. Pengaruh
agama dan kebudayaan Hindu-Budha pada awal tarikh Masehi hanya
berkembang di wilayah Indonesia barat. Pengaruh kebudayaan Cina
terutama hanya terjadi di daerah pantai dan kota-kota dagang. Pengaruh
kebudayaan Cina terutama hanya terjadi di daerah pantai dan kota-kota
dagang. Pengaruh ajaran Islam berkembang pada abad ke-13, terutama di
Indonesia bagian barat dan sebagian dari Maluku. Pengaruh kolonial Portugis
dengan Agama Katoliknya terjadi terutama di wilayah Nusa Tenggra
Timur. Pada abad ke-16 Belanda datang dan pada abad ke-17
mengembangkan Agama Kristen dan Katolik di beberapa daerah di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan kota-kota besar di Jawa.
3. Kondisi Iklim yang Berbeda
6
2.2 Kesetaraan
Kesetaraan menjadi konsep penting dalam memaknai keberagaman
budaya. Kita telah paham bahwa kehidupan kita saat ini tidak mungkin
terhindar dari keberagaman, khususnya keberagaman budaya. Pertama,
kesetaraan bicara tentang bagaimana cara pandang kita tentang keberagaman
budaya. Manusia memiliki dua karakteristik utama, yaitu selain semua manusia
memiliki karakteristik yang sama sebagai hasil proses natural danciptaan
Tuhan, manusia juga merupakan makhluk kultural. Penekanan pada
karakteristik pertama, menghasilkan pandangan yang biasanya dianut bahwa
manusia harus diperlakukan setara karena manusia memiliki karakteristik
yang sama, dan kesetaraan diartikan dengan memberi perlakuan yang kurang
lebih sama dan memberi mereka hak-hak yang kurang lebih sama.
Menurut pandangan lain (Bhikhu Parekh) menitikberatkan kesetaraan
9
2. Hak-hak polietnis
Kebijakan-kebijakan khusus kelompok yang dimaksudkan untuk
membantu kelompok etnis dan minoritas agama, untuk menyatakan
kekhasan budayanya dan harga diri, tanpa menghalangi keberhasilan
mereka dalam lembaga ekonomi dan politik dari masyarakat yang
dominan. Hak polietnis tidak dipandang sebagai hak sementara
karenaperbedaan budaya yang dilindungi ini bukan merupakan sesuatu
yang ingin kita hapus. Namun, hak-hak polietnis ini biasanya
dimaksudkan untuk mempromosikan integrasi ke dalam masyarakat yang
lebih besar, bukan untuk pemerintahan sendiri.
3. Hak-hak perwakilan khusus
Diilhami oleh keprihatinan yang terjadi pada demokrasi barat, bahwa
proses politik kurang terwakili, dalam arti proses tersebut gagal
mencerminkan keragaman penduduk. Proses yang mewakili akan
menyertakan anggota dari kelompok minoritas etnis, ras, perempuan,
orang miskin, penyandang cacat, dan lain-lain. Keterwakilanyang kurang
dari kelompok-kelompok yang secara historis dirugikan sudah menjadi
fenomena umum. Salah satu cara untuk mereformasi proses itu adalah
menjadikan partai politik lebih inklusif dengan mengurangi hambatan yang
menghalangi perempuan, minoritas etnis, atau kaum miskin, untuk
menjadi calon dari partai atau pemimpin partai. Cara lainnya
adalah menerapkan bentuk perwakilan proporsional, yang telah dihubungkan
dengan keterbukaan yang lebih besar.
Bhikhu Parekh mengungkapkan terdapat beberapa teori yang
menitikberatkan pada peran aktif negara untuk mewujudkan integrasi dalam
masyarakat multikultur. Berikut adalah tiga teori integrasi dalam masyarakat
multikultur yaitu:
1. Proceduralist
Pandangan ini menunjukkan bahwa perbedaan moral dan budaya yang
mendasar yang ada dalam masyarakat multikultur tidak dapat ditentukan
secara rasional, dan perhatian utama harus diberikan pada bagaimana
menjaga kedamaian dan stabilitas. Hal ini membutuhkan negara (state)
yang secara luas formal dan netral, dan mengesampingkan peraturan-
peraturan umum yang perlu ada secara minimal, dalam hal ini setiap
warganegara tetap bebas menentukan pilihan-pilihan hidup mereka. Apabila
negara berusaha untuk mencapai tujuan substantifnya sendiri, itu berarti
melanggar otonomi moral, dan melakukan diskriminasi kepada mereka
yang memiliki pandangan yang berbeda tentang kehidupan yang
baik. Menurut proceduralist negara yang formal dan mempunyai
pengaruh minimal, berusaha mengkombinasikan kesatuan politik yang
maksimal, dengankeberagaman yang maksimal. Kesatuan politik yang
maksimal perlu dicapai karena hal ini berarti negara tidak terlibat dengan
ketidaksepahaman moral dan kultural warga negaranya, dan tidak ada
11
Sementara itu, untuk Millet Model, salah satu kelemahannya adalah sulit
akhirnya untuk mempertahankan kesatuan unit politik dan menumbuhkan
solidaritas dan kohesi antara kelompok-kelompok budaya yang ada.
Kemudian, masalah lainnya adalah berbagai kelompok budaya kadang
tumpang tindih, seperti misalnya antara kelompok agama dan etnis. Dengan
demikian kelompok mana yang akan diberikan otonomi? Selain itu, kritik lain
terhadap pandangan multikulturalisme juga muncul dari Anne Philips yaitu:
1. Kritik pertama tentang permasalahan dalam multikulturalisme akan selalu
bersarang pada bagaimana mewujudkan kebijakan yang dapat
mengakomodasi seluruh kepentingan, terutama kepentingan kelompok
yang tidak beruntung atau minoritas. Kebijakan yang awalnya
dipertahankan atasnama seluruh anggota kelompok yang kurang
beruntung atau minoritas, ternyata pada akhirnya hanya menguntungkan
sebagian kelompok, malah menciptakan ketidakadilan yang baru. Terdapat
beberapa masalah yang dapat muncul sebagaimana berikut ini:
a. Kecenderungan yang muncul adalah sering kali kebijakan untuk
mengakomodasi kepentingan seluruh kaum minoritas, justru
menimbulkan masalah ketidakadilan yang baru.
b. Ada kekhawatiran bahwa kebijakan multikultural akan mengikis atau
sedikit demi sedikit akan merusak prinsip-prinsip utama
kewarganegaraan yang sama, mengesampingkan fondasi atau prinsip
dasar kesatuan sosial, dan membuat warga negara tidak mungkin
untuk mempertahankan rasa identitas nasional yang kuat.
c. Kecenderungan dalam sebuah kelompok budaya yang
menekan kelompok budaya minoritas dalam kelompoknya sendiri juga
sering kaliterjadi. Kebijakan multikultural sering kali justru memberi
ruang bagi penguasa kelompok minoritas untuk menekan anggota
kelompoknya sendiri (minorities within minorities).
Multikulturalisme mendorong adanya ketimpangan kekuasaan, seperti
yang diungkapkan oleh Ayelet Shachar, akomodasi yang ditujukan
untuk menjembatani ketimpangan kekuasaan antarkelompok, justru
dapat berakhir dengan mendorong munculnya hierarki kekuasaan
dalam kelompok tersebut.
2. Kritik kedua, menitikberatkan pada kelemahan multikulturalisme yang
cenderung mengesampingkan kohesi sosial, mencerai-berai identitas
nasional. Menurut Anne Philips, hal ini sangat terlihat ketika kita
menghubungkannya dengan politik redistribusi. Multikulturalisme
membuat orang fokus pada perbedaan kelompok dan bersatu dalam
kelompok-kelompok berdasarkan kesamaan-kesamaan karakteristik atau
budaya yang dimiliki. Di lain pihak, hal ini justru melemahkan ikatan
solidaritas, padahal ikatan ini penting untuk mengarahkan warga
negara, agar mendukung kebijakan redistribusi, khususnya dalam
konteks negara kesejahteraan. Artinya, masing-masing kelompok budaya
memiliki kepentingan masing-masing sehingga ada kecenderungan
memiliki solidaritas yang lemah terhadap kelompok budaya lain.
Selain itu, usaha toleransi kultural justru mencegah kelompok minoritas untuk
13
berintegrasi, dalam hal ini dapat menciptakan lahan yang subur untuk
tumbuhnya aksi-aksi militan. Toleransi memang di satu pihak justru
membuat perbedaan kelompok semakin jelas. Pada akhirnya, banyak
pulapraktik-praktik multikulturalisme yang salah kaprah, seperti
munculnyagerakan separatisme (pemisahan diri) yang membuat orang
susah untukmemandang dirinya sebagai bagian dari komunitas nasional yang
sama. Jika hal ini terjadi maka sulit bagi mereka untuk menerima kebijakan
redistribusibagi kelompok lain, manakala mereka kemungkinan besar
juga tidak ragu-ragu untuk membunuh warga negara lain yang mereka
pandang berbeda.
3. Kritik ketiga, terhadap multikulturalisme menitikberatkan pada gagasan
budaya itu sendiri. Pada dasarnya, multikulturalisme adalah sebuah jalan
menuju masyarakat yang lebih toleran dan inklusif karena multikulturalisme
adalah pandangan yang mengakui adanya perbedaan budaya dan
menolak adanya asimilasi pada tradisi budaya kelompok yang dominan.
Namun, hal ini dipandang membesar-besarkan kesatuan internal
suatu budaya, menonjolkan perbedaan-perbedaan yang sekarang sebenarnya
sudah semakin cair, dan membuat orang dari budaya lain terlihat lebih
eksotis dan berbeda sekali daripada yang sebenarnya. Pada titik ini,
multikulturalisme muncul tidak sebagai suatu bentuk pembebasan
budaya, tetapi justru menjadi penghambat budaya untuk berkembang.
Artinya, multikulturalisme memaksa anggota-anggota kelompok budaya
khususnya yang minoritas masuk dalam sebuah rejim keaslian,
mengingkari adanya kemungkinan untuk melintasi batas, meminjam
pengaruh-pengaruh kultural kelompok lain dalam mendefinisikan dan
meredefinisikan dirinya sendiri.
Masyarakat multikultural harus selalu mencari cara untuk menyatukan
tuntutan-tuntutan terhadap kesatuan dan keberagaman, mencapai kesatuan
politik, tetapi tanpa adanya penyeragaman budaya, menjadi inklusif tanpa
melakukan asimilasi, mencari unsur-unsur rasa memiliki bersama dengan
menghargai perbedaan kultural yang mereka miliki dan mensyukuri identitas
budaya yang beragam, tanpa melemahkan identitas bersama sebagai warga
negara
14
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah yang berjudul “Multikulturalisme dalam Era
Globalisasi” adalah dalam pelaksanaannya maka multikulturalisme tidak dapat
dipisahkan dengan negara, oleh karena itu berbagai cara dan model diperkenalkan
oleh para ahli untuk menjamin kesetaraan dalam masyarakat multikultur. Salah
satu prinsip dalam multikulturalisme adalah bagaimana menjamin kesetaraan.
Kesetaraan tidak sama dengan sama atau seragam untuk semua kelompok
budaya yang hidup dalam masyarakat. Will Kymlica mengenalkan 3 prinsip
dasar yang harus diperhatikan seperti pemerintahan sendiri, terjaminnya hak-hak
polietnis, dan prinsip keterwakilan dalam ruang-ruang politik, ekonomi, hukum.
Tokoh lain Bhikhu Parekh, juga mengenalkan 3 model, seperti proceduralist,
civic assimiliationist, dan millet model.
Menjamin kesetaraan tidaklah mudah apalagi menerapkan
multikulturalisme dalam suatu masyarakat, walaupun multikulturalisme
mungkin sebuah jawaban untuk menjembatani perbedaan budaya dalam
masyarakat. Salah satu tokoh Anne Philips, mengungkapkan beberapa hal
yang perlu dijadikan titik perhatian dalam menerapkan multikulturalisme, seperti
melemahnya identitas nasional, orang semakin fokus pada perbedaan kelompok
bukan pada kesamaan, solidaritas sosial terhadap kelompok yang berbeda
cenderung lemah.
Akhirnya dalam menghadapi keberagaman dan perbedaan budaya,
multikulturalisme perlu mencari keseimbangan antara keseragaman dalam
bentuk kebijakan publik untuk menuju identitas nasional tanpa ada
penyeragaman budaya atau asimilasi secara paksa.
15
DAFTAR PUSTAKA