MULTIKULTURALISME
Oleh Kelompok 2;
Dosen Pengampu :
Rahmanita M,Pd
1445 H/2023 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Multikulturalisme” tepat waktu. Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas dari Ibuk Rahmanita M. Pd selaku dosen Pendidikan Multikultural. Selain
itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang..............................................................................................................1
Rumusan Masalah.........................................................................................................1
Tujuan Pembahasan......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Multikulturalisme....................................................................................... 2
Konsep Multikuturalisme............................................................................................. 7
Kesimpulan...................................................................................................................12
Saran............................................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Multikulturalisme tak hanya berhenti ditataran konseptual tetapi lebih penting bagaimana
praktik nilai-nilai multikuturalisme diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, kenyataan atau
realita bahwa elemen-elemen disebuah masyarakat memiliki tingkat keberagaman atau diversitas
yang tinggi, namun juga sebuah ideologi sekaligus proyek politis agar keragaman tersebut dapat
diperoleh dengan baik. Multikulturalisme adalah upaya jujur untuk menata masyarakat yang
plural (majemuk) menjadi masyarakat multikulturalistik yang harmonis sekaligus dinamis karena
adanya penghargaan terhadap kebebasan dan kesetaraan manusia. Multikulturalisme muncul
sebagai upaya untuk membangun masyarakat yang memiliki aneka ragam budaya agar bisa
hidup bersama secara damai dan harmonis. Dalam masyarakat dengan beranekaragam budaya,
sering timbul konflik-konflik destruktif yang justru merusak tatanan kehidupan bersama.
Kebersamaan itu tentu saja tidak di maksudkan untuk merusak dan untuk menambah masalah,
melainkan membuat hidup bersama nyaman dan harmonis.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme bukan melulu soal perbedaan dan identitas pada dirinya sendiri namun
juga menyangkut hal-ihwal yang tertanam dan ditunjang oleh budaya; yaitu seperangkat
kepercayaan dan praktek yang melalui jalan sekelompok orang yang memahami jati diri mereka
dan mengatur hidup baik individu maupun kolektif. Tidak seperti perbedaan yang datang dari
pilihan-pilihan yang bersifat individual, perbedaan-perbedaan yang berakar pada budaya
membawa ukuran otoritas tertentu dan dipolakan, distrukturkan berkat ketertancapannya dalam
sebuah sistem makna dan signifikansi (pemberian makna pada tanda dan benda tertentu) yang
diyakini bersama dan punya nilai historis. Kejelasan konsep antara dua jenis perbedaan ini
menggunakan istilah keragaman (diversity) untuk menyebut perbedaan yang berakar pada
budaya. Dengan demikian, multikulturalisme adalah tentang keragaman budaya atau perbedaan-
perbedaan yang berakar pada budaya. Karena teramat mungkin berbicara tentang macam-macam
perbedaan yang tidak harus didasarkan pada perbedaan yang mengakar pada budaya, dan juga
sebaliknya, maka tidak semua pejuang politik pengakuan harus bersimpati pada
multikulturalisme. Meskipun bagian dari politik pengakuan, multikulturalisme adalah sebuah
gerakan yang jelas (distinct) yang mempertahankan posisi yang ambivalen (mendua, atau
bernilai lebih dari satu).
1
Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2003, hlm. 149
2
Multikulturalisme di Indonesia semakin mengemuka setelah terjadinya Reformasi di awal
tahun 1998, yang ditandai dengan euforia keterbukaan dan kebebasan di berbagai bidang
kehidupan di Indonesia terlebih di bidang politik dan sosial budaya yang melahirkan multi partai.
Multikulturalisme tak lain adalah sebagai salah satu bentuk pengejawantahan semboyan
"Bhinneka Tunggal Ika", berbeda-beda namun dalam satu kesatuan. Multikulturalisme
dipersepsi berhembus dari Barat, maka ditanggapinya secara sangat berhati-hati oleh masyarakat
Indonesia yang mayoritas muslim. Padahal Multikulturalisme di Indonesia adalah sebuah realitas
yang tak terbantahkan. Namun, sebagian besar para pemeluk agama belum memasukkannya
pada tataran aktual-implementatif sehingga di berbagai daerah masih sering terjadi keretakan
sosial, gesekan fisik-psikologis, bahkan tidak jarang terjadi konflik.
Sikap para pemuka agama terhadap multikulturalisme menjadi kunci utama dalam
menyosialisasikan kepada masyarakat pendukung atau penganut agama mereka. Dengan
demikian, kesadaran atas keberagaman serta pengakuan akan entitas dari masing-masing pemuka
dan penganut agama akan terwujud, sehingga terbangun masyarakat yang "pluralis-
multikulturalis" yang menghargai dan mengapresiasi keberagaman keyakinan, sosial-budaya,
etika-moral, rasial-etnis dan adat-istiadat masing-masing individu maupun komunitasnya.3
3
hampir sama dengan perbedaan letak geografis suatu daerah akan menimbulkan perbedaan-
perbedaan.
Seiring dengan isu globalisasi yang tengah mencuat, isu tentang multikulturalisme juga
mendampinginya pada tahun 1980- an di Kanada. Menurut Kamus Longet Oxford Dictionary
istilah "multiculturalism" merupakan derivasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir
kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal
sebagai masyarakat multicultural dan multilingual.4
Akhir-akhir ini, istilah multikulturalisme tidaklah asing lagi di telinga kita. Di beberapa
media elektronik, seperti televisi dan internet seringkali membahas konsep multikulturalisme.
Bahkan, istilah multikulturalisme telah membudaya dalam kehidupan pendidikan. Siswa-siswi
seringkali dihadapkan dengan berbagai kasus multikulturalisme dalam mata pelajaran, seperti
PKN, Antropologi, Bahasa Indonesia, dan Sosiologi.
Ketika di sekolah dasar, guru sering menyajikan kisah ragam budaya masyarakat kita,
mulai dari tari-tarian, senjata adat, pakaian adat, dan kebiasaan-kebiasaan beberapa suku bangsa
tertentu. Hal ini sebenarnya merepresentasikan keragaman budaya di negeri kita. Benar saja, hal
ini didukung pula dengan adanya sensus yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2010 yang
menyatakan bahwa jumlah etnis atau suku bangsa di Indonesia sebanyak 1.340 macam.5
Multikulturalisme lebih menekankan relasi antar-kebudayaan dengan pengertian bahwa
keberadaan suatu kebudayaan harus mempertimbangkan keberadaan kebudayaan lainnya. Dari
sini lahir gagasan kesetaraan, toleransi, saling menghargai, dan sebagainya. Membangun
masyarakat multikulturalisme Indonesia berarti membangun suatu ideologi yang menempatkan
kesetaraan dalam perbedaan pada posisi sentral.
4
Ibid., h. 110-111.
5
Unsiyah Anggraeini, Multikulturalisme Makanan Indonesia, (Jakarta Timur : Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, 2018), h. 1-2.
4
Sebagaimana dikemukakan di atas multikulturalisme adalah suatu ideologi jalan keluar
dari persoalan mundurnya kekuatan integrasi dan kesadaran nasionalisme suatu bangsa sebagai
akibat dari perubahan-perubahan di tingkat global. Indonesia, khususnya, mengalami perubahan
tersebut belakangan ini. Setidak-tidaknya kekhawatiran terjadinya kemunduran dalam kesadaran
nasionalisme telah terbukti akhir-akhir ini. Contoh yang paling nyata adalah semakin
meningkatnya keinginan beberapa daerah tertentu untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia, meskipun sebegitu jauh pemerintah masih mampu meredam kehendak
tersebut sehingga perceraian daerah-daerah tersebut belum terwujud pada saat ini. Selain itu,
konflik-konflik yang terjadi akibat ketidaksetaraan sosial dan ekonomi juga meningkat.
Sebagian orang berpendapat bahwa konflik-konflik itu terjadi karena kontrol negara yang
selama otoriter telah melonggar, tetapi menjadikan kontrol itu kembali ketat nampaknya bukan
jalan keluar yang terbaik karena Indonesia (pemerintah) akan berhadapan dengan arus kekuatan
global yang lebih menyukai demokrasi, sehingga secara politik negara ini akan tersingkir dari
pergaulan dunia. Akan tetapi, membuka lebih lebar lagi “keran-keran” keterbukaan juga
mengandung risiko jangka panjang, yakni kemungkinan tercerai-berainya negara-bangsa ini
menjadi sejumlah negara-negara yang lebih kecil. Hal ini yang mendorong sebagian ahli untuk
memikirkan alternatif solusi terbaik agar tidak terjebak kedalam perpecahan, yakni jalan
multikulturalisme.6
Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab
untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan diakui
(politics of recognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang
kehidupan.
Ada tiga hal pokok yang menjadi aspek mendasar dari multikulturalisme, yakni: Pertama,
sesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah sama. Kedua, pada dasarnya budaya dalam
masyarakat adalah berbeda-beda. Ketiga, pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua
elemen sosial-budaya, termasuk juga Negara.
6
Achmad Fedyani Syaifuddin, Membumikan Multikulturalisme Di Indonesia, Vol. II, Jurnal Antropologi Sosial
Budaya, 2006, h. 5-8.
7
Abdul Khobir, dkk, Multikulturalisme, (Pekalongan : Penerbit NEM, 2019), h. 1-2.
5
Multikulturalisme berarti juga pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia,
ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan adanya penerimaan terhadap realitas
keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat
berkaitan dengan sistem nilai-nilai, budaya, kebiasaan dan politik yang mereka anut.
Dalam konteks kebudayaan, multikulturalisme bisa berarti berlakunya lebih dari satu
identitas budaya dalam sebuah tatanan masyarakat. Meski demikian, perlu ditegaskan bahwa
pengertian lebih dari satu yang bersumber dari kata "multi" bukan berarti bahwa
multikulturalisme bersifat kuantitatif.10
8
Ibid., h. 18-22.
9
Mohamad Kholil, Paradigma Multikulturalisme dan Moderasi Dunia Pesantren, (Jawa Barat : Yayasan Wiyata
Bestari Samasta, 2022), h.1.
10
Ibid., h. 20-22.
6
2. Konsep Multikulturalisme
Tidak ada satu pun konsep yang bisa berdiri sendiri tanpa fondasi pengetahuan yang
memadai. Hal yang sama kiranya berlaku dengan konsep multikulturalisme. Konsep
multikulturalisme berdiri di atas dua pijakan konsep lainnya, yakni konsep self dan konsep kultur.
Artinya refleksi tentang hakekat dari self manusia dan kultur yang menjadi konteksnya sudah
selalu inheren di dalam wacana multikulturalisme, dan sekaligus menentukan bagaimana konsep
multikulturalisme tersebut dipahami. Orang tidak akan bisa memahami secara tepat problematika
yang dibuka oleh wacana multikulturalisme, tanpa sungguh memahami konsep self dan konsep
kultur. Konsep self adalah salah satu konsep yang menjadi tema perdebatan abadi di dalam
filsafat, psikologi, maupun teori-teori sosial lainnya.11
Sementara itu, dari sudut pandang psikologi antar budaya (cross cultural psychology),
konsep kultur seringkali dideinisikan dengan dua cara. Pertama kultur dipandang sebagai latar
belakang yang tidak terdeinisikan dari fenomena psikologis manusia (undeined background to
psychological phenomena). Kedua kultur juga bisa dibayangkan sebagai kumpulan dari variabel-
variabel yang singular (collection of singular variables). Variabel-variabel ini mencakup
perlakuan orang tua kepada anaknya, nilai-nilai yang diyakini, cara hidup, dan pandangan dunia
suatu masyarakat.12
11
Reza, Multikulturalisme Untuk Indonesia, (Yogyakarta : Kanisius, 2010), h. 11-12
12
Ibid., h. 36-37.
13
Ibid., h. 46.
7
tersebut, yang tidak bisa hidup di dalam kultur nasional itu. Hal ini menghasilkan tantangan yang
baru bagi masyarakat itu secara keseluruhan.
Tentu saja proses untuk menjadi suatu negara multikultural bukanlah sebuah proses yang
sederhana. Pada awalnya menurut Parekh, ada beberapa kemungkinan alternatif bagi suatu
masyarakat, ketika masyarakat itu berhadapan dengan orang yang berasal dari komunitas dengan
kultur yang berbeda. Pertama masyarakat tersebut kemungkinan akan menerima dan memuji
kultur yang berbeda itu, dan menghormati kultur yang baru tersebut secara utuh. Kedua
masyarakat itu kemungkinan akan mengasimilasi kultur baru tersebut, dan menjadikannya
sebagai bagian dari keseluruhan kultur dominan masyarakat itu. Kedua masyarakat tersebut
adalah masyarakat multikultur, namun hanya pertamalah yang sungguh dapat disebut sebagai
masyarakat yang menganut paham multikulturalisme.
Konsep masyarakat multikultur lebih mengacu pada fakta kehidupan bahwa manusia
memiliki kultur yang berbeda-beda. Sementara konsep multikulturalisme lebih mengacu pada
suatu pemikiran normatif tentang bagaimana cara manusia mengatur keragaman kultur tersebut.
Konsep multikulturalisme lebih merupakan suatu cara untuk menanggapi fakta kehidupan,
bahwa kehidupan manusia terdiri banyak kultur yang saling berbeda satu sama lain.14
Konsep self yang berakar pada konteks kultural tersebut membawa kita pada pertanyaan
dasar, apakah yang dimaksud dengan kultur, Setidaknya ada empat hal yang merupakan deinisi
mendasar dari kultur, yakni kultur sebagai artifak kehidupan manusia yang dibentuk secara sosial,
kultur sebagai aktivitas sosial yang bersifat rutin, kultur sebagai nilai-nilai kultural yang diyakini
di dalam kehidupan bersama, dan kultur sebagai tindakan sosial. Hanya dengan memahami
manusia di dalam keempat dimensi kultur itulah kita bisa mempunyai pemahaman yang cukup
mendalam tentang manusia dalam wacana multikulturalisme.
Jika self selalu terkait dengan kultur, maka multikulturalisme dapat dipandang sebagai
suatu paham yang menegaskan bahwa setiap orang memiliki karakter selfnya yang unik, yang
hanya bisa dipahami di dalam konteks kulturalnya. Dan kini perjuangan untuk mendapatkan
pengakuan terhadap keunikan identitas itulah yang mendorong lahirnya wacana
multikulturalisme dan politik pengakuan. Jadi, multikulturalisme adalah suatu ide normatif
tentang bagaimana cara kita menghadapi pluralitas konsep self dan kultur yang ada di dalam
14
Ibid., h. 49-51.
8
kehidupan manusia. Tentu saja perjuangan ini tidak hanya di tataran akademis saja, tetapi juga
menyentuh level politis dan kultural.15
15
Ibid., h. 56-57.
9
multikulturalisme isolasionis. Multikulturalisme jenis ini terjadi pada masyarakat dengan budaya
yang berbeda hidup secara mandiri dan sangat sedikit berinteraksi satu sama lain. Kelima,
multikulturalisme kosmis. Multikulturalisme kosmis mencakup upaya untuk menghilangkan
batas-batas budaya untuk menciptakan masyarakat yang tidak lagi terikat pada budaya tertentu.
Dan sebaliknya, untuk berpartisipasi secara bebas dalam pengalaman antarbudaya dan pada saat
yang sama mengembangkan kehidupan budayanya sendiri.
Perbedaan interpretasi dan tren perkembangan konsep dan praktik multikulturalisme yang
diungkapkan oleh para ahli membuat seorang bernama Parekh membedakan lima jenis
multikulturalisme: Pertama, multikulturalisme isolasi mengacu pada kehidupan masyarakat
budaya yang berbeda hidup secara mandiri dan mengurangi berinteraksi satu sama lain. Kedua,
multikulturalisme kompatibel adalah masyarakat dengan budaya dominan yang melakukan
penyesuaian dan adaptasi tertentu dengan kebutuhan budaya kelompok minoritas. Ketiga,
multikulturalisme otonom, masyarakat pluralistik dimana kelompok budaya utama berusaha
mencapai kesetaraan dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan yang mandiri dalam
kerangka politik yang diterima dan dibagikan. Perhatian utama dari budaya-budaya ini adalah
untuk melindungi cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan;
mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan masyarakat dimana semua
kelompok dapat hidup sebagai mitra yang setara. Keempat, multikulturalisme interaktif atau
kritis, yaitu masyarakat pluralistik di mana kelompok budaya tidak terlalu mementingkan
kehidupan budaya yang otonom; melainkan untuk membentuk kreasi kolektif yang
mencerminkan dan menegaskan sudut pandang mereka yang berbeda. Kelima, multikulturalisme
kosmik berusaha untuk menghapuskan batas-batas budaya sepenuhnya untuk menciptakan
masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat pada budaya tertentu, tetapi bebas untuk
berpartisipasi dalam pengalaman antar budaya, sambil mengembangkan kehidupan budaya
mereka sendiri. Dalam realitas sosial, strategi antar budaya juga membutuhkan citra positif tetapi
tidak menyediakan kondisi untuk asimilasi. Namun, kelompok etnis akan memiliki status yang
sama dan akan memiliki hak untuk melestarikan warisan budaya mereka. Cris Barker
menjelaskan bahwa multikulturalisme adalah tentang "Merayakan Perbedaan".
10
Dapat disimpulkan bahwa dapat dipahami bahwa Negara dan masyarakat beragam dalam
keberagaman. Di sisi lain, tidak ada negara yang memiliki budaya nasional tunggal di satu
negara. Oleh karena itu, multikulturalisme adalah Sunnatullah, yang tidak dapat disangkal bagi
setiap negara di dunia.
Multikulturalisme mengakui bahwa suatu negara atau masyarakat adalah beragam dan
plural, dan bahwa keragaman ini diterima. Kohesi komunitas ditandai dengan kombinasi
berbagai bentuk perbedaan sehingga kita dapat hidup bersama. Koeksistensi yang terencana
diharapkan dapat mengatasi dampak dari fenomena sosial seperti konflik yang masih terjadi di
masyarakat.16
Sampai dengan saat ini masih ada orang-orang dari kelompok tertentu yang diperlakukan
secara tidak adil maupun susah memperoleh akses ke berbagai bidang kehidupan. Berbagai
kenyataan tersebut melahirkan sebuah pandangan baru mengenai multikulturalisme. Melalui
pandangan baru ini diharapkan manusia dunia memiliki cara pandang yang baru terhadap
keberagaman, yaitu semua manusia dalam kepelbagaian/keberagamannya memiliki hak yang
sama untuk diterima, dihargai dan dipenuhi hak-hak asasinya sebagai manusia. Setiap orang
memiliki hak untuk diberikan akses ke berbagai bidang kehidupan.17
16
Ramedlon, dkk, Gagasan Dasar dan Pemikiran Multikulturalisme, Vol. 4, Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset
Sosial Humaniora, 2021, h. 181-188.
Janse Belandina Non-Serrano dan Julia Suleeman Chandra, Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti, (Jakarta :
17
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
Belandina Non-Serrano, Janse dan Julia Suleeman Chandra, Pendidikan Agama Kristen
dan Budi Pekerti, Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018.
13