Anda di halaman 1dari 19

EPISTEMOLOGI MULTUKULARISME

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Pendidikan Multikultural

Disusun oleh :

Putra Khairim Damanik 19411027

Eka Rahma 19411046

Dosen Pembimbing: Muhammad Aqsho, S.Pd, MA

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS DHARMAWANGSA

MEDAN

T.A 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
Makalah yang berjudul “Epistemologi Multikulturalisme” dengan
Matakuliah Pendidikan Multikultural ini dengan baik dan sesuai waktu yang
telah ditentukan.

Pada kesempatan kali ini penulis juga mengucapkan banyak terima kasih
yang tak terhingga atas bimbingan dosen, rekan-rekan dan semua pihak yang
telah membantu, membimbing dan memberikan saran atas penyusunan
makalah ini

Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat kita
pelajari kembali pada kesempatan yang lain untuk kepentingan proses belajar
kita terutama dalam Matakuliah Pendidikan Multikultural.

Medan, 14 Oktober
2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
 
Kata Pengantar I……………………………………………………………….i
Daftar Isi ii ………………………………………….…………………………ii
BAB I PENDAHULUAN 1 .…….………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang 1 ….………...…………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah 2 …………………………………………………….. 2
1.3 Tujuan 2 …………………………………………………………………. 3
BAB IPEMBAHASAN 3 ..…………………………………………………. 3
2.1 Pengertian Epistemologi 3 ……..……………………………………....... 3
2.2 Pengertian Multikulturalisme 4 ….……………………………………… 4
2.3 Akar Sejarah Multikulturalisme 6 .……………………………………… 5
2.4 Multikulturalisme dan Persebarannya 8 ………………………………… 6
2.5 Masyarakat Indonesia yang Multikultural 9 …….………………………. 7
2.6 Multikulturalisme dan Kearifan Universal 10 …………………………… 8
BAB III PENUTUP 13 …………………………………………………….. iii
3.1 Kesimpulan 13 …………………………………………………………… 9
3.2 Saran 14 ..……………………………………………………………….. 10
Daftar Pustaka 15 ………………………………………………………….. iiii

3
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

       Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkatan keanekaragaman yang


sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal
dengan istilah masyarakat multikultural. Multikultural dapat diartikan sebagi
keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang
lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat di artikan sebagai kelompok
manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki
kebudayaan dan cirri khas terdiri yang mampu membedakan antara satu
masyarakat dengan masyarakat yang lain.

            Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaan masing-masing yang


akan menjadi cirri khas bagi masyarakat tersebut. Menurut Linton, bila kita
mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup
dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan
berfikir tentang dirinya sebagi satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu,
maka konsep masyarakat tersebut jika di gabungkan dengan multikultural
memiliki makna yang sangat luas dan di perlukan pemahaman yang mendalam
untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikulturalitu.

            Dalam multikultural konteks kehidupan yang multikultural, pemahaman


yang berdimensi multikultural harus dihadirkan untuk memperluas wacana
pemikiran manusia yang selama ini masih memperta hankan egoisme
kebudayaan dan keagamaan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari Epistemologi ?
2. Apakah pengertian Multikultural ?
3. Bagaimana akar sejarah Multikultural ?
4. Bagaimanakah Multikulturalisme dan Persebarannya ?

4
5. Bagaimanakah masyarakat Indonesia yang Multikulturalisme ?
6. Bagaimanakah Multikulturalisme dan Kearifan Universal ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Epistemologi ?
2. Mengetahui pengertian Multikultural ?
3. Mengetahui akar sejarah Multikultural ?
4. Mengetahui Multikulturalisme dan Persebarannya ?
5. Mengetahui masyarakat Indonesia yang Multikulturalisme ?
6. Mengetahui Multikulturalisme dan Kearifan Universal ?

5
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Epistemologi

  Epistemologi, (dari Bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos


(kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal,sifat,
dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering
diperdebatkan dan di bahas dalm bidang filsafat, misalnya tentang apa itu
pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan
kebenaran dan keyakinan.

            Epistomologi atau Teori pengetahuanberhubungan dengan hakikat dari


ilmu pengetahuan, pengandaian-penngandaian, dasar-dasar nya serta pertanggung
jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang di miliki oleh setiap
manusia. Pengetahuan tersebut di peroleh manusia melalui akal dan panca inera
dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode
positivisme, metode kontemplatis, dan metode dialektis.

2.2 Pengertian Multikultural

Akar kata multkulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,


multikultiuralisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), isme
(lairan atau paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung penagkuan akan
martabat manusia yang hibup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya yang
unik.

Dengan demikian, setiap indifidu merasa dihargai sekaligus merasa


bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu
masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (Politics of Reccognition)
merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.

Penegertian para ahli tentang kebudayaan harus di persamamakan atau,


setidak-tidaknya, tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh
oleh lainnya. Kaarena multikulturalisme itu adalah sebuah idiologi dan sebuah alat

6
atau wahana untuk meningkatkan derajad manusia dan kemanusiaanya, maka
kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.

Sejarah etimologi multikulturalisme belum berumur lama. MenurutLonger


Oxford Dictionary sebuah istilah yang baru banyak digunakan oleh kebanyakan
orang pada tahun 1950-an di Kanada. Kamus tersebut mensitir kalimat dari surat
kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Kanada sebagai
masyarakat “multi-cultural dan ulti-lingual”. Istilah multikulturalsm sendiri
pertama kali digunakan dalam laporan pemerintah kanada yang di publikasikan
pada tahun 1965 bertajuk “Preminary Report Of The Royal Commision Of
Bilingualism and Biculturalism”.

Sebagai sebuah terminology baru “multikulturalisme” masih belum


banyak dipahami orang. Saya membagi pemahaman mengenai mengenai
multikulturalisme menjadi beberapa tingkatan.Pertam a, pemahaman popular.
Orang kebayakan memahamifenomena multikulturalisme semakin mudah
ditemukannya restoran Cina, Hoka-hoka Bento, Salero Bagindo, Mc Donald, Jet
Kun Do, Shaolin, kursus Yoga sampai boutique Versace di satu wlayah yang
sebelumnya relative homogen. Kedua, pemahaman politis. Kalangan politisi
memahami multikulturalisme semakin majemuknya masyarakat secara cultural
yang menimbulkan berbagai persoalan social yang menuntut kebijakan- kebijakan
tertentu (pengetatan imigrasi, pendataan, sampai program asimilasi).Ketiga,
pemahaman akademis. Pemahaman akademis multikulturalisme mendasarkan diri
pada perkembanga filsafat postmodernisme dan Cultural Studies, yang
menekankan prinsip paralogisme di atas monologisme, kemajemukan diatas
kesatuan. Isu-isu multikulturalisme yang menjadi perbincangan akademis antara
lain; konsep kebudayaan, relasi budaya dan politik, hak minoritas, kritik
liberalisme, toleransi dan solidaritas, dan lain sebagainya

Multikultural adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan


seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang
menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai
macam budaya (multikultural) yang ada di dalam kehidupan masyarakat
menyangkut nilai-nilai, sistem, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.

7
Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan
konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentinhan tertentu.

“Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian


dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan
tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas , dan multikultural
yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga
dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran
politik (Azyumardi Azra,2007)

Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari


beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihanya, dengan sedikit
perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi
sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, thenis one that
includes several cultural communities with their overlapping but none the less
distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social
organizations, histories, customs and practices “;Parekh, 1997 yang dikutip dari
Azra, 2007

Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian


atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang
budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174).Sebuah
ideology yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik
secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum fay
2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000)

Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan,


penyikapan dan tindakan oleh masyarakat suatu Negara, yang majemuk dari segi
etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk
mengambangkan semangat kebangsaan ynag sama danmempunyai kebanggaan
untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A.Rifai Harapan, 2007, mengutip
M.Atho’Muzhar)

8
.

2.3 Akar Sejarah Multikulturalisme

Secara histories sejak jatuhnya presiden Soeharto dari kekuasaannya yang


kemudian disebut sebagai “Era Reformasi”, kebudayaabn Indonesia cenderung
mengalami dis integrasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra, bahwa krisis
moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya
mengakibatakan terjadinya krisis sosio-cultural didalam kehidupan bangsa dan
negara. Jalinan tenun masyarakat (fabric Society) tercabik-cabik akibat krisis yang
melanda masyarakat.

Krisis social budaya yang meluas itu dapat disakasikan dalam berbagai
bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita.,misalnya:
disintegrasi social politik yang bersumber dari euphoria kebebasan yang nyaris
kebablasan; lenyapnya kesabaran social (social temper) dalam menghadapi
realitas social yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan
berbagai macam tindak kekerasan dan anarkhi; merosotnya penghargaan dan
kepatuhan terhadap hokum, etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin
meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya;
berlanjutnya konflik da kekerasan yang bersumber atau sedikitnya bernuansa
politis, etnis dan agama seperti terjadi di Aceh, Kalimantan Barat, dan Tengah,
Maluku Sulawesi tengah, dan lain-lain.

Disorintasi, dislokasi atau krisis social budaya dikalangan masyarakat kita


semakin merebah seiring dengan kian meningkatnya penetrasi dan ekspansi
budaya barat khususnya Amerika sebagai akibat proses globalisasi yang terus
tidak terbendung. Berbagai ekspansi social budaya yang sebenarnya ”alien”
(asing), yang tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya dalam masyarakat
kita, semakin menyebar dalam masyarakat kita sehingga memunculkan
kecenderungan-kecenderungan “gaya hidup” baru yang tidak selalu sesuai dengan
dan kondusif bagi kehidupan social budaya masyarakat dan bangsa.

Hal ini bisa dilihat misalnya, dari semakin merebaknya budaya- budaya
Mc Donald, juga makna instant lainnya dan, dengan demikian, budaya serba

9
instant; meluasnya budaya telenofela yang menyebarkan permisivisme, kekerasan,
dan hedonisme; membawanya MTV Asia, falentine’s day, dan kini juga pup night
dikalanga remaja. Meminjam ungkapan Edward Said, gejala ini tidak lain
daripada ”cultural imperialism” baru, yang menggantikan emperialisme klasik
yang terkandung dalam “orientalisme”.

Berbagai ekspresi sosial budaya yang asing dan tidak memiliki basis dan
preseden kurturalnya semakin menyebar dalam masyarakat kita sehingga
memunculkan kecenderungan “gaya hidup” baru yang tidak selalu Sesuai dengan
kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa.

Dari berbagai kecenderungan ini, orang bisa menyaksikan kemunculan kultur


hibryd, budaya gado-gado tanpa identitas, di indonesia dewasa ini. Budaya hidryd
dapat mengakibatkan lenyapnya identitas kultur nasional dan lokal, padahal
identitas nasional dan lokal tersebut mutlak di perlukan bagi terwujudnya
integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat indonesia.

Pluralisme kultural di Asia tenggara khususnya Indonesia, sangatlah mencolok.


Karena itulah dalam teori politik barat sepanjang dasawarsa 1930-an, wilayah ini
di pandang sebagai “locus klasik” bagi konsep “masyarakat majemuk/ plural”
yang di perkenalkan ke dunia barat oleh JS. Furnival.

Menurut Furnival, masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau
lebih unsur-unsur atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak
bercampur dan menyatu dalam 1 unit politik tunggal

Pengalaman Indonesia sejak awal masa kemerdekaan, khususnya pada masa


demokrasi terpimpin dan masa orde baru memperlihatkan kecenderungan kuat
pada penerapan politik monokulturalisme. Dari perspektif politik Indonesia,
berakhirnya sentralisme kekuasaan pada masa orde baru memaksakan “mono-
kulturalisme”, monokulturalitas, keseragaman, memunculkan reaksi balik, yang
bukan tidak mengandung sejumplah implikasi negatif bagi rekontruksi
kebudayaan Indonesia yang pada hakekatnya multikultural.

10
Sebagaimana di kemukakan di atas, merupakan kenyataan yang sulit di
ingkari, bahwa negara Indonesia terdiri dari sejumlah besar etnis, budaya, agama,
dll sehingga secara sederhana dapat di sebut sebagai masyarakat multikultural.
Menurut analisis Muhaemin el-ma’hady, akar sejarah multikulturalisme bisa di
lacak secara historis, bahwa sedikitnya selama 3 dasawarsa kebijakan yang
sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah
menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan, dan
memecahkan persoalan yang muncul karena adanya perbedaan secara terbuka,
rasional dan damai.

Ada 3 kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi


perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul :

1. Pandangan kaum primordialis


2. Pandangan kaum instrumentalis
3. Pandangan kaum konstruktif
Multikulturakisme adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam
konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan
budaya, baik ras suku, etnis, agama, dll. Sebuah konsep yang memberikan
pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa yang
di penuhi dengan budaya-budaya yang beragam. Dan bangsa multikultural adalah
bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya yang ada dapat hidup
berdampingan secara damai dalam prinsip co existensi yang di tandai oleh
kesediaan untuk menghormati budaya lain.

Multikulturakisme adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam


konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan
budaya, baik ras suku, etnis, agama, dll. Sebuah konsep yang memberikan
pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa yang
di penuhi dengan budaya-budaya yang beragam. Dan bangsa multikultural adalah
bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya yang ada dapat hidup
berdampingan secara damai dalam prinsip co existensi yang di tandai oleh
kesediaan untuk menghormati budaya lain.

11
Parekh, membedakan 5 macam multikulturalisme:
1. Multikulturalisme isolasionis
2. Multikulturalisma akomodatif

3. Multikulturalisme otonomis
4. Multikulturalisme kritikal
5. Multikulturalisme   cosmopolitan

4. Multikulturalisme Dan Persebarannya

2.4 Multikulturalisme dan Persebarannya

Konsep multikulturalisme tidak dapat di samakan dengan konsep


keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat
majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan
dalam kesederajatan. Di Amerika serikat, berbagai gejolak sosial untuk persamaan
hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit putih mulai muncul
diakhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya
perlakuan diskriminasi oleh orang kulit putih terhadap orang kulit hitam ditempat-
tempat umum.

Sekarang ini bahkan anak-anak cina, meksiko, dan berbagai golongan


suku bangsa lainnya dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibu mereka
Disekolah sampai tahap-tahap tertentu. Multikulturalisme bukan hanya sebuah
wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangan. Multikulturalisme
dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan
hidup masyarakat. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri
tetapi masih tetap membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang
mendukungnya.

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa


Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada
umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah

12
konsep asing. Saya kira perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para
ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di media massa daripada yang
sudah ada selama ini. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan
konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang
menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai
multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai
permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan
dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya
komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat
serta mutu produktivitas.

Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-
negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-
masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan
Kulit Putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam
masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala
hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai gejolak
untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna
mulai muncul di akhir tahun 1950an.

Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan


diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di
tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan
Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action
yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas
untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang
dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan
usaha (lihat Suparlan 1999).

Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam


perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih
yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit

13
Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa
dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh
Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997). Yang dilakukan
oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM,
dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan
konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-
sekolah di tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai
golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan
bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi
kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa ‘we are all multiculturalists now’ dia
menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika
Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses
pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.

Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang


harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya
demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme
bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya,
dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan
bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan
mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat
memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa
bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta
berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.

Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli


yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga
terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan
ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain
adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan
dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan
sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat

14
dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan
(Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002).

2.5 Masyarakat Indonesia Yang Multikultural

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat


keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai
keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita
mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup
dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan
berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu
(Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan
multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang
mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.

Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap


suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat
multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup
menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang
mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap
masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan
menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.

Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi mengenai


multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan
dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan
kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman,
pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian
diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007). Lawrence

15
Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman,
penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai
multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme
adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik
kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan
untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di
masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap
orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang
lain.

Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan


akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan
luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap
pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu
masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai
masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan
yang sangat banyak dan beraneka ragam.

Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi


pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta
mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa
Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang
menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.

Cita-cita spirit reformasi adalah terbentuknya sebuah masyarakat sipil


yang demokratis, ditegakkannya hukum, terselenggaranya pemerintah yang bersih
dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial, terciptanya rasa aman, terjaminnya
kelancaran produktifitas warga masyarakat dan kehidupan ekonomi yang
mensejahterakan rakyat Indonesia. Hasil reformasi ini adalah, bahwa masyarakat
Indonesia yang bercorak majemuk yang berisikan potensi kekuatan primodialisme
yang otoriter militeristik harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman
kebudayaan atau ideologi ideologi multikulturalisme.

16
2.6 Multikulturalisme Dan Kearifan Universal

Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya


sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Karifan itu segera
muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan
melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati, baik dalam
kehidupan dirinya sendiri yang multi dimensional maupun dalam kehidupan
masyarakat yang lebih kopleks, dan karenanya muncul kesadaran bahwa
keanekaragaman dalam dalam realitas dinamik kehidupan adalah suatu
kaniscayaan yang tidak bisa di tolak, di ingkari, apalagi di musnahkan.

17
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

      Epistemologi, (dari Bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos


(kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal,sifat,
dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering
diperdebatkan dan di bahas dalm bidang filsafat, misalnya tentang apa itu
pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan
kebenaran dan keyakinan.

     Multikulturalisme dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan


terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Multikulturalisme yang
terbentuk di Indonesiamerupakan akibaat dari kondisi sosio-kultural maupun
geografis yang begitu beragam dan luas.

Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana


setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu
masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai
masyarakatitu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan
yang sangat banyak dan beraneka ragam. Epistemologi multikultural merupakan
teori pengetahuan yang dimiliki manusia tentang pandangan berbagai macam
budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-
nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.

3.2 Saran

    Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap


kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus
dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakanantara satu kebudayaan
dengan kebudayaan yang lain.

18
Daftar Pustaka

 Choirul, Mahfud. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar
 http://id.wikipedia.org/wiki/Epistimologi
 http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme
 Parsudi Suparlan. Tersedia pada
http://www.interseksi.org/publications/essays/articles
/masyarakat_majemuk.html. Diakses tanggal 16 Februari 2009.

19

Anda mungkin juga menyukai