Anda di halaman 1dari 18

MULTIKULTURAL PERSPEKTIF AJARAN ISLAM,

MULTIKULTURAN DAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL

Dosen Pengampu :
Lia Efriliyanti S.Pd., M.M

Disusun oleh :
Kelompok 4
Muhammad Aref Fauzan (2020203034)
Rihadi Noto (2020203045)
Muhammad Riski Oktariansyah (2030203074)
Muhammad Sayyid Usman Al khaf (2020203056)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah bersyukur kepada Allah SWT., karena telah memberi kita
kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Dengan nikmat-Nya tersebut kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Multikultural perspektif ajaran
islam,Multikultural dan Kearifan Budaya Lokal.
Makalah ini dibuat untuk melaksanakan tugas wajib mahasiswa pada mata
kuliah Pendidikan Multikultural di program studi manajemen pendidikan Islam
kelas 20033. Selain itu, kami juga berharap makalah ini dapat memberikan
wawasan tentang Multikultural perspektif ajaran islam,Multikultural dan Kearifan
Budaya Lokal.
Akhirnya, kami memanjatkan do’a semoga Allah melimpahkan
rahmatNya kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan pikiran
maupun materi dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga uraian makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Palembang, 15 Maret 2023

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB I ................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
BAB II ................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN .................................................................................................................. 3
A. Definisi Multikultural............................................................................................ 3
B. Multikultural dalam persepektif islam ................................................................ 5
BAB III .............................................................................................................................. 13
PENUTUP ......................................................................................................................... 13
A. Kesimpulan........................................................................................................... 13
B. Saran ..................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Allah swt. menciptakan manusia berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya berta’aruf, (Q.s.
al-Hujurat/49: 13). Manusia dapat menjalani hidupnya dengan tenang dan
tenteram apabila terjalin hubungan yang harmonis dengan sesama manusia
yang ada di sekitarnya. Jalinan komunikasi akan mudah terbangun dan
terpelihara jika memiliki kesamaan dalam berbagai aspek kehidupan.
Akan tetapi, kalau hidup di tengah-tengah masyarakat majemuk/plural
diperlukan adaptasi dan pembauran yang sistemik, sehingga toleransi,
saling menghormati dan saling menghargai dapat terwujud. Setiap anggota
masyarakat seyogyanya hidup dalam tatanan kehidupan yang menjunjung
tinggi pluralitas, toleransi, rasionalitas, keterbukaan, persamaan, taat
aturan, menghargai orang lain, menerima perubahan, serta menjamin
kemerdekaan berpikir, berbicara, dan berkreasi untuk mencapai kemajuan.
Seiring dengan itu, setiap warga negara dituntut mempersempit
kecenderungan eksklusivitas, intoleransi, sikap merasa benar sendiri,
reaktif dalam merespon persoalan dan mengedepankan kekerasan dalam
mengatasi masalah. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik
dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang
luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat.
Namun, kondisi yang demikian memungkinkan pula terjadinya benturan
antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, Poso, Aceh, konflik antara FPI dan
kelompok Achmadiyah

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian multicultural?

1
2. Bagaimana multicultural dalam perspektif islam?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian multicultural
2. Untuk mengetahui multicultural dalam perspektif islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Multikultural
Multikultural adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai
ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok
kebudayaan dengan bak dan status sosial politik yang sama dalam
masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk
menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam
suatu negara.
Multikultural bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi
yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state)
sejak awal abad ke-19, Monokultural menghendaki adanya kesatuan
budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan
untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing
homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk
bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara
mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan
baru.
Multikultural mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-
Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun
1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni
Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara
elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama
Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah
kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai
menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara
lainnya.
Multikultural bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi
yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi
tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Multikultural bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari

3
ideologi-ideologi lannya, dan multikultural membutuhkan seperangkat
konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk
dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam
kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme
diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep
yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikultural dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini
harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian
ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehinga terdapat kesamaan
pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain
adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos,
kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa,
kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak
budaya.1
Multikultural adalah wacana yang memberikan pengakuan atas
adanya banyak kelompok etnis dengan budaya yang berbeda dalam suatu
wilayah atau negara. Multikultural memaknai perbedaan sebagai suatu
kerangka kerja yang ada di dalamnya untuk menghargai banyak
kelompok narasi atau kelompok yang memiliki sifat khas tentang
pengalaman mereka. Kerangka kerja atau pandangan yang memberikan
pengakuan terhadap adanya berbagai etnis dengan kebudayaannya
masing-masing dan memberikan kerangka berpikir yang bersifat toleran
terhadap berbagai perbedaan di antara mereka yang tinggal pada suatu
negara.
Multikulturalis (para ahli masyarakat majemuk) menyangkal
kemungkinan menyatunya kelompok-kelompok I ancaman dari luar yang
dapat yang berbeda ke dalam suatu alasan bersama yang mulai mengubah
struktur sosial secara keseluruhan. Mereka menyadari bahwa perbedaan
tersebut adalah rahmat yang harus didukung keberadaannya dan bukan

1 Mujiatun Ridiawati, “ Multikulturalisme dalam islam” , Bandung: Insania, 2008. Hal 3

4
sebaliknya harus dihancurkan. Mereka memandang bahwa tidak mungkin
perbedaan-perbedaan tersebut disatukan atau ditiadakan ke dalam suatu
alasan tertentu. Menghilangkan perbedaan berarti mengingkari hakikat
kehidupan itu sendiri. Perbedaan dihargai dan ditempatkan sebagai
sesuatu yang bernilai dan bermakna dalam kehidupan sosial.2
B. Multikultural dalam persepektif islam
Pembumian wacana multikulturalisme pada ranah pendidikan
formal (sekolah) dewasa ini semakin menggeliat. Maraknya gagasan
multikulturalisme disertai dengan penyebaran isu pendahuluan:
banyaknya peristiwa bentrokan dan konflik horizontal di tengah
masyarakat. Berbagai pihak kemudian menyuarakan gagasan ini lebih
keras dan diimplementasikan lebih dini dalam kurikulum pendidikan.3
Lebih jauh lagi, kini, paham multikulturalisme mulai diintegrasikan
pada ranah pendidikan agama. Alasannya, seperti dikemukakan dalam
buku Pendidikan Multikultural; Konsep dan Aplikasi, Pendidikan Agama
Islam yang ada saat ini dianggap sudah tidak relevan dan telah gagal
menciptakan harmoni kehidupan dan bahkan menjadi pemicu konflik di
tengah masyarakat plural. Kementerian Agama RI pun telah menerbitkan
sebuah buku berjudul "Panduan Integrasi Nilai Multikultur dalam
Pendidikan Agama Islam pada SMA dan SMK" selanjutnya disingkat
Panduan Integrasi. (Diterbitkan dengan kerjasama dengan Asosiasi Guru
Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), TIFA Foundation dan
Yayasan Rahima).
Jika ditelisik lebih jauh, penanaman paham multikulturalisme -
apalagi dalam ranah Pendidikan Agama Islam-sebenarnya belum didasari
oleh kajian dan penelitian yang mendalam. Sebab, dalam perspektif
Islam, paham multikulturalisme itu perlu ditelaah secara kritis. Berikut
ini sejumlah catatan kritis atas multikulturalisme:

2
Drs. Andreas Soeroso, M.S.” Sosiologi 2 “.Jawa barat: Fakulta sastra Universitas Negri
Padjadjaran, 2008. Hal 129.
3 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi. “ Pendidikan multikultural: Konsep dan

Aplikasi”.Yogyakarta,2008.hal.15

5
Pertama, persoalan makna istilah. Multikulturalisme memiliki rentang
definisi yang beragam mulai dari sekedar pengakuan terhadap realitas
multikultural masyarakat dunia saat ini; upaya untuk menerima dan
menghormati realitas itu; hinges pada pengertian yang merefleksikan
relativisme kebenaran dan relativisme agama. Kecenderungan dominan
dalam beberapa buku, semisal buku berjudul Pendidikan Agama
Berwawasan Multikultural, istilah ini merefleksikan relativisme
kebenaran dan pengakuan kebenaran pada yang lain, maka
multikulturalisme dalam makna ini bergerak lebih jauh lagi:
memungkinkan berbagi agama dengan yang lain. Dalam ide ini
terkandung muatan sinkretisme agama. Bahkan, bukan tidak mungkin.
memunculkan agama baru bernama multikulturalisme.
Kedua, kekeliruan memahami agama Islam. Konsep
multikulturalisme mendudukan Islam sebagai agama yang sama dan
sederajat dengan agama yang lain. Padahal Islam sebagai agama (ad-din)
berbeda dengan agama-agama yang ada di dunia ini. Islam adalah satu-
satunya agama wahyu yang sampai sekarang orisinalitasnya terjaga.
Dalam istilah Prof. Naquib al-Attas: "Islam is the only genuine revealed
religion." (al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam)
Islam bukan agama budaya dan bukan agama yang dihasilkan oleh
proses evolusi budaya. Demikian pula, sistem nilai dan sistem pemikiran
Islam bukan semata berasal dari unsur-unsur budaya dan folosofis yang
dibantu sains, tetapi berasal dari sumbernya yang asli yaitu wahyu,
dikonfirmasi oleh agama serta didukung oleh akal dan intuisi. Islam
sebagai agama final dan matang dari sejak diturunkannya, tidak
mengenal adanya proses penyempurnaan. Islam berbeda dengan agama-
agama lainnya -terutama agama bumi di dunia ini yang lahir dari sebuah
evolusi. Sehingga, ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh Allah dan
Rasul-Nya adalah ketentuan final sebagai syari'at hidup manusia
menjalani penghambaan dan pengabdiannya kepada sang Khaliq.
Sebagaimana tercantum dalam surat Al-Maidah (5) ayat 3. Sementara
agama lain, hanyalah berupa pengalaman spiritual seseorang atau

6
sekelompok orang dalam mencari sisi-sisi transenden untuk melengkapi
kekosongan nilai spiritual yang ada dalam dirinya.
Islam juga bukan agama sejarah (historical religion). Islam adalah
agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang
dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk
masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang
terdapat dalam Islam berlaku sepanjang masa. Islam memiliki
pandangan-alam mutlaknya sendiri yang berbeda dengan agama lain.
Pandangan-alam (worldview) ini meliputi persoalan ketuhanan,
kenabian, kebenaran, alam semesta, dan lain sebagainya Ketiga,
kekeliruan memahami konsep-konsep penting dalam agama. Pemahaman
keliru ini berimbas pada sikap yang tidak tepat dalam mengatasi berbagai
problema di masyarakat terkait kehidupan beragama. Konsep-konsep
yang dipahami keliru itu seperti konsep Tuhan, konsep Wahyu (al-Qur'an
dan al-Hadits), konsep truth claim (klaim kebenaran agama), toleransi,
agama sama dengan budaya, kalimatun sawa, dakwah Islamiyah, dan lain
sebagainya.
Ketiga, kekeliruan memahami konsep-konsep penting dalam
agama. Pemahaman keliru ini berimbas pada sikap yang tidak tepat
dalam mengatasi berbagai problema di masyarakat terkait kehidupan
beragama. Konsep-konsep yang dipahami keliru itu seperti konsep
Tuhan, konsep Wahyu (al-Qur'an dan al-Hadits), konsep truth claim
(klaim kebenaran agama), toleransi, agama sama dengan budaya,
kalimatun sawa, dakwah Islamiyah, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh, dalam pemahaman multikulturalisme, klaim
kebenaran (truth claim) tidak boleh lagi digaungkan. Mereka beralasan
bahwa klaim kebenaran merupakan puncak dari semangat egosentrisme,
etnosentrisme, dan chauvinisme. Klaim kebenaran bagi paham ini
dianggap sebagai kelainan jiwa yang disebut narsisme (sikap
membanggakan dan mengunggulkan diri). Sikap klaim kebenaran inilah

7
yang menurut kalangan penggagas pendidikan multikulturalisme ini yang
akan menghasilkan friksi di masyarakat dan menimbulkan konflik.4

Padahal dalam Islam, mengakui dan meyakini bahwa Islam adalah


satu-satunya agama yang benar dan mempersaksikan keyakinan tersebut
dihadapan Allah SWT juga di hadapan manusia lainnya adalah
keniscayaan yang harus dilakukan. Selain sebagai bagian dari deklarasi
kemusliman serta kesiapan untuk tunduk dan patuh, persaksian tersebut
menjadi media dakwah pada manusia yang lain untuk sama-sama
beriman dan berislam. Islam mengajarkan prinsip hidup toleran tanpa
harus meniadakan kebenaran prinsip yang dipegang. Toleransi dalam
Islam bukan berarti sepakat, setuju, membenarkan ajaran agama lain,
melainkan menghormati pemeluk dan ajaran agama lain sesuai
proporsinya. Proses saling menghargai dan menghormati ini dilakukan
sambil menegakkan prinsip ajaran agama, nilai-nilai agama, dan
kewajiban berdakwah dalam bingkai-bingkai yang dianjurkan oleh
agama itu sendiri. Keempat, kekeliruan memahami budaya dan
kesederajatan. Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan
konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri
masyarakat majemuk (plural society). Karena multikulturalisme
menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan."
Pemahaman seperti ini mengharuskan masing-masing budaya manusia
atau kelompok etnis diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih
tinggi dan tidak ada yang lebih dominan. Karena semua kebudayaan pada
dasarnya mempunyai kearifan tradisional yang berbeda-beda. Kearifan-
kearifan (baca: ajaran, nilai-nilai, kandungan, dan lain-lain) tersebut tidak
dapat dinilai sebagai positif-negatif dan tidak dapat dijelaskan melalui
kacamata kebudayaan yang lain. Hal ini disebabkan oleh sudut pandang
dan akar baik-buruk dari setiap kebudayaan mempunyai volume yang
berbeda pula.

4
Chairul Mahfuzh.”Pendidikan Multikultur” Yogyakarta. Pustaka belajar.2008.hal.9

8
Budaya versi kalangan ini tidak terbatas dalam bidang seni, tetapi
mencakup segala hal yang menjadi proses dan produk sebuah komunitas,
meliputi agama, ideologi, sistem hukum, sistem pembangunan, dan
sebagainya. Kalangan multikulturalis memaknai budaya secara luas,
bahkan termasuk agama di dalamnya. Maka, agama Islam, Kristen,
hindu, budha, jawa, sunda, batak, kapitalisme, sosialisme, dan berbagai
produk komunitas lainnya adalah budaya dan posisinya sejajar dan
sederajat. Islam tidak dapat menyalahkan agama lain, tidak dapat menilai
baik atau buruk agama lain karena posisinya sama. Begitu pula, Islam
tidak boleh mengklaim sebagai satu-satunya agama yang benar disisi
Tuhan karena hal demikian akan mencenderai semangat toleransi dalam
bingkai multikulturalisme.
Paham ini tidak membedakan antara budaya baik dan budaya buruk
karena semuanya dalam bingkai kesederajatan. Sementara agama Islam
tidaklah demikian. Islam memandang tinggi budaya baik dan
memandang rendah budaya buruk. Jadi dalam Islam, persoalan budaya
pun tetap dibingkai oleh nilai-nilai Ilahi yang sifatnya mutlak dan harus
jadi pedoman untuk menakar kualitas budaya individu maupun
kelompok.
Bahaya lebih jauh adalah persepsi bahwa budaya bukanlah suatu
kemutlakan yang harus dipertahankan, termasuk agama di dalamnya.
Budaya dipahami sebagai sebuah gerak (move) kreatifitas masyarakat
yang dibangun oleh gerakan prinsip- prinsip yang berbeda yang
kemudian membentuk sebuah kesepakatan bersama tentang nilai,
pandangan, dan sikap masyarakat (reinventing). Dalam arti, budaya
tumbuh dan berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat itu
sendiri yang tentunya dipengaruhi oleh faktor ekstern yang mengelilingi
kehidupannya. Jika pemahaman ini diaplikasikan, maka yang terjadi
adalah agama dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya bukanlah
sesuatu yang mutlak dan final. Nilai-nilai atau kandungannya akan dan
harus selalu berevolusi seiring sejalan dengan evolusi masyarakat yang
berbeda dari waktu ke waktu. Jika demikian yang terjadi, sendi-sendi

9
ajaran agama khususnya Islam lambat laun akan hilang dan punah.
Terganti oleh nilai-nilai kreatif buatan manusia yang justeru akan
membahayakan eksistensi kemanusiaannya itu sendiri dan eksistensi
kehidupan secara keseluruhan. Kelima, agenda buruk globalisasi.
Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama patut diduga
merupakan agen taktis untuk memuluskan penjajahan nilai-nilai sekular-
liberal di era globalisasi. Nilai-nilai sekular-liberal dapat mengikis dan
menghancurkan pemikiran dan keimanan umat Islam. Globalisasi bukan
hanya melahirkan penjajahan ekonomi tetapi juga penjajahan pemikiran,
budaya, nilai dan tradisi.
Lebih jauh lagi, gagasan multikulturalisme ini dengan tegas
menyatakan bahwa negara sekuler-liberal merupakan jawaban atas
keberagaman agama seperti yang terdapat di Indonesia. Yang demikian
karena menurut mereka negara sekular-liberal posisinya netral dan
mampu memberikan equal opportunity kepada keanekaragaman agama.
Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama dapat mengikis
keyakinan beragama umat Islam yang benar yang bersumber dari al-
Qur'an dan as-Sunnah, Keyakinan tersebut diubah dengan pemahaman
keagamaan yang semata-mata rasional, memenuhi dimensi sosiologis dan
antropologis manusia semata. Maka, ketika proses ini berhasil dijalankan,
akan memudahkan kalangan sekular-liberal untuk melanjutkan
cengkraman penjajahan peradabannya kepada negeri-negeri Muslim.
Jika konsep pendidikan multikulturalisme seperti hasil temuan
penulis yang diutarakan di atas, maka pendidikan ini akan sangat
berbahaya pagi siswa didik muslim. Dengan paham semacam ini, peserta
didik dijauhkan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan agama
Islam sejatinya adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani,
bertaqwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari
sumber utamanya kitab suci Al-Qur'an dan al-Hadits, melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman."
Pendidikan agama dalam Islam adalah pendidikan agama yang berbasis

10
tauhidullah dilandasi oleh semangat beribadah dan semangat dakwah
dalam setiap dimensi kehidupan manusia. Dalam Islam, seluruh
perbuatan manusia termasuk pendidikan, dibingkai oleh motivasi
penyerahan total dirinya sebagai hamba Allah dan khalifatullah. Inilah
hakikat pendidikan dalam pandangan alam Islami yang perlu
diejawantahkan dalam dunia pendidikan dewasa ini. Secara konseptual
dan fakta sejarah, Tauhid Islam senantiasa sinergi dengan kerukunan.
Karena itu berbeda dengan kondisi di dunia Barat - wacana
multikulturalisme tidak menduduki tempat penting. Maka, seyogyanya,
para cendekiawan Muslim tidak mudah hanyut dalam gegap gempita
paham-paham baru yang dapat berdampak negatif pada pemahaman
Islam yang benar.

C. Multkultural dan Kearifan Budaya Lokal


Multikultural dan kearifan budaya lokal Multikultural merujuk
pada keberagaman budaya, agama, dan etnis yang ada dalam satu
wilayah atau masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya migrasi,
perdagangan, atau penjajahan dari berbagai negara atau daerah yang
berbeda. Dalam masyarakat multikultural, orang-orang dari latar
belakang yang berbeda dapat hidup bersama dengan saling menghargai
perbedaan mereka.
Kearifan budaya lokal merujuk pada nilai-nilai, praktik, dan
tradisi yang ditemukan dalam budaya lokal. Biasanya, kearifan budaya
lokal ini berkembang dari pengalaman hidup masyarakat di suatu
wilayah atau daerah tertentu, dan sering kali mewakili nilai-nilai yang
sangat penting bagi masyarakat tersebut.
Kedua konsep ini saling terkait karena dalam masyarakat
multikultural, kearifan budaya lokal dapat dihargai dan dihormati
sebagai bagian dari kekayaan budaya yang ada. Hal ini memungkinkan

11
orang-orang dari latar belakang yang berbeda untuk mempelajari,
menghargai, dan merayakan perbedaan budaya yang ada dalam
masyarakat. Selain itu, penghargaan terhadap kearifan budaya lokal
dapat membantu menjaga warisan budaya yang unik dan mencegah
hilangnya nilai-nilai yang penting bagi masyarakat setempat.
Contoh multikultural dapat ditemukan di banyak negara di dunia,
di mana terdapat keberagaman budaya, agama, dan etnis. Misalnya, di
Amerika Serikat, terdapat orang-orang dari berbagai negara dan
budaya yang tinggal dan bekerja bersama di kota-kota besar seperti
New York City atau Los Angeles.
Sementara itu, contoh kearifan budaya lokal dapat ditemukan di
banyak daerah di Indonesia. Misalnya, masyarakat di Yogyakarta
memiliki tradisi budaya lokal yang unik, seperti tari-tarian tradisional,
seni ukir, dan masakan khas seperti gudeg. Selain itu, kearifan budaya
lokal juga dapat ditemukan di Bali, dengan seni tari dan upacara adat
yang khas, atau di Aceh dengan adat istiadat Islam yang kuat.

Di kedua contoh tersebut, multikultural dan kearifan budaya lokal


saling terkait dan dihargai sebagai bagian dari kekayaan budaya yang ada
dalam masyarakat. Orang-orang dari latar belakang yang berbeda dapat
mempelajari, menghargai, dan merayakan perbedaan budaya tersebut,
sambil tetap menjaga nilai-nilai penting dari kearifan budaya lokal yang
telah ada.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam Pendidikan nonformal, dapat disosialisasikan melalui
pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive
multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap
perbedaan baik ras, suku, maupun agama antaranggota masyarakat.

13
Dalam lingkup keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam
masyarakat, merupakan lembaga pendidikan yang paling efektif dalam
proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap
anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilainilai yang
lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan
dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya
(agama, ras, golongan) kepada anak atau anggota keluarga yang lain
merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung
terciptanya sistem sosial yang kondusif

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas terdapat kesalahan
dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah
tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun mengenai pembahasan makalah .

DAFTAR PUSTAKA

Suroso Andreas,Sosiologi 2 Pengertian Multikultural, Jawa barat : Quadra,2008.

Ghazali, Abd. Moqsith. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi


Berbasis Alquran (Cet. II; Jakarta: KataKita, 2009.

14
Mahfud, Choiril. Pendidikan Multikulturisme (Cet. II; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.

Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan.
Cet. III; Jakarta: Kencana, 2007.

Poerwanto, Hari. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif Antropologi.


Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

15

Anda mungkin juga menyukai