Anda di halaman 1dari 5

WILAYAH STUDI MODAL SOSIAL

oleh : Anton Rudiono

Modal sosial adalah suatu serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki
bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang saling terkait, yang didasarkan
pada nilai kepercayaan, norma, dan jaringan sosial.[1] Modal sosial merupakan suatu kapabilitas
yang muncul dari kepercayaan di dalam sebuah masyarakat secara umum (Fukuyama, 2002).

Istilah modal sosial pertama kali muncul pada tulisan L.J.Hanifan (1916) dalam konteks
peningkatan kondisi hidup masyarakat melalui keterlibatan masyarakat, niat baiknya, serta atribut-
atribut sosial lain dalam bertetangga. Dalam karya tersebut muncul ciri utama dari modal sosial
yaitu membawa manfaat internal dan eksternal.

Sejak konsepnya dicetuskan, istilah "modal sosial" telah digambarkan sebagai "sesuatu
yang sangat manjur" [Portes, 1998:1] bagi semua masalah yang
menimpa komunitas dan masyarakat pada masa kini.

Sementara berbagai aspek dari konsep ini telah dibahas oleh semua bidang ilmu sosial,
setelah karya L.J.Hanifan: "The Rural School of Community Center" istilah modal sosial selama
beberapa dekade tidak muncul dalam literatur ilmiah. Baru pada tahun 1956 sekelompok ahli
sosiologi perkotaan Kanada menggunakannya kembali dan diperkuat dengan munculnya teori
pertukaran oleh George C. Homans (1961), pada era itu istilah modal sosial muncul pada
pembahasan mengenai ikatan-ikatan komunitas. Sebagian lagi menelusuri penggunaannya pada
masa modern kepada Jane Jacobs pada tahun 1960-an. Namun ia tidak secara eksplisit
menjelaskan istilah modal sosial melainkan menggunakannya dalam sebuah artikel dengan
rujukan kepada nilai jaringan. Uraian mendalam yang pertama kali dikemukakan tentang istilah
ini dilakukan oleh Pierre Bourdieu pada 1972 (meskipun rumusan jelas dari karyanya dapat
ditelusuri ke tahun 1984). James Coleman mengambil definisi Glenn Loury pada 1977 dalam
mengembangkan dan memopulerkan konsep ini. Penelitian yang dilakukan James Coleman (1988)
di bidang pendidikan dan Robert Putnam (1993) mengenai partisipasi dan kinerja institusi telah
menginspirasi banyak kajian mengenai modal sosial saat ini. Pada akhir 1990-an, konsep modal
sosial ini menjadi sangat populer, khususnya ketika Bank Dunia mendukung sebuah program
penelitian tentang hal ini, dan konsepnya mendapat perhatian publik melalui buku Robert
Putnam pada tahun 2000, sosialisasi.

1. Agama Dan Modal Sosial

Sebagaimana telah ditunjukan oleh beberapa penelitian bahwa agama adalah salah
satu modal sosial (Rofik dan Asyahbuddin, 2005). Bahkan agama Islam yang
merupakan rahmatan lil ‘aalamin (rahmat bagi semesta), jika dipahami dan dipraktekan
dengan benar adalah modal sosial yang sangat kuat (Siddiqi, A, 2008).

Salah satu contoh ajaran Islam yang berpotensi sebagai modal


sosial cognitive khususnya bagi peningkatan kedisplinan masyarakat dalam PSBB
adalah muroqobah. Muroqobah adalah sifat seseorang yang merasa selalu dilihat dan
diawasi oleh Allah Ta’ala. Penguatan nilai ini tidak hanya dapat meningkatkan kepatuhan
masyarakat dalam menjalankan PSBB tetapi juga memperkuat ikatan antar anggota
masyarakat yang membuat orang memiliki perhatian dan dukungan satu sama lain dalam
penangangan pandemi korona.

Meskipun kegiatan pengajian di masjid yang sejatinya dapat menjadi media bagi
penguatan ajaran Islam dibatasi sebagai tuntutan PSBB. Namun seyogyanya, momentum
ramadhan ini dapat tetap dimaksimalkan oleh segenap pihak terutama Pemerintah untuk terus
mendukung peningkatan iman dan ilmu agama seperti diantaranya: melalui program ceramah
virtual, penyebaran buletin dakwah atau leaflet ke rumah penduduk atau di setiap check
point atau melalui media sosial dan lain-lain. Materi-materi yang disampaikan tentunya
selain meliputi edukasi COVID 19 juga memuat ajaran-ajaran Islam yang relevan bagi
efektifitas PSBB atau social distancing, seperti konsep muroqobah, ketaatan kepada ulil
‘amri, islam sebagai rahmatan lil ‘aalamin dll. Semoga dengan keberkahan bulan ramadhan,
pandemi korona di Indonesia dapat segera diatasi, aamiin .

2. Internet dan modal sosial

Anabel Quan-Haase dan Barry Wellman, mengulasnya dengan tujuan memberikan perspektif
konseptual yang lebih umum tentang hubungan antara Internet dan pengembangan modal sosial di
tingkat komunitas. Mereka berpendapat bahwa internet telah diusulkan sebagai katalis utama
dalam perubahan sosial: Pandangan Utopis memprediksi bahwa Internet akan berdampak positif
dalam membangun kembali komunitas untuk bersatu-padu. Sementara pandangan
yang dystopians kawatir bahwa Internet akan menyebabkan isolasi dan menarik orang untuk
menjauh dari keterlibatan dalam komunitas mereka. Pandangan ini, berdasarkan pada
determinisme teknologi, menganggap bahwa Internet memainkan peran yang dominan dalam
mengubah masyarakat.

Dalam bab ini, data dari beberapa studi tentang penggunaan dan efek dari Internet pada modal
sosial ditinjau. Para penulis menempatkan analisis mereka dalam diskusi baru-baru ini tentang
penurunan modal sosial di Amerika Utara, termasuk perdebatan mengenai kontak sosial (interaksi
sosial) diantara teman-teman dan kerabat, partisipasi komunitas, dan keterlibatan dalam politik.
Bukti yang dikumpulkan oleh Quan-Haase dan Wellman menunjukkan bahwa internet
menempati peran penting, tapi tidak dominan, tempat dalam kehidupan sehari-hari, yang
menghubungkan teman-teman dan kerabat baik dekat dan jauh. Bertentangan dengan pandangan
determinisme teknologi, di mana internet menambah—daripada mengubah atau mengurangi—
modal sosial. Mereka yang menggunakan Internet sebagian besar melanjutkan komunikasi dengan
telephone dan melalui pertemuan tatap muka. Meskipun internet membantu menghubungkan
komunitas yang jauh, namun internet juga menjauhkan orang-orang yang dekat.

Bukti penelitian telah mengumpulkan menunjukkan bahwa internet menempati tempat penting
dalam kehidupan sehari-hari, yang menghubungkan teman-teman dan kerabat baik dekat dan jauh.
Dalam jangka pendek, itu menambahkan ke-daripada mengubah atau mengurangi-sosial modal.
Mereka yang menggunakan Internet yang paling kontinyu untuk berkomunikasi melalui telepon
dan melalui tatap muka pertemuan. Meskipun internet membantu untuk menghubungkan
komunitas atau masyarakat yang berjauhan, namun internet juga dapat membantu untuk
menghubungkan masyarakat setempat (local community).

Para peneliti juga telah menunjukkan bahwa apa yang membuat kemungkinan komunikasi internet
yang unik adalah kemampuan untuk mendukung banyak-ke-banyak pertukaran informasi yang
antara orang-orang secara geografis. Melalui komunitas On-line, mereka yang ingin membahas
dan focus pada topik-topik tertentu memungkinkan orang untuk bertukar pikiran dan memberikan
dukungan sosial (Wellman dan Gulia 1999). Internet telah menyebabkan bentuk komunikasi baru,
dengan sering menggunakan alat komunikasi dengan cara yang tak terduga. Misalnya, penggunaan
pesan teks singkat di ponsel menyebabkan peningkatan kontak sosial karena sering digunakan
untuk mengatur pertemuan tatap muka dengan teman-teman dekat (Katz dan Aakhus 2002).

3. Modal Sosial Perkotaan

Modal sosial, menurut salah satu teorisinya adalah “norma dan jaringan kerja masyarakat
sipil yang melicinkan tindakan kerja sama di antara warga Negara dan institusi mereka (Putnam,
1998). Lebih jauh, Putnam menunjukkan wujud dari modal sosial dalam berbagai organisasi sosial,
ikatan atau hubungan sosial, norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama
untuk keuntungan bersama.

Masyarakat kota kadang dianggap sebagai entitas yang kepemilikan atas modal sosialnya
rendah. Model-model relasional pragmatis dalam perihidup orang kota, dianggap sebagai bukan
dari perwujudan modal sosial. Sebab modal sosial tumbuh karena di dalamnya ada kepercayaan.
Kepercayaan itu hadir karena aspek-aspek pragamatis-ekonomis sudah diminimalisir. Sehingga
bangunan sosial kemasyarakatannya bisa berubah menjadi berbasis nilai dan kesadaran.
Bisa jadi hipotesis bahwa di modal sosial di kota lemah, harus ditinjau ulang. Sebab, warga kota
saat ini, sudah berbeda jauh dengan anggapan itu. Warga kota saat ini bukan generasi yang hadir
ketika kota di awal-awal kota dibangun. Mereka adalah generasi ketiga bahkan keempat, yang
berinteraksi dengan warga lain dalam suatu bingkai sosial budaya yang heterogen. Mereka juga
membaca bagaimana warga jaman dulu membangun masyarakat, yang kemudian sedaya upaya,
dihadirkan kembali pada saat ini, meski sebagian masih artifisial.
Contoh sederhana: lembaga-lembaga sosial-kemanusiaan di kota lebih semarak. Bahkan gerakan
mereka yang massif, sistematis, terukur, dan manageable. Sehingga berbeda dengan gerakan masa
lalu, apa yang dilakukan jauh lebih tepat sasaran, terarah, dan tentu saja terukur dampak dan
manfaatnya.

Modal sosial kota terkumpul dalam beragam wujud dan bentuk, menyesuaikan kebutuhan
dan aspek strategisnya. Modal sosial ini bisa tumbuh di café, taman kota, trotoar yang nyaman,
lingkungan kampus dan sekolahan, bahkan masjid dan ruang kelas.
Kota-kota saat ini terhubung tidak hanya dalam ruang nyata. Tetapi juga dalam ruang maya. Ikatan
dan jaringan terbangun tidak hanya karena ada silaturahmi fisik, tetapi juga interaksi di ruang
diskusi yang jarak fisiknya berjauhan. Di forum-forum tersebut, sebagai hal didiskusikan.
Beragam aksi direncakan. Kopi darat atau temu fisik, kadang dilakukan hanya pas aksi saja.
Sisanya diselesaikan di ruang maya.
Modal sosial kota saat ini telah diperkaya oleh infrastruktur lain, yakni internet.

IOT (Internet Of Think) yang baru-baru ini digencarkan pemerintah, sesungguhnya secara
praktis sudah lama dipakai sebagai tools untuk membangun berbagai gerakan sosial.
Optimalisasi modal sosial kota sejatinya bisa dilakukan dengan beberapa peta jalan berikut:
Pertama, partisipasi seluruh kalangan dalam memperkuat isu-isu pembangunan dan kesejahteraan
dalam beragam platform. Pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat, harus diajak duduk
bersama untuk memperkuat atau memperkaya kesempatan ini untuk meningkatkan modal sosial
kota; Kedua, secara khusus, kalangan perguruan tinggi diberikan peran lebih besar untuk mengisi
substansi modal sosial ini, sebelum akhirnya dipergunakan sebagai peta jalan pembangunan;
Ketiga, ruang publik yang ada harus dievaluasi aspek fungsionalitasnya. Sebab kontribusi dari
ruang publik untuk menghasilkan modal sosial sudah terbukti cukup efektif.

Kota yang berkeadaban, di manapun, eksistensinya akan terasa dan berkelanjutan ketika
upaya-upaya meningkatkan modal sosial terus dipelihara, dirawat, dan didifusikan ke seluruh
anggota masyarakat. Sehingga, dengan cara pandang seperti ini, modal sosial kota bukan hanya
akan memiliki stok yang banyak dan cukup, tetapi juga kuat dan pantas.

Anda mungkin juga menyukai