Oleh:
Kelompok 2 / Kelas B
IFTITAH ADELIA 170210204153
AMANDA YUSTYARI NISSA 170210204160
CAHYO DWI MARTA 170210204175
APRIDA SAYEKTI 170210204180
KARIEN OVISARA 170210204190
ZAENAL ARIFIN 170210204229
B. James A. Banks
Seorang perintis pendidikan multikultur adalah James A. Bank. Teori
Bank ini lebih menekankan pada pendidikannya yang berarti ia memfokuskan
kearah cara bagaimana berfikir, daripada apa yang difikirkan oleh siswa. Bank
mengemukakan bahwa seorang siswa haruslah aktif dengan mengerti semua jenis
pengetahuan dan mendiskusikan kontruksi pengetahuan. Bukan hanya itu, siswa
juga perlu untuk menginterpretasikan pengetahuan yang diterima sesuai dengan
sudut pandangnya. Contoh: siswa mempelajari sejarah tentang terjadinya perang
Diponegoro tahun 1825-1830. Penyebab munculnya perang tersebut karena
pembangunan jalan yang dilakukan oleh Belanda dengan melintasi makam di
Tegal Rego Yogyakarta. Makam tersebut sangat diagungkan oleh masyarakat
setempat. Berdasarkan permasalahan yang terjadi, terdapat dua sudut pandang
yang bebeda. Pertama sudut pandang dari Belanda yang membangun jalan,
Belanda menganggap bahwa pangeran Diponegoro melakukan pemberontakan
terhadap tindakan Belanda. Namun, lain halnya dengan sudut pandang yang
kedua, yaitu sudut pandang dari putera bangsa. Putra bangsa menganggap bahwa
pangeran Diponegoro seorang pahlawan yang berusaha memerdekakan diri dari
para penjajah asing. Berdasarkan kasus tersebut, tentunya seorang siswa haruslah
memiliki pemikiran yang kritis dengan menambah keterampilan, pengetahuan
karena semua itu dibutuhkan dalam tindakan demokratis sehingga siswa dapat
mengakhri kesenjangan antara ideal dengan realitas.
Bank mengklasifikasikan 3 kelompok cendekiawan yang beda dalam
golongan-golongan budaya di Amerika Serikat (AS) yang tertuang dalam The
Canon Debate, Knowledge Construction and Multicultural Education sebagai
berikut:
1. Kelompok Traditionals Barat. Kelompok ini mempercayai bahwa adanya
budaya yang menonjol dari peradaban barat adalah kelompok White, Protstan,
dan Anglo Saxon (WASP). WASP berfikiran bahwa posisinya akan terancam
karena mengesampingkan kelompok minoritas dan reformasi multikultural
lainnya. Berbeda halnya dengan teori yang dikemukakan oleh Horace Kallen,
teori ini masih memberikan perhatian pada pengajaran multikultural atau
keragaman.
2. Kelompok Afrosentris. Kelompok ini merupakan kelompok yang menolak
budaya barat secara keseluruhan. Afrosentris beranggapan bahwa pengebaian
kelompok lain itu ada, dan menganggap bahwa budaya Afrikalah yang
menjadi sentral kurikulum, sehingga seluruh siswa dapat memahami peran
Afrika dalam perkembangan peradaban barat.
3. Kelompok Multikulturalis. Kelompok ini meyakini jika pendidikan sebaiknya
direformasikan agar lebih memperhatikan pengalaman kepada orang kulit
berwarna dan wanita. Pada saat ini multikulturalis masih berkembang dan
memperjuangkan tempatnya ditengah - tengah dominasi golongan maju.
C. Bill Martin
Bill Martin menuliskan tulisan berjudul “Multiculturalism : Consumerist
or Transformational? ”, Martin memaparkan isu mengenai multikulturalisme
menimbulkan munculnya banyak penjelasan mengenai perdebatan sudah terlihat
dalam teori filsafat dan teori sosial. Seandainya multikulturalaisme menjadi lebih
dari tempat pertemuan untuk beberapa komunitas yang berbagai macam, maka
haruslah melalui multikultur dapat menjadi sebuah ‘pertemuan’ dari beberapa
kelompok untuk membawa pengaruh positif dari perbedaan tersebut. Teori Martin
menentang adanya kelompok afrosentris yang tidak menerima kebudayaan barat
yang berlebihan dan tradisionalis barat karena mereka bersifat “Consumerist
Multiculturalism”. Multikulturalisme tidak konsumeris melainkan
transformational. Martin menjelaskan bahwa walaupun terjadi perbedaan antar
tingkatan sosial, suku, golongan, budaya, dan pemikiran orang, tetapi tetap
dibutuhkan komunikasi mengenai padangan yang berlainan tersebut sehingga
dapat terjadi perubahan yang dimiliki oleh kelompok budaya tersebut. Alasan
mendasar yang membuat terjadinya konsumeris multikultural karena pada setiap
kelompok masih bersikap tertutup dan tidak ada komunikasi yang baik diantara
kelompok lainnya.
D. Martin J.Beck Matustik
Martin J. Beck Matustik menjelaskan perselisihan yang terjadi mengenai
multikultural masyarakat barat berhubungan dengan etika. Mastustik, 1998
mengungkapkan “ Semua hal pembicaraan budaya terdorong pada pola pemikiran
ulang norma barat yang mengakui bahwa dunia multikultural adalah benar bahwa
ada nyatanya”. Selain itu, Martin juga menuliskan “ Perang budaya, ekonomi, dan
politik di segi bagaimana dan melalui siapa sejarah multikultur dijelaskan” (Ludic,
Corporate and Imperial Multiculturalism: Impostors of Democracy and
Cartographers of the New World Order). Teori multikultur meliputi beberapa segi
mengarah ke liberalisasi pendidikan, Filsuf Yunani, dan Politik Plato. Dalam
karya Plato berjudul “ Republik ” dijelaskan bahwa tidak saja memberikan aturan
politik dan akademis klasik pemimpin negara yang ideal, tetapi juga menjadi
petunjuk mengenai pendidikan bagi yang tertindas. Selain itu, Plato percaya perlu
membuat perubahan multikultur baru yang berlawanan dengan monokultur
nasional yaitu multikultur lokal yang saling berkaitan secara global.
E. Judith M. Green
Green membuktikan bahwa tidak hanya di Amerikat Serikat saja terdapat
multikultur unik, namun di Negara lain pun juga ada yaitu dengan
mengakomodasikan beragam komunitas kecil dari budaya yang tidak sama.
Kelompok tersebut saling bertoleransi dengan kelompok budaya dominan. Di
negara Amerika Serikat sendiri, mereka diberikan tempat perlindungan, kekuatan,
dan kekuasaan untuk mempengaruhi kebudayaan yang ada sehingga dapat
menghasilkan perubahan seperti upah dan keamaan kerja. Perempuan dan para
golongan minoritas (Hispanis, Amerika Asli dan Afrika) mendapatkan peluang
ekonomi lebih baik, partisipasi politis yang baik, dan lain-lain. Pada akhir abd ke-
20 Amerika Serikat mengalami kebuntuan sehingga memerlukan pemikiran yang
baru tentang tujuan pendidikan. Amerika beranggapan bahwa pendidikan adalah
suatu bentuk perubahan paling baik secara sosial ataupun personal. Sehingga,
melalui pendidikan Amerika Serikat menjadi sukses dalam bertransformasi.
Amerika Serikat sejak lahir, selain memiliki masyarakat yang multikultural,
namun mereka dapat bersatu melalui perjuangan, kerjasama, dan interaksi yang
baik (Green, 1998).
2.2 Pendekatan dalam Pendidikan Multikultural
Sejak tahun 1960-an terdapat 4 pendekatan yang menggabungkan
multicultural dan etnis ke suatu kurikulum. Berikut ialah pendekatan dalam
pendidikan multikultural.
A. Pendekatan kontribusi
pendekatan kontribusi atau biasa disebut juga dengan The contributions
approach ialah salah satu bentuk pendekatan yang paling menonjol karena sering
dipakai dalam fase kebangkitan pertama suatu etnis. Selain itu, pendekatan
kontribusi ini tidak jarang digunakan apabila sekolah mengintegrasikan materi
etnis serta multikultur ke dalam pelajaran yang sesuai. Berikut ialah ciri-ciri
pendekatan kontribusi.
1. Ciri pendekatan kontribusi
Pendekatan kontribusi memiliki ciri yakni adanya suatu bentuk integrasi
antara pahlawan dengan suatu etnis, dan benda-benda terdahulu yang dipercaya
sebagai budaya ke suatu pembelajaran/ kurikulum. Para tokoh seperti Benjamin
Bannaker, Sacajawea, Cesar Chavez Booker T dan Washington yang digolongkan
sebagai kelompok Pahlawan budaya atau multikultur. Selain para pahlawan diatas
terdapat juga pahlawan Amerika Serikat yang digolongkan sebagai aliran utama
(Thomas Jefferson, George W, John F. Kennedy serta Patrick H). Tokoh tersebut
mempelajari inti dalam kurikulum. Akar dari pendidikan multikultur/budaya
dalam pembelajaran sekolah dasar yakni penanaman karakter serta pemahaman
keragaman budaya sekitar lingkungan
Guna pendekatan kontribusi ialah agar siswa dapat memahami dan mengerti
akan perbedaan yang ada dalam lingkungan sekitarnya. Bentuk implementasi
pendekatan kontribusi juga memliki nilai tinggi agar siswa selalu belajar
menghargai dengan rasa bangga suatu keragaman yang ada di Indonesia.
Akhirnya siswa akan terbiasa untuk bersikap positif walaupun hidup diantara
perbedaan agama, suku, ras antar temannya.
Karakteristik pendekatan kontribusi
Pendekatan kontribusi dalam pembelajaran memiliki karakteristik.
Karakteristik penting dalam pendekatan ini yakni tidak akan merubah kurikulum
utama sesuai dengan struktur dasar serta tujuan. Akan tetapi integrasi pendidikan
multikultur ke dalam pembelajaran tetap berjalan. Pahlawan etnis dimasukkan
dalam suatu kurikulum agar peserta didik dapat memahami dan menghargai
perjuangan para pahlawan yang juga merupakan masyarakat. Pendekatan
kontribusi memberi manfaat serta kesempatan pada guru sekolah dasar dapat
mengintegrasikan pendidikan multikultur ke dalam pelajaran secara cepat dan
tepat. Selain itu, secara tidak langsung peserta didik akan mendapatkan suatu
pengenalan etnis/budaya lain yang tidak diketahui peserta didik. Seorang guru
bertanggungjawab atas tugasnya untuk memadukan materi pendidikan
multicultural//budaya ke dalam kurikulum dengan memiliki sikap motivator,
artinya guru harus mampu mendukung, mendorong, memberi kesempatan, serta
mengevaluasi peserta didik agar mampu memperdalam pelajaran keterampilan
serta pengetahuan yang diperlukan agar dapat memperbaiki kurikulum
menggunakan beberapa pendekatan yang efektif.
Pendekatan yang paling awal digunakan bagi seorang pendidik agar
digunakan untuk memadukan materi etnis kedalam kurikulum yakni pendekatan
kontribusi. Integrasi kurikulum selalu dilengkapi dengan tokoh-tokoh pahlawan,
budayawan agar peserta didik tidak dapat terpengaruh dengan dunia yang serba
global seprti kebiasaan budaya Amerika.
Pendidik harus memiliki kreatifitas penuh untuk merekontruksi suatu
pembelajaran menggunakan kepahlawanan agar tidak monoton dan selalu
menarik siswa untuk mengenal lebih jauh. Isu yang membahas menganai
penindasan, kekerasan ras, kemiskinan, dan penindasan lebih baik dihindarkan
dalam proses pembelajaran.
Fokus pendekatan kontribusi ini ialah pada gaya kelompok etnis, adanya
rasisme serta diskriminasi terhadap struktur lemabaga budaya, yang secara
langsung akan berpengaruh terhadap kesempatan hidup dan akan membuat
masyarakat lemah semakin terpinggirkan.
C. Pendekatan Transformasi
Pendekatan Transformasi (the transformation approach). Pendekatan
tranformasi berlainan berdasarkan dari pendekatan kontribusi dan pendekatan
aditif. Pendekatan transformasi memperbaiki pendapat awal kurikulum dan
mengembangkan kompetensi siswa dalam memandang tema, konsep, dan isu dari
berbagai sudut pandang suku bangsa. Bank (1993) menyebut ini proses multiple
acculturation dirasa saling menghargai kebersamaan dan cinta yang dapat
dirasakan melalui pengalaman belajar. Konsepsi Akulturasi Ganda (multiple
acculturation conception) dari masyarakat dan budaya dari berbagai Negara
memusat pada aspek sudut pandang seni, music, sastra, peristiwa dan pengetahuan
lainnya merupakan suatu bagian integral dalam membentuk secara konvensional.
Pendekatan Transformasi berspektif yang berfokus pada aliran utama yang
dapat juga dijelaskan pada pembelajaran. Pendekatan transformasi pada
pendidikan multikultural mempunyai peranan yang sangat besar contohnya yaitu
dapat mengubah anggapan dasar kurikulum dan meningkatkan kompetensi siswa
dalam menguasai tema, isu, konsep dan masalah dari sudut pandang suku bangsa.
Perspektif sendiri dapat mengarah pada satu arah utama yaitu diketahui bahwa
terdapat satu di antara berbagai perspektif dari isu, masalah dan konsep.
Isu perspektif sendiri dapat dicontohkan dengan adanya berbagai Isu
kurikulum esensial yang dapat dilihat dalam perubahan kurikulum multikultural
yang dapat dijelaskan bahwa siswa harus mempelajari perubahan dari berbagai
kelompok yang berbeda etnis atau golongan untuk memahami pemahaman yang
mebih luas secara utuh. Contohnya saja dalam seni bahasa, seni music, sejarah
yang mengaharuskan siswa untuk lebih mengenal atau memahami kultur atau
kebudayaan yang ada di Negara yang berbeda tersebut.
Kesimpulan
Sleeter, C., & Grant, C. (1993). Making choices for multicultural education: Five
approaches to race, class, and gender (2nd ed.). New York: Macmillan.