Disusun oleh :
Geladi hominisasi UNPAR merupakan proses yang memberikan banyak pengetahuan umum
khususnya berkaitan dengan multikulturalisme di Indonesia. Dinamika yang ada memberikan
banyak refleksi dan juga mendorong munculnya pemikiran mengenai pentingnya
multikulturalisme di Indonesia. Multikultularisme menurut KBBI adalah suatu fenomena
pada masyarakat atau pribadi yang memiliki ciri-ciri biasa menggunakan kebudayaan dengan
jumlah lebih dari satu.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan multikulturalisme. Berdasarkan data dari sensus
BPS tahun 2010, terdapat 1340 suku bangsa di Indonesia. Hal ini secara nyata dapat terlihat
dari berbagai daerah di Indonesia yang masing-masing memiliki kekhasan mulai dari segi
bahasa, pakaian adat, arsitektur, makanan, sampai upacara, dan tradisi lainnya. Tugas
prageladi yang diberikan sebelum geladi memberikan berbagai video edukatif mengenai
kekayaan di Indonesia khususnya mengenai ketahanan pangan. Salah satu video yang ada
menyampaikan mengenai urgensi hilangnya makanan-makanan tradisional karena digantikan
oleh masuknya berbagai budaya makanan asing akibat globalisasi. Pada pelaksanaan geladi
terdapat berbagai dinamika yang juga mengangkat mengenai kebudayaan dan
multikulturalisme melalui kuis. Hasil kuis yang ada menunjukkan bahwa sedikit dari peserta
yang benar-benar mengenal berbagai kebudayaan di Indonesia Globalisasi merupakan hal
yang tidak terhindarkan saat ini. Menurut Giddens, globalisasi merupakan hubungan sosial
antara dunia secara intens sehingga setiap negara akan saling mempengaruhi satu sama lain.
Globalisasi membuka banyak peluang pertukaran budaya sehingga mendorong masuknya
budaya asing di Indonesia. Secara positif, hal ini dapat menambah berbagai pengetahuan akan
budaya baru dari luar Indonesia, namun hal ini juga berdampak negatif. Masuknya berbagai
budaya asing justru menyebabkan budaya asli dan multikulturalisme di Indonesia perlahan
dilupakan. Contohnya adalah bagaimana batik hanya digunakan untuk acara resmi atau
formal karena digantikan oleh fashion dari luar seperti Korea Selatan dan negara lainnya.
Selain itu, makanan tradisional yang jarang dikenal karena digantikan dengan berbagai
makanan dari luar negeri.
2.3 Multikultularisme Di Indonesia
Indonesia merupakan negara merdeka yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras dan
agama. Membahas keragaman etnisitas ini, salah satu etnis yang mendiami Indonesia
adalah masyarakat Tionghoa. Mereka hadir di Indonesia sebagai imigran China, jauh
sebelum masuknya bangsa Eropa untuk melakukan perdagangan.
Awalnya hubungan antara masyarakat nusantara dan etnis Tionghoa berlangsung
harmonis. Namun, jika ditelusuri kembali melalui sejarahnya, etnis Tionghoa di
Indonesia seringkali mengalami diskriminasi.
Berfokus dengan masalah diskriminasi, di masa orde baru diberlakukan sebuah kebijakan
asimilasi yang bertujuan untuk mengatasi konflik yang sebelumnya terjadi diantara
masyarakat Indonesia dan Tionghoa.
Kebijakan asimilasi hadir sebagai solusi kekhawatiran Soeharto terhadap masyarakat
Tionghoa yang berasal dari sebuah negara berideologi komunis. Kebijakan ini diterapkan
dengan cara melakukan peleburan identitas masyarakat etnis Tionghoa dalam masyarakat
Indonesia.
Berlakukan kebijakan asimilasi terhadap etnis Tionghoa di masa orde baru, ditandai
dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 yang menimbang “bahwa
agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri
leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psychologis,
mental dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia sehingga
merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya
pada proporsi yang wajar.”
Instruksi ini akhirnya mempersempit kebebasan dan penghilangan identitas masyarakat
Tionghoa karena secara tegas mereka diharuskan untuk menyesuaikan tradisi sosial dan
budaya mayoritas masyarakat Indonesia.
Dampak dari kebijakan ini adalah masyarakat Tionghoa di Indonesia harus berganti
nama demi mewujudkan rasa nasionalisme terhadap Indonesia. Di bidang agama,
kehidupan beragama dalam arti beribadah orang Tionghoa sangat dibatasi, contohnya
adalah dengan adanya pembatasan perayaan imlek sehingga harus dilakukan sembunyi-
sembunyi.
Di bidang pendidikan, pers dan film dan penggunaan bahasa mandarin sangat dibatasi
untuk dipergunakan. Sekalipun ada penayangan film-film Hong Kong dan Taiwan di
televisi, film tersebut sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Larangan
penampilan media dalam Bahasa Mandarin berdampak pada hilangnya kemampuan
orang Tionghoa dalam menulis, membaca, dan berbahasa Mandarin.
Di bidang politik, ruang gerak dari masyarakat Tionghoa dibatasi, sedangkan di bidang
ekonomi ruang gerak masyarakat Tionghoa terbuka. Dalam hal ini, pemerintah orde baru
justru memanfaatkan para cukong Tionghoa untuk bekerjasama dengan pemerintah orde
baru dalam rangka memberi pemasukan modal.
Setelah berakhirnya orde baru, Indonesia mulai memasuki masa reformasi, dimana
kebijakan asimilasi akhirnya dicabut ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) naik menjadi
presiden menggantikan Habibie. Sejak saat itu, hak minoritas masyarakat etnis Tionghoa
akhirnya dapat terealisasi sesuai dengan semangat “human rights” yang dibawakan oleh
negara-negara liberal.
Hal ini sesuai dengan apa pengakuan bentuk multikulturalisme yang disampaikan oleh
Will Kymlica seorang filsuf yang berasal dari Kanada. Dalam bukunya berjudul
Multikulturalisme (1955), Kymlica menjelaskan bahwa sejak tahun 1970 negara-negara
liberal seperti Kanada, Amerika, dan Australia bersikap memilih sikap untuk lebih
toleran terhadap perbedaan pluralistik para imigran.
Penolakan terhadap kebijakan asimilasi yang dilakukan oleh ketiga negara ini juga
direalisasi oleh Gus Dur melalui tindakan dengan mengeluarkan keputusan presiden no 6
tahun 2000 tentang pencabutan terhadap Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1867
tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Berakhirnya kebijakan asimilasi ini akhirnya membuka peluang terbukanya kebebasan
bagi masyarakat etnis Tionghoa. Hal ini menjadi angin segar bagi masyarakat etnis
Tionghoa karena sejak kebijakan asimilasi berakhir, hak-hak minoritas mulai diakui.
Masyarakat etnis Tionghoa mulai mendapatkan identitasnya kembali.
Tidak perlu izin khusus bagi masyarakat etnis Tionghoa untuk menyelenggarkan tradisi
keagamaan, sebagaimana telah berlangsung di era sebelumnya. Keseriusan pengakuan
adanya prularisme juga diwujudkan dengan peliburan hari besar keagamaan seperti
Imlek.
Will Kymlica dalam bukunya juga membahas lebih lanjut mengenai hak minoritas yang
menjelaskan bahwa kelompok minoritas dalam konteks Indonesia adalah masyarakat
etnis Tionghoa memiliki hak untuk memilih hidup mereka sendiri.
Sejak era orde baru dan dimulainya era reformasi, hak-hak minoritas masyarakat etnis
Tionghoa kembali diakui di Indonesia. Semangat multikulturalisme dan pluralisme untuk
menerima perbedaan dengan sikap toleransi semakin ditunjukan oleh pemerintah saat ini.
Bentuk multikulturalisme yang disampaikan oleh kymlica mengenai hak kelompok
minoritas etnis sudah mulai berlaku di Indonesia demi mewujudkan kesetaraan dalam
sebuah negara bangsa. Hal ini juga sesuai dengan bentuk negara yang terdiri dari
beragam kelompok etnis minoritas.
Kymlica yang memfokuskan pembahasan multikulturalisme pada subyek hak kelompok
minoritas di luar hak individu penulis rasa sangat sesuai untuk menjelaskan kondisi
kelompok masyarakat etnis Tionghoa di era orde baru hingga reformasi. Hal ini
dikarenakan saat ini, perbedaan hak-hak budaya minoritas sudah diakui di Indoensia.
2.4 Ciri – Ciri Masyarakat multicultural
Masyarakat artinya adalah satu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem
adat istiadat tertentu yang bersifat terus menerus dan terikat oleh perasaan bersama. Multi
berarti banyak atau beranekaragam. Sedangkan kultural berarti budaya. Jadi, masyarakat
multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas banyak struktur kebudayaan. Akar
dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Banyaknya struktur kebudayaan ini disebabkan
banyaknya suku bangsa yang mempunyai struktur budaya sendiri, yang berbeda dengan
budaya suku bangsa lain. Pada hakikatnya, konsep masyarakat multikultural adalah
masyarakat yang mempunyai banyak suku bangsa dan budaya dengan beragam adat istiadat.
Dalam kerangka hidup bersama berdampingan satu sama lain yang sederajat dan saling
berinterseksi dalam suatu tatanan kesatuan sosial politik. Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat multikultural. Ini dibuktikan dengan banyaknya suku dan kebudayaan.
Menurut sensus BPS tahun 2010, ada 1.340 suku bangsa di Tanah Air. Di suku Jawa sendiri, tidak semua
budayanya sama. Meskpiun sama-sama Jawa, orang Jawa Tengah punya kebudayaan yang berbeda dengan
Jawa Timur. Contohnya tradisi Sekaten yang dirayakan setiap Maulid. Tradisi ini dilestarikan oleh Keraton
Yogyakarta dan Keraton Solo. Begitu pula kuda reog, umum ditemukan di Ponorogo, Jawa Timur, tapi
tidak ditemukan di Jawa Tengah.
1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk-bentuk kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu dengan
yang lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembagalembaga yang bersifat nonkomplementer.
3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4. Secara relatif seringkali mengalami konflik antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya.
5. Secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
https://kumparan.com/berita-hari-ini/faktor-terbentuknya-masyarakat-
multikultural-di-indonesia-1unBPlwhGFx/ful
https://www.kompasiana.com/alexandraalx/6361e6df4addee143376cfd2/
multikulturalisme-dalam-bhinneka-tunggal-ika-sebagai-identitas-indonesia-
di-era-globalisasi