Anda di halaman 1dari 10

NAMA : KOMANG ARIYANTO

NIM : 043434554

MK : ISBD EDISI 2 MKDU4109

TUGAS 2

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan multikulturalisme dalam era


Globalisasi! Berikan contoh konkret!
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan stereotipe, berikan contohnya!
3. Jelaskan arti kesetaraan menurut Bikhu Parekh, berikan contohnya?

Jawab:

1. Multikulturalisme yang tersusun dari tiga kata, multi yang berarti majemuk
atau beragam atau plural; kultur yang biasa diterjemahkan menjadi
budaya; dan isme yakni paham atau ideologi yang dianut. Dengan
demikian, secara sederhana, multikulturalisme bermakna paham yang
menerima kemajemukan budaya. Dengan begitu, multikulturalisme
mengagungkan kebersamaan dalam keragaman; kesejajaran dalam
perbedaan; keseimbangan dalam keanekaan; atau juga rasa saling
memahami dan menerima realitas perbedaan kultural yang ada.

Multikulturalisme adalah sebuah konsep yang penting pada perkembangan


masyarakat Indonesia setelah masa kolonial. Kenyataan menunjukkan
bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari beragam budaya yang harus hidup
berdampingan dalam satu kesatuan unit politik, negara. Untuk memahami
multikulturalisme kita perlu memahami perbedaannya dengan konsep
pluralism karena dalam sehari-hari konsep multikultur dan plural
digunakan secara tumpang tindih.

Multikultralisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan


mengagungkan perbedaan, yang mencakup perbedaan-perbedaan
individual dan perbedan secara budaya. Multikulturalisme menjadi acuan
keyakinan untuk terwujudnya pluralisme budaya, dan terutama
memperjuangkan kesamaan hak dari berbagai golongan minoritas baik
secara hukum maupun secara sosial. Menurut Bhikhu Parekh,
multikulturalisme bukan sebuah doktrin politik maupun teori filsafat
tentang dunia dan dunianya, melainkan sebuah perspektif tentang
kehidupan manusia.
Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta
penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip
Lubis, 2006:174), sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara
kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991,
Watson 2000).

Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan,


penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk
dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-
cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan
mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A.
Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho‘ Muzhar).

Demikian pula menurut Parsudi Suparlan, akar kata multikulturalisme


adalah kebudayaan. Kebudyaan dalam konteks ini harus dipandang
sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu,
multikulturalisme tercermin dalam interaksi yang ada dalam berbagai
struktur kegiatan kehidupan manusia, baik itu kehidupan sosial, ekonomi,
politik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang
bersangkutan.

Secara umum multikulturalisme biasanya berhubungan dengan


konsep etnisitas. Menurut H.A.R. Tilaar, multikulturalisme pada
masa modern, terutama dalam era globalisasi, berbeda dengan
multikulturalisme pada masa lalu. Multikulturalisme modern di
dalam era globalisasi bersifat terbuka dan melihat ke luar.
Multikulturalisme tidak hanya berarti beragamnya kelompok etnis
dalam sebuah negara, tetapi juga seluruh kelompok etnis yang
beragam di luar batas-batas negara, termasuk di dalamnya
perkembangan agama, isu gender, dan kesadaran kaum marjinal.
Bagaimana seseorang dapat memiliki kesadaran multikultur adalah
hasil dari perkembangan pribadi seseorang yang bangga terhadap
budayanya, namun dapat menghargai budaya lain dalam ikatan
komunitas yang lebih luas. Kesadaran multikultural berarti
seseorang mempunyai kesadaran serta kebanggaan memiliki dan
mengembangkan budaya komunitasnya sendiri, namun demikian
dia akan hidup berdampingan secara damai, bahkan saling bekerja
sama dan saling menghormati dengan anggota kelompok lain yang
berbeda budaya.
Bhikhu Parekh menekankan bahwa ada beberapa hal yang menjadi faktor-
faktor kunci untuk memahami tentang multikulturalisme, yaitu:
1. Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dalam artian bahwa
manusia tumbuh berkembang dan hidup dalam dunia yang terstruktur
oleh budaya, kemudian manusia mengatur hidup dan hubungan
sosialnya dalam suatu kerangka sistem makna tertentu, dan
menempatkan identitas budaya sebagai sesuatu yang bernilai dalam
hidupnya.
2. Budaya yang berbeda juga menggambarkan sistem makna dan visi
tentang hidup yang baik, yang berbeda antara satu budaya dengan
budaya yang lain. Artinya, sulit menentukan apakah suatu budaya
lebih baik daripada budaya yang lain. Setiap kebudayaan berhak untuk
dihargai karena budaya itu sendiri berarti bagi anggotanya dan budaya
mencerminkan kekuatan kreatif. Tidak ada kebudayaan yang sempurna
dan berhak untuk memaksa kebudayaan lain, sementara perubahan
budaya yang baik selalu datang dari komponen dalam budaya itu
sendiri.
3. Pada dasarnya, hampir semua kebudayaan adalah plural, artinya
kebudayaan mencerminkan hasil interaksi yang terus-menerus antara
beragam tradisi dan berbagai cabang pemikiran. Sulit untuk
menentukan sebuah kebudayan yang murni ( sui generis). Kebudayaan
tumbuh dan berkembang dari interaksi, baik secara sadar maupun tidak
sadar dengan kebudayaan lain. Sebagian mendefinisikan identitas
mereka dalam kerangka apa yang mereka pandang sebagai sesuatu
yang penting dan baik bagi mereka (significant others) dan sedikitnya
sebagai asal-muasalnya dapat dikatakan multikultur.

Menurut Parekh (2001), ada tiga komponen multikulturalisme, yakni


kebudayaan, pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons
pluralitas itu. Multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik,
melainkan cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua
negara di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan—artinya
perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke
tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu
harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik
pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara.

Multikulturalisme adalah sebuah perspektif yang mengakui


keberagaman budaya dalam suatu negara dan mempromosikan posisi
yang setara untuk semua kebudayan.
Multikulturalisme menolak cara pandang yang memaksakan anggota
kelompok budaya minoritas untuk mengikuti yang dominan. Sebagai
contoh, di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru, ada larangan
bagi warga Tionghoa untuk mengekspresikan budayanya secara
terbuka. Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 menjadi dasar
hokum yang melarang warga Tionghoa melaksanakan tradisi budaya
dan keagamaannya secara terbuka. Pemerintah pada saat itu khawatir
bahwa ekspresi tradisi budaya warga Tionghoa dapat mengancam
persatuan mereka dengan warga pribumi.

Multikulturalisme justru diasosiasikan dengan perayaan atas


keberagaman. Dalam kasus warga Tionghoa, hal ini terjadi ketika
Abdurrahman Wahid, atau lebih dikenal dengan Gus Dur menjabat
sebagai presiden. Ia mencabut instruksi Presiden Nomor 14 Tahun
1967 dan menggantikannya dengan Keputusan Presiden Nomor 19
Tahun 2001 yang meresmikan Imlek, hari raya warga Tionghoa
sebagai hari libur fluktuatif. Era kepemimpinan Gus Dur menjadi
periode sejarah penting bagi warga Tionghoa karena memberikan
kepada mereka untuk kebebasan berekspresi dalam hal tradisi budaya
mereka di arena publik.

Masyarakat multikultural lebih menekankan pada kesederajatan dan


kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hakhak dan
eksistensi budaya yang lain. Dalam faham ini terkandung aspek
pengakuan dan penghormatan yang tulus akan martabat manusia yang
hidup dalam komunitas dengan kebudayaannya masing-masng yang
unik (Mahfud, 2006: XIX-XX). Multikulturalisme mengandung
gagasan atau ide-ide, cara pandang, kebijakan, penyikapan, dan
tindakan yang dilakukan oleh suatu masyarakat atau negara yang
memiiki keberagaman atau kemajemukan, baik dari segi etinis,
budaya, agama, dan sebagainya. Namun demikian, dibalik perebdaan
tersebut terkandung cita-cita kolektif, yakni bagaimana membangun
dan mengembangkan semangat kebangsaan dan nasionalisme yang
sama dan mempunyai kebanggaan untuk saling mempertahankan
kemajemukkan sehingga keharmonisan sosial tetap terjaga secara
berkesinambungan.

Menurut Bhikhu Parekh, seorang tokoh multikulturalis dan pakar teori


politik yang namanya dikenal luas secara internasional di dunia ilmu-
ilmu sosial, dalam bukunya yang terbaru berjudul A New Politics of
Identity: Political Principles for an Interdependent World (2008)
mengatakan bahwa salah satu tantangan masyarakat multikultural
dalam kehidupan global adalalah bagaimana membangun prinsip
politis mendasar yang bisa memberi arah bagi sebuah dunia global.
Prinsip dasar yang dimaksud Parekh adalah sebuah politik identitas
yang baru. Globalisasi memang menantang identitas-identitas
tradisional seperti identitas suku, budaya, agama atau bahkan identitas
nasional. Tantangan itu terjadi karena globalisasi tampak menghapus
batas-batas suku, budaya, agama, negara dan batas-batas sosial lain
seperti gender atau orientasi seksual. Di hadapan globalisasi, batas-
batas tradisional yang memisahkan antar suku, budaya, agama dan
negara tampak menghilang. Menghadapi tantangan global seperti ini,
suku, budaya, agama, negara serta batas sosial yang lain, tidak ada
pilihan lain kecuali beroperasi di dalam sebuah konteks historis yang
baru, mengikuti semua perubahan dan mengambil langkah pemahaman
baru termasuk pemahaman atas krisis identitas tradisional yang lama
melekat dalam diri anggota masyarakat.

Multikulturalisme merupakan acuan utama bagi terwujudnya


masyarakat Indonesia yang multikultural yang sebagai ideologi
mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajadan baik
secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam hal ini
multikulturalisme dipakai sebagai kerangka acuan untuk membangun
Indonesia sebagai sebuah bangsa dengan kebudayaan nasional
Indonesia, yang bermodalkan kebudayaan-kebudayaan daerah.

Penggunaan istilah multikulturalisme dengan demikian melibatkan


perujukan pada pluralitas budaya serta fenomen bagaimana pluralitas
budaya ini direspons. Dengan demikian pada dasarnya
multikulturalisme merupakan cara pandang kehidupan manusia yang
relevan diterapkan dimanapun tempat, mengingat kenyataan bahwa
hampir semua negara di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan,
dimana perbedaan lantas menjadi azas. Terlebih mengingat fenomen
kebudayaan di era globalisasi, dimana arus gerakan manusia, barang-
barang dan konsumsi dan informasi mengalir begitu deras, dan
bergerak sebebasnya dalam skala dunia, sambil menembus batas-batas
geografis negara dan bangsa, yang menjadikan batas-batas entitas
kemasyarakatan yang tadinya serba tetap dan pasti, menjadi cair,
bahkan lenyap hilang sepenuhnya. Dalam konteks pengaruh proses
globalisasi, multikulturalisme mesthi diterjemahkan sebagai politik
pengelolaan perbedaaan kebudayaan warga negara. Sebagai model
kebijakan, multikulturalisme perlu dikembangkan bagi kepentingan
integrasi nasional Indonesia.
Multikulturalisme dalam era Globalisasi adalah banyaknya budaya,
disuatu masyarakat. Diakibatkan salah satunya oleh globalisasi, karena
globalisasi atau mendunia, menyebabkan masuknya budaya asing atau
luar negeri masuk kesuatu negara tertentu. Masuknya budaya asing itu
menyebabkan munculnya pencampuran budaya asing dengan budaya
asing, atau juga bisa menambahkan budaya asing ke daerah tertentu,
hingga munculnya banyak ragam budaya yang disebut
multikuluralisme.

Contoh: Budaya musik DJ, yang berasal dari negara asing atau negara
lain, yang masuk negara indonesia, sehingga masuk di indonesia, maka
orang indonesia ada yang mengikutinya. Maka musik DJ di indonesia
ada dan berkembang. Sehingga menambhan ragam budaya musik di
Indonesia.

2. Stereotipe adalah suatu citra yang dilekatkan pada suatu kelompok tertentu
yang belum tentu benar. Misalnya, orang Minang dikonotasikan pelit,
orang Tionghoa di Indonesia dikonotasikan licik, orang Jawa
dikonotasikan malas, perempuan dikonotasikan emosional, atau laki-laki
dikonotasikan rasional.

Stereotip adalah penilaian yang tidak seimbang terhadap suatu kelompok


masyarakat. Penelaian itu terjadi karena kecenderungan untuk
menggeneralisasi tanpa diferensiasi. De Jonge dalam Sindhunata (2000)
mengatakan bahwa bukan rasio melainkan perasaan dan emosilah yang
menentukan yang menentukan stereotip. Barker (2004:415) mendefiniskan
stereotip sebagai representasi terang- terangan namun sederhana yang
mereduksi orang menjadi serangkaian ciri karakter yang dibesar-besarkan,
dan biasanya bersifat negatif. Suatu representasi yang memaknai orang
lain melalui operasi kekuasaan.

Bagi etnis Tionghoa dan Madura, masalah stereotype ini penting


diperbincangkan dalam konteks relasinya dengan etnis mayoritas di
Indonesia, dimana mereka tinggal. Peristiwa kekerasan terhadap yang
pernah dialami etnis Tionghoa dan Madura dapat dibaca sebagai
akumulasi berbagai prasangka rasial, dan berbagai stereotype yang
dilekatkan pada dirinya.

Hubungan dan interaksi antar suku bangsa yang majemuk di Indonesia,


pada diri seorang individu seringkali muncul gambaran subyektif
mengenai suku-bangsa lain. Gambaran subyektif mengenai suku-bangsa
lain atau yang lazim disebut dengan stereotype (Purwanto, 2006:2).
Manstead dan Hewstone (1996:628) dalam The Blackweel Encyclopedia of
Social Psychology, mendefinisikan stereotip sebagai: …societally shared
beliefs about the characteristics (such as personality traits, expected
behaviors, or personal values) that are perceived to be true of social groups
and their members. Keyakinan-keyakinan tentang karakteristik seseorang
(ciri kepribadian, perilaku, nilai pribadi) yang diterima sebagai suatu
kebenaran kelompok sosial.

Contoh stereotip ini muncul dalam gambaran bahwa orang kulit hitam
(negro), cenderung kurang ajar, orang Madura gampang marah dan
cenderung kasar, orang Italia cenderung romantis, orang jawa suka
‘berbasa-basi‘ dalam berkomunikasi dengan orang lain. Gambaran ini pada
sekelompok orang tertentu dianggap sebagai kebenaran.

Stereotype dibagi menjadi dua jenis, yakni heterostereotype dan


autostereotype. Heterostereotype merujuk pada stereotip yang dimiliki
yang terkait dengan kelompok lain, sementara autostereotype adalah
stereotip yang terkait dengan dirinya sendiri (Triandis,1994:107;
Matsumoto, 2003: 69). Stereotip ini tidak selalu negatif, namun juga
kadang mengandung gambarangamabaran positif. Stereotip ini bias
berbentuk pandangan positif ataupun negatif, biasa jadi seluruhnya benar,
namun bisa juga seluruhnya salah (Matsumoto, 2003: 69)..

Secara psikologis perkembangan stereotip terjadi terancang dan terbangun


atas berbagai proses kejiwaan manusia, yakni: ―selective attention,
appraisal, concept formation and categorization, attributions, emotion, and
memory (Matsumoto, 2003: 76). Pemilihan perhatian, pendekatan, konsep
formasi dan ketegorisasi, atribusi, emosi dan memori. Dalam kaitan ini
cara seseorang memilih perhatian, memandang, mempresepsi dan
menkategori kan individu yang lain sangat berperan dalam membangun
stereotip terhadap kelompok lain. Selain itu cara kita mengkaitkan perilaku
kita dengan perilaku orang lain, emosi serta pengalaman kita terhadap
kelompok lain.

Dalam kenyataan sehari-hari, stereotip ini kemudian berfungsi sebagai


pemenuhan kebutuhan psikologis seseorang untuk menginternalisasi nilai
bersama kepada individu, juga digunakan untuk membangun identitas
bersama, dan juga memberi justifikasi tindakan seseorang terhadap
kelompok sosial lain. Dalam kaitan hubungan antar keleompok stereotype,
sangat determinan dalam membangun hubungan antara kelompok sosial
(Manstead dan Hewstone, 1996:629). Berbagai stereotip negatif pada
akhirnya menimbulkan prasangka yang berujung pada diskriminasi,
bahkan kekerasan terhadap kelompok sosial tertentu. Berbagai prasangka
sosial, diskriminasi dan kekerasan terhadap etnik minoritas di Indonesia
menunjukkan itu semua. (Danandjaja, 2003, Poerwanto, 2006; Nagara,
Hanum dan Listyaningrum, 2008: 66).

Warga etnis Madura, terutama yang perantauan sebenarnya juga


mengalami masalah yang serupa dengan yang dialami etnis Tionghoa.
Stereotip ini yang alamatkan pada etnis Madura menimbulkan suatu
penilaian dari etnis lain, dimana penilaian ini seringkali tidak diuji
kebenarannya dulu. Hingga bangkitlah berbagai fantasi yang muncul
terhadap etnis Madura. Dan sebagaimana kasus terhadap etnis Tionghoa,
stereotip ini telah berkembang sedemikian rupa semenjak era kolonialisme
Belanda (Sindhunata, 200:358).

Stereotip adalah prasangka penilaian buruk kelompok lain. Penilaian


tersebut tidak dilandaskan atas fakta yang terjadi sebenarnya dan
menganggap tiap-tiap anggota kelompok lain mempunyai sifat yang sama.

Contohnya; kelompok pedagang kaki lima terlibat konflik terhadap


pegawai ketertiban kota. Kelompok pedagang beranggapan bahwa
pemerintah kotayang diwakili oleh para pegawai ketertiban selaku
kelompok manusia yang pemikirannya mau menang sendiri, tanpa
memihak kepada rakyat kecil. Anggapan itu ditujukan kepada semua
pegawai ketertiban, meskipun di antara para pegawai itu adaorang-orang
yang sehari-harinya baik hati dan penuh perasaan terhadap kesusahan
pedagang kaki lima.

3. Bhikhu Parekh menitikberatkan kesetaraan pada karakteristik sebagai


makhluk kultural. Manusia memiliki beberapa kemampuan dan kebutuhan
yang sama, tetapi perbedaan kultural yang dimiliki, membentuk dan
menyusun kemampuan dan kebutuhan setiap manusia secara berbeda dan
bahkan, dapat membuat kemampuan dan kebutuhan baru yang berbeda.
Manusia juga memiliki identitas bersama yang dimediasi oleh budaya.
Manusia adalah makhluk yang sama, tetapi juga berbeda. Oleh karena itu,
manusia harus diperlakukan setara karena dua karakteristik sebagai
makhluk sama dan sebagai makhluk yang berbeda. Dengan argumentasi
ini maka kesetaraan bukan berarti keseragaman perlakuan, tetapi lebih
kepada interaksi antara keseragaman dan perbedaan.

Suatu kelas seorang siswa yang menganut agama Hindu di Bali


meminta izin tidak masuk kelas bukan karena sakit, tetapi untuk
mengikuti upacara potong gigi yang merupakan ritual penting
yang harus ia jalani, namun siswa-siswi lain yang berasal dari
suku dan agama lain, menuntut bahwa mereka juga harus diberi
izin untuk tidak masuk. Demi kesetaraan maka sang guru
memberikan izin kepada semua siswa untuk tidak masuk satu hari,
untuk menjalankan ritual budaya masing-masing yang belum tentu
ada.

Contoh dalam kasus di atas, berarti sang guru tiadak perlu mengambil
kebijakan untuk memberikan hari libur yang sama kepada seluruh siswa
dan siswi tanpa melihat kepentingan dan kebutuhan dari masing-masing
ritual budaya yang berbeda.

Hak yang setara tidak berarti adanya hak-hak yang sama karena individu
yang memiliki latar belakang budaya dan kebutuhan yang berbeda,
mungkin membutuhkan hak-hak yang berbeda untuk menikmati
kesetaraan. Kesetaraan harus mampu tidak saja menolak perbedaan-
perbedaan yang tidak relevan, namun juga harus diikuti oleh pengakuan
yang penuh terhadap perbedaan-perbedaan yang sah dan relevan dalam
konteksnya. Kesetaraan diwujudkan dalam beberapa tngkatan:

1. Kesederajatan dalam hak-hak dan menghargai perbedaan


2. Kesederajatan dalam kesempatan, kepercayaan diri, dan kemampuan
diri
3. Kesederajatan dalam kekuasaan sebagai makhluk hidup, kemampuan
dasar untuk berkembang.

Kesetaraan Bhikhu ‘Parekh adalah kesetaraan dalam keberagaman’.


Contohnya, masyarakat yogya termasuk masyarakat multikultural, pada
masyarakat yogya terdirii dari banyak suku. Seperti suku, tionghoa, batak,
minangkabau, daya, bali, flores, papua. Walaupun mayoritas suku jawa,
namun memiliki toleransi yang tinggi Kesetaraan Bhikhu ‘Parekh adalah
kesetaraan dalam keberagaman’. Contohnya, masyarakat yogya termasuk
masyarakat multikultural, pada masyarakat yogya terdirii dari banyak
suku. Seperti suku, tionghoa, batak, minangkabau, daya, bali, flores,
papua. Walaupun mayoritas suku jawa, namun memiliki toleransi yang
tinggi.

Dan memiliki latar belakang yang berbeda-beda, gender, kelas sosial,


agama, ras, budaya, dan bahasa yang beragam juga di yogyakarta. Dan
disebut kota pelajar, karena banyak pendatang dari luar yogya dan jawa
untuk melakukan kuliah di yogyakarta. Dengan itulah masyarakat yogya
bisa disebut masyarakat Multikulturalisme dan sesuai dengan kesetaraan
menurut Bhikhu Parekh.
DAFTAR PUSTAKA

Dra. Ana Irhandayaningsih, M.Si. KAJIAN FILOSOFIS TERHADAP


MULTIKULTURALISME INDONESIA
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/3988/3664
(diakses pada 28 Oktober 2020, pukul 09:33WIB)

Hadi. 2014. Beragama di Kampung Multikultural (1) : Meluruskan Makna


Mulkulturalisme. https://liputanislam.com/kajian-islam/beragama-di-
kampung-multikultural-1-meluruskan-makna-mulkulturalisme/ (diakses
pada 28 Oktober 2020, pukul 11:28 WIB)

https://heart.lezzat.id/jelaskan-arti-kesetaraan-menurut-bikhu-parekh-
berikan-contohnya/ (diakses pada 28 Oktober 2020, pukul 13:17 WIB)

https://heart.lezzat.id/jelaskan-apa-yang-dimaksud-dengan-stereotipe-
berikan-contohnya/ (diakses pada 28 Oktober 2020, pukul 13:22 WIB)

Suandi, H., dkk. 2020. ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR Edisi 2 BMP
MKDU4109. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka

Murdianto. 2018. Stereotipe, Prasangka dan Resistensinya (Studi Kasus


pada Etnis Madura dan Tionghoa di Indonesia). Qalamuna. Vol. 10, No. 2

https://ejournal.insuriponorogo.ac.id/index.php/qalamuna/article/download
/148/140 (diakses pada 28 Oktober 2020, pukul 09:17 WIB)

Sholahudin, Umar. 2019. GLOBALISASI: ANTARA PELUANG DAN


ANCAMAN BAGI MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA.
Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis. Vol 4, No 2,
http://journal2.um.ac.id/index.php/jsph/article/download/9212/pdf (diakses
pada 27 Oktober 2020, pukul 23:26 WIB)

Wiloso , P. G. MULTIKULTURALISME DALAM PERSPEKTIF


ANTROPOLOGI1
http://repositori.kemdikbud.go.id/1116/1/Multikulturalisme_Pamerdi.pdf
(diakses pada 28 Oktober 2020, pukul 12:08 WIB)

Anda mungkin juga menyukai