Anda di halaman 1dari 8

MULTIKULTURALISME

1. Pengertian Multikulturalisme
Definisi

Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi


dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu. [1]
 “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat
diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai
pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi
Azra, 2007)[2]
 Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam
kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi
mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta
kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural
communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world,
system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and
practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).[3]
 Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas
budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis
orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174)[4]
 Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan
baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay
2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000)[5]
 Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan
tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama
dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat
kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan
kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).[6]

2. Sejarah Multikulturalisme
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah
menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19.
Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah
‘monokultural’ juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum
terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya
keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara
mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.

Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris


(English- speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971.[7] Kebijakan
ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi,
dan sebagai konsensus sosial di antara elit.[rujukan?] Namun beberapa tahun belakangan,
sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan
mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. [8] Pengubahan kebijakan tersebut juga
mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara
lainnya.

3. Jenis Multikulturalisme
Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktek
multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama
Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007,
meringkas uraian Parekh):

1. Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai


kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi
yang hanya minimal satu sama lain.
2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan
yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan
kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-
undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan
memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan
mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak
menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara
Eropa.
3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok
kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan
dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif
bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan
cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan;
mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat
dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana
kelompok- kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan
kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan
dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama
sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi
terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam
percobaan- percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan
kultural masing- masing. [9]

4. Multikulturalisme di Indonesia
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang
sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal
dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai
sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka
mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan
sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika
digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan
pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat
multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu
kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat
diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat
yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara
satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan
kebudayaannya masing- masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.

Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi mengenai


multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan
dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan-
yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan
multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga
dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of
recognition” (Azyumardi Azra, 2007). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa
multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya
seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.
Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa
inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap
suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap
orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang
ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap
orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.

Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari


kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut
kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni
oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat
tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja
hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.

Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan


masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu
kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam
pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya
multikulturalisme di masyarakat.

5. Multikulturalisme Dan Pluralisme Dalam Perspektif Islam


Multikulturalisme dan Pluralisme adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini.
Allah menciptakan alam ini di atas sunnah multikultural dan pluralitas dalam sebuah
kerangka kesatuan. Isu multikulturalisme dan pluralisme adalah setua usia manusia dan
selamanya akan ada selama kehidupan belum berakhir, hanya saja bisa terus
menerus berubah, sesuai perkembangan zaman.
Multikultural dan Pluralitas pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan itu sendiri,
yang tidak bisa dihindari dan ditolak. Karena multikultural dan pluralitas merupakan
sunnatullah, maka eksistensi atau keberadaanya harus diakui oleh setiap manusia.
Namun pengakuan ini dalam tataran realitas belum sepenuhnya seiring dengan
pengakuan secara teoritik dan kendala-kendala masih sering dijumpai di lapangan.
Wacana tersebut sering dijumpai di dalam Al-Qur'an ketika berbicara tentang
kemajemukan masyarakat seperti dalam QS al-Hujurat:13 berikut ini:
‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوُأنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبا ً َوقَبَاِئ َل لِتَ َعا َرفُوا ِإ َّن َأ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هَّللا ِ َأ ْتقَا ُك ْم ِإ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم‬
)13( ‫خَ بِي ٌر‬
Artinya: Wahai umat manusia, sesungguhnya, Kami ciptakan kalian dari jenis laki-laki
dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah
orang yang bertaqwa.

Karena pluralitas merupakan bagian dari multikultural, maka pluralisme diartikan


sebagai "menerima perbedaan" atau "menerima perbedaan yang banyak". Dalam
konteks penggunaan kata pluralitas dalam tulisan ini penulis mengartikannya sebagai
keberagamaan termasuk keberagaman agama.
Dalam kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan kepentingan ideologis,
ekonomis, sosial-politik, agamis dan lainnya, manusia menjalani kehidupan yang
bersifat pluralitas secara ilmiah, tanpa begitu banyak mempertimbangkan sampai pada
tingkat "benar tidaknya" realitas pluralitas yang menyatu dalam kehidupan sehari- hari.
Baru ketika manusia dihadapkan dengan berbagai kepentingannya (organisasi, politik,
agama, budaya dan lainnya) mulai mengangkat isu pluralitas pada puncak kesadaran
mereka dan menjadikannya sebagai pusat perhatian. Maka pluralitas yang semula
bersifat wajar, alamiah berubah menjadi hal yang sangat penting.
Seiring dengan maraknya proses liberalisasi sosial politik yang menandai lahirnya
tatanan dunia abad modern, dan disusul dengan liberalisasi atau globalisasi (penjajahan
model baru) ekonomi, wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membukakan
diri untuk diliberalisasikan. Agama yang semenjak era reformasi gereja abad ke-15
wilayah juridiksinya telah diredusir, dimarjinalkan dan didomestikasikan sedemikian
rupa, yang hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat,
ternyata masih diangap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi
terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis dan menjunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan, dan
pluralisme. Seakan-akan semua agama secara general adalah musuh demokrasi,
kemanusiaan, dan HAM. Sehingga agama harus mendekonstruksikan diri (atau
didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut bahasa kaum liberal, merdeka dan
bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta tidak sesuai lagi
semangat zaman (Anis Malik Thoha, 2008: 65).
Padahal kalau dipahami secara arif, terminologi multikultural dan pluralisme
sebenarnya sudah lama dikenal dalam pandangan Islam terutama dalam Al-Qur'an dan
Hadits, tetapi baru popular sejak kurang lebih dua dekade terakhir abad ke 20 yang
lalu, yaitu ketika terjadi perkembangan penting dalam kebijakan internasional Barat
yang baru yang memasuki sebuah fase yang dijuluki Muhammad Imarah sebagai
"marhalah al-Ijtiyāh" (fase pembinasaan). Yaitu sebuah perkembangan yang
prinsipnya tergurat dan tergambar jelas dalam upaya Barat yang habis-habisan guna
menjajakan ideologi modernnya yang dianggap universal, seperti demokrasi,
pluralisme, HAM, pasar bebas dan mengekspornya untuk konsumsi luar guna
berbagai kepentingan yang beragam (Anis Malik Thoha, 2005: 180). Konsep
pluralisme bersyarat disebutkan oleh Allah SWT dalam QS : al-Baqarah: 62.
‫ص{{الِحا ً فَلَهُ ْم‬ َ ‫ارى َوالصَّابِِئينَ َم ْن آ َمنَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآل ِخ ِر َو َع ِم َل‬
َ ‫صالِحا ً َو َع ِم َل‬ َ ‫ص‬َ َّ‫ِإ َّن الَّ ِذينَ آ َمنُوا َوالَّ ِذينَ هَادُوا َوالن‬
ٌ ْ‫َأجْ ُرهُ ْم ِع ْن َد َربِّ ِه ْم َوال َخو‬
)62( َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َوال هُ ْم يَحْ َزنُون‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin (penyembah bintang), siapa saja diantara mereka
yang benar- benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka
akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka,
dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Secara sepintas ayat ini menunjuk kepada jaminan Allah atas keselamatan semua
golongan yang disebutkan dalam ayat itu. Jika demikian halnya, dimana letak
keistimewaan umat Islam kalau semuanya akan selamat? Lantas, bagaimana dengan
surat Ali Imran: 85 yang berbunyi:
ِ ‫ْالم ِدينا ً فَلَ ْن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوهُ َو فِي اآل ِخ َر ِة ِم ْن ْالخ‬
)85( َ‫َاس ِرين‬ ِ ‫َو َم ْن يَ ْبت َِغ َغي َْر اِإل س‬
Siapa yang memeluk agama selain Islam, maka tidak akan diterima dan di akhirat
termasuk orang-orang yang merugi.
Dan Surat Ali Imran: 19 yang berbunyi:
)19( ....... ‫ِإ َّن ال ِّدينَ ِع ْن َد هَّللا ِ اِإل سْال ُم‬
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam

Pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok: aladzīna āmanū (orang
yang beriman), alladzīna hādū (umat yahudi), al-nashārā (umat Kristen), dan al-
shābiīn). Para pakar tafsir menyadari kesulitan menafsirkan ayat ini, mengingat ayat-
ayat lain menunjukkan hanya Islamlah yang dijanjikan keselamatan oleh Allah. Al-
Thabari, ahli tafsir kenamaan abad kesepuluh yang banyak memberikan inspirasi buat
ahli-ahli tafsir selanjutnya berpendapat bahwa jaminan Allah tersebut bersyaratkan tiga
hal: beriman, percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu
termasuk beriman kepada Allah dan Muhammad SAW atau dengan kata lain yang
dimaksud dengan ayat ini adalah mereka yang telah memeluk Islam (At-Thabari, 2000:
143).
Sementara Fakhruddin al-Razhi, pakat tarfsir abad kedua belas, sambil memperkuat
pendapat Thabari menyatakan bahwa ketiga syarat yang dikemukakan dalam ayat
tersebut tak lain adalah esensi ajaran Islam. Tak berbeda dengan Zamakhsari, pakar
tafsir yang hidup pada abad kedua belas, ia tidak saja membatasi pada ketiga
syarat di atas. Bahkan, lebih jauh lagi, ia menekankan bahwa dari kelompok pertama
umat Islam juga ada yang belum memenuhi persyaratan tersebut. Sebab, di antara
mereka ada yang beriman di mulut saja (munafik). Ibn Katsir yang hidup dua abad
kemudian lain lagi pendapatnya. Ia seolah setuju dengan sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa ayat tersebut telah dinasikh
(diganti) dengan turunnya ayat ke 85 surat al-Baqarah itu: Hanya Islam yang diterima
Allah sebagai agama yang diridhai (Alwi Shihab, 1999: 78-90).
Penafsiran modern juga menunjukkan keragaman pandangan. Muhammad Abduh
berpendapat bahwa syarat pertama, yakni beriman kepada Allah SWT tidak harus
dibatasi dengan keimanan menurut cara Islam. Rasyid Ridha murid Abduh
memperkuat pendapat gurunya. Ia mengakui keimanan sejati kepada Allah dapat juga
ditemukan di luar Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, mungkin yang
dimaksudkan adalah orang-orang terdahulu yang beriman kepada Allah sebelum
diutusnya Nabi Muhammad SAW.
Al-Thabathabai lain pula penafsirannya. Baginya, Allah tidak memandang pada agama
tertentu tapi yang penting adalah substansi dan esensi yang terkandung dalam agama
itu. Selama tiga syarat dalam ayat tersebut terpenuhi, janji tuhan itu akan terlaksana.
Pendapat Al-Thabathabai ini juga dapat dirasakan pada tulisan-tulisan Fazlurrahman
dan yang sejalan dengannya, khususnya mereka yang berusaha untuk menunjukkan
inklusivisme Islam. Jelas pakar tafisr terdahulu lebih menekankan pandangan
eklusivistik dan hati-hati. Karena itu, mereka membatasi hanya Islam sebagai satu-
satunya agama yang akan mendapat jaminan keselamatan.
Kendati sebagian pakar tafsir modern memberi peluang adanya kemungkinan jaminan
Allah kepada kelompok lain yang memenuhi syarat tersebut perlu dicatat sebagaimana
ditegaskan oleh Sayyid Qutub salah seorang eksponen tafsir modern – validitas
keimanan kelompok-kelompok selain Islam hanya terbatas pada masa pra-Muhammad
saw.
Islam adalah agama yang memandang setiap penganutnya sebagai dai bagi dirinya
sendiri dan orang lain. Karena Islam tidak menganut adanya hierarki religius, setiap
Muslim bertanggung jawab atas perbuatannnya sendiri di hadapan Allah. Namun
demikian, karena ajaran Islam bersifat universal dan ditujukan kepada seluruh umat
manusia, kaum Muslim memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa ajarannya
sampai kepada seluruh manusia di sepanjang sejarah (Alwi Shihab, 1999: 82-83).
Agama Islam sebagai sebuah tatanan nilai, sebenarnya membutuhkan medium budaya
agar keberadaannya membumi dalam kehidupan umat pemeluknya dan agama
diharapkan menjadi institusi bagi pengalaman iman kepada sang Khaliq. Disini agama
menawarkan agenda penyelamatan manusia secara universal, namun disisi yang lain
agama sebagai sebuah kesadaran makna dan legitimasi tindakan bagi pemeluknya,
dalam interaksi sosialnya banyak mengalami perbedaan hermeunetik sehingga tidak
pelak memunculkan konflik.
Pluralitas agama di satu sisi, dan heterogenitas realitas sosial pemeluknya di sisi yang
lain, tidak jarang menimbulkan benturan- benturan dalam tataran tafsir atau dogma
agama maupun dalam tataran aksi. Disadari atau tidak, konflik kemudian menjadi
problem kebangsaan dan keagamaan yang tidak bisa hanya diselesaikan lewat
pendekatan teologi normatif. Akan tetapi diperlukan pendekatan lain yaitu sikap
kearifan sosial di antara kelompok kepentingan dan kalangan pemeluk paham atau
agama.
Ayat-ayat yang menyebutkan tentang pluralitas agama, di antaranya adalah QS
AlBaqarah: 62, 111-113, 131-132, QS Al- Maidah:69, QS: Al-Hajj: 17, QS Ali Imran:
19 dan 85, QS an-Nisa': 123, QS al-Ankabut: 46, QS al-Ankabut: 61, surat az-
Zukhruf: 87, dan QS Al-Maidah: 48. Saya kutip salah satunya adalah QS al- Maidah:
48
‫ب َو ُمهَ ْي ِمن{ا ً َعلَيْ{ ِه فَ{احْ ُك ْم بَ ْينَهُ ْم بِ َم{{ا َأن{ َز َل هَّللا ُ َوال تَتَّبِ{ ْع‬
ِ ‫ص{دِّقا ً لِ َم{ا بَ ْينَ يَ َديْ{ ِ{ه ِم ْن ْال ِكتَ{ا‬
َ ‫ق ُم‬ ْ ِ‫َ{اب ب‬
ِّ ‫{ال َح‬ َ ‫ك ْال ِكت‬ َ ‫َوَأن َز ْلنَا ِإلَ ْي‬
ِ ‫ق لِ ُكلٍّ َج َع ْلنَا ِم ْن ُك ْم ِشرْ َعةً َو ِم ْنهَاجا ً َولَوْ َشا َء هَّللا ُ لَ َج َعلَ ُك ْم ُأ َّمةً َو‬
‫اح َدةً َولَ ِك ْن لِيَ ْبلُ َو ُك ْم فِي َم{{ا‬ ِّ ‫ك ِم ْن ْال َح‬َ ‫َأ ْه َوا َءهُ ْم َع َّما َجا َء‬
)48( َ‫ت ِإلَى هَّللا ِ َمرْ ِج ُع ُك ْم َج ِميعا ً فَيُنَبُِّئ ُك ْم بِ َما ُكنتُ ْم فِي ِه ت َْختَلِفُون‬ ِ ‫آتَا ُك ْم فَا ْستَبِقُوا ْال َخي َْرا‬
Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

Kandungan QS Al-Maidah ayat: 48 ini dapat disimpulkan:

1. Agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidupnya dan pandangan hidupnya.
Pluralisme tidak berarti agama itu sama. Perbedaan merupakan keniscayaan.
2. Tuhan tidak menghendaki kamu mengikuti agama tunggal. Adanya keragaman
agama untuk menguji kita semua ujiannya adalah seberapa banyak kita
memberikan kebaikan pada umat manusia. Setiap agama bersaing untuk
memperebutkan kebaikan kepada umat manusia
3. Semua agama itu kembali kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Allah untuk
menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil
wewenang Allah dalam menyelesaikan perbedaan agama termasuk dengan fatwa
(Jalaluddin Rakhmat, 2006: 53).

Rasulullah SAW juga ditanya oleh seorang sahabat, tentang agama yang paling dicintai
oleh Allah SWT, sebagaimana teks hadits berikut:
« ‫ » ﺍﳊﻨﻴﻔﹼﻴﺔ ﺍﻟﺴﻤﺤﺔ‬: ‫ ﺃﻱ ﺍﻷﺩﻳﺎﻥ ﺃﺣﺐ ﺇﱃ ﻪﺍ ﻠﻟ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ؟ ﻗﺎﻝ‬: ‫ ﺳﺌﻞ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﻪﺍ ﻠﻟ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬: ‫ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ‬، ‫ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ‬
Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata: Rasul ditanya, agama apa yang paling dicintai
oleh Allah?. Rasul menjawab: Agama yang memerintahkan kepada kebaikan dan
melarang kebatilan dan agama yang penuh dengan toleransi (HR Dailami).

Pranala luar
1. Kajian Multikulturalisme Indonesia
2. Srinthi Media Perempuan Multikultural: Jurnal dua bulanan yang menggagas isu
perempuan dengan perspektif multikultural, lokalitas, dan siasat perempuan
3. Desantara Bimonthly Newsletter on Indonesian Multicultural Issues
4. News (10-Apr-2004): British Head of Commission for Racial Equality says the
term should be scrapped
5. Commentary and user comments dari Open Democracy – Multiculturalism:
translating difference
6. The Menace of Multiculturalism oleh Cameron McKenzie
7. Communities and Law: Politics and Cultures of Legal Identities oleh Gad Barzilai
8. Davis attacks UK multiculturalism – Berita dari BBC yang berhubungan dengan
multikulturalisme
9. From Paris to Cairo: Resistance of the Unacculturated
10. “Multiculturalism – the failed experiment” tygerland.net – oleh AS Heath, 2
November 2005
11. A Year of Living Dangerously: Remember Theo van Gogh, and shudder for the
future. oleh Francis Fukuyama
12. CICB Center of Intercultural Competence
13. Mute Magazine Vol 2 #2, Dis-integrating Multiculturalism
14. Thirty Years of Multiculturalism in Canada, 1971-2001 . Jack Jedwab, Executive
Director, Association for Canadian Studies. Analisis dari survey tentang
multikulturalisme.
15. Sebuah artikel tentang multikulturalisme di Australia.
16. Jurnal Internasional tentang Masyarakat Multikultural
17. polylog: Forum untuk Filosofi Interkultural
18. Kebudayaan Nasional, Pertarungan Monokulturalisme dan Multikulturalisme

Anda mungkin juga menyukai