Paradigma Multikulturalisme
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai inretaksi yang ada
dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, ekonomi
dan bisnis, dan politik, serta berbagai kegiatan lainnya didalam masyarakat yang bersangkutan. Kajian-
kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan
sumber-sumber daya akan memberi sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan
memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain
kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme
adalah sebuah konsep asing.
Lebih lanjut menurut Parsudi Suparlan konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan
dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri
masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan. Dalam masyarakat multikultur, setiap individu maupun masyarakat memiliki kebutuhan
untuk diakui (politics of recognition) yang menuntut terciptanya penghargaan tertentu secara sosial.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan
kebudayaan yang lain.
Menurut Bhiku Parekh 12 masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari
beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi
mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Musa Asy’arie mengatakan bahwa “multikulturalisme adalah
kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan
bermasyarakat”. Kearifan akan tumbuh jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama
dengan melihat realitas plural sebagai kepastian hidup yang kodrati. Kearifan dapat tumbuh baik dalam
kehidupan diri sebagai individu yang multidimensional maupun dalam kehidupan masyarakat yang lebih
kompleks. Dengan demikian, muncul suatu kesadaran bahwa keanekaragaman dalam realitas dinamika
kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak, diingkari, apalagi dimusnahkan.
Menurut Azra, “Multikulturalisme adalah landasan budaya yang terkait dengan pencapaian
civility (keadaban), yang amat esensial bagi terwujudnya demokrasi yang berkeadaban, dan keadaban
yang demokratis”. Keadaban atau civility yang dikemukakan oleh Azra sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yang menyatakan bahwa "kebudayaan Indonesia merupakan
puncak-puncak budaya dari masing-masing suku bangsa. Puncak-puncak kebudayaan dari suatu suku
bangsa merupakan unsur-unsur budaya lokal yang dapat memperkuat solidaritas nasional". Solidaritas
nasional terbentuk dari keadaban yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.13
Dengan pencapaian civility (keadaban) di masyarakat, maka akan terbentuk suatu kekuatan
solidaritas nasional. Pengembangan wawasan multikultural sebagaimana telah dipaparkan di atas mutlak
harus dibentuk dan ditanamkan dalam suatu kehidupan masyarakat yang majemuk. Jika hal tersebut tidak
ditanamkan dalam suatu masyarakat yang majemuk, maka kemajemukan akan membawa perpecahan dan
konflik. Indonesia sebagai bangsa yang multikultural harus mengembangkan wawasan multikultural
tersebut dalam semua tatanan kehidupan yang harmonis. Hal itu ditandaskan Djaka Soetapa ketika ia
menulis "...kemajemukan itu juga dapat menjadi bencana bagi bangsa Indonesia, karena kemajemukan
dapat menjadi sumber dan potensi konflik yang dapat mengganggu dan bahkan mengancam kesatuan dan
persatuan bangsa".
Selanjutnya, Bikhu Parekh membedakan lima macam multikulturalisme. Tentu saja pembagian
kelima bentuk multikulturalisme itu tidak "kedap air" (watertight), sebaliknya bisa tumpang tindih dalam
segi-segi tertentu:
Kedua, "multikulturalisme akomodatif", yakni masyarakat plural yang memiliki kultur dominan,
yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.
Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum dan
ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas
untuk mem pertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka; sebaliknya kaum minoritas tidak
menantang kultur dominan. Multikulturalisme akomodatif ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan
beberapa negara Eropa lain.
Pasang surut pengertian multikultural menurut Tilaar dapat dibedakan menjadi beberapa
pengertian yakni. Pengertian tradisional multikulturalisme yang disebut juga gelombang pertama aliran
multikulturalisme memiliki dua ciri utama yaitu: 1) Kebutuhan terhadap pengakuan (the need of
recognition), 2) Legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya.
2. Postkolonialisme
Pemikiran postkolonialisme melihat kembali hubungan antara bekas penjajah dengan daerah
jajahannya yang telah meninggalkan banyak stigma yang biasanya merendahkan kaum terjajah.
Pandangan-pandangan pos kolonialisme antara lain mengungkit kembali nilai-nilai indigenous di dalam
budaya sendiri dan berupaya untuk melahirkan kembali kebanggaan terhadap budaya asing. Adakalanya
pemikiran-pemikiran poskolonialisme berupa ekses-ekses yang melihat berbagai kekurangan dari
bangsanya sebagai akibat penjajah.
3. Globalisasi
Globalisasi ternyata telah melahirkan budaya global yang memiskinkan potensi-potensi budaya
asli. Dapat dikatakan timbul suatu upaya untuk menentang globalisasi dengan melihat kembali peranan
budaya-budaya yang berjenis-jenis di dalam masyarakat. Revitalisasi budaya lokal merupakan upaya
menentang globalisasi yang mengarah kepada monokultural budaya dunia.
Gerakan feminisme yang semula berupaya untuk mencari kesejahteraan antara perempuan dan
laki-laki kini meningkat ke arah kemitraan antara laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan bukan
hanya menuntut penghargaan yang sama dengan fungsi yang sama dengan laki-laki tetapi juga sebagai
mitra yang sejajar dalam melaksanakan semua tugas dan pekerjaan didalam masyarakat.
5. Pos-strukturalisme
Berangkat dari pemikiran dan perkembangan multikultural gelombang kedua maka dapat
dikemukakan beberapa tantangan multikulturalisme dewasa ini: pertama, adanya hegemoni barat dalam
bidang politik, ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuan. Hegemoni berdampak positif dan negatif bagi
negara-negara berkembang. Olehnya perlu upaya filterisasi (penyaringan) agar dapat menyaring berbagai
bentuk pengetahuan sehingga dapat bersaing dan berdiri tegak dengan dunia Barat. Kedua, esensialis
budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya untuk mencari esensi budaya sendiri tanpa jatuh dalam
pandangan xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit
yang pada akhirnya merugikan komunitas itu didalam era globalisasi. Ketiga proses globalisasi. Seperti
yang telah dijelaskan, globalisasi yang menggelinding berpotensi menghancurkan bentuk-bentuk
kehidupan bersama dan budaya tradisional. Memang tidak ada budaya yang statis namun masyarakat
yang kehilangan akar budayanya akan kehilangan tempat berpijak dan dia akan disapu bersih oleh
gelombang dahsyat globalisasi itu.