nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan
sosial. Sedangkan kesukubangsaan dan masyarakat suku bangsa dengan
kebudayaan suku bangsanya tetap dapat hidup dalam ruang lingkup atau
suasana kesukubangsaanya. Tetapi di dalam suasana-suasana nasional dan
tempat-tempat umum yang seharusnya menjadi cirinya adalah kebangsaan
dengan pluralisme budayanya, dan bukannya sesuatu kesukubangsaan atau
sesuatu kebudayaan suku bangsa tertentu yang dominan.
2. Makna Keragaman dan Kesetaraan dalam Kehidupan Sosial dan
Budaya
Makna keragaman seperti yang telah sedikit dibahas pada sub bab
pengertian keragaman dan kesetaraan diatas, adalah sebagai motivator untuk
menghadapi ujian, cobaan, kesulitan berkompetisi dan berlomba-lomba dalam
berkarya dan berkreasi diantara masing anggota masyarakat (yang beda
budaya). Dengan keragaman, kehidupan menjadi dinamis dan tidak stagnan
karena terdapat kompetisi dari masing-masing elemen budaya untuk berbuat
yang terbaik. Hal ini membuat hidup menjadi tidak membosankan karena
selalu ada pembaruan menuju kemajuan.
Selain itu keragaman yang terdapat di masyarakat dapat
mewujudkan terciptanya manusia antar budaya. Manusia antar budaya adalah
orang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam proses antar budaya secara
kognitif, afektif, dan perilakunya tidak terbatas, tetapi terus berkembang
melewati parameter psikologis suatu budaya, memiliki kepekaan budaya yang
berkaitan erat dengan kemampuan berempati terhadap budaya.
Manusia antar budaya adalah orang yang identitas dan loyalitasnya
melewati batas-batas kebangsaan dan komitmennya bertaut dengan
pandangan bahwa dunia merupakan komunitas global, ia merupakan orang
yang secara intelektual dan emosional terikat pada kesatuan fundamental
semua manusia yang pada saat yang sama mengakui, menerima, dan
menghargai perbedaan mendasar antara orang-orang yang berbeda budaya.
3. Problematika Keragaman
Masyarakat dan Negara.
dan
Solusinya
dalam
Kehidupan
awalnya) dan kedua adalah dengan peradaban Cina. Huntington tidak berkata
tentang determinisme filosofi benturan-benturan peradaban tersebut.
Sebaliknya, Huntington berkata tentang determinisme realitas benturan
tersebut. Bahkan, benturan antara dua peradaban yaitu peradaban Barat dan
peradaban Islam terjadi sepanjang 1300 tahun, dan kedua belah pihak melihat
hubungan antara Barat dan Islam sebagai benturan peradaban12.
Karena benturan ini merupakan suatu keniscayaan realitas dan
determinisme realitas dalam pandangan strategis Huntington, maka dia
merancang bagi barat, strategi kemenangan terhadap Islam (kaum Muslimin)
dalam benturan ini. Huntington menyarankan untuk membagi fase benturan
pada masa depan tersebut menjadi 2 (dua) fase, yakni fase jangka pendek dan
fase jangka panjang13.
Pertama, fase jangka pendek. Pada fase ini Huntington
merekomendasikan pihak Barat untuk menyatukan dunia peradabannya, dan
mempergunakan seluruh perangkatnya, dari alat perang, hingga ekonomi,
politik, budaya, nilai hingga lembaga-lembaga internasional, serta
memfokuskan diri pada perseteruan melawan peradaban Islam dan Cina.
Yang dituntut oleh Barat dalam jangka pendek perseteruan ini adalah
sebagai berikut :
1. Menyatukan elemen peradabannya, memperkuat kerja sama di antara
mereka, serta memasukkan Eropa Timur dengan bagian Barat-nya dan
seluruh Eropa bersama Amerika Utara dan Amerika Latin. Atau, Barat
budaya dan yang dekat dengan budaya Barat Kristen dengan sekte-sekte
yang beragam.
2. Kerjasama, memperkecil dan menekan perseteruan dalam seluruh lingkup
peradaban Barat. Bahkan, memanfaatkan masalah-masalah perseteruan
dalam masyarakat Barat untuk menjadi perseteruan bagi masyarakat nonBarat, sehingga perseteruan Barat nantinya akan terfokuskan untuk
melawan Islam dan Cina.
3. Mengurangi kemampuan militer Islam (kaum Muslim) dan Cina, serta
menambah kekuatan militer Barat, dan menjaga keunggulan militer Barat
di Timur dan Barat Daya Asia. Atau, untuk menghadapi Cina dan Islam
(kaum Muslimin).
7
4. Memperkuat
lembaga-lembaga
internasional
yang
berperan
memperjuangkan kepentingan dan nilai-nilai Barat, serta memberikan
justifikasi kepadanya, dan mengikut-sertakan negara-negara non-Barat
untuk bergabung dalam lembaga-lembaga ini.
Kedua, adalah fase jangka panjang. Fase ini oleh Huntington
dianggap sebagai fase penguasaan Barat atas peradaban-peradaban non-Barat.
Dia mengungkapkan, peradaban Barat adalah peradaban Barat dan modern
sekaligus. Peradaban-peradban non-Barat telah berusaha menjadi modern
tanpa menjadi Barat (selain Jepang, tentunya). Peradaban-peradaban nonBarat akan terus berusaha mencapai kekayaan, tekhnologi, keahlian,
permesinan dan persenjataan, yang merupakan cermin dari elemen bangunan
peradaban modern. Peradaban-peradaban itu juga akan terus berusaha
menyelaraskan modernisme itu dengan budaya dan nilai-nilai tradisionalnya.
Sedangkan, kekuatan ekonomi dan militernya akan mengalahkan Barat. Oleh
karena itu, Barat dalam bentuk yang lebih besar, harus menguasai peradabanperadaban modern non-Barat itu, yang kekuatannya sudah hampir mendekati
kekuatan Barat, tetapi nilai-nilai dan kepentingannya berbeda dalam jarak
yang sangat besar dari nilai dan kepentingan Barat. Oleh karena itu, Barat
harus menjaga kekuatan ekonomi dan kekuatan militernya yang diperlukan
untuk menjaga kepentingannya yang berhubungan dengan peradabanperadaban itu.
Huntington mengilustrasikan masa depan peradaban dengan Barat
sebagai peradaban yang memonopoli singgasana peradaban dunia, dan
melihat perseteruan antar peradaban-peradaban yang beragam, sebagai jalan
untuk menghapus keragaman peradaban ini. Setelah barat menyatukan
kesatuannya, mempersiapkan seluruh kemampuannya, serta menekan
peradbaan-peradaban non-Barat, maka ia harus menjalankan strategi fase
jangka pendek. Dan yang pertama dari strategi perseteruan ini yaitu
mematahkan kekuatan peradaban Islam dan perdaban Cina sambil mengikat
seluruh peradaban lainnya dalam lembaga-lembaga internasional yang
memperjuangkan nilai-nilai dan kepentingan Barat, dan memberikan
justifikasi kepadanya. Sedangkan dalam jangka panjang, objek Barat
selanjutnya adalah menguasai peradaban-peradaban non-Barat lainnya, yiatu
peradaban yang telah berhasil memodernisasi masyarakatnya secara militer
maupun ekonomi. Dengan demikian maka Barat dapat memonopoli kekuatan,
modernisme danhegemoni atas dunia.
8
2.
3.
4.
Gender.
Selanjutnya, dalam usaha memahami kesetaraan juga dapat dilihat
dari perspektif gender. Kesetaraan gender adalah suatu frase suci yang
diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para
pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam tatanan praktis, hampir selalu
diartikan sebagai kondisi ketidak-setaraan yang diterima dan dialami oleh
kaum perempuan. Maka, istilah kesetaraan gender sering terkait dengan
istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, sub-ordinasi, penindasan,
perlakuan tidak adil, dan semacamnya. Istilah-istilah tersebut memang dapat
membangkitkan emosi, kekesalan dan memicu rasa simpati yang besar
kepada kaum perempuan.
12
suka berpetualang
11.
mendunia
12.
sius
13.
ya diri
14.
mpin, pelindung
15.
Lebih
Ambi
Perca
Pemi
Dsb
17
18
Indar Siswarini, Manusia, Keragaman dan Kesetaraan, makalah lokakarya penataran dosen MBB, proyek pendidikan tenaga akademik,
Dirjen Dikti, Depdiknas, Denpasar, September 2004.
2
M. Imarah, Islam dan Pluralitas; Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, Gema Insani, Jakarta, 1999, hal. 9.
3
Ibid.
4
dalam Ibid.
5
Indar Siswarini, Op.Cit.
6
Parsudi Suparlan, Multikulturalisme, Semilokakarya Dosen ISBD, Dirjen Dikti, Yogyakarta, 2001.
7
Parsudi Suparlan, Ibid.
8
Parsudi Suparlan, Kemajemukan Amerika : Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme. Jurnal Studi Amerika, Vol. 5, AgustusDesember 1999, Hal. 191-205.
9
Dalam, Parsudi Suparlan, Op.Cit.
10
Indar Siswarini, Op.Cit.
11
M. Imarah, Op.Cit.
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Supardi Suparlan, Kesetaraan Warga Dan Hak Budaya Komunitif Dlam Masyarakat Majemuk Indonesia, makalah Dirjen Dikti,
Jakarta
15
Sumanto, Komunikasi Antar Budaya, Makalah Dirjen Dikti, Jakrta
16
Ibid.
17
Nurul Huda. Dkk, Menggagas Jurnalisme Sensitif Gender, INPI Pact, Yogyakarta, 1998, hal. 4.
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Manneke Budiman, Feminisme Multikultural : Refleksi Sekaligus Proyeksi, dalam, Edi Hayat dan M. Surur (Ed), Perempuan
Multikultural : Negosiasi dan Representasi, Desantara, Jakarta, 2005, hal. 75.
22
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda ? : Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, Mizan Pustaka, Bandung, 1999, hal. 118.
23
Ibid, hal. 128.
24
Ibid, hal. 150.
25
Ibid, hal. 178.
26
Ibid, hal. 182.