Anda di halaman 1dari 19

MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN

Oleh : Tito Kusuma Wardhana, S.Sos.

1. Pengertian Keragaman dan Kesetaran.


Keragaman dapat diartikan dengan suatu hal yang banyak
macamnya, beda antara satu dan yang lainnya dan sifatnya tidak tunggal.
Sedang kesetaraan dapat diartikan sebagai sama, tidak berbeda atau
sederajat. Beberapa istilah yang dianggap sesuai dengan keragaman salah
satunya ialah pluralitas (plurality) yaitu suatu konsep yang mengandaikan
adanya hal-hal yang lebih dari satu1. Sisi lain pluralitas adalah
kemajemukan yang didasari oleh keutamaan (keunikan) dan kekhasan.
Karena itu, pluralitas tidak dapat terwujud atau diadakan atau terbayangkan
keberadaannya kecuali sebagai objek komparatif dari keseragaman dan
kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya.
Pluralitas juga tidak dapat disematkan kepada kesatuan yang tidak
mempunyai parsial-parsial, atau yang bagian-bagiannya dipaksa untuk tidak
menciptakan keutamaan, keunikan dan kekhasan tersendiri. Anggota
suatu keluarga adalah bentuk pluralitas dalam rangka kesatuan keluarga dan
sebagai antitesis darinya. Pria dan wanita adalah bentuk pluralitas dari
kerangka kesatuan jiwa manusia. Bangsa-bangsa adalah bentuk pluralitas
jenis manusia2. Tanpa adanya kesatuan yang mencakup seluruh segi maka
tidak dapat dibayangkan adanya kemajemukan, keunikan dan kekhasan atau
pluralitas itu. Demikian juga sebaliknya.
Pluralitas, sebagaimana halnya seluruh fenomena pemikiran,
memiliki sifat pertengahan (moderat atau adil), keseimbangan, juga
mempunyai sisi yang ekstrem, baik yang melebih-lebihkan atau mengurangngurangkan. Sisi pertengahan (adil) serta keseimbangannyalah yang dapat
memelihara hubungan antara kemajemukan, perbedaan dan pluralitas dan
faktor kesamaan, pengikat dan kesatuan. Sementara itu disintegrasi dan kacau
balau ditimbulkan oleh sikap ekstrem memusuhi yang tidak mengakui dan
tidak memiliki faktor pemersatu atau pengikat. Juga oleh sikap penyeragaman
(yang dianggap mengingkari adanya kekhasan dan perbedaan), yaitu sikap
ekstrem represif dan otoriter yang menafikkan perbedaan masing-masing
pihak dan keunikannya3.
Pluralitas juga bisa dianggap sebagai motivator dalam menghadapi
ujian, cobaan, kesulitan berkompetisi, dan berlomba-lomba dalam berkarya
1

dan berkreasi diantara masing-masing pihak yang berbeda dalam peradaban.


Dan jika tidak ada pluralitas, perbedaan dan perselisihan, maka tidak akan ada
motivasi untuk berkompetisi, berlomba dan saling dorong diantara individu
manusia dan peradaban, hal ini tentunya akan berakibat pada hidup yang
stagnan dan tawar, serta mati tanpa dinamika. Juga manusia tidak akan dapat
mewujudkan tujuan-tujuan hidup, yaitu agar manusia membangun bumi dan
mengembangkan wujud peradabannya.
Sayyid Quthb4 mengatakan bahwa adalah tabiat manusia untuk
berbeda. Karena perbedaan ini adalah salah satu pokok dari pokok-pokok
diciptakannya manusia, yang menghasilkan hikmah yang tinggi. Seperti
penugasan makhluk manusia ini sebagai pemimpin di muka bumi, serta
perbedaan mereka dalam persiapan dan potensi-potensi serta tugas yang
diemban. Sehingga, pada gilirannya akan membawa kepada perbedaan dalam
kerangka berfikir, kecenderungan metodologi yang dipegang, dan tekhniktekhnik yang ditempuh. Sementara, dengan perbedaan dan persaingan,
manusia akan menggali potensi mereka yang terpendam, serta akan selalu
terjaga dan berusaha mengeksplorasi kekayan bumi ini, dengan menggunakan
kekuatannya serta rahasia-rahasinya yang terpendam, yang pada akhirnya
akan membawa kepada kebaikan, kemajuan dan pertumbuhan.
Namun, tindakan saling dorong dan saling membela, yang menjadi
motivator dan diperkuat oleh kemajemukan dan perbedaan itu, diharapkan
senantiasa memiliki sifat membawa manfaat, berada dalam kerangka kesatuan
nilai yang konstan, serta pokok-pokok yang menyatukan diantara pihak-pihak
yang berselisih dan saling membela diri tersebut. Karena harus ada timbangan
yang konstan pula, yang dianggap dapat memuaskan seluruh pihak yang
berselisih dan kata akhir rujukan dalam berdebat, serta ada tujuan yang sama
dari manusia.
Istilah lain yang digunakan untuk masyarakat yang terdiri dari
agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda, yakni keragaman (diversity)
yang menunjukkan bahwa keberadaaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda,
heterogen dan bahkan tidak dapat disamakan. Pada abad ke-20, kemajemukan
menjadi syarat demokrasi. Serba tunggal, misalnya, satu ideologi, satu partai
politik, satu calon pemimpin, dianggap sebagai satu bentuk pemaksaan dari
negara5.

Furnivall adalah yang pertama kali mengintroduksi konsep


masyarakat majemuk pada waktu dia membahas kebijakan dan praktekpraktek pemerintahan jajahan di Indonesia. Dia menunjukkan bahwa sebuah
masyarakat majemuk ditandai oleh penduduknya yang secara suku bangsa
dan rasial saling berbeda yang hidup dalam satuan-satuan kelompok masingmasing, yang hanya bertemu di pasar. Ciri-ciri ini ada pada masyarakat
jajahan yang merupakan produk dari politik ekonomi penjajahan untuk
menguasai sumberdaya yang ada setempat. Produk dari politik ekonomi ini
adalah adanya golongan penjajah yang mempersatukan secara paksa
masyarakat-masyarakat pribumi kedalam sebuah masyarakat jajahan untuk
diatur dan diperintah guna kepentingan ekonomi penjajah. Disamping
golongan penjajah dan pribumi terdapat golongan pedagang perantara yang
biasanya adalah orang-orang asing yang secara sosial dan rasial tidak
tergolong sama dengan golongan penjajah ataupun golongan pribumi. Di
Indonesia, tiga golongan ini terwujud secara vertical sebagai orang Belanda
dan Kulit Putih lainnya, orang Pribumi, dan orang Timur Asing (orang Cina
dan Arab) yang masing-masing hidup dalam kelompok-kelompok dan
pemukimannya sendiri menurut kebudayaan dan pranata-pranata masingmasing, dan keteraturan serta ketertiban kehidupan mereka diatur oleh hukum
yang masing-masing berbeda satu dari lainnya 6.
Konsep Multikulturalisme juga dapat dianggap sesuai dengan
masalah-masalah perbedaan, bahkan konsep ini juga mampu menjembatani
perbedaan-perbedaan yang muncul dari kemajemukan. Apabila pluralitas
sekedar mempresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), maka
multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya
itu mereka adalah sama didalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi
semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain,
adanya komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaanperbedaan individual atau orang-perorang dan perbedaan kebudayaan.
Perbedaan kebudayaan mendorong upaya terwujudnya keanekaragaman atau
pluralisme budaya sebagai sebuah corak kehidupan masyarakat yang
mempunyai keanekaragaman kebudayaan, yaitu yang saling memahami dan
menghormati kebudayaan-kebudayaan mereka yang berbeda satu dengan
3

lainnya, termasuk kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai kelompok


minoritas7.
Dalam pengertian multikulturalisme, sebuah masyarakat bangsa
dilihat sebagai memiliki sebuah kebudayaan yang utama dan berlaku umum
(mainstream) di dalam kehidupan mesyarakat bangsa tersebut. Kebudayaan
bangsa ini merupakan sebuah mozaik, dan yang di dalam mozaik tersebut
terdapat beranekaragam corak budaya yang merupakan ekspresi dari berbagai
kebudayaan yang ada dalam masyarakat bangsa tersebut. Model
multikulturalisme ini bertentangan dengan model monokulturalisme yang
menekankan keseragaman atau kesatuan kebudayaan dengan melalui proses
penyatuan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam sebuah
kebudayaan yang dominan dan mayoritas. Disamping itu juga melalui proses
asimilasi atau pembauran diman jatidiri dari kelompok-kelompok atau
sukubangsa-sukubangsa minoritas harus mengganti jatidiri warganya menjadi
sama dengan jatidiri dari kelompok atau suku bangsa yang dominan, dan
mengadopsi cara-cara hidup atau kebudayaan dominan tersebut menjadi caracara hidup dan kebudayaannya yang baru. Dan bila mereka yang tergolong
sebagai minoritas tidak melakukannya akan diasingkan dari masyarakat luas,
bahkan kalau perlu dimusnahkan8.
Dalam model multikulturalisme, penekanannya adalah pada
kesederajatan ungkapan-ungkapan budaya yang berbeda-beda, pada
pengkayaan budaya melalui pengadopsian unsur-unsur budaya yang dianggap
paling cocok dan berguna bagi pelaku dalam kehidupannya tanpa ada
hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang diadopsi tersebut, karena
adanya batas-batas suku bangsa yang primodial. Dalam masyarakat
multibudaya atau multikultural, menurut Nathan Glazer 9, setiap orang adalah
multikulturalis, karena setiap orang mempunyai kebudayaan yang bukan
hanya berasal dari kebudayaan asal atau suku bangsa tetapi juga mempunyai
kebudayaan yang berisikan kebudayaan-kebudayaan dari suku bangsa atau
bangsa lain.
Multikulturalisme dilihat sebagai pengikat dan jembatan yang
mengakomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan-perbedaan
kesuku-bangsaan dan suku-bangsa dalam masyarakat yang multikultural.
Pengertian ini mengacu pada pengertian bahwa perbedaan-perbedaan tersebut
terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem
4

nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan
sosial. Sedangkan kesukubangsaan dan masyarakat suku bangsa dengan
kebudayaan suku bangsanya tetap dapat hidup dalam ruang lingkup atau
suasana kesukubangsaanya. Tetapi di dalam suasana-suasana nasional dan
tempat-tempat umum yang seharusnya menjadi cirinya adalah kebangsaan
dengan pluralisme budayanya, dan bukannya sesuatu kesukubangsaan atau
sesuatu kebudayaan suku bangsa tertentu yang dominan.
2. Makna Keragaman dan Kesetaraan dalam Kehidupan Sosial dan
Budaya
Makna keragaman seperti yang telah sedikit dibahas pada sub bab
pengertian keragaman dan kesetaraan diatas, adalah sebagai motivator untuk
menghadapi ujian, cobaan, kesulitan berkompetisi dan berlomba-lomba dalam
berkarya dan berkreasi diantara masing anggota masyarakat (yang beda
budaya). Dengan keragaman, kehidupan menjadi dinamis dan tidak stagnan
karena terdapat kompetisi dari masing-masing elemen budaya untuk berbuat
yang terbaik. Hal ini membuat hidup menjadi tidak membosankan karena
selalu ada pembaruan menuju kemajuan.
Selain itu keragaman yang terdapat di masyarakat dapat
mewujudkan terciptanya manusia antar budaya. Manusia antar budaya adalah
orang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam proses antar budaya secara
kognitif, afektif, dan perilakunya tidak terbatas, tetapi terus berkembang
melewati parameter psikologis suatu budaya, memiliki kepekaan budaya yang
berkaitan erat dengan kemampuan berempati terhadap budaya.
Manusia antar budaya adalah orang yang identitas dan loyalitasnya
melewati batas-batas kebangsaan dan komitmennya bertaut dengan
pandangan bahwa dunia merupakan komunitas global, ia merupakan orang
yang secara intelektual dan emosional terikat pada kesatuan fundamental
semua manusia yang pada saat yang sama mengakui, menerima, dan
menghargai perbedaan mendasar antara orang-orang yang berbeda budaya.
3. Problematika Keragaman
Masyarakat dan Negara.

dan

Solusinya

dalam

Kehidupan

Struktur dunia internasional yang majemuk ditandai oleh adanya


keragaman suku bangsa, agama dan budaya (bahkan peradaban). Namun,
keragaman tersebut mengandung potensi-potensi masalah bahkan konflik,
5

baik pada tingkat regional maupun tingkat internasional, jika masyarakat


tidak mau atau tidak bisa menerima adanya keragaman.
Adalah Samuel P. Hutington yang meramalkan konflik antar
peradaban dimasa depan tidak lagi disebabkan oleh faktorfaktor keragaman
ekonomi, politik, dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalahmasalah
keragaman suku bangsa, agama, ras, dan antar-golongan ( SARA ). Konflik
tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi
dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme, bersamaan dengan runtuhnya
negaranegara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh
peistiwa sejarah yang terjadi sebelumnya (era 1980-an), yaitu yang terjadi
perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia pasca pemerintahan Michael
Joseph Bros Tito. Keragaman, yang di satu sisi merupakan kekayaan dan
kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadhership yang
mengikatnya lengser10.
Huntington melihat keragaman dan kekhasan peradaban terjadi
karena keragaman dan kekhasan budaya-budayanya. Peradaban adalah bentuk
budaya, tidak ada peradaban universal, namun yang terjadi adalah dunia dari
peradaban-peradaban yang berbeda. Dia melihat ada tujuh atau delapan
peradaban besar di dunia saat ini yaitu Peradaban Barat, Peradaban Cina
Konfusius, Peradaban Jepang, Peradaban Islam, Peradaban India, Peradaban
Ortodox Slavik, Peradaban Amerika Latin dan barangkali Peradaban Afrika 11.
Peradaban-peradaban tersebut masing-masing berbeda satu sama lainnya
karena faktor bahasa, sejarah, budaya dan tradisi. Dan yang paling penting
diantaranya adalah agama. Anggota-anggota peradaban yang berbeda-beda itu
mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda-beda pula atas pandangan
tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia
lainnya serta manusia dengan lingkungannya seperti keluarga, masyarakat,
negara bahkan alam sekitarnya. Juga terdapat pemikiran-pemikiran yang
berbeda tentang takaran hak-hak dan tangung jawab-kewajiban, kebebasan,
kekuasaan dan persamaan.
Huntington memfokuskan pandangannya pada faktor-faktor
benturan antara peradaban-peradaban ini, tidak hanya pada masa lalu saja,
namun juga pada masa yang akan datang. Sehingga, dia mensinyalir bahwa
benturan adalah suatu keniscayaan dalam hubungan antar-beragam
peradaban. Terutama antara peradaban Barat dan peradaban Islam (pada
6

awalnya) dan kedua adalah dengan peradaban Cina. Huntington tidak berkata
tentang determinisme filosofi benturan-benturan peradaban tersebut.
Sebaliknya, Huntington berkata tentang determinisme realitas benturan
tersebut. Bahkan, benturan antara dua peradaban yaitu peradaban Barat dan
peradaban Islam terjadi sepanjang 1300 tahun, dan kedua belah pihak melihat
hubungan antara Barat dan Islam sebagai benturan peradaban12.
Karena benturan ini merupakan suatu keniscayaan realitas dan
determinisme realitas dalam pandangan strategis Huntington, maka dia
merancang bagi barat, strategi kemenangan terhadap Islam (kaum Muslimin)
dalam benturan ini. Huntington menyarankan untuk membagi fase benturan
pada masa depan tersebut menjadi 2 (dua) fase, yakni fase jangka pendek dan
fase jangka panjang13.
Pertama, fase jangka pendek. Pada fase ini Huntington
merekomendasikan pihak Barat untuk menyatukan dunia peradabannya, dan
mempergunakan seluruh perangkatnya, dari alat perang, hingga ekonomi,
politik, budaya, nilai hingga lembaga-lembaga internasional, serta
memfokuskan diri pada perseteruan melawan peradaban Islam dan Cina.
Yang dituntut oleh Barat dalam jangka pendek perseteruan ini adalah
sebagai berikut :
1. Menyatukan elemen peradabannya, memperkuat kerja sama di antara
mereka, serta memasukkan Eropa Timur dengan bagian Barat-nya dan
seluruh Eropa bersama Amerika Utara dan Amerika Latin. Atau, Barat
budaya dan yang dekat dengan budaya Barat Kristen dengan sekte-sekte
yang beragam.
2. Kerjasama, memperkecil dan menekan perseteruan dalam seluruh lingkup
peradaban Barat. Bahkan, memanfaatkan masalah-masalah perseteruan
dalam masyarakat Barat untuk menjadi perseteruan bagi masyarakat nonBarat, sehingga perseteruan Barat nantinya akan terfokuskan untuk
melawan Islam dan Cina.
3. Mengurangi kemampuan militer Islam (kaum Muslim) dan Cina, serta
menambah kekuatan militer Barat, dan menjaga keunggulan militer Barat
di Timur dan Barat Daya Asia. Atau, untuk menghadapi Cina dan Islam
(kaum Muslimin).
7

4. Memperkuat
lembaga-lembaga
internasional
yang
berperan
memperjuangkan kepentingan dan nilai-nilai Barat, serta memberikan
justifikasi kepadanya, dan mengikut-sertakan negara-negara non-Barat
untuk bergabung dalam lembaga-lembaga ini.
Kedua, adalah fase jangka panjang. Fase ini oleh Huntington
dianggap sebagai fase penguasaan Barat atas peradaban-peradaban non-Barat.
Dia mengungkapkan, peradaban Barat adalah peradaban Barat dan modern
sekaligus. Peradaban-peradban non-Barat telah berusaha menjadi modern
tanpa menjadi Barat (selain Jepang, tentunya). Peradaban-peradaban nonBarat akan terus berusaha mencapai kekayaan, tekhnologi, keahlian,
permesinan dan persenjataan, yang merupakan cermin dari elemen bangunan
peradaban modern. Peradaban-peradaban itu juga akan terus berusaha
menyelaraskan modernisme itu dengan budaya dan nilai-nilai tradisionalnya.
Sedangkan, kekuatan ekonomi dan militernya akan mengalahkan Barat. Oleh
karena itu, Barat dalam bentuk yang lebih besar, harus menguasai peradabanperadaban modern non-Barat itu, yang kekuatannya sudah hampir mendekati
kekuatan Barat, tetapi nilai-nilai dan kepentingannya berbeda dalam jarak
yang sangat besar dari nilai dan kepentingan Barat. Oleh karena itu, Barat
harus menjaga kekuatan ekonomi dan kekuatan militernya yang diperlukan
untuk menjaga kepentingannya yang berhubungan dengan peradabanperadaban itu.
Huntington mengilustrasikan masa depan peradaban dengan Barat
sebagai peradaban yang memonopoli singgasana peradaban dunia, dan
melihat perseteruan antar peradaban-peradaban yang beragam, sebagai jalan
untuk menghapus keragaman peradaban ini. Setelah barat menyatukan
kesatuannya, mempersiapkan seluruh kemampuannya, serta menekan
peradbaan-peradaban non-Barat, maka ia harus menjalankan strategi fase
jangka pendek. Dan yang pertama dari strategi perseteruan ini yaitu
mematahkan kekuatan peradaban Islam dan perdaban Cina sambil mengikat
seluruh peradaban lainnya dalam lembaga-lembaga internasional yang
memperjuangkan nilai-nilai dan kepentingan Barat, dan memberikan
justifikasi kepadanya. Sedangkan dalam jangka panjang, objek Barat
selanjutnya adalah menguasai peradaban-peradaban non-Barat lainnya, yiatu
peradaban yang telah berhasil memodernisasi masyarakatnya secara militer
maupun ekonomi. Dengan demikian maka Barat dapat memonopoli kekuatan,
modernisme danhegemoni atas dunia.
8

Di Indonesia sendiri permasalahan mengenai keragaman suku


bangsa, agama, ras, dan antargolongan, mengarah kepada kondisi konflik
sejak era Reformasi. Parsudi Suparlan 14 melihat konflik-konflik yang terjadi
di Indonesia merupakan konflik suku bangsa yang kemudian bisa bergeser
pada koflik-konflik bernuansa agama. Lebih lanjut Suparlan mengatakan,
corak kesukubangsaan individual yang merupakan milik perorangan berubah
menjadi kategorikal. Yang menjadi sasaran untuk dihancurkan oleh masingmasing anggota suku bangsa yang mengalami konflik bukan lagi orang
perorangan dan bukan pula kelompok, melainkan kategori suku bangsa. Suku
bangsa itu menjadi musuh sesuai dengan ciri-ciri atau atribut- atribut yang
menjadi acuan dari kesukubangsaannya. Apapun dan siapapun yang
mempunyai atau ditempeli atribut-atribut kesuku-bangsaan yang menjadi
musuh dalam konflik antar suku bangsa akan dihancurkan. Karena itu
penghancuran terhadap kategori berdasarkan ciri-ciri kesukubangsaan
tersebut tidak mengenal batasan umur, jenis kelamin, posisi sosial atau
keyakina keagamaan, dan tidak pula mengenal batasan nilai uang dari barang
dan harta benda yang di hancurkan.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai sebuah masyarakat
multiethnis atau bersuku bangsa banyak. Tetapi masyarakat Amerika bukanlah
sebuah masyarakat majemuk, karena masyarakat tersebut terwujud sebagai
bangsa tidak dengan cara mempersatukan suku bangsa-suku bangsa yang
dilakukan oleh sistem nasionalnya. Pada masa kini yang ditonjolkan di
Amerika bukanlah coraknya yang multietnis, melainkan beranekaragamnya
kebudayaan yang dipunyai oleh bangsa Amerika. Kebudayaan Amerika yang
beranekaragam itu bisa dimiliki oleh setiap individu atau komuniti, sehingga
jati diri suku bangsa atau rasia dari individu menjadi tidak relevan. Seseorang
atau kelompok orang kulit putih yang tergolong keturunan WASP bisa saja
mempunyai kebudayaan India, Cina, Jepang, atau yang lainnya.
Kebijakan untuk secara nasional dan sosial meredam atau
menyimpan jati diri rasial atau suku bangsa, dan sebaliknya menonjolkan ide
keanekaragaman kebudayaan atau masyarakat multikulturalisme, dapat dilihat
sebagai kebijakan yang bertujuan untuk meredam potensi-potensi
pengembangan, dan kemajuan melalui ide keanekargaman kebudayaan yang
memang sejalan dan mendukung berlakunya prinsip demokrasi dalam
kehidupan masyarakat.
9

Model masyarakat multikultural atau berkeanekaragaman


kebudayaan ini yang telah berhasil meredam potensi-potensi konflik rasial
dan kesukubangsaan perlu kita pelajari dengan seksama dalam konteks
Indonesia yang masyarakatnya majemuk dan yang akhir-akhir ini telah
dilanda oleh berbagai bentuk konflik rasial, kesukubangsaan, dan keagamaan.
Konflik-konflik itu sangat merugikan dan dapat mencabik-cabik integrasi
bangsa dan kebangsaan Indonesia. Menggeser idiom masyarakat majemuk
menjadi masyarakat beraneka ragam kebudayaan sebagai sebuah kebijakan
politik kebudayaan pada tingkat nasional maupun lokal, dan akan
memungkinkan diterapkannya prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi itu
dilandasi oleh kesetaraan derajat individu atau warga, serta muncul dan
mantapnya hak budaya komuniti dalam kaitan keseimbangannya dengan
kekuasaan negara atau masyarakat. Dalam masyarakat multikultural tersebut
demokrasi dapat berkembang. Sebaliknya demokrasi dapat mengembangkan
masyarakat yang multikultural. Hal ini disebabkan berlakunya prinsip
perbedaan dan saling menghargai perbedaan konflik atau persaingan
berdasarkan atas hukum atau aturan main yang adil dan beradab, yang tidak
dapat ditawar oleh seseorang yang mempunyai posisi tinggi atau kekuasaan
yang besar.
Permasalahan konflik-konflik bernuansa keragaman suku bangsa,
agama, ras dan antar-golongan yang terjadi, baik konflik dalam skala regional
maupun konflik berskala internasional, lebih terletak pada pemahaman akan
budaya lain diluar budaya sendiri. Disini pamahaman ragam budaya yang
ada yang diikuti dengan komunikasi antar budaya menjadi unsur yang sangat
signifikan dalam menjembatani perbedaan-perbedaan.
Adapun yang harus diperhatikan dari komunikasi antar budaya ini
yaitu komunikasi antar budaya terjadi, bila pemberi pesan dan penerima
pesan berasal dari komunitas budaya yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk
menjelaskan tentang keragaman budaya yang harus disikapi dengan unsur
persatuan dan kesatuan. Komunikasi antar budaya ini perlu dikembangkan
sebagai upaya untuk15 :
1. Mencapai pertukaran dialektis antar budaya.
2. Mengembangkan kesederajatan dan menghapus diskriminasi.
3. Memupuk rasa solidaritas nasional dengan cara membiasakan diri dalam
kehidupan bersama.
10

4. Mendorong terjadinya pembauran secara alamiah sehingga mampu


mengatasi perbedaan budaya.
Komunikasi antar budaya mempunyai cakupan, antara lain16 :
1. Komunikasi antar ras yang bertujuan untuk menghilangkan prasangka
rasial.
2. Komunikasi antar etnik bertujuan untuk mensosialisasikan dan
membudayakan pertukaran informasi kebudayaan antar suku bangsa.
3. Komunikasi antar agama mempunyai tujuan yaitu memupuk perilaku
keagamaan dan sosial yang akomodatif.
4. Komunikasi antar kelas mempunyai tujuan untuk menghindari
ketidakseimbangan dan diskriminasi.
5. Komunikasi antar gender yang bertujuan untuk menjembatani
kesenjangan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat antara
kaum laki-laki dan perempuan
Disini dapat dilihat bahwa komunikasi antar budaya
mensosialisasikan ide pluralitas dan keberagaman dengan bahasa budaya.
4. Kesetaraan.
Kesetaraan warga dan hak budaya komuniti adalah unsur-unsur
mendasar yang ada dalam unsur demokrasi, yang menekankan pentingnya
hak individu dan kesetaraan individu atau warga, dan toleransi terhadap
perbedaan dan keanakaragaman. Pada hakikatnya masyarakat majemuk yang
secara suku bangsa beranekaragam mempunyai potensi sebuah masyarakat
otoriter-militeristis dengan corak paternalistis dan etnosentris yang
primordial. Primordialitas kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat
berpotensi menjadi pemecah belah bangsa pada saat primordialitas tersebut
diaktifkan sebagai kekuatan politik. Potensi kekuatan primordialitas untuk
memecah belah bangsa disebabkan oleh hakikat keberadaan masyarakat
majemuk. Masyarakat majemuk itu dihasilkan oleh upaya sistem nasional
untuk mempersatukan kelompok-kelompok suku bangsa menjadi sebuah
bangsa. Pemersatuan kelompok-kelompok suku bangsa itu dilakukan secara
paksa, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk itu, masyarakat majemuk yang menekankan pada
keanekaragaman suku bangsa harus digeser menjadi ideologi
keanekaragaman kebudayaan atau ideologi multikulturalisme. Dalam ideologi
11

ini, kelompok-kelompok budaya tersebut berada dalam kesetaraan derajat,


seperti yang diberlakukan dalam masyarakat-masyarakat Amerika dan Eropa
Barat. Ideologi yang harus ditekankan adalah keanekaragaman kebudayaan.
Kekuatan sosial dan politik dari keanekaragaman tersebut bukan berlandaskan
pada kekuatan primordial keskubangsaan yang lokal. Secara hipotesis, dalam
wadah masyarakat Bhinneka Tunggal Ika Indonesia yang seperti inilah
maka proses-proses demokrasi akan dapat diwujudkan.
Pemahaman tentang hubungan keragaman dengan kesetaraan di
dalam masyarakat dengan tujuan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan
yang muncul dari masyarakat dianggap sebagai suatu hal yang penting.
Pemahaman tentang hubungan antara keragaman dan kesetaraan itu harus
seiring dan sejalan dengan praktek-praktek hubungan sosial-budaya
masayarakat. Untuk itu Suparlan mengatakan :
1.

Perlu kebijakan secara nasional dan sosial untuk meredam atau


menyimpan jati diri suku bangsa atau ras, dan sebaliknya menonjolkan ide
keanekaragaman kebudayaan atau masyarakat multikultural.

2.

Menempatkan individu dengan keragaman kebudayaannya yang setara


derajatnya dalam mewujudkan kehidupan demokrasi.

3.

Menjamin hak komuniti sebagai satuan kehidupan berskala kecil yang


menempati suatu wilayah.

4.

Manusia sebagai individu, hidup dalam komuniti, dibesarkan, dan


dijadikan manusia sehingga dapat berperan sebagai warga masyarakat
dan negara yang berguna.

Gender.
Selanjutnya, dalam usaha memahami kesetaraan juga dapat dilihat
dari perspektif gender. Kesetaraan gender adalah suatu frase suci yang
diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para
pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam tatanan praktis, hampir selalu
diartikan sebagai kondisi ketidak-setaraan yang diterima dan dialami oleh
kaum perempuan. Maka, istilah kesetaraan gender sering terkait dengan
istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, sub-ordinasi, penindasan,
perlakuan tidak adil, dan semacamnya. Istilah-istilah tersebut memang dapat
membangkitkan emosi, kekesalan dan memicu rasa simpati yang besar
kepada kaum perempuan.
12

Banyak pemahaman yang keliru ketika orang mengartikan seks dan


gender, karena gender dalam bahasa Inggris hanya diartikan sebagai jenis
kelamin. Untuk itu perlu dipahami terlebih dahulu bahwa seks merupakan
suatu hal yang merupakan kodrat berupa ciri-ciri fisik/ biologis yang tidak
bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan
yang mengalami haid, hamil dan melahirkan yang ini tidak mungkin bisa
dilakukan laki-laki. Dan sebaliknya laki-laki memiliki jakun, sperma dan alat
vital berupa penis. Seks bersifat kodrati yang tidak mengenal batas ruang dan
waktu, bersifat alamiah dan tidak akan berubah dalam kondisi apapun17.
Sedangkan gender, merupakan pelabelan yang pada kenyataannya
dibentuk oleh budaya, tidak bersifat permanen, dan oleh karenanya bisa
dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Gender tergantung pada nilainilai yang dianut masyarakat, hasil konstruksi tradisi, budaya, agama dan
ideologi tertentu yang mengenal batas ruang dan waktu yang langsung
membentuk karakteristik laki-laki dan perempuan. Saat ini di dalam
kehidupan bermasyarakat ada pemilahan sifat manusia yaitu feminim dan
maskulin. Sifat-sifat feminim dan maskulin dapat dikategorikan sebagai
berikut18 :
Sifat maskulin
Sifat feminim
1.
Aktif
1. Pasif / non-agresif
/ agresif
2. Dependen
2.
Indep
3. Emosional
enden
4. Subyektif
3.
Rasio
5. Kurang tegas
nal
6. Lemah lembut
4.
Obye
7. Sering menangis
ktif
8. Mudah tersinggung
5.
Tegas
9. Kurang kompetitif
6.
Keras
10. Tidak suka berpetualang
7.
Jaran
11. Berorientasi ke rumah
g menangis
12. Kurang ambisius
8.
Tidak
13. Kurang percaya diri
mudah tersinggung
14. Pengasuh, pemelihara
9.
Lebih
15. Dsb
kompetitif
10.
Lebih
13

suka berpetualang
11.
mendunia
12.
sius
13.
ya diri
14.
mpin, pelindung
15.

Lebih
Ambi
Perca
Pemi
Dsb

Sifat feminin seringkali dilekatkan pada diri perempuan dan sifat


maskulin seringkali dianggap sebagai sifat laki-laki. Sehingga bila ada
seorang yang bersikap tidak sesuai dari sifat-sifat yang sudah dilekatkan pada
dirinya oleh masyarakat maka dia diangggap menyimpang atau salah. Padahal
pada riilnya, potensi yang dimiliki laki-laki dan perempuan sebagai sesama
manusia adalah relatif. Tidak semua laki-laki mampu bersikap tegas.
Demikian pula tidak semua perempuan bersikap cengeng, dan seterusnya.
Persoalannya kemudian, dari pelabelan yang ada di masyarakat ini
memunculkan ketidakadilan yang berkaitan dengan relasi antara perempuan
dan laki-laki. Setidaknya ada lima isu gender yang dialami perempuan akibat
ketidakadilan gender19 yaitu :
1. Kekerasan terhadap perempuan.
2. Beban ganda perempuan.
3. Marginalisasi perempuan.
4. Subordinasi perempuan.
5. Stereotype terhadap perempuan.
Sedangkan manifestasi ketidakadilan gender bagi perempuan dapat
dirumuskan sebagai berikut20 :
1. Pada sektor budaya, perempuan terkungkung dengan stereotype yang
dilekatkan pada dirinya untuk tidak keluar dari peran domestiknya.
2. Dalam sektor publik maupun domestik perempuan seringkali menjadi
korban tindak kekerasan
3. Dalam bidang ekonomi, perempuan mengalami marginalisasi dan harus
menanggung beban ganda jika ingin berkiprah di ruang publik.
14

4. Dalam bidang politik, perempuan selalu menempati posisi sub-ordinan,


baik di struktur pemerintahan, maupun di tingkat perwakilan rakyat.
Sebagai warga negara, perempuan juga hanya ditempatkan sebagai obyek
dalam setiap kebijakan pemerintah yang memang seringkali menjadi
monopoli laki-laki.
Feminisme secara konsisten senantiasa memperjuangkan kesetaraan
gender, yakni posisi dan peran yang setara antara laki-laki dan perempuan
yang tidak dipengaruhi oleh bias gender. Sesungguhnya feminisme sedang
mencoba membawa perubahan pada kultur patriarki yang monolitik dan,
dengan demikian, secara tidak langsung merupakan komponen dari agendaagenda multilkultural.
Pada awalnya feminisme dikritik keras karena ideologi pukul
ratanya yang menggeneralisasi bagitu saja persoalan-persoalan perempuan
secara semesta tanpa melihat bahwa geografi, demografi, tingkat
pengetahuan, serta perkembangan tekhnologi dan informasi telah membuat
perempuan sendiri tidak monopolitik, dalam perkembangannya, menjadi
semakin peduli dengan adanya sejumlah kesenjangan antara persoalan
perempuan di Barat dan di Dunia Ketiga. Ini juga merupakan isyarat
penting bahwa gerakan feminisme semakin menampakkan semangat
multikultural21.
Adapun beberapa aliran feminisme yang ada di dunia saat ini adalah :
Feminisme Liberal22.
Feminisme liberal berkembang di Barat pada abad ke-18 bersamaan
dengan semakin populernya arus pemikiran baru Zaman Pencerahan. Dasar
asumsi yang dipakai adalah doktrin John Lock tentang Natural Right (HAM),
bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu hak untuk hidup,
mendapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari kebahagiaan. Menurut
feminis liberal, agar persamaan hak antara pria dan wanita dapat terjamin
pelaksanaannya, maka perlu ditunjang dengan dasar hukum yang kuat. Oleh
karena itu feminis liberal lebih memfokuskan perjuangan mereka pada
perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat
melestarikan institusi keluarga yang patriakhat.
Usaha pertama yang cukup dramatis untuk mengaplikasikan doktrin
HAM pada perempuan, tertuang dalam satu deklarasi yang terkenal, yaitu
15

Declaration of Sentiments, yang disusun oleh Elizabeth Cady Stanton yang


dikeluarkan di Seneca Falls, New York yang dihadiri sekitr 100 orang. Dalam
deklarasi tersebut dituliskan sebanyak 15 protes mengenai nasib perempuan,
mulai dari masalah lembaga perkawinan yang menempatkan laki-laki sebagai
kepala keluarga, masalah hak wanita terhadap kepemilikan properti, hingga
masalah politik dan sosial seperti partisipasi perempuan dalam bidang
kedokteran, teologi, dan hukum.
Feminisme Sosialis23.
Ketika Karl Marx dan Friederich Engels memformulasikan teori dan
ideologinya, mereka melihat kaum perempuan yang kedudukannya identik
dengan kaum proletar pada masyarakat kapitalis barat. Mereka dalam teorinya
mempermasalahkan konsep kepemilikan pribadi, dan menganalogikan
perkawinan sebagai lembaga yang melegitimasi pria memiliki istri secara
pribadi. Menurut mereka, karena istri dimiliki oleh suami, maka ini
merupakan bentuk penindasan terhadap perempuan. Perempuan hanya dapat
dibebaskan dari penindasan ini, kalau sistem ekonomi kapitalis diganti
dengan masyarakat sosialis, yaitu masyarakat egaliter tanpa kelas-kelas ini
harus dimulai dari keluarga, dimana para istri dibebaskan dahulu agar dia
dapat menjadi diri sendiri, dan kalau sistem egaliter dalam keluarga dapat
tercipta maka ini akan tercermin pula dalam kehidupan masyarakat. Praktek
feminisme sosialis memang berbaur dengan berbagai jenis aliran feminisme.
Tetapi secara teori, bermacam bentuk penyadaran pada kaum perempuan
merupakan orientasi praksisnya. Feminisme sosialis adalah gerakan untuk
membebaskan para perempuan melalui perubahan struktur patriarkat.
Feminisme sosialis mengadopsi teori praksis Marxisme, yaitu teori
penyadaran pada kelompok tertindas, agar para wanita sadar bahwa mereka
merupakan kelas yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha
untuk membangkitkan rasa emosi, agar para perempuan bangkit untuk
mengubah keadaan. Dengan demikian diharapkan perempuan yang telah
bangkit kesadaran dan emosinya, secara berkelompok mengadakan konflik
langsung dengan kelompok dominan (laki-laki). Semakin tinggi tingkat
konflik, diharapkan akan mampu meruntuhkan sistem patriarkat yang ada.
Teologi Feminis24.
Teologi feminis bersumber dari mazhab teologi pembebasan yang
dikembangkan James Cone pada akhir 1960-an. Paham teologi pembebasan
16

tetap ingin mempertahankan agama. Namun agama ini bukan untuk


melegitimasi penguasa melainkan sebagai alat untuk membebaskan golongan
yang dianggap tertindas. Teologi feminis berkembang dalam berbagai agama
diantaranya Islam, Kristen dan Yahudi. Menurut para feminis, agama-agama
sering ditafsirkan dengan memakai ideologi patriarkat yang menyudutkan
perempuan. Para teolog feminis yang berkembang dalam Islam, berusaha
mencari konteks dan latar belakang ayat-ayat Al Quran dan hadist yang
berkenaan dengan perempuan. Tujuannnya adalah untuk membantah
penafsiran dan fikih yang merugikan perempuan, seperti yang dilakukan
Fatima Mernissi, Ali Asghar Engineer, Rifat Hasan, Amina Wadua, dan dari
Indonesia Masdar F. Masudi
Feminisme Radikal25.
Teori feminisme radikal berkembang pesat di AS pada 1960-1970an. Tidak seperti teori feminis sosialis, dimana masalah ekonomi dan struktur
sosial yang menciptakan sub ordinasi perempuan, feminisme radikal
berpendapat bahwa kertidakadilan gender bersumber dari perbedaan biologis
antara laki-laki dan perempuan itu sendiri. Perbedaan biologis ini terkait
dengan peran kehamilan dan keibuan yang selalu diperankan perempuan.
Semua ini termanifestasikan bilamana perempuan menikah dengan laki-laki,
maka perbedaan biologis ini akan melahirkan peran gender yang erat
kaitannya dengan masalah biologis.
Manifesto feminis radikal yang diterbitkan dalam Notes From The
Second Sex (1970) mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga
formalisasi untuk menindas perempuan, sehingga tugas para feminis adalah
menolak institusi keluarga baik pada tataran teori maupun praktis. Apabila
lembaga perkawinan tidak dapat dihindari, maka perlu diciptakan teknologi
untuk mengurangi beban biologis perempuan seperti kontrasepsi, dan bahkan
artificial devices atau alat-alat tiruan, seperti tiruan placenta dan bayi tabung,
sehingga perempuan tidak perlu lagi mengalami proses kehamilan.
Feminis radikal cenderung membenci makhluk laki-laki sebagai
individu maupun kolektif, mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa
perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan mereka, salah satu alternatifnya

17

adalah dengan hubungan heteroseksual (lesbian), hidup melajang, ataupun


menjanda.
Ekofeminisme26.
Ekofeminisme timbul karena ketidakpuasan akan arah
perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ekofeminisme
mempunyai konsep yang bertolak belakang dengan teori-teori feminisme
modern yang berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas
dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri.
Teori ekofeminisme adalah teori yang melihat individu secara lebih
komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan
lingkungannya.
Ekofeminisme yang ingin mengembalikan identifikasi perempuan
dengan alam, adalah usaha untuk membebaskan perempuan dari perangkap
sistem maskulin yang membuat perempuan menjadi bimbang akan perannya.
Sistem maskulin yang telah mewarnai peradaban modern dianggap merusak
dan menutupi nilai sakral kualitas feminin yang merupakan fitrah perempuan.

18

Indar Siswarini, Manusia, Keragaman dan Kesetaraan, makalah lokakarya penataran dosen MBB, proyek pendidikan tenaga akademik,
Dirjen Dikti, Depdiknas, Denpasar, September 2004.
2
M. Imarah, Islam dan Pluralitas; Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, Gema Insani, Jakarta, 1999, hal. 9.
3
Ibid.
4
dalam Ibid.
5
Indar Siswarini, Op.Cit.
6
Parsudi Suparlan, Multikulturalisme, Semilokakarya Dosen ISBD, Dirjen Dikti, Yogyakarta, 2001.
7
Parsudi Suparlan, Ibid.
8
Parsudi Suparlan, Kemajemukan Amerika : Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme. Jurnal Studi Amerika, Vol. 5, AgustusDesember 1999, Hal. 191-205.
9
Dalam, Parsudi Suparlan, Op.Cit.
10
Indar Siswarini, Op.Cit.
11
M. Imarah, Op.Cit.
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Supardi Suparlan, Kesetaraan Warga Dan Hak Budaya Komunitif Dlam Masyarakat Majemuk Indonesia, makalah Dirjen Dikti,
Jakarta
15
Sumanto, Komunikasi Antar Budaya, Makalah Dirjen Dikti, Jakrta
16
Ibid.
17
Nurul Huda. Dkk, Menggagas Jurnalisme Sensitif Gender, INPI Pact, Yogyakarta, 1998, hal. 4.
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Manneke Budiman, Feminisme Multikultural : Refleksi Sekaligus Proyeksi, dalam, Edi Hayat dan M. Surur (Ed), Perempuan
Multikultural : Negosiasi dan Representasi, Desantara, Jakarta, 2005, hal. 75.
22
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda ? : Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, Mizan Pustaka, Bandung, 1999, hal. 118.
23
Ibid, hal. 128.
24
Ibid, hal. 150.
25
Ibid, hal. 178.
26
Ibid, hal. 182.

Anda mungkin juga menyukai