MODUL 5
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN
Bahan pembelajaran ini, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut:
a. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian keragaman dan kesetaraan
b. Mahasiswa mampu menjelaskan makna keragaman dan kesetaraan dalam
kehidupan sosial dan budaya
c. Mahasiswa mampu menjelaskan problematika keragaman dan solusinya dalam
kehidupan masyarakat dan negara.
d. Mahasiswa mampu menjelaskan kesetaraan.
142
143
sikap ekstrem represif dan otoriter yang menafikkan perbedaan masing-masing pihak
dan keunikannya3.
Pluralitas juga bisa dianggap sebagai motivator dalam menghadapi ujian,
cobaan, kesulitan berkompetisi, dan berlomba-lomba dalam berkarya dan berkreasi
diantara masing-masing pihak yang berbeda dalam peradaban. Dan jika tidak ada
pluralitas, perbedaan dan perselisihan, maka tidak akan ada motivasi untuk
berkompetisi, berlomba dan saling dorong diantara individu manusia dan peradaban,
hal ini tentunya akan berakibat pada hidup yang stagnan dan tawar, serta mati tanpa
dinamika. Juga manusia tidak akan dapat mewujudkan tujuan-tujuan hidup, yaitu agar
manusia membangun bumi dan mengembangkan wujud peradabannya.
Sayyid Quthb4 mengatakan bahwa adalah tabiat manusia untuk berbeda.
Karena perbedaan ini adalah salah satu pokok dari pokok-pokok diciptakannya
manusia, yang menghasilkan hikmah yang tinggi. Seperti penugasan makhluk
manusia ini sebagai pemimpin di muka bumi, serta perbedaan mereka dalam
persiapan dan potensi-potensi serta tugas yang diemban. Sehingga, pada gilirannya
akan membawa kepada perbedaan dalam jerangka berfikir, kecenerungan metodologi
yang dipegang, dan tekhnik-tekhnik yang ditempuh. Sementara, dengan perbedaan
dan persaingan, manusia akan menggali potensi mereka yang terpendam, serta akan
selalu terjaga dan berusaha mengeksplorasi kekayan bumi ini, dengan menggunakan
kekuatannya serta rahasia-rahasinya yang terpendam, yang pada akhirnya akan
membawa kepada kebaikan, kemajuan dan pertumbuhan.
Namun, tindakan saling dorong dan saling membela, yang menjadi motivator
dan diperkuat oleh kemajemukan dan perbedaan itu, diharapkan senantiasa memiliki
sifat membawa manfaat, berada dalam kerangka kesatuan nilai yang konstan, serta
pokok-pokok yang menyatukan diantara pihak-pihak yang berselisih dan saling
membela diri tersebut. Karena harus ada timbangan yang konstan pula, yang
dianggap dapat memuaskan seluruh pihak yang berselisih dan kata akhir rujukan
dalam berdebat, serta ada tujuan yang sama dari manusia.
144
Istilah lain yang digunakan untuk masyarakat yang terdiri dari agama, ras,
bahasa, dan budaya yang berbeda, yakni keragaman (diversity) yang menunjukkan
bahwa keberadaaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen dan bahkan
tidak dapat disamakan. Pada abad ke-20, kemajemukan menjadi syarat demokrasi.
Serba tunggal, misalnya, satu ideologi, satu partai politik, satu calon pemimpin,
dianggap sebagai satu bentuk pemaksaan dari negara5.
Furnivall adalah yang pertama kali mengintroduksi konsep masyarakat
majemuk pada waktu dia membahas kebijakan dan praktek-praktek pemerintahan
jajahan di Indonesia. Dia menunjukkan bahwa sebuah masyarakat majemuk ditandai
oleh penduduknya yang secara suku bangsa dan rasial saling berbeda yang hidup
dalam satuan-satuan kelompok masing-masing, yang hanya bertemu di pasar. Ciri-ciri
ini ada pada masyarakat jajahan yang merupakan produk dari politik ekonomi
penjajahan untuk menguasai sumberdaya yang ada setempat. Produk dari politik
ekonomi ini adalah adanya golongan penjajah yang mempersatukan secara paksa
masyarakat-masyarakat pribumi kedalam sebuah masyarakat jajahan untuk diatur dan
diperibtah guna kepentingan ekonomi penjajah. Disamping golongan penjajah dan
pribumi terdapat golongan pedagang perantara yang biasanya adalah orang-orang
asing yang secara sosial dan rasial tidak tergolong sama dengan golongan penjajah
ataupun golongan pribumi. Di Indonesia, tiga golongan ini terwujud secara vertical
sebagai orang Belanda dan Kulit Putih lainnya, orang Pribumi, dan orang Timur
Asing (orang Cina dan Arab) yang masing-masing hidup dalam kelompok-kelompok
dan pemukimannya sendiri menurut kebudayaan dan pranata-pranata masing-masing,
dan keteraturan serta ketertiban kehidupan mereka diatur oleh hukum yang masingmasing berbeda satu dari lainnya6.
Konsep Multikulturalisme juga dapat dianggap sesuai dengan masalahmasalah perbedaan, bahkan konsep ini juga mampu menjembatani perbedaanperbedaan
yang
muncul
dari
kemajemukan.
Apabila
pluralitas
sekedar
145
146
pelaku dalam kehidupannya tanpa ada hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan
yang diadopsi tersebut, karena
dilihat
sebagai
pengikat
dan
jembatan
yang
mengakomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan-perbedaan kesukubangsaan dan suku-bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Pengertian ini
mengacu pada pengertian bahwa perbedaan-perbedaan tersebut terwadahi di tempattempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan
derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Sedangkan kesukubangsaan dan
masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan suku bangsanya tetap dapat hidup dalam
ruang lingkup atau suasana kesukubangsaanya. Tetapi didalam suasana-suasana
nasional dan tempat-tempat umum yang seharusnya menjadi cirinya adalah
kebangsaan dengan pluralisme budayanya, dan bukannya sesuatu kesukubangsaan
atauk sesuatu kebudayaan suku bangsa tertentu yang dominan.
2. Makna Keragaman Dan Kesetaraan Dalam Kehidupan Sosial Dan Budaya
Makna keragaman seperti yang telah sedikit dibahas pada sub bab pngertian
keragaman dan kesetaraan diatas, adalah sebagai motivator untuk menhadapi ujian,
cobaan, kesulitan berkompetisi dan berlomba-lomba dalam berkarya dan berkreasi
diantara masing anggota masyarakat (yang beda budaya). Dengan keragaman,
kehidupan menjadi dinamis dan tidak stagnan karena terdapat kompertisi dari
masing-masing elemen budaya untuk berbuat yang terbaik. Hal ini membuat hidup
menjadi tidak membosankan karena selalu ada pembaruan menuju kemajuan.
Selain itu keragaman yang terdapat di masyarakat dapat mesujudkan
terciptanya manusia antar budaya. Manusia antar budaya adalah orang yang telah
147
mencapai tingkat tinggi dalam proses antar budaya secara kognitif, afektif, dan
perilakunya tidak terbatas, tetapi terus berkembang melewati parameter psikologis
suatu budaya, memiliki kepekaan budaya yang berkaitan erat dengan kemampuan
berempati terhadap budaya.
Manusia antar budaya adalah orang yang identitas dan loyalitasnya melewati
batas-batas kebangsaan dan komitmennya bertaut dengan pandangan bahwa dunia
merupakan komunitas global, ia merupakan orang yang secara intelektual dan
emosional terikat pada kesatuan fundamental semua manusia yang pada saat yang
sama mengakui, menerima, dan menghargai perbedaan mendasar antara orang-orang
yang berbeda budaya.
Indonesia merupakan negara yang terdiri atas berbagai pulau yang dihuni oleh
berbagai macam jenis suku bangsa. Dengan adanya beragam suku bangsa tersebut,
maka akan ditemui pula berbagai macam ras, bahasa, agama, dan kebudayaan.
Keragaman ini menunjukkan bahwa struktur masyarakat Indonesia adalah masyarakat
majemuk. Keragaman ini dalam segi positif akan memberikan kebanggan tersendiri
bagi Indonesia, namun dari segi negatif akan juga menyimpan potensi munculnya
konflik.
Pluralitas adalah suatu konsep yang mengandaikan adanya hal-hal yang lebih
dari satu. Sisi lain pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh keutamaan
(keunikan) dan kekhasan. Pluralitas juga dapat dianggap sebagai motivator dalam
menghadapi ujian, cobaan, kesulitan berkompetisi serta berlomba-lomba dalam
berkarya dan berkreasi diantara masing-masing pihak yang berbeda dalam peradaban.
Sebuah istilah lain yang juga memiliki arti yang sama dengan pluralitas ialah
keragaman, yang menunjukkan bahwa keberadaan yang lebih dari satu itu berbedabeda, heterogen, bahkan tidak dapat disamakan.
Keragaman yang terdapat di masyarakat dapat mewujudkan terciptanya
manusia antar budaya. Manusia antar budaya adalah orang yang telah mencapai
tingkat tinggi dalam proses antar budaya secara kognitif, afektif, dan perilakunya
tidak terbatas, tetapi terus berkembang melewati parameter psikologis suatu budaya,
148
yaitu
multikulturalisme
multikulturalisme
otonomis,
isolasionis,
multikulturalisme
multikulturalisme
kritikal
atau
akomodatif,
interaktif,
dan
149
150
151
hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya serta
manusia dengan lingkungannya seperti keluarga, masyarakat, negara bahkan alam
sekitarnya. Juga terdapat pemikiran-pemikiran yang berbeda tentang takaran hak-hak
dan tangung jawab-kewajiban, kebebasan, kekuasaan dan persamaan.
Huntington memfokuskan pandangannya pada faktor-faktor benturan antara
peradaban-peradaban ini, tidak hanya pada masa lalu saja, namun juga pada masa
yang akan datang. Sehingga, dia mensinyalir bahwa benturan adalah suatu
keniscayaan dalam hubungan antar-beragam peradaban. Terutama antara peradaban
Barat dan peradaban Islam (pada awalnya) dan kedua adalah dengan peradaban Cina.
Huntington tidak berkata tentang determinisme filosofi benturan-benturan
peradaban tersebut. Sebaliknya, Huntington berkata tentang determinisme realitas
benturan tersebut. Bahkan, benturan antara dua peradaban yaitu peradaban Barat dan
peradaban Islam terjadi sepanjang 1300 tahun, dan kedua belah pihak melihat
hubungan antara Barat dan Islam sebagai benturan peradaban12.
Karena
benturan
ini
merupakan
suatu
keniscayaan
realitas
dan
152
bersama Amerika Utara dan Amerika Latin. Atau, Barat budaya dan yang dekat
dengan budaya Barat Kristen dengan sekte-sekte yang beragam.
2.
3.
4.
sebagai
fase
penguasaan
Barat
atas
peradaban-peradaban
non-Barat.
Dia
153
menjaga kekuatan ekonomi dan kekuatan militernya yang diperlukan untuk menjaga
kepentingannya yang berhubungan dengan peradaban-peradaban itu.
Huntington mengilustrasikan masa depan peradaban dengan Barat sebagai
peradaban yang memonopoli singgasana peradaban dunia, dan melihat perseteruan
antar peradaban-peradaban yang beragam, sebagai jalan untuk menghapus keragaman
peradaban ini. Setelah barat menyatukan kesatuannya, mempersiapkan seluruh
kemampuannya, serta menekan peradbaan-peradaban non-Barat, maka ia harus
menjalankan strategi fase jangka pendek. Dan yang pertama dari strategi perseteruan
ini yaitu mematahkan kekuatan peradaban Islam dan perdaban Cina sambil mengikat
seluruh
peradaban
lainnya
dalam
lembaga-lembaga
internasional
yang
154
kelamin, posisi sosial atau keyakina keagamaan, dan tidak pula mengenal batasan
nilai uang dari barang dan harta benda yang di hancurkan.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai sebuah masyarakat multiethnis atau
bersuku bangsa banyak. Tetapi masyarakat Amerika bukanlah sebuah masyarakat
majemuk, karena masyarakat tersebut terwujud sebagai bangsa tidak dengan cara
mempersatukan suku bangsa-suku bangsa yang dilakukan oleh sistem nasionalnya.
Pada masa kini yang ditonjolkan di Amerika bukanlah coraknya yang multietnis,
melainkan beranekaragamnya kebudayaan yang dipunyai oleh bangsa Amerika.
Kebudayaan Amerika yang beranekaragam itu bisa dimiliki oleh setiap individu atau
komuniti, sehingga jati diri suku bangsa atau rasia dari individu menjadi tidak
relevan. Seseorang atau kelompok orang kulit putih yang tergolong keturunan WASP
bisa saja mempunyai kebudayaan India, Cina, Jepang, atau yang lainnya.
Kebijakan untuk secara nasional dan sosial meredam atau menyimpan jati diri
rasial atau suku bangsa, dan sebaliknya menonjolkan ide keanekaragaman
kebudayaan atau masyarakat multikulturalisme, dapat dilihat sebagai kebijakan yang
bertujuan untuk meredam potensi-potensi pengembangan, dan kemajuan melalui ide
keanekargaman kebudayaan yang memang sejalan dan mendukung berlakunya
prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat.
Model masyarakat multikultural atau berkeanekaragaman kebudayaan ini
yang telah berhasil meredam potensi-potensi konflik rasial dan kesukubangsaan perlu
kita pelajari dengan seksama dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya majemuk
dan yang akhir-akhir ini telah dilanda oleh berbagai bentuk konflik rasial,
kesukubangsaan, dan keagamaan. Konflik-konflik itu sangat merugikan dan dapat
mencabik-cabik integrasi bangsa dan kebangsaan Indonesia. Menggeser idiom
masyarakat majemuk menjadi masyarakat beraneka ragam kebudayaan sebagai
sebuah kebijakan politik kebudayaan pada tingkat nasional maupun lokal, dan akan
memungkinkan diterapkannya prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi itu dilandasi
oleh kesetaraan derajat individu atau warga, serta muncul dan mantapnya hak budaya
komuniti dalam kaitan keseimbangannya dengan kekuasaan negara atau masyarakat.
155
2.
3.
4.
2.
3.
156
4.
Komunikasi
antar
kelas
mempunyai
tujuan
untuk
menghindari
individu
atau
warga,
dan
toleransi
terhadap
perbedaan
dan
157
Secara hipotesis, dalam wadah masyarakat Bhinneka Tunggal Ika Indonesia yang
seperti inilah maka proses-proses demokrasi akan dapat diwujudkan.
Pemahaman tentang hubungan keragaman dengan kesetaraan di dalam
masyarakat dengan tujuan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang muncul
dari masyarakat dianggap sebagai suatu hal yang penting.
Pemahaman tentang
hubungan antara keragaman dan kesetaraan itu harus seiring dan sejalan dengan
praktek-praktek
hubungan
sosial-budaya
masayarakat.
Untuk
itu
Suparlan
mengatakan :
1. Perlu kebijakan secara nasional dan sosial untuk meredam atau menyimpan
jati diri suku bangsa atau ras, dan sebaliknya
menonjolkan
ide
158
Banyak pemahaman yang keliru ketika orang mengartikan seks dan gender,
karena gender dalam bahasa Inggris hanya diartikan sebagai jenis kelamin. Untuk itu
perlu dipahami terlebih dahulu bahwa seks merupakan suatu hal yang merupakan
kodrat berupa ciri-ciri fisik/ biologis yang tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki
dan perempuan. Misalnya, perempuan yang mengalami haid, hamil dan melahirkan
yang ini tidak mungkin bisa dilakukan laki-laki. Dan sebaliknya laki-laki memiliki
jakun, sperma dan alat vital berupa penis. Seks bersifat kodrati yang tidak mengenal
batas ruang dan waktu, bersifat alamiah dan tidak akan berubah dalam kondisi
apapun17.
Sedangkan gender, merupakan pelabelan yang pada kenyataannya dibentuk
oleh budaya, tidak bersifat permanen, dan oleh karenanya bisa dipertukarkan antara
laki-laki dan perempuan. Gender tergantung pada nilai-nilai yang dianut masyarakat,
hasil konstruksi tradisi, budaya, agama dan ideologi tertentu yang mengenal batas
ruang dan waktu yang langsung membentuk karakteristik laki-laki dan perempuan.
Saat ini di dalam kehidupan bermasyarakat ada pemilahan sifat manusia yaitu
feminim dan maskulin. Sifat-sifat feminim dan maskulin dapat dikategorikan sebagai
berikut18 :
Sifat Maskulin
1.
agresif
2.
en
3.
4.
5.
6.
7.
menangis
8.
mudah tersinggung
9.
kompetitif
10.
Aktif
Independ
Rasional
Obyektif
Tegas
Keras
Jarang
Tidak
Lebih
Lebih
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Sifat Feminim
Pasif / nonagresif
Dependen
Emosional
Subyektif
Kurang tegas
Lemah lembut
Sering menangis
Mudah tersinggung
Kurang kompetitif
Tidak suka berpetualang
Berorientasi ke rumah
Kurang ambisius
Kurang percaya diri
Pengasuh, pemelihara
Dsb
159
suka berpetualang
11.
Lebih
mendunia
12.
Ambisiu
s
13.
Percaya
diri
14.
Pemimpi
n, pelindung
15.
Dsb
Sifat feminin seringkali dilekatkan pada diri perempuan dan sifat maskulin
seringkali dianggap sebagai sifat laki-laki. Sehingga bila ada seorang yang bersikap
tidak sesuai dari sifat-sifat yang sudah dilekatkan pada dirinya oleh masyarakat maka
dia diangggap menyimpang atau salah. Padahal pada riilnya, potensi yang dimiliki
laki-laki dan perempuan sebagai sesama manusia adalah relatif. Tidak semua laki-laki
mampu bersikap tegas. Demikian pula tidak semua perempuan bersikap cengeng, dan
seterusnya.
Persoalannya kemudian, dari pelabelan yang ada di masyarakat ini
memunculkan ketidakadilan yang berkaitan dengan relasi antara perempuan dan lakilaki. Setidaknya ada lima isu gender yang dialami perempuan akibat ketidakadilan
gender19 yaitu :
1. Kekerasan terhadap perempuan.
2. Beban ganda perempuan
3. Marginalisasi perempuan
4. Subordinasi perempuan
5. Stereotype terhadap perempuan
Sedangkan
manifestasi
ketidakadilan
gender
bagi
perempuan
dapat
160
161
mereka pada perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat
melestarikan institusi keluarga yang patriakhat.
Usaha pertama yang cukup dramatis untuk mengaplikasikan doktrin HAM
pada perempuan , tertuang dalam satu deklarasi yang terkenal, yaitu declaration of
Sentiments, yang disusun oleh Elizabeth Cady Stanton yang dikeluarkan di Seneca
Falls, New York yang dihadiri sekitr 100 orang. Dalam deklarasi tersebut dituliskan
sebanyak 15 protes mengenai nasib perempuan , mulai dari masalah lembaga
perkawinan yang menempatkan laki-laki sebagai akepala keluarga, masalah hak
wanita terhadap kepemilikan properti, hingga masalah politik dan sosial seperti
partisipasi perempuan dalam bidang kedokteran, teologi, dan hukum.
b. Feminisme Sosialis23.
Ketika Karl Marx dan Friederich Engels memformulasikan teori dan
ideologinya, mereka melihat kaum perempuan yang kedudukannya identik dengan
kaum
proletar
pada
masyarakat
kapitalis
barat.
Mereka
dalam
teorinya
162
c. Teologi Feminis24.
Teologi feminis bersumber dari mazhab teologi pembebasan yang
dikembangkan James Cone pada akhir 1960-an.paham teologi pembebasan tetap
ingin mempertahankan agama. Namun agama ini bukan untuk melegitimasi penguasa
melainkan sebagai alat untuk membebaskan golongan yang dianggap tertindas.
Teologi feminis berkembang dalam berbagai agama diantaranya Islam, kristen dan
yahudi. Menurut para feminis, agama-agama serring ditafsirkan dengan memakai
ideologi patriarkat yang menyudutkan perempuan.para teolog feminis yang
berkembang dalam Islam, berusaha mencari konteks dan latar belakang ayat-ayat Al
Quran dan hadis yang berkenaan dengan perempuan. Tujuannnya adalah untuk
membantahpenafsiran dan fikih yang merugikan perempuan, seperti yang dilakukan
Fatima Mernissi, Ali Asghar Engineer, Rifat Hasan, Amina Wadua, dan dari Indonesia
Masdar F. Masudi.
d. Feminisme Radikal25.
Teori feminisme radikal berkembang pesat di AS pada 1960-1970-an. Tidak
seperti teori feminis sosialis, dimana maslaah ekonomi dan struktur sosial yang
menciptakan sub ordinasi perempuan, feminisme radikal berpendapat bahwa
kertidakadilan gender bersumber dari perbedaan biologis antara laki-laki dan
perempuan itu sendiri. Perbedaan biologis ini terkait dengan peran kehamilan dan
keibuan yangs elalu diperankan perempuan. Semua ini termanifestasikan bilamana
163
perempuan menikah dengan laki-laki, maka perbedaan nbiologis ini akan melahirkan
peran gender yang erat kaitannya dnegan masalah biologis.
Manifesto feminis radikal yang diterbitkan dalam Notes From The Second
Sex (1970) mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi
untuk menindas perempuan, sehingga tugas para feminis adalah menolak institusi
keluarga baik pada tataran teori maupun praktis. Apabila lembaga perkawinan tidak
dapat dihindari, maka perlu diciptakan teknologi untuk mengurangi beban biologis
perempuan seperti kontrasepsi, dan bahkan artificial devices atau alat-alat tiruan,
seperti tiruan placenta dan bayi tabung, sehingga perempuan tidakl perlu lagi
mnegalami proses kehamilan.
Feminis radikal cenderung membenci makhluk laki-laki sebagai individu
maupun kolektif, mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan
laki9-laki dalam kehidupan mereka, salah satun alternatifnya adalah dengan
hubungan heteroseksual (lesbian), hidup melajang, ataupun menjanda.
e. Ekofeminisme26.
Ekofeminisme timbul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi
dunia yang semakin bobrok.teori ekofeminisme mempunyai
konsep yang
164
LATIHAN
1.
2.
3.
4.
5.
165
kekesalan dan memicu rasa simpati yang besar kepada kaum perempuan. Coba
Saudara kemukakan pengertian gender?
2.
3.
4.
5.
166
RANGKUMAN
Model masyarakat multikultural atau berkeanekaragaman kebudayaan ini
yang telah berhasil meredam potensi-potensi konflik rasial dan kesukubangsaan perlu
kita pelajari dengan seksama dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya majemuk
dan yang akhir-akhir ini telah dilanda oleh berbagai bentuk konflik rasial,
kesukubangsaan, dan keagamaan. Konflik-konflik itu sangat merugikan dan dapat
mencabik-cabik integrasi bangsa dan kebangsaan Indonesia. Menggeser idiom
masyarakat majemuk menjadi masyarakat beraneka ragam kebudayaan sebagai
sebuah kebijakan politik kebudayaan pada tingkat nasional maupun lokal, dan akan
memungkinkan diterapkannya prinsip demokrasi.
Komunikasi antar budaya perlu dikembangkan sebagai upaya untuk mencapai
pertukaran dialektis antar budaya, mengembangkan kesederajatan dan menghapus
diskriminasi, memupuk rasa solidaritas nasional dengan cara membiasakan diri dalam
kehidupan bersama, mendorong terjadinya pembauran secara alamiah sehingga
mampu mengatasi perbedaan budaya.
Komunikasi antar budaya mempunyai cakupan, antara lain; pertama,
komunikasi antar ras yang bertujuan untuk menghilangkan prasangka rasial; kedua,
komunikasi antar etnik bertujuan untuk mensosialisasikan dan membudayakan
pertukaran informasi kebudayaan antar suku bangsa; ketiga, komunikasi antar agama
167
mempunyai tujuan yaitu memupuk perilaku keagamaan dan sosial yang akomodatif;
keempat,
komunikasi
antar
kelas
mempunyai
tujuan
untuk
menghindari
individu
atau
warga,
dan
toleransi
terhadap
perbedaan
dan
168
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Manneke, 2005, Feminisme Multikultural : Refleksi Sekaligus Proyeksi,
dalam, Edi Hayat dan M. Surur (Ed), Perempuan Multikultural : Negosiasi dan
Representasi, Desantara, Jakarta.
Huda, Nurul, Dkk, 1998, Menggagas Jurnalisme Sensitif Gender, INPI Pact,
Yogyakarta.
Imarah,M., 1999, Islam dan Pluralitas; Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai
Persatuan, Gema Insani, Jakarta.
Megawangi, Ratna, 1999, Membiarkan Berbeda ? : Sudut Pandang Baru Tentang
Relasi Gender, Mizan Pustaka, Bandung.
Parsudi Suparlan, 2001, Multikulturalisme, Semilokakarya Dosen ISBD, Dirjen Dikti,
Yogyakarta.
Siswarini, Indar, 2004, Manusia, Keragaman dan Kesetaraan, makalah lokakarya
penataran dosen MBB, proyek pendidikan tenaga akademik, Dirjen Dikti,
Depdiknas, September 2004, Denpasar.
Sumanto, 2000, Komunikasi Antar Budaya, Makalah Dirjen Dikti, Jakarta.
Supardi Suparlan, 2000, Kesetaraan Warga Dan Hak Budaya Komunitif Dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia, makalah Dirjen Dikti, Jakarta.
Suparlan, Parsudi, 1999, Kemajemukan Amerika : Dari Monokulturalisme ke
Multikulturalisme. Jurnal Studi Amerika, Vol. 5, Agustus- Desember 1999.
169
TES FORMATIF 5
Pilihlah salah satu jawaban yang tepat!
1.
Masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku, golongan, ras, agama, etnik,
bahasa, dan politik dan didalamnya masih terdapat konflik antar suku, golongan,
ras, agama, etnik, bahasa dan politik disebut masyarakat
a) Majemuk
b) Multikultural
c) Multietnik
d) Multibudaya
2.
Masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku, golongan, ras, agama, etnik,
bahasa, dan politik dan didalamnya tidak terdapat konflik antar suku, golongan,
ras, agama, etnik, bahasa dan politik disebut masyarakat
a) Majemuk
b) Multikultural
c) Multietnik
d) Multibudaya
3.
4.
170
6.
Setidaknya ada lima isu gender yang dihadapi perempuan akibat ketidakadilan
gender, kecuali
a) Kekerasan dan marginalisasi
b) Beban Ganda
c) Subordinasi dan stereotype
d) Peran publik dan domestik
7.
8.
9.
171
Tingkat penguasaan =
= kurang
172
KUNCI JAWABAN
1.
A - Majemuk
2.
B - Multikultural
3.
D - Komunikasi politik
4.
5.
D - Finlandia
6.
7.
C - Bidang agama
8.
9.
Indar Siswarini, Manusia, Keragaman dan Kesetaraan, makalah lokakarya penataran dosen MBB, proyek pendidikan
tenaga akademik, Dirjen Dikti, Depdiknas, Denpasar, September 2004.
2
M. Imarah, Islam dan Pluralitas; Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, Gema Insani, Jakarta, 1999,
hal. 9.
3
Ibid.
4
dalam Ibid.
5
Indar Siswarini, Op.Cit.
6
Parsudi Suparlan, Multikulturalisme, Semilokakarya Dosen ISBD, Dirjen Dikti, Yogyakarta, 2001.
7
Parsudi Suparlan, Ibid.
8
Parsudi Suparlan, Kemajemukan Amerika : Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme. Jurnal Studi Amerika, Vol. 5,
Agustus- Desember 1999, Hal. 191-205.
9
Dalam, Parsudi Suparlan, Op.Cit.
10
Indar Siswarini, Op.Cit.
11
M. Imarah, Op.Cit.
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Supardi Suparlan, Kesetaraan Warga Dan Hak Budaya Komunitif Dlam Masyarakat Majemuk Indonesia, makalah
Dirjen Dikti, Jakarta
15
Sumanto, Komunikasi Antar Budaya, Makalah Dirjen Dikti, Jakrta
16
Ibid.
17
Nurul Huda. Dkk, Menggagas Jurnalisme Sensitif Gender, INPI Pact, Yogyakarta, 1998, hal. 4.
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Manneke Budiman, Feminisme Multikultural : Refleksi Sekaligus Proyeksi, dalam, Edi Hayat dan M. Surur (Ed),
Perempuan Multikultural : Negosiasi dan Representasi, Desantara, Jakarta, 2005, hal. 75.
22
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda ? : Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, Mizan Pustaka, Bandung,
1999, hal. 118.
23
Ibid, hal. 128.
24
Ibid, hal. 150.
25
Ibid, hal. 178.
26
Ibid, hal. 182.