Anda di halaman 1dari 5

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA AKULTURASI DAN ADAPTASI

(CULTURE SHOCK)

Culture shock atau dalam bahasa Indonesia disebut gegar budaya, adalah istilah
psikologis untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang menghadapi kondisi
lingkungan sosial budaya yang berbeda. Istilah culture shock pertama kali dikenalkan oleh
Kelvero Oberg pada tahun 1955. Pada awalnya definisi culture shock menekankan pada
komunikasi. Oberg mendefinisikan culture shock sebagai kecemasan yang timbul akibat
hilangnya sign dan simbol hubungan sosial yang familiar.
Orang-orang yang telah mengembangkan budaya adalah orang-orang yang telah
hidup bersama dan saling mempengaruhi satu sama lain. Keseluruhan cara hidup tersebut
termasuk nilai-nilai, kepercayaan, standar estetika, ekspresi lingusitik, pola berpikir, norma
perilaku, dan gaya komunikasi. Di sisi lain, semuanya adalah cara yang dapat menjamin
kelangsungan hidup masyarakat dalam lingkungan fisik dan lingkungan manusia tertentu
(Pusch, 1979, dikutip oleh Wan, 1999). Akibatnya, orang-orang yang terbiasa dengan budaya
mereka sendiri, namun orang-orang akan butuh waktu untuk terbiasa dengan budaya yang
baru atau budaya lain (Young, 2004).
Memasuki budaya yang berbeda membuat individu menjadi orang asing di budaya
tersebut saat individu dihadapkan dengan situasi ketika kebiasaan-kebiasaannya diragukan.
Hal ini dapat menimbulkan keterkejutan dan stress. Keterkejutan dapat menyebabkan
terguncangnya konsep diri dan identitas cultural individu dan mengakibatkan kecemasan.
Kondisi ini menyebabkan sebagian besar individu dan mengakibatkan kecemasan. Kondisi
ini menyebabkan sebagian besar individu mengalami gangguan mental dan fisik, setidaknya
untuk jangka waktu tertentu. Reaksi terhadap situasi tersebut oleh Oberg disebut dengan
istilah culture shock (Gudykunst dan Kim, 2003).

Tahap terjadinya Culture Shock
Furnham dan Bochner (1986) menggunakan istilah berbeda bagi individu yang tinggal
di kultur baru berdasarkan lamanya ia tinggal. Turis adalah mereka yang tinggal di suatu
kultur baru namun tidak terlalu lama (kurang dari 6 bulan). Sedangkan mereka yang tinggal
dalam waktu lama dikenal dengan istilah sojourner (sekitar 6-bulan s.d. 5 tahun) yang
dibedakan dengan imigran yang tinggal selamanya di negara yang baru. Pada saat seseorang
memasuki kultur yang baru, ada beberapa tahap yang biasanya dialami individu tersebut
sehubungan dengan culture shock (Oberg dalam Irwin, 2007; Guanipa, 1998). Tahap-tahap
ini dikenal dengan istilah U-Shape, Yaitu:



Tahap Honey moon/ Euphoria/ Fun
Ini adalah saat pertama kali individu datang ke tempat yang baru, biasanya
berlangsung sekitar beberapa hari sampai beberapa bulan. Pada masa ini individu masih
terpesona dengan segala sesuatu yang baru. Periode ini ditandai dengan perasaan
bersemangat, antusias, terhadap kultur baru dan orang-orangnya. Pada masa ini perbedaan-
perbedaan budaya masih dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan menyenangkan. Hal ini
bisa dikatakan sebagai masa pengalaman menjadi turis. Biasanya turis akan pulang sebelum
masa honeymoon selesai, sehingga yang tersisa dalam kenangannya adalah berbagai hal
menyenangkan yang ia temui di tempat barunya. Namun bila seseorang tinggal di tempat ini
lebih lama, bisa jadi keadaan ini akan diikuti dengan menurunnya suasana hati ketika
individu sudah mulai mengalami persoalan-persoalan yang muncul karena adanya
keberbedaan budaya.

Tahap Krisis yaitu: agresif/ regresi/Flight
Pada tahap berikutnya, individu seringkali dihadapkan pada berbagai macam
perbedaan budaya yang ternyata dapat memicu persoalan-persoalan yang belum pernah
dihadapinya sebelumnya. Persoalan-persoalan yang nyata ini biasanya menimbulkan
perasaan agresif, marah pada kultur barunya karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal.
Biasanya individu-individu akan berpaling kepada teman-teman senegaranya, yang dianggap
lebih bisa diajak bicara dengan cara pandang yang sama karena memiliki kultur yang sama.
Seringkali muncul pendewaan terhadap kultur asal, menganggap kultur asalnya adalah kultur
yang paling baik, dan mengkritik kultur barunya sebagai kultur yang tidak masuk akal, tidak
menyenangkan dan aneh. Kondisi mengkritik kultur baru ini bisa termanifestasi dalam
kebencian terhadap kultur baru, menolak belajar bahasanya, terlibat dengan orang-orang di
kultur baru tsb. Pada masa ini juga muncul stereotip-stereotip tentang orang-orang dari kultur
baru yang bisa menghalangi interaksi yang efektif dengan penduduk asli.
Oberg (dalam Irwin 2007) menyebut masa ini sebagai masa krisis yang akan
menentukan apakah individu akan tinggal atau meninggalkan tempat barunya. Pada masa ini
pula bisa muncul keinginan regresi, keinginan-keinginan untuk pulang ke rumah, rindu
dengan kondisi-kondisi yang ada di negri asalnya serta mendapatkan perlindungan dari
orang-orang yang memiliki kultur yang sama.

Proses Adjustment
Bila individu bertahan di dalam krisis, maka individu akan masuk pada tahap ketiga.
Tahap ini terjadi apabila individu mulai bersedia untuk belajar kultur baru. Pada periode ini,
individu mulai memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai antara kultur aslinya dan
kultur baru yang saat ini dimasukinya. Ia mungkin mulai paham bagaimana cara
menggunakan teknologi yang baru, telah mulai menemukan makanan yang lebih cocok
dengan lidah dan perutnya, serta mengatasi iklim yang berbeda dll. Ia mulai menemukan arah
untuk perilakunya, dan bisa memandang peristiwa-peristiwa di tempat barunya dengan rasa
humor.
Adler (1975) mengelaborasi konsep ini seperti dikembangkan dalam Furnham dan
Bochner (1986), bahwa pertama-tama individu mengalami perasaan terisolasi dari kulturnya
yang lama. Dan proses disintegrasi terjadi saat individu semakin sadar adanya berbagai
perbedaan antara kultur lama dan kultur baru yang diikuti dengan penolakan terhadap kultur
baru. Namun demikian, hal ini akan diikuti oleh integrasi dari kultur baru dan saat ia mulai
menguasai bahasa setempat, ia semakin mampu menegosiasikan kebutuhannya sehingga
tumbuh perasaan otonomi dalam dirinya. Dan akhirnya ia mencapai tahap kemandirian,
dimana ia mampu menciptakan makna dari berbagai situasinya, dan perbedaan yang ada
akhirnya bisa dinikmati dan diterima.

Fit/Integration.
Periode berikutnya terjadi apabila individu mulai menyadari bahwa kultur barunya
punya hal yang baik maupun hal yang buruk, dimana ia harus menyikapi dengan tepat. Pada
masa ini akan terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari kultur
baru, dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki, sehingga muncul perasaan memiliki. Ini
memungkinkan munculnya definisi baru mengenai dirinya sendiri.

Re-entry shock
Tahap terakhir ini dapat muncul pada saat individu kembali ke negri asalnya. Individu
mungkin menemukan bahwa cara pandangnya terhadap banyak hal tidak lagi sama seperti
dulu. Dan pada masa inipun membutuhkan kembali penyesuaian terhadap kulturnya yang
lama sebagaimana ia dulu memasuki kultur yang baru. Dalam penelitian Gaw (2000)
ditemukan bahwa individu yang kembali ke dalam negrinya dan mengalami re-entry culture
shock yang tinggi akan menunjukkan adanya masalah dalam penyesuaian diri dan mengalami
masalah rasa malu dibandingkan mereka yang mengalami re-entry culture shock yang rendah.

Sementara itu, terdapat tanda-tanda seseorang yang mengalami culture shock:
1. Terus-terusan berpikir negatif dan mulai membanding-bandingkan keadaan ditempat baru
dengan kampung halaman, tempat baru tidak lebih bagus dari tempat sebelumnya, mulai
membentuk pencitraan buruk terhadap budaya baru dan menghakimi banyak orang.
2. Mulai frustasi, gampang marah dengan hal-hal kecil, mulai frustasi karena tidak bisa
mengikuti pola hidup disana. Menjadi malas bergaul dan memilih diam saja karena merasa
tidak PD.
3. Mulai merasa sedih dan terasingkan walaupun saat itu sedang berada di tengah-tengah
orang banyak.
4. Mulai kehilangan identitas dan ciri-ciri pribadi.
5. Mulai merasa kurang sehat, jadi sering flu, pilek, demam, diare dan lain sebagainya.

EFEK CULTURE SHOCK

Dampak Negatif
Perkembangan teknologi, terutama masuknya kebudayaan asing (barat) tanpa disadari
telah menghancurkan kebudayaan local. Minimnya pengetahuan menjadi pemicu akulturasi
kebudayaan yang melahirkan jenis kebudayaan baru. Masuknya kebudayaan tersebut tanpa
disaring oleh masyarakat dan diterima secara mentah. Akibatnya kebudayaan asli masyarakat
mengalami degradasi yang sangat luar biasa.
Budaya asing yang masuk ke Indonesia menyebabkan multi efek. Budaya Indonesia
perlahan-lahan semakin punah. Berbagai iklan yang mengantarkan kita untuk hidup gaul
dalam konteks modern dan tidak tradisional sehingga memunculkan banyaknya kepentingan
para individu yang mengharuskan berada diatas kepentingan orang lain. Akibatnya terjadi
sifat individualism semakin berpeluang untuk menjadi budaya kesehariannya. Ini semua
sebenarnya terhantui akan praktik budaya yang sifatnya hanya memuaskan kehidupan
semata. Sebuah kebobrokan ketika bangsa Indonesia telah pudar dalam bingkai kenafsuan
belaka berprilaku yang sebenarnya tidak mendapatkan manfaat sama sekali jika dipandang
dari sudut keislaman. Artinya, di zaman sekarang ini manusia hidup dalam tingkat Hidonisme
yang sangat tinggi berpikir dalam jangka pendek hanya mencari kepuasan belaka dimana
kepuasan tersebut yang menyesatkan umat islam untuk berperilaku.
Salah satu contoh sederhana sesuai dengan kenyataan, dari cara berpakaian para artis
yang berdandan seperti selebritis budaya barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim
bahan, yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara
berpakaian tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Dan juga gaya rambut
mereka di cat beraneka warna. Mereka lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara
menutupi identitasnya.





Contoh dampak negatif lain di bidang teknologi adalah :
Pemanfaatan jasa komunikasi oleh jaringan teroris.
Penggunaan informasi tertentu dan situs tertentu yang terdapat di internet yang bisa
disalah gunakan pihak tertentu untuk tujuan tertentu.
Bisa terjadi penipuan atau penculikan.

Dampak Positif
Dalam bidang informasi dan komunikasi telah terjadi kemajuan yang sangat pesat.
Dan kemajuan dapat kita rasakan dampak positifnya, yaitu :
Kita akan lebih cepat mendapatkan informasi-informasi yang akurat dan terbaru di
bumi bagian manapun melalui internet.
Kita dapat berkomunikasi dengan teman, maupun keluarga yang sangat jauh hanya
dengan melalui handphone.
Kita mendapatkan layanan bank yang dengan sangat mudah, dan lain-lain.
Kemudahan bertransaksi dan berbisnis dalam bidang perdagangan sehingga tidak
perlu pergi kemana-mana.
Bisa digunakan untuk bidang pendidikan, kebudayaan, dan lain-lain.




REFERENSI :

maulanaazis.blogspot.com/2012/05/dampak-positif-dan-dampak-negatif.html
sosbud.kompasiana.com/2011/08/09/dampak-masuknya-budaya-asing-barat-terhadap-
budaya-bangsa-indonesia/
id.scribd.com/doc/52106115/13/II-4-Culture-Shock-II-4-1-Pengertian-Culture-Shock

Anda mungkin juga menyukai