Anda di halaman 1dari 37

CULTURE

SHOCK
PENGERTIAN CULTURE SHOCK
 Pertama kali diperkenalkan oleh seorang Antropolog (Ahli
Antropologi) bernama Kalervo Oberg pada akhir tahun 1950-an. Oberg
sendiri mendefinisikannya sebagai "penyakit" yang diderita oleh
individu yang tinggal di sebuah lingkungan budaya baru. menurut
Oberg, culture Shock merupakan akibat dari hilangnya tanda dan
simbol budaya yang dikenal, membuat individu mengalami
kecemasan, frustrasi, dan perasaaan tidak berdaya
(Chapdelaine & Alexitch, 2004).

 Searle & Ward (Chapdelaine & Alexitch, 2004) menyebutkan bahwa


Culture shock merujuk pada banyaknya tuntutan penyesuaian yang
dialami individu pada level kognitif, perilaku, emosional, sosial, dan
fisiologis ketika mereka ditempatkan di budaya yang berbeda. 
 Adler (1975) lebih menekankan bahwa culture shock adalah suatu
rangkaian reaksi emosional sebagai akibat dari hilangnya penguatan
(reinforcement) yang selama ini diperoleh dari kulturnya yang lama,
diganti dengan stimulus dari kultur baru yang terasa tak memiliki arti,
dan karena adanya kesalahpahaman pada pengalaman yang baru dan
berbeda. Perasaan ini mungkin meliputi rasa tak berdaya, mudah
tersinggung, perasaan takut bahwa orang lain akan berbuat curang
padanya karena ketidaktahuannya, perasaan terluka dan perasaan
diabaikan oleh orang lain. 
Tahap-tahap CULTURE SHOCK dikenal
dengan istilah U-Shape, Yaitu:
1. Tahap Honey moon/ Euphoria/ Fun

Ini adalah saat pertama kali individu datang ke tempat yang baru,
biasanya berlangsung sekitar beberapa hari sampai beberapa bulan.
Pada masa ini individu masih terpesona dengan segala sesuatu yang baru.
 Periode ini ditandai dengan perasaan bersemangat, antusias, terhadap kultur baru dan
orang-orangnya.
Perbedaan-perbedaan budaya masih dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan
menyenangkan.
 Hal ini bisa dikatakan sebagai masa pengalaman menjadi turis. Biasanya turis akan
pulang sebelum masa honeymoon selesai, sehingga yang tersisa dalam kenangannya
adalah berbagai hal menyenangkan yang ia temui di tempat barunya.
Namun bila seseorang tinggal di tempat ini lebih lama, bisa jadi keadaan ini akan
diikuti dengan menurunnya suasana hati ketika individu sudah mulai mengalami
persoalan-persoalan yang muncul karena adanya keberbedaan budaya.
2. Tahap Krisis yaitu: agresif/ regresi/Flight

Individu seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan budaya


yang ternyata dapat memicu persoalan-persoalan yang belum pernah
dihadapinya sebelumnya.
Biasanya menimbulkan perasaan agresif, marah pada kultur barunya
karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal.
Individu akan berpaling kepada teman-teman senegaranya, yang dianggap
lebih bisa diajak bicara dengan cara pandang yang sama karena memiliki
kultur yang sama.
Seringkali muncul pendewaan terhadap kultur asal, menganggap kultur
asalnya adalah kultur yang paling baik, dan mengkritik kultur barunya
sebagai kultur yang tidak masuk akal, tidak menyenangkan dan aneh.
Kondisi mengkritik kultur baru ini bisa termanifestasi dalam kebencian
terhadap kultur baru, menolak belajar bahasanya, terlibat dengan orang-
orang di kultur baru tsb.
 Pada masa ini juga muncul stereotip-stereotip tentang orang-orang dari
kultur baru yang bisa menghalangi interaksi yang efektif dengan penduduk
asli.  
Oberg (dalam Irwin 2007) menyebut masa ini sebagai
masa krisis yang akan menentukan apakah individu
akan tinggal atau meninggalkan tempat barunya. Pada
masa ini pula bisa muncul keinginan regresi,
keinginan-keinginan untuk pulang ke rumah, rindu
dengan kondisi-kondisi yang ada di negri asalnya serta
mendapatkan perlindungan dari orang-orang yang
memiliki kultur yang sama.
3. Proses Adjustment 
Bila individu bertahan di dalam krisis, maka individu akan
masuk pada tahap ketiga.
Tahap ini terjadi apabila individu mulai bersedia untuk
belajar kultur baru.
Pada periode ini, individu mulai memahami berbagai
perbedaan norma dan nilai-nilai antara kultur aslinya dan
kultur baru yang saat ini dimasukinya.
Ia mungkin mulai paham bagaimana cara menggunakan
teknologi yang baru, telah mulai menemukan makanan
yang lebih cocok dengan lidah dan perutnya, serta
mengatasi iklim yang berbeda dll.
Ia mulai menemukan arah untuk perilakunya, dan bisa
memandang peristiwa-peristiwa di tempat barunya dengan
rasa humor.
 Adler (1975) mengelaborasi konsep ini seperti dikembangkan
dalam Furnham dan Bochner (1986),

Bahwa pertama-tama individu mengalami perasaan


terisolasi dari kulturnya yang lama. Dan proses disintegrasi
terjadi saat individu semakin sadar adanya berbagai perbedaan
antara kultur lama dan kultur baru yang diikuti dengan
penolakan terhadap kultur baru. Namun demikian, hal ini akan
diikuti oleh integrasi dari kultur baru dan saat ia mulai
menguasai bahasa setempat, ia semakin mampu
menegosiasikan kebutuhannya sehingga tumbuh perasaan
otonomi dalam dirinya. Dan akhirnya ia mencapai tahap
kemandirian, dimana ia mampu menciptakan makna dari
berbagai situasinya, dan perbedaan yang ada akhirnya bisa
dinikmati dan diterima.    
 
4. Fit/Integration.

Periode berikutnya terjadi apabila individu mulai


menyadari bahwa kultur barunya punya hal yang baik
maupun hal yang buruk, dimana ia harus menyikapi
dengan tepat.
Pada masa ini akan terjadi proses integrasi dari hal-hal
baru yang telah dipelajarinya dari kultur baru, dengan
hal-hal lama yang selama ini dia miliki, sehingga
muncul perasaan memiliki.
Ini memungkinkan munculnya definisi baru mengenai
dirinya sendiri.
 
5. Re-entry shock

 Tahap terakhir ini dapat muncul pada saat individu kembali ke negri
asalnya.
 Individu mungkin menemukan bahwa cara pandangnya terhadap
banyak hal tidak lagi sama seperti dulu.
 Dan pada masa inipun membutuhkan kembali penyesuaian terhadap
kulturnya yang lama sebagaimana ia dulu memasuki kultur yang baru.
1. Perasaan sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan,
Gejala-Gejala Culture Shock

kecemasan, disorientasi
2. Menjadi lebih kuatir tentang kesehatan. Pada orang-orang yang datang
dari negara yang lebih maju, biasanya menjadi lebih sensitive terhadap
masalah kebersihan di tempat yang baru.
3. Tidak bersedia makan atau minum dari makanan setempat, karena
ketakutan akan berbagai penyakit dan sangat kuatir akan kehigienisan
makanan dan penduduk setempat.
4. Menderita rasa sakit di berbagai areal tubuh, muncul berbagai alergi,
serta gangguan-gangguan kesehatan lainnya, seperti diare, maag, sakit
kepala dll.
5. Adanya perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah dan
rapuh, merasa tidak berdaya
6. Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk
berinteraksi dengan orang lain
6. Selalu membanding-bandingkan kultur asalnya, mengidolakan kultur asal
secara berlebihan
7. Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama
ini diyakininya. Misalnya sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah
orang yang cerdas, tiba-tiba kini merasa menjadi orang yang paling bodoh,
aneh, tidak menarik dll.
8. Mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di
lingkungan barunya (karena rasa cemas ingin menguasai/memahami
lingkungannya) yang justru bisa menimbulkan perasaan kewalahan.
9. Tidak mampu memecahkan masalah sederhana
10. Kehilangan kepercayaan diri.
Efek Culture Shock

1. Bagi para pelajar khususnya,


Berbagai gangguan yang dialami individu ini,
menimbulkan persoalan-persoalan lainnya seperti
ketidakmampuan menyelesaikan tugas-tugas
sekolah dengan baik. Persoalan-persoalan emosional
yang muncul kadang kala membuat siswa menjadi
putus asa dan memutuskan untuk tidak
melanjutkan studi dan memilih untuk kembali ke
negara asalnya.
2. Milton (1998)
Sebagai seorang tentara Amerika yang biasa di
tempatkan di negara lain mengamati bahwa culture
shock yang dialami tentaranya tidak hanya membuat
kinerja tentara itu menjadi buruk, tetapi juga
membuat kelompok tentara itu kehilangan niat baik
dan pengaruhnya di negara baru tersebut. Lebih lanjut
Milton meyakini bahwa individu yang gagal untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang baru juga akan
mengalami kerugian pribadi. Tentara yang dikirimkan
ke negara baru biasanya dipilih karena memiliki rasa
harga diri dan ego yang sehat, sehingga bila di tempat
baru tak mampu bekerja dengan baik maka biasanya ia
akan mengalami tekanaan pada self-esteemnya.     
3. Hopkins (1999) dan Roland (1988) menyatakan
bahwa:
Interaksi dengan kultur baru akan mendorong
terjadinya self-directed analysis (analisa yang
diarahkan kepada diri sendiri) yang memungkinkan
individu untuk menemukan insight dari aspek
psikisnya mengenai dirinya sendiri. Struktur baru ini
akan semakin tampak melalui pengalaman emosional
dan afektif saat berinteraksi dengan kultur yang baru.
Dalam hal ini, pengalaman interaksi dengan kultur
baru tampaknya tidak selamanya negatif. Namun
sebaliknya, hal ini akan mendorong individu untuk
mengenali dirinya lebih dalam dan menolong individu
untuk mengenal dirinya dalam konteks yang lebih luas
4. Irwin (2007)

Menyatakan bahwa proses penemuan makna baru


karena pengaruh kultur barunya memungkinkan individu
kehilangan makna lama yang ia miliki dari kultur lamanya.
Hal ini bisa saja membawa implikasi terjadinya krisis
identitas dalam diri individu yang terpapar di suatu
lingkungan baru.    
4 Pendekatan dalam menjelaskan
fenomena culture shock :

1. Pendekatan Kognitif
• Pendekatan ini mempostulasikan bahwa kemampuan untuk
penyesuaian lintas budaya individu akan tergantung dari
kemampuan individu tersebut untuk membuat atribusi yang tepat
mengenail nilai-nilai kultur, kepercayaan, perilaku dan norma di
lingkungan yang baru.
• Individu mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri karena
mereka menggunakan standar kulturnya sendiri untuk menilai,
menginterpretasikan dan berperilaku dalam lingkungan yang baru
(Triandis dalam Chapdelaine, 2004).
• Hal inilah yang membuat penyesuaian dirinya menjadi tidak efektif
karena perbedaan cara menginterpretasikan suatu kejadian bisa
menimbulkan kesalahpahaman di sana sini.
2. Pendekatan Perilaku

Menurut pendekatan ini, ketidakmampuan adaptasi terjadi


karena individu tidak memahami sistim “hadiah dan hukuman”
yang berlaku di kultur yang baru, dimana sistim hadiah dan
hukuman ini bisa saja tergambar dalam perilaku verbal maupun
nonverbal dalam kultur tersebut (Anderson dalam Chapdelaine,
2004).
Dalam hal ini, bisa saja terjadi, hal yang di kultur asal dianggap
sebagai hal yang dianggap baik, sehingga mendapatkan hadiah,
mungkin di kultur baru dianggap buruk, sehingga mendapatkan
hukuman. Misalnya saja: di Indonesia menanyakan “Mau
kemana? Dari mana? Sudah mandi atau belum?” pada teman
dianggap sebagai perhatian dan kepedulian.
Bisa saja di negara yang lain dianggap terlalu mencampuri urusan
orang dan membuat orang tersinggung.    
3. Pendekatan Fenomenologis

• Menurut pendekatan ini, culture shock merupakan pengalaman transisional


dari kondisi kesadaran yang rendah akan diri dan kultur, ke kesadaran yang
tinggi akan diri dan kultur (Adler, 1975; Bennett, dalam Chaldelaine, 2004).

• Menurut pendekatan ini, culture shock terjadi karena mereka tidak dapat lagi
menggunakan referensi-referensi/nilai-nilai kulturnya untuk memvalidasi
aspek penting kepribadiannya. Misalnya bila di kultur asalnya ia meyakini
dirinya adalah anak baik-baik karena tidak pernah minum-minuman di bar,
tidak melakukan seks bebas dengan lawan jenis,dll. Tetapi di lingkungan yang
baru, ia tidak dapat menggunakan standar “anak baik” sebagaimana yang
digunakan di kultur asalnya. Di tempat yang baru, kondisi ini justru
membuatnya dicap sebagai “anak ketinggalan jaman, kuno dan kolot”.

• Dalam proses inilah seringkali individu mempertanyakan kembali


keyakinan-keyakinan yang dulu pernah dimilikinya, bahkan mempertanyakan
kembali konsep dirinya yang sebelumnya diyakini selama ini. Hal ini
seringkali menimbulkan krisis tersendiri bagi individu tersebut.     
4. Pendekatan sosiopsikologis

Penyesuaian psikologis/afektif : ketidaksamaan kultur


antara kultur asal dan kultur di tempat baru
menimbulkan perasaan asing, perasaan kesepian, rasa
keterhilangan di tempat yang baru bagi dirinya.

Penyesuaian sosial: Dalam hal ini, culture shock terjadi


karena individu tidak memiliki pemahaman budaya yang
cukup untuk ia dapat berinteraksi dengan baik dengan
warga lingkungan baru. Individu juga memiliki identitas
kultur yang begitu besar sehingga menyulitkannya untuk
beradaptasi dengan kultur yang baru.  
 
Hal yang mendasari munculnya culture
shock:
1. Adanya kesulitan-kesulitan sosial antara individu
tersebut dengan penduduk asli dari negara yang
didatanginya
2. culture shock yang dialami oleh individu
berhubungan negatif dengan tingkat interaksi
individu dengan penduduk asli. Semakin tinggi
interaksi dengan penduduk asli maka semakin rendah
culture shock yang dialami individu, sebaliknya,
semakin rendah interaksi dengan penduduk asli,
culture shock yang dialami semakin tinggi.
3. culture shock sendiri muncul karena kurangnya
pemahaman individu akan kultur baru yang
dimasukinya. Kurangnya interaksi dengan penduduk
asli menutup kemungkinan individu tersebut untuk
mempelajari kultur baru yang dimasukinya, sehingga
kesempatan untuk mengintegrasikan kultur baru
dengan kultur lama yang dibawanya dari negara asal
akan sulit untuk dilakukan. 
4. Semakin besar perbedaan budaya, semakin rendah
tingkat interaksi individu dengan penduduk asli negara
tersebut. Hal ini mungkin disebabkan karena
perbedaan budaya yang terlalu besar membuat
individu kesulitan untuk melakukan interaksi dengan
penduduk asli.
5. Semakin besar jumlah orang sebangsa yang ada di
negara tersebut, semakin rendah tingkat interaksi
individu dengan penduduk asli
6. Apabila datang dengan membawa keluarga, maka
semakin rendah pula interaksinya dengan penduduk
asli. Kedua hal ini bisa dipahami karena adanya orang-
orang senegaranya, maupun keluarganya, maka
individu cenderung menjalin interaksi dengan orang-
orang senegaranya maupun keluarganya
7. Bahwa interaksi dengan rekan sesama bangsa tidak
terlalu banyak membantu untuk mengatasi culture
shock apabila tidak dibarengi dengan program-
program orientasi untuk memberikan dukungan sosial
untuk terjadinya penyesuaian intercultural
Saran Untuk Mengatasi
Culture Shock
1. Adanya efektifitas program-program pelatihan
interkultural, memberikan manfaat yang sangat
besar untuk membantu individu mengatasi culture
shock, jika pelatihan ini dijalankan dengan aktif dan
sungguh-sungguh, mereka dapat menyesuaikan diri
dengan kultur baru secara baik dan lebih cepat
dibandingkan teman-temannya yang lain
2. Sensitifitas inter-kultural berbanding terbalik dengan pengalaman
culture shock. Artinya semakin tinggi sensitifitas inter-kultural,
semakin rendah tingkat culture shock yang dialami individu.
Lebih lanjut ditemukan bahwa pelatihan yang diberikan sebelum
ataupun sesudah tiba dinegara asing berhubungan erat dengan
tingginya tingkat sensitifitas inter-cultural yang berarti menurunkan
tingkat culture shock para pendatang yang bekerja di negara tersebut  
3. Keterlibatan individu dalam berbagai organisasi akan
sangat membantu individu untuk mengatasi culture
shock dengan memberikan dukungan sosial dan
memampukan individu untuk melakukan
penyesuaian budaya

4. Sebelum individu berangkat ke negara baru yang akan


dimasukinya, ada baiknya apabila ia sudah terlebih
dahulu membaca tentang negara tersebut dan budaya
yang ada di negri tersebut. Hal ini akan membantu
individu ini untuk lebih familier dengan negara yang
akan dimasukinya, dan lebih siap untuk berhadapan
dengan berbagai perbedaan yang akan dihadapinya
5. Mengelola pengharapan (manage expectations).

Harapan yang dimiliki seseorang akan


mempengaruhi bagaimana orang tersebut
menginterpretasikan dan menilai suatu kejadian.
Menjaga agar harapan sedapat mungkin realistis dan
sesuai dengan kenyataan serta  kemampuan diri akan
menjaga agar stress selalu dalam kondisi rendah.
Berharap terlalu tinggi terhadap penduduk setempat
untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan
individu itu sendiri hanya akan membuat individu
tersebut merasa frustrasi.
6. Memiliki tujuan yang jelas akan kedatangan ke negri
tersebut. Dengan terus mengingat dan memegang
teguh tujuan awal datang ke negara tersebut, individu
akan menjadi lebih siap untuk berjuang demi
mencapai tujuannya. Hal ini juga akan menolong
individu untuk terus memiliki fokus untuk melakukan
hal terbaik dan terpenting selama di negri yang baru.
Menjaga prioritas akan menolongnya mengatasi
culture shock
7. Penguasaan bahasa yang baik menjadi syarat penting
untuk mengatasi culture shock. Jadi disarankan bagi
individu untuk menguasai bahasa pengantar di negara
tersebut untuk menghindarkan individu dari kondisi
culture shock.
8. Bersedia untuk belajar kultur yang baru. Individu perlu
menyadari bahwa kultur bukan sesuatu yang dibawa sejak
lahir, tetapi sesuatu yang dipelajari
9. Mencoba menemukan kesamaan-kesamaan nilai-nilai
antara kulturnya dengan kultur yang baru. Dengan
menemukan kesamaan-kesamaan ini, individu akan
menjadi lebih merasa dekat dengan negara baru yang
didatanginya. Hal ini menimbulkan perasaan memiliki dan
familier, sehingga mengurangi perasaan terasing yang
dialami akibat culture shock
10. Saat kemarahan dan frustasi-frustasi muncul terhadap
kultur yang baru dan kecenderungan mengkritik kultur
yang baru sangat kuat muncul, sebaiknya individu berhenti
sejenak untuk berpikir dan menganalisa persoalan dengan
lebih objektif ,tidak melakukan generalisasi
11. Memelihara dukungan sosial dan emosional.
Ketika berada di lingkungan yang baru, seseorang membutuhkan
orang-orang yang bersedia memberikan dukungan sosial.
Dukungan sosial meliputi dukungan emosional, dukungan
penghargaan, dukungan instrumental (material), maupun
dukungan informasi. Individu harus berusaha agar di tempat yang
baru ini, ia memiliki orang-orang yang dapat memberikan
dukungan-dukungan sosial yang diperlukan.

12. Membangun zona stabilitas.


Yang dimaksud dengan zona stabilitas adalah segala sesuatu yang
bisa membuat individu merasa nyaman dan relax. Hal ini bisa segala
sesuatu yang berhubungan dengan hobi,atau hal-hal yang
menyenangkan lainnya. Hal ini berarti bahwa selama di negara
baru, individu tidak boleh melupakan untuk melakukan hal-hal
yang menyenangkan yang bisa membuat individu merasa nyaman
dan relax
13. Beberapa orang menyarankan untuk memiliki jurnal
harian. Dalam kondisi belum memiliki seorangpun
yang bisa diajak bicara, mencurahkan kegelisahan pada
jurnal harian akan membantu proses katarsis individu.
Seringkali menuliskan hal-hal yang menggelisahkan
dalam jurnal juga menolong individu untuk melihat
persoalan-persoalan yang sesungguhnya yang mungkin
tak akan tampak bila hanya tersimpan di dalam pikiran
saja
14. Usaha untuk mengatasi culture shock, akhirnya tidak
hanya harus dilakukan individu secara perseorangan,
tetapi juga perlu ditangani secara professional dan
serius oleh instansi atau lembaga yang terlibat dalam
pertukaran antar budaya.

Anda mungkin juga menyukai