SHOCK
PENGERTIAN CULTURE SHOCK
Pertama kali diperkenalkan oleh seorang Antropolog (Ahli
Antropologi) bernama Kalervo Oberg pada akhir tahun 1950-an. Oberg
sendiri mendefinisikannya sebagai "penyakit" yang diderita oleh
individu yang tinggal di sebuah lingkungan budaya baru. menurut
Oberg, culture Shock merupakan akibat dari hilangnya tanda dan
simbol budaya yang dikenal, membuat individu mengalami
kecemasan, frustrasi, dan perasaaan tidak berdaya
(Chapdelaine & Alexitch, 2004).
Ini adalah saat pertama kali individu datang ke tempat yang baru,
biasanya berlangsung sekitar beberapa hari sampai beberapa bulan.
Pada masa ini individu masih terpesona dengan segala sesuatu yang baru.
Periode ini ditandai dengan perasaan bersemangat, antusias, terhadap kultur baru dan
orang-orangnya.
Perbedaan-perbedaan budaya masih dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan
menyenangkan.
Hal ini bisa dikatakan sebagai masa pengalaman menjadi turis. Biasanya turis akan
pulang sebelum masa honeymoon selesai, sehingga yang tersisa dalam kenangannya
adalah berbagai hal menyenangkan yang ia temui di tempat barunya.
Namun bila seseorang tinggal di tempat ini lebih lama, bisa jadi keadaan ini akan
diikuti dengan menurunnya suasana hati ketika individu sudah mulai mengalami
persoalan-persoalan yang muncul karena adanya keberbedaan budaya.
2. Tahap Krisis yaitu: agresif/ regresi/Flight
Tahap terakhir ini dapat muncul pada saat individu kembali ke negri
asalnya.
Individu mungkin menemukan bahwa cara pandangnya terhadap
banyak hal tidak lagi sama seperti dulu.
Dan pada masa inipun membutuhkan kembali penyesuaian terhadap
kulturnya yang lama sebagaimana ia dulu memasuki kultur yang baru.
1. Perasaan sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan,
Gejala-Gejala Culture Shock
kecemasan, disorientasi
2. Menjadi lebih kuatir tentang kesehatan. Pada orang-orang yang datang
dari negara yang lebih maju, biasanya menjadi lebih sensitive terhadap
masalah kebersihan di tempat yang baru.
3. Tidak bersedia makan atau minum dari makanan setempat, karena
ketakutan akan berbagai penyakit dan sangat kuatir akan kehigienisan
makanan dan penduduk setempat.
4. Menderita rasa sakit di berbagai areal tubuh, muncul berbagai alergi,
serta gangguan-gangguan kesehatan lainnya, seperti diare, maag, sakit
kepala dll.
5. Adanya perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah dan
rapuh, merasa tidak berdaya
6. Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk
berinteraksi dengan orang lain
6. Selalu membanding-bandingkan kultur asalnya, mengidolakan kultur asal
secara berlebihan
7. Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama
ini diyakininya. Misalnya sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah
orang yang cerdas, tiba-tiba kini merasa menjadi orang yang paling bodoh,
aneh, tidak menarik dll.
8. Mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di
lingkungan barunya (karena rasa cemas ingin menguasai/memahami
lingkungannya) yang justru bisa menimbulkan perasaan kewalahan.
9. Tidak mampu memecahkan masalah sederhana
10. Kehilangan kepercayaan diri.
Efek Culture Shock
1. Pendekatan Kognitif
• Pendekatan ini mempostulasikan bahwa kemampuan untuk
penyesuaian lintas budaya individu akan tergantung dari
kemampuan individu tersebut untuk membuat atribusi yang tepat
mengenail nilai-nilai kultur, kepercayaan, perilaku dan norma di
lingkungan yang baru.
• Individu mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri karena
mereka menggunakan standar kulturnya sendiri untuk menilai,
menginterpretasikan dan berperilaku dalam lingkungan yang baru
(Triandis dalam Chapdelaine, 2004).
• Hal inilah yang membuat penyesuaian dirinya menjadi tidak efektif
karena perbedaan cara menginterpretasikan suatu kejadian bisa
menimbulkan kesalahpahaman di sana sini.
2. Pendekatan Perilaku
• Menurut pendekatan ini, culture shock terjadi karena mereka tidak dapat lagi
menggunakan referensi-referensi/nilai-nilai kulturnya untuk memvalidasi
aspek penting kepribadiannya. Misalnya bila di kultur asalnya ia meyakini
dirinya adalah anak baik-baik karena tidak pernah minum-minuman di bar,
tidak melakukan seks bebas dengan lawan jenis,dll. Tetapi di lingkungan yang
baru, ia tidak dapat menggunakan standar “anak baik” sebagaimana yang
digunakan di kultur asalnya. Di tempat yang baru, kondisi ini justru
membuatnya dicap sebagai “anak ketinggalan jaman, kuno dan kolot”.