Anda di halaman 1dari 18

PENGARUH BUDAYA PADA

KONSEP DIRI, PERSEPSI, EMOSI & KOGNISI

DUA PENJELASAN TENTANG “SELF”


Penjelasan tentang “Self” (Diri) di masyarakat
Barat tidak = di masyarakat Timur; yang
dianggap “baik” di Barat belum tentu “baik” di
Timur. (Matsumoto, 1996)

 Konsep Diri Independen


 Konsep Diri Interdependen
KONSEP DIRI INTERDEPENDEN
 Berbeda dg pemahaman diri “independent” di banyak
budaya non-barat “keterpisahan” sedemikian rupa tidak
mendapat apresiasi. Di banyak budaya non-Barat
(Timur?):

 Penekanan lebih pada “kesalingterkaitan yg mendasar pada


manusia”.

 Tugas normatif budaya-budaya ini adalah melakukan


“penyesuaian diri” agar menjadi selaras & mempertahankan
“interdependensi” antar individu-individu.

 Banyak individu dalam budaya semacam ini dibesarkan dalam


iklim budaya untuk senantiasa “menyesuaikan diri” dengan
orang lain /kelompok, “membaca maksud orang lain”, “ menjadi
orang yg simpatik”. “menempati serta menjalankan peran yg
diberikan orang lain”, dsb.
KONSEP DIRI INDEPENDEN
 Di banyak budaya Barat terdapat keyakinan yg kuat
tentang “keterpisahan antar individu”. Tugas normative
budaya-budaya di sana adalah mempertahankan
independensi individu sebagai enittas yg terpisah dari
orang lain serta “terbatas pada diri” (self-contained).

 Contoh : Di masyarakat Amerika :


 sebagian besar anak dibesarkan utk “menjadi unik”,
“mengekspresikan diri”, “ mewujudkan dan
mengaktualisasikan diri yg sesungguhnya”.
 Banyak tugas cultural dirancang & diseleksi melalui
sejarah utk mendorong terbentuknya independensi.
Contoh : Di masyarakat Amerika (lanjutan )
•Hal ini berpengaruh pd tumbuhnya pengertian
tentang “harga diri” serta “nilai diri” yg khas;
ketika individu berhasil menjalani tugas-tugas
cultural tsb, ia akan sgt puas dgn dirinya, harga
diri meningkat.

•Dengan adanya konsep independent tentang


diri, individu-individu cenderung memusatkan
perhatian pd sifat-sifat internal diri
(kemampuan diri, kecerdasan, sifat/ciri-ciri
kepribadian, tujuan-tujuan, kesenangan, dsb),
mengekspresikannya di ruang public, dan
menegaskan serta mengkonfirmasikannya
secara privat melalui perbandingan sosial.
 Hal-hal / nilai-nilai tersebut secara cultural
dirancang & terseleksi melalui sejarah demi
mendorong terjadinya interdependensi antar
individu. Dengan model pemahaman
“interdependensi” ini, pengertian tentang “nilai”,
“kepuasan”, ataupun “harga diri” kemungkinan
memiliki kecenderungan/sifat yang sangat
berbeda dengan mereka yang dibesarkan dalam
kultur Barat. Misalnya ; Tentang “harga diri” ----
akan tergantung terutama pada apakah individu
ybs dapat cocok & menjadi bagian dari suatu
hubungan yang langgeng.
Jadi, individu2 cenderung terfokus pd status
interdependent mereka thd orang lain & berusaha
memenuhi tugas-tugas, kewajiban-kewajiban &
tanggung-jawab social. Hal yg paling penting dari
pengalaman sadar di budaya mereka adalah
adanya perasaan “intersubjektivitas” – yg berakar
pada hubungan-hubungan interpersonal yg
tertata.
Hanya saja, individu-individu dari pemahaman
interdependensi bukan berarti “tidak memiliki
pengetahuan ttg atribut-atribut internal (sifat
kepribadian, kecerdasan, kemampuan, dsb.).
Namun atribut2 tsb kurang ditonjolkan dlm
kesadaran ; karena itu relative kecil
kemungkinannya utk dijadikan pertimbangan
utama dalm pemikiran, perasaan & tindakan.
 Tentunya dlm setiap budaya selalu
terdapat variasi di antara anggota-
anggotanya dlm hal pemahaman diri yg
independent vs yang interdependent.

 Variabel pembedanya mis. Etnis, & jenis


kelamin. Contoh: Orang-orang dari etnis
yg berbeda dlm suatu budaya, bisa saja
memiliki kecenderungan yg berbeda dlm
pemahaman mengenai diri yg independent
vs interdependent.
BUDAYA & EMOSI
Pemahaman diri yg berbeda dapat membawa
dampak yg berbeda pd pengalaman
emosional.
A. Emosi-emosi Khas Diri Independent &
Interdependent
Kitayana & Markus (1994) membedakan
antara:
1. emosi–emosi yg mendorong independensi diri
2. emosi–emosi yg mendorong
interdependensi
1. EMOSI–EMOSI YG MENDORONG
INDEPENDENSI DIRI
 al, mis. rasa bangga, superioritas yg sering
terjadi setelah individu mencapai
tujuannya/membuktikan atribut-atribut
internalnya; emosi-emosi negative – marah,
frustasi,muncul setelah terhambatnya realisasi
atribut-atribut internal). Emosi-emosi tsb
cenderung melepaskan diri dari hubungan-
hubungan sosial (bersifat individual), dan
disebut sebagai “emosi yg terpecah secara
sosial” (socially disengaged emotions).
2. EMOSI–EMOSI YG MENDORONG
INTERDEPENDENSI
 al, mis. perasaan bersahabat,penghargaan. Emosi2 ini mrp
hasil dari pengalaman menjadi bagian dari suatu hubungan
dekat yg bersifat komunal. Saat dialami, emosi2 ini
menguatkan ikatan komunal tsb. Sedangkan rasa berhutang,
rasa bersalah biasanya muncul karena kegagalan individu
utk berpartisipasi dlm suatu relasi interdependent /karena
menyakiti relasi tsb.Saat individu mengalaminya, ada
dorongan untuk mengembalikan harmoni dlm relasi tsb
dengan cara “memberi kompensasi” atas kesalahan yg
dilakukan.
 Perilaku2 semacam ini lebih lanjut akan mengikat
/memasukkan diri kedalam relasi tsb ---- meningkatkan
interdependensi diri terhadap orang-orang yg terkait.Emosi-
emosi tsb disebut sebagai “emosi yg terkait dgn konteks
sosial” (socially engaged emotions).
Baik individu2 dg latar budaya
independent maupun interdependent tidak
asing /mengalami kedua jenis emosi tsb.
Namun terdapat perbedaan dlm
pengkaitannya dengan “keterikatan” dan
“ketercerabutan”, serta pada makna &
konsekuensi-konsekuensi sosial dari
masing-masing emosi tsb.
B.Emosi-emosi Asli (Indigenousemotions).
Ada banyak emosi yg sama diantara banyak budaya, namun
banyak juga emosi-emosi yg “khas” pada kebudayaan
tertentu. Inilah yg disebut emosi-emosi asli.
Menurut catatan Lutz (1988)emosi masyarakat Ifaluk (di
Mikronesia): “fago” , merupakan emosi yg sangat penting
dalam budaya mereka. “Fago” adalah kombinasi antara
perasaan kasih (compassion), cinta (love), dan kesedihan
(sadness). Emosi ini cenderung mendorong munculnya
perilaku menolong yang dapat menciptakan dan
meningkatkan kedekatan relasi-relasi interpersonal, jadi dpt
dikategorikan sebagai “emosi yg terkait dgn konteks sosial”.

Ada juga emosi yg disebut “ker” yg merupakan kombinasi


antara kegembiraan (happiness) dan kegirangan
(excitement), dipandang sebagai emosi yang “berbahaya” &
merusak secara sosial.
 T.Dol (1973) membahas tentang emosi “Amae” ,
menjelaskan bhw emosi ini penting dipahami untuk dapat
mengerti “etos” dalam kebudayaan Jepang. Emosi ini
merujuk pada keinginan/harapan terhadap belas-
kasihan,kebaikan, atau pertolongan orang lain.
Prototype emosi ini dpt dilihat pada hubungan Ibu-bayinya.
Bayi merasakan hasrat utk “tergantung” pada Ibunya, dan
Ibunya kemudian memberikan perawatan dan cinta tanpa
syarat kepada bayinya.

Amae dpt terjadi di luar relasi-relasi persaudaraan,


mis.pada hubungan kerja antara pengawas-anak buahnya.
Tindakan aksi-tanggapan yang terjadi lebih lanjut akan

menguatkan ikatan afeksi diantara kedua pihak.


Sedangkan penolakan dari pihak yg lebih memiliki otoritas

(pengawas) akan menimbulkan emosi2 negatif diantara


kedua pihak.
C. “HAPPINESS” SAMA SECARA LINTAS-BUDAYA?
 Perasaan “senang” (merasa enak, rileks, girang (elated),
dan tenang). Menurut Wierzbicka (1986), masyarakat2
dari berbagai budaya memiliki konsep “senang”
sebagaimana digambarkan di atas. Namun demikian
situasi-situasi khusus serta makna-makna yg dilekatkan
dengan perasaan “senang” tsb secara mendasar
tergantung dari sifat budaya orangnya (independent
atau interdependent).

 Jadi secara umum orang akan merasa “senang” jika


mereka berhasil memenuhi “tugas cultural”-nya.
Jelasnya : orang dg latar-budaya interdependent, rasa
“senang”-nya lebih berhubungan dengan pengalaman
emosi “yg terkait dgn konteks sosial”, analog-terbalik
terjadi pada orang-orang dari latar-budaya independent.
Budaya & Kognisi
Budaya & Kategorisasi*)
Sejauh ini, berdasar banyak riset psikologi lintas-budaya;
kategorisasi-dasar (warna, bentuk & ekspresi muka) bersifat
universal dlm banyak budaya.Namun beberapa riset membuktikan
bhw budaya berpengaruh pd proses kategorisasinya.
 Menurut Matsumoto (1996), terdapat kesepakatan di banyak

budaya mengenai warna primer & sekunder. Di pedalaman Papua


hanya dimiliki 2 kosa kata utk warna: gelap & terang. Namun di
sana orang tetap mampu menggolongkan warna2 dasar
(merah,kuning,hijau, biru, hitam & putih)– dpt dideteksi dari “tes
menunjukkan kembali”. Meskipun demikian, muncul problem
ketika ditunjukkan warna campuran.Di Eskimo, orang mengenal
gradasi warna es; hal yg akan menyulitkan bagi orang2 yg tidak
hidup di lingkungan spt mereka.
 Berry (1999) mencatat: orang dr budaya manapun
cenderung melakukan kategorisasi bentuk benda
(shapes); pd tingkat dasarnya (segitiga sama sisi,
lingkaran & segi empat) .Namun problem muncul
ketika bentuk-bentuk geometris yg tidak beraturan
ditunjukkan kepada orang2 dr budaya yg berbeda.

Beberapa riset membuktikan bhw budaya berpengaruh


pd proses kategorisasinya. Misalnya, tentang “kursi”,
meskipun ada kesepakatan diantara banyak budaya;
namun mengenai bahan, &bentuk bisa berbeda.


BUDAYA & MEMORI
Memori (proses pengolahan informasi dlmkognisi,
mencakup: encoding, penyimpanan,& pemanggilan
kembali informasi. Memori dpt dibedakan:jangka pendek
& jangka panjang.

Ross & Millson (1970) menemukan bhw tradisi oral/lisan


(non-literate) membuat orang lb baik dlm kemampuan
memori (riset “mengingat isi cerita”dilakukan pd remaja
Ghania & Amerika). Namun, Cole (1970), menemukan:
meski ingatan thd isi cerita lb baik, masyarakat dr
budaya non-literate lebih lemah dlm mengingat daftar
kata.
 BUDAYA & PROBLEM SOLVING
(Para psikolog biasanya mendeteksi kemampuan PS dengan
menghadapkan para subjek pada permasalahan2 yang tidak cukup
dikenal dlm kehidupan mereka).
 Serentetan riset yang dilakukan Cole (1971) menemukan bhw problem

solving berdasar logika kemungkinan tidak ada perbedaan secara lintas-


budaya, namun bisa berbeda jika “konteks realitas permasalahan” yg
dipecahkan berbeda.
 Leria (1976) menemukan bhw kemampuan problem solving berdasar

kemampuan silogisme lebih berkait dgn tingkat / cerapan pendidikan dpd


dgn budaya.

Untuk direnungkan :
Bagaimana dengan konsep intelegensi, kecerdasan.
Apakah bersifat universal untuk semua budaya?!

Anda mungkin juga menyukai