Anda di halaman 1dari 19

EKSPRESI EMOSI DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

MASYARAKAT YOGYAKARTA
PSIKOLOGI INDIGENOUS

DISUSUN OLEH :
LUTFIA TRIANI 2207010186
CAYLA CHANDRA P 2207010206
FIERA KUSUMA W 2207010220

PRODI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
JANUARI, 2024
A. Latar Belakang
Ekspresi emosi merupakan bahasa tubuh yang memberikan gambaran
jelas tentang perasaan seseorang. Wajah manusia, dengan berbagai raut seperti
senyum, tangisan, atau kerut di dahi, seringkali menjadi cermin dari keadaan
emosional. Selain itu, ekspresi emosi juga dapat tercermin melalui bahasa tubuh,
gestur, dan nada suara. Ekspresi emosi bukan hanya sekedar respons terhadap
peristiwa, tetapi juga merupakan cara penting untuk berkomunikasi dengan orang
lain. Setiap budaya memiliki nuansa dan norma tersendiri terkait ekspresi emosi,
dan kepekaan terhadap ekspresi tersebut dapat memperkaya interaksi sosial.
Dalam era globalisasi, ekspresi emosi menjadi semakin kompleks karena interaksi
antarbudaya memungkinkan adopsi dan adaptasi ekspresi emosional dari berbagai
tradisi budaya yang berbeda.
Globalisasi merupakan istilah yang saat ini sering terdengar di khalayak
umum. Globalisasi sendiri memiliki hubungan dengan peningkatan dan
ketergantungan bangsa satu dengan bangsa lainnya bahkan kerap kali globalisasi
berpengaruh antarmanusia di seluruh dunia. Globalisasi dapat masuk melalui
perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi
lainnya. Dimana batas-batas dalam suatu negara menjadi bias atau menjadikan
dunia sebagai satu keutuhan dan satu kesatuan. Karena peristiwa yang terjadi di
dalam suatu negara dapat tersebar dengan cepat ke seluruh pelosok dunia, hal ini
dapat menjadi sebuah pengaruh terhadap budaya yang sudah ada sejak dulu, selain
budaya hal ini juga dapat berpengaruh pada perilaku sekaligus emosi terutama
terhadap manusia dan masyarakat. Dunia seperti menjadi sempit dan tidak
menghiraukan lagi batas-batas antar negara (Munajah, 2011). Dapat dikatakan
jika globalisasi sendiri dapat menghilangkan eksistensi budaya di tiap-tiap daerah.
Hal ini dapat terjadi karena tergerusnya budaya daerah oleh budaya luar yang
setiap perkembangannya dapat ditiru bahkan oleh anak-anak.
Budaya yang dapat menganggu eksistensi budaya Indonesia yaitu budaya
yang berasal dari barat. Masyarakat cenderung lebih menerima dan mengadopsi
nilai-nilai budaya barat sekalipun nilai-nilai yang dibawa berbeda dengan nilai-
nilai yang dianut oleh daerah bahkan negaranya. Hal tersebut dapat menyebabkan
adanya benturan nilai-nilai yang telah ada di masyarakat sebelumnya (Surahman,
2013). Menurut Setiawan (2018) hal ini juga dapat menyebabkan kebudayaan di
negeri mengalami pergeseran. Kebudayaan yang mengalami pergeseran yaitu
budaya Jawa di daerah Istimewa Yogyakarta dimana “wong jowo, ilang jawane”
yang dapat diartikan bahwa orang jawa kehilangan jati diri mereka sebagai orang
jawa. Menurut Purwadi (2016) mengungkapkan pada saat ini orang jawa
menunjukkan perilaku dimana mengalami krisis akan unggah ungguh di kalangan
generasi muda Yogyakarta. Hal lain yang juga menonjol yakni kurang
diterapkannya sopan santun terhadap orang lain. Kasus seperti ini banyak
ditemukan di kalangan generasi muda terutama mereka yang masih duduk di
bangku sekolah, baik itu SMA, SMP maupun SD
Diketahui bahwa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang kaya
akan budaya dan kental sekali dengan tradisi-tradisi serta kehidupan kerajaan
mataram dimana terdapat kraton yang masih melekat dengan budayanya. Kota
dengan 1001 wisata dan dikenal sebagai kota yang ramah dan harmonis.
Masyarakat jawa sendiri khususnya di Yogyakarta banyak yang masih
menggunakan bahasa krama inggil, yang saat ini seiring berjalannya waktu
budaya itu memudar bahkan hampir hilang seperti tidak berbekas. Menurut
Suseno (2001) budaya Jawa yang paling melekat yaitu budaya berbicara
pelan/halus, yang kiranya sebisa mungkin “menyembunyikan” perasaan asli
mereka sebagai representasi dari prinsip isin dan sungkan. Prinsip tersebut
merupakan pedoman yang wajib diterapkan bagi masyarakat di Jawa. Prinsip
tersebut berlaku tidak pandang usia dan tidak pandang siapa mereka dan dari mana
mereka berasal. Namun, pada saat ini budaya tersebut mulai pudar dan timbul
dimana perasaan yang diperlihatkan pada saat kecewa justru membuat masyarakat
luar Jawa khususnya di Yogyakarta menjadi skeptis dengan landmark “ramah”
serta “harmonis” seperti yang orang-orang katakan.
Ekspresi emosi yang diperlihatkan oleh masyarakat jogja cenderung sama
setiap situasi, tidak ada perbedaan ekspresi emosi terkecuali pada ekspresi emosi
terkejut. Orang Jogja terutama pada remaja, mereka tidak jarang mengumpat kata-
kata “asu hoo po ndes” ketika mereka sedang terkejut dengan suatu hal atau
bahkan berita terkini tentang kondisi jogja. Tidak jarang ketika mereka sedang
marah mereka juga memiliki kalimat umpatan sendiri seperti “Bajinguk” ataupun
“Buajingan” disertai dengan helaan nafas panjang. Beberapa penyebab emosi
orang jogja diantaranya seperti keresahan terhadap keberadaan klitih, kesedihan
mengenai kecilnya UMR di Yogyakarta, dan juga kepadatan penduduk yang
menyebabkan terjadinya macet di beberapa jalan pusat kota Yogyakarta dan hal
tersebut menimbulkan kemarahan dari warga asli jogja.
Hal-hal tersebut mulai menimbulkan perspektif hilangnya julukan “kota
ramah” pada Jogja. Walaupun kebanyakan dari masyarakat jogja masih
memegang prinsip “isin” terhadap mereka orang-orang pendatang yang belum
dikenal. Namun beberapa hal tersebut juga berdampak pada ketidaknyamanan
kondisi lingkungan bagi mereka masyarakat pendatang yang berasal dari luar
pulau Jawa. Perbedaan kultur antara Jogja dengan Batak yang berbanding terbalik
mulai dari cara mereka berbicara dan juga cara mereka menyikapi sebuah
masalah. Pada suku batak mereka cenderung ekspresif dengan ciri khas nada
bicara yang terkesan seperti seseorang yang sedang marah dan berbanding terbalik
dengan suku Jawa terutama Jogja yang kebanyakan memiliki nada suara yang
lembut. Jika di jogja terdapat “ojo dumeh dan aja mumpung” di Batak juga
terdapat istilah “dalihan na tolu” dimana istilah tersebut digunakan untuk
mengatur bagaimana suku Batak bertingkah dalam kehidupan sosial.
Hal lain yang dilakukan agar dapat menahan emosi yaitu dengan cara
regulasi emosi. Regulasi emosi merupakan sikap yang di ambil dalam menyikapi
emosi dan menerima konsekuensi dari tindakan emosional tersebut (Fridja, 1986).
Dapat kita lihat perbedaan emosi dari beberapa suku seperti suku banjar yang
mempunyai bahasa sedikit kasar, keras kepala, gengsian, dan menomor satukan
harga diri mereka. Atau seperti Suku Bima, yang memiliki watak religious, keras,
ulet, tidak mudah menyerah, gigih, tahan banting, dan pemberani. Berbeda halnya
dengan suku Batak Toba yang memiliki keutamaan prinsip pada harga diri
(Tinambunan, 2010). Keadaan ini berpengaruh pada cara bersosial orang batak
yang kurang adaptif sehingga masyarakat batak toba sering tersinggung. Mereka
cenderung fokus pada diri sendiri, keluarga, atau kerabat satu marga mereka.
Orang batak memiliki regulasi emosi yang rendah hal ini sejalan dengan sikap
spontan mereka. Mereka lebih menyukai berkata langsung walaupun menyakitkan
untuk didengar. Menurut Simanjuntak (2009) mereka cenderung jujur, terus
terang, terbuka, tidak bertele-tele, pengasih, tulus, murah hati, setia. Namum
mereka juga tergolong orang yang sombong, pongah, acuh, pencuriga, malas,
serta kikir. Perbedaan tersebut sangat mencolok dengan suku jawa dimana suku
jawa tertutup terkait emosi mereka. Suku jawa lebih mengedepankan prinsip
hormat dan toleransi yang tinggi terhadap lingkungan. Suseno (2001)
mengkategorikan situasi yang menuntut sikap hormat pada masyarakat jawa yaitu
wedi atau takut keadaan dimana merasa kurang nyaman terhadap suatu tindakan,
Isin atau malu karena merasa tidak pantas untuk di hormati, dan Sungkan atau rasa
hormat terhadap atasan.
Suseno (2001) juga menjabarkan 3 sikap yang merupakan tanda dari
kematangan moral, yaitu Sabar atau sanggup menunggu sampai saatnya tiba,
Nrima dan Ikhlas atau merelakan apa yang berharga.

B. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu literature review.
Literature dengan penelusuran dan penelitian jurnal dengan cara membaca dan
menelaah beberapa jurnal, buku, dan terbitan lainnya untuk membuat tulisan yang
berhubungan dengan topik ataupun isu psikologi indigenous yang dilakukan
menggunakan metode kualitatif.
C. Hasil dan pembahasan
- Pengertian
1. Pengertian Emosi
Goleman (2009) mengungkapkan bahwa emosi merujuk kepada
suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, keadaan untuk mengolah
emosi dalam melakukan setiap pekerjaan atau mengadapi masalah.
2. Pengertian Ekspresi Emosi
Ekspresi emosi atau “emotional expression” merupakan
perubahan dalam otot, kelenjar yang mendalam serta tingkah laku yang
bercampur dengan emosi. Ekspresi ini merupakan kecenderungan
seseorang dalam mengungkapkan perasaan yang sedang dirasakan
terhadap orang lain (Chaplin, 2006). Planalp (dalam Safaria dan Saputra,
2009) mengungkapkan bahwa ekspresi emosi merupakan suatu upaya
yang dapat dilakukan untuk mengkomunikasikan keadaan perasaanya
yang berdasar pada suatu tujuan.
- Aspek
Planalp (dalam Retnowati, Widhiarto, & Rohmani, 2003; Safaria &
Saputra, 2009) mengungkapkan aspek-aspek eskpresi emosi menjadi:
a. Isyarat raut muka, misalnya dengan menangis ketika sedang bersedih.
b. Isyarat gerak (gerture), misalnya dengan merangkul bahu sebagai
ungkapan rasa sayang.
c. Kontrol, misalnya ketika memikirkan latar yang tepat untuk
mengungkapkan kemarahan terhadap teman.
- Bentuk
Menurut Goleman (2009) bentuk emosi meliputi :
a. Amarah yaitu beringan, mengamuk, benci, marah, kesal hati,
terganggu, tersinggung, bermusuhan.
b. Kesedihan yaitu pedih, muram, suram, melankolis.
c. Rasa takut yaitu takut, gugup, ngeri, fobia.
d. Kenikmatan yaitu bahagia, gembira, puas, terhibur.
e. Cinta yaitu penerimaan, kepercayaan, persahabatan
f. Terkejut yaitu takjub/ terpana.
g. Jengkel yaitu jijik, hina, muak, benci.
h. Malu meliputi rasa bersalah, kesal hati, sesal.

- Penelitian sebelumnya
Penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan dengan topik pembahasan
yang relevan yaitu penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan & Hasanat
dengan judul “Perbedaan Ekspresi Emosi Pada Beberapa Tingkat Generasi
Suku Jawa di Yogyakarta” yang berfokus pada perbedaan persepsi dan tata
cara ekspresi emosi antarindividu dan kelompok berdasarkan latar belakang
budaya dan sosial mereka. Masyarakat Jawa memiliki norma-norma perilaku
sosial dan psikologis yang mengatur bagaimana seseorang seharusnya
mengekspresikan emosi, seperti sopan santun, etika, dan tata cara yang
dianggap pantas dalam pergaulan sehari-hari. Dalam penelitian ini
menghasilkan tidak ada perbedaan signifikan dalam pengekspresian emosi
antara remaja akhir, dewasa awal, dan dewasa tengah dalam masyarakat Jawa
di Yogyakarta.

- Ciri Khas
Di Indonesia, seringkali masih terdengar stereotip-stereotip mengenai
kelompok suku yang mencerminkan ciri khas cara mereka mengekspresikan
emosi dalam interaksi sosial. Misalnya orang Batak dianggap pemberani,
terbuka, suka berterus terang, pintar, rajin, kuat, dan tegar. Masyarakat Batak
dianggap agresif dan kasar karena sering menimbulkan konflik dengan
masyarakat yang memiliki kebudayaan yang berbeda. Orang Batak dianggap
tidak takut akan terjadi konflik dengan seseorang yang memiliki tingkatan
atau kedudukan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa orang Batak
cenderung mengekspresikan emosi secara terbuka dan tidak takut untuk
menunjukkan keberanian serta kejujuran dalam berkomunikasi dan interaksi
sosial.
Sedangkan orang Jawa memiliki keunikan tersendiri dalam
mengungkapkan emosi. Orang Jawa beranggapan bahwa mereka halus dan
sopan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prawitasari (1993), orang Jawa
yang tinggal di Yogyakarta menunjukkan kehati-hatian yang tinggi dalam
menyampaikan dan memahami komunikasi nonverbal. Ini dapat dijelaskan
oleh prinsip dan karakteristik budaya Jawa yang umumnya dijalankan dalam
kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Jawa. Prinsip ini adalah prinsip rukun
atau harmoni yang memberikan prioritas pada hubungan yang baik antar
manusia, dengan tujuan mencegah konflik terbuka, memberikan
penghormatan penuh terhadap sesama, mendorong gotong royong,
menekankan tenggang rasa (tepa selira), dan menunjukkan sifat ramah tamah
yang lembut (Suseno, 2001). Prinsip tersebut bertujuan untuk menjaga
keharmonisan, mewajibkan orang Jawa untuk selalu berperilaku dengan hati-
hati dalam berinteraksi. Oleh karena itu, mereka cenderung berbicara dengan
nada yang lembut, menggunakan kata-kata yang halus, dan selalu
menunjukkan senyuman sebagai bentuk kelembutan dalam komunikasi
mereka.
Memperlihatkan perasaan‐perasaan spontan dianggap kurang pantas,
seperti gembira, sedih, kecewa, marah, putus asa, harapan‐harapan, atau rasa
belas kasihan akan disembunyikan untuk tidak diperlihatkan pada banyak
orang. Citra diri masyarakat Jawa adalah sosok pribadi yang sopan, kalem,
lemah lembut, tutur katanya lembut dengan tata krama bahasa yang halus.
Dalam menghadapi konflik orang Jawa memilih untuk diam atau mengalah
karena lebih suka keadaan yang tenang. Orang Jawa yang memilih diam dan
menghindari konflik akhirnya dikenal sebagai individu yang tidak dapat
mengekspresikan dirinya secara langsung sehingga sulit untuk mengetahui
apa yang sebenarnya ingin disampaikan atau dikehendaki. Masyarakat Jawa
juga biasanya menyimpan ketidakpuasaannya dengan menggerutu
(Hardjowirogo, 1983).
Masyarakat Jawa mempunyai banyak aturan normatif mengenai perilaku
sosial dan psikologis. Aturan normatif ini mengatur hubungan manusia
dengan orang lain, seperti kesopanan, etika, dan tata cara yang baik dalam
pergaulan sehari-hari. Pada golongan pemuda suku Jawa, dituntut sudah
mengerti konteks‐konteks yang harus membuat individu ini merasa isin, serta
diharapkan sudah mampu mengontrol dorongan‐dorongan emosinya. Bahkan
ketika mengekspresikan dorongan emosinya, orang Jawa yang diteliti
cenderung selalu berusaha menjaga segala sesuatunya tetap seimbang, atau
berada di tengah-tengah (bahasa Jawa untuk ini adalah "ing sak madhya").
Ketika saya bahagia, saya tidak mengekspresikan diri saya dengan sangat
bahagia, dan ketika saya sedih, saya tidak mengungkapkannya secara
mendalam. Hal ini memberikan kesan bahwa orang Jawa terkesan tanpa emosi
atau dangkal karena mengendalikan dorongan emosinya (Prawitasari, 1993).
Pendapat tersebut kontras dengan temuan yang diungkapkan dalam
penelitian Heppell (2004) terkait perilaku masyarakat Yogyakarta dari
kelompok generasi tua dan generasi muda. Menurut Heppell, generasi muda
di Yogyakarta lebih cenderung mengadopsi pendekatan yang lebih ekspresif,
berani, dan lugas dalam interaksi sosial dengan masyarakat umum, berbeda
dengan generasi tua yang kurang condong ke arah tersebut. Hal ini terjadi
karena terdapat perubahan nilai-nilai sosial Timur di kalangan pemuda, yang
disebabkan oleh pemikiran mereka yang lebih terbuka dan lebih menerima
nilai-nilai sosial Barat yang lebih modern (Rachmawati, 2018).
Masyarakat Jogja mengekspresikan emosinya saat dalam keadaan marah,
sedih, maupun terkejut dalam umpatan-umpatan yang berbeda dengan daerah
lain. Seperti halnya kata bajingan, kata bajingan ini sebetulnya digunakan
untuk julukan mereka yang menjadi pengendara gerobak sapi, jasa para
bajingan juga digunakan oleh lurah, bupati maupun bekel untuk mengangkut
hasil bumi. Bajingan sendiri kemudian beralih menjadi sebuah umpatan dalam
mengekspresikan emosi dikarenakan banyak dari calon penumpang yang
menunggu lama dan akhirnya memutuskan berjalan kaki sembari berbicara
“bajingan suwi tenan tekane” yang dapat diartikan menjadi “bajingan lama
sekali datangnya”. Kalimat “bajingan” ini kemudian lambat laun berubah
menjadi sebuah umpatan dan saat ini beberapa masyarakat memelesetkan
menjadi “bajigur”. Bajigur sendiri merupakan minuman khas dari Jawa Barat
namun digunakan sebagai kalimat umpatan di Jogja dan sering digunakan oleh
masyarakat Jogja dalam memaki seseorang dan mengekspresikan kekecewaan
mereka. Kalimat lain yang digunakan untuk memaki salah satunya yaitu
“sontoloyo” sering digunakan oleh masyarakat jogja ketika mereka jengkel
dengan kondisi disekitar ataupun ketika mereka merasa hal yang terjadi itu
konyol. Sontoloyo sendiri merupakan sebutan bagi penggembala bebek yang
saat ini kerap dijumpai sebagai kalimat makian. Penggunaan kalimat ini
biasanya disertai dengan emosi marah dari masyarakat Jogja.
Di jawa ekspresi emosi juga di ekspresikan melalui metafora, metafora
merupakan makna harfiah atau denotative dari suatu ekspresi (Patrianto,
2016). Metafora menurut Evans & Green (2006) memetakan metafora
menjadi sebuah proses yang terdiri dari ranah sumber dan ranah target. Hal ini
menjadikan masyarakat di jawa memiliki kiasan tersendiri. Menurut Kovecses
(2006) metafora merupakan generic level artinya kedua masyarakat Cina dan
Inggris memiliki konseptual yang sama namun berbeda budaya dalam
menginterpretasikan konseptual happy is up. Di jawa masyarakatnya
memandang emosi sebagai kekuatan yang dapat dilihat dari metamorfis
Bapake iso wae nguntal kowe yang berarti Bapak bisa saja menelanmu. Kata
nguntal yang bermakna menelan ini merupakan kosakata yang digunakan
untuk binatang yang dikonsepsikan menjadi ungkapan metaforis berupa orang
yang marah dengan binatang karena pada saat seseorang marah mereka
cenderung lepas dari kontrol dan seperti binatang. Secara kognitif masyarakat
Jawa merasakan sesuatu ketika emosi datang. Hal itu diwujudkan, dengan
melakukan tindakan aktif.
Selain ungkapan tersebut ada pula tresnamu ngukir cidro ning njero
batinku yang di bahasa Indonesia berarti “cintamu mengukir luka dalam
batin.” Cinta di entitaskan sebagai bentuk dari kekecewaan yang
menimbulkan rasa sedih. Rasa sedih itu di konsepkan dengan cidro atau luka
yang diakibatkan oleh tidak terbalasnya cinta. Masyarakat jawa juga memiliki
pemahaman emosi sebagai kekuatan yang mampu merusak diri sendiri. Hal
ini terlihat pada ungkapan metafora ati semplah atau “hati patah” ungkapan
ini mrujuk pada emosi sedih sehingga sedih adalah patah. Hal ini
menunjukkan bahwa emosi dapat merusak diri.
Masyarakat jawa memandang emosi sebagai api. Seperti kata metafora
kobong ati (hati ini terbakar) Hal yang menjadi dasar konseptualisasi
merupakan persamaan dari karakteristik antara kondisi terbakar dan marah.
Ketika marah, ada gejolak dalam hati manusia. Gejolak itu dirasakan seperti
panas. Keadaan itu kemudian mengisi kognisi manusia sehingga manusia
merasakan panas seperti rasa terbakar ketika dia marah. Pemahaman emosi
adalah api juga terdapat dalam metafora geni kang murub ing njero dhadhaku
yang berarti “api menyala di dalam dadaku” Kata geni mengacu pada ‘api’
yang menyala di dalam dada. Kata api ini kemudian di asosiasikan menjadi
persamaan karakteristik antara api dan emosi marah. Sebagaimana keduanya
muncul karena adanya faktor pemicu.
Masyarakat jawa memandang emosi sebagai benda berharga. Dalam
kutipan ngopeni rasa wedi yang berarti memelihara rasa takut hal ini dapat
selaras dengan makna dari ngopeni yaitu menjaga, merawat, dan
membesarkan. Ngopeni dapat diasosiasikan menjadi persamaan ciri antara
emosi takut dengan benda berharga. Benda berharga merupakan benda yang
bernilai tinggi dan harus di jaga. Kalimat metafora lainnya yaitu nyicil seneng
atau ‘mengangsung senang’ hal ini diasosiasikan dari kata nyicil yang berarti
diangsur atau di isi perlahan agar rasa senang itu tetap ada. Ungkapan
metaforis tersebut menandakan bahwa masyarakat jawa memahami sebuah
emosi sebagai benda berharga yang memiliki nilai atau arti penting.
Tresnamu wis luntur atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘cintamu sudah
luntur’ kata ini di asosiasikan dari kalimat luntur yang berarti wujud dari suatu
benda yang bersifat konkret sementara cinta merupakan suatu hal yang abstrak
yang tidak diketahui wujudnya. Konseptualisasi itu muncul karena cinta dapat
hadir dan dapat pula hilang dari diri manusia. Kondisi hilangnya cinta ini
kemudian memunculkan konseptualisasi ‘luntur’ dalam kognisi manusia.
Dalam hal ini cinta yang ‘luntur’ mengacu pada cinta yang telah berubah
maupun hilang. Hal yang dijadikan ground atau dasar konseptualisasi dalam
ungkapan metaforis itu adalah konsep ‘hilang’ dan ‘berubah’.
Masyarakat Jawa memandang emosi merupakan perjalanan. Hal ini dapat
dilihat dari metaforis tresnaku wis mandhek atau dapat diartikan bahwa
cintanya sudah berhenti. Mandhek atau berhenti ini dikonseptualisasikan
menjadi Rasa cinta yang dimiliki manusia dapat pasang surut. Kondisi
menghilangnya cinta itu diasosiasikan dengan sesuatu yang berhenti, seperti
dalam perjalanan. Dalam percintaan ada ‘orang yang mencintai’ dan ada pula
‘orang yang dicintai’. Idealnya, dua hal itu dapat bersatu dan saling mencintai.
Pada kondisi semacam ini ada konsep orang yang dicintai meninggalkan orang
yang mencintai. Hal itu selaras dengan konsep orang melakukan perjalanan
meninggalkan sesuatu.
Masyarakat Jawa Memandang Emosi adalah Materi. Ungkapan kebak
tresna atau penuh cinta ini salah satu ungkapan metaforis yang diasosiasikan
menjadi sebuah emosi cinta ada pada diri manusia ketika manusia tersebut
merasa tertarik dengan manusia lain. Emosi cinta itu akan semakin bertambah
dan meningkat seiring berjalanannya waktu. Sementara pada benda baik itu
benda cair, gas, maupun padat, dapat memenuhi sebuah wadah jika terus
menerus diisi tanpa ada upaya untuk mengeluarkan atau membuangnya.
Menjadikan benda tersebut tidak diperbarui atau tidak adanya pembaharuan.
Sifat tersebut merupakan sifat dari emosi cinta. Kalimat lainnya yaitu kalimat
ngesokake asih katresnan yang berarti ‘menumpahkan kasih sayang’ kata ini
merujuk pada aktivitas memindahkan ataupun menuangkan cairan ke wadah
yang berarti pihak yang memberikan cinta akan memberikan cinta yang besar
kepada pihak lain.
Selain ekspresi yang ditujukkan masyarakat jogja, ada juga pengendalian
emosi pada masyarakat jawa. Masyarakat Jawa mengedepankan prinsip
mawas diri dan pengendalian emosi sebagai landasan dalam menjalani
kehidupan. Sikap sungkan atau pakewuh mencerminkan pemahaman individu
terhadap posisinya dalam masyarakat, sambil menjaga wibawa dan
martabatnya saat berinteraksi dengan orang lain. Bersikap sopan atau bertata
krama menjadi tuntutan yang bisa dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung (Suharti, 2004). Pakewuh, atau sungkan, dapat diartikan sebagai
perasaan tidak enak atau khawatir bahwa perilaku atau ucapannya dapat
menyinggung atau membuat orang lain tersinggung (Frinaldi dan Embi,
2014). Pada konteks lain, Pakewuh dikaitkan dengan istilah Ewuh, yang
mengacu pada etos kerja. Menurut Soeharjono dalam Frinaldi & Embi (2014),
Ewuh Pakewuh adalah sikap sungkan atau rasa segan serta penghormatan
terhadap atasan atau senior. Fenomena Ewuh Pakewuh tidak hanya muncul
karena rasa segan, melainkan juga bisa dipicu oleh banyaknya kebaikan yang
diterima dari orang lain (Rozai, 2019; Soeharjono, 2011). Kesulitan untuk
menolak permintaan orang lain yang telah banyak membantu adalah hal
umum di masyarakat Jawa, yang mencerminkan prinsip hidup rukun dan
hormat. Sikap rukun dan hormat menjadi nilai yang khas dan membedakan
masyarakat Jawa dari luar Jawa (Susetyo dkk., 2014). Penempatan orang lain
sebagai penilai utama atas perilaku individu di tengah masyarakat menjadi
indikator mengapa fenomena Pakewuh terus berlangsung.
Filosofi "ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana" dalam budaya
Jawa menegaskan pentingnya norma kesopanan. Kata "lathi" dalam bahasa
Jawa kuno mengacu pada arti ucapan atau tutur kata dan lidah. Perkataan yang
bersifat lemah lembut dapat mencerminkan penghargaan diri, sementara
perkataan yang kasar, kotor, fitnah, atau jahat dapat memberikan penilaian
negatif terhadap seseorang (Koentjoroningrat dalam Parinussa & Fridawatib,
2022). Ucapan seseorang dianggap sebagai penentu nilai diri, dimana baik
atau buruknya perkataan dapat memberikan motivasi atau kutukan.
Sementara itu, kata "busana" dalam konteks budaya Jawa mengacu pada
busana kebaya. Busana kebaya memiliki filosofi yang mencakup nilai
kehidupan, seperti kesabaran dan kehalusan yang menciptakan kesan anggun
(Santoso dalam Parinussa & Fridawatib, 2022). Secara aksiologis, filosofi
"ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana" mengandung nilai norma
yang tinggi, memasukkan makna etika dan norma dalam kehidupan sehari-
hari. Filosofi ini menekankan pentingnya bagaimana seseorang bersikap dan
berpenampilan sebagai cerminan dari dirinya.
"Ajining diri saka lathi" menekankan bahwa harga diri seseorang
tergantung pada ucapan dan perilakunya. Seseorang dapat dipercaya
tergantung pada cara berbicara dan menunjukkan integritas dirinya. Filosofi
ini memberikan nasihat untuk berbicara dengan hati-hati dan
mempertimbangkan baik atau buruknya kata-kata, karena apa yang diucapkan
membawa nilai. Konsep "ajining diri saka lathi" menunjukkan bahwa harga
diri terletak pada ucapannya, dan baik atau buruknya perkataan dapat
memengaruhi citra diri seseorang.

Pandangan masyarakat Jawa terhadap harga diri dipengaruhi oleh budaya


ningrat. Ucapan dianggap sebagai salah satu penentu harga diri seseorang,
sehingga berbicara tidak sembarangan, melainkan dengan
mempertanggungjawabkan kata-kata yang diucapkan (Damai dalam
Parinussa & Fridawatib, 2022). Filosofi ini menggambarkan bahwa ucapan
dapat memiliki dampak seperti api yang membakar atau air yang membawa
damai. Oleh karena itu, tata krama dalam berkomunikasi menjadi esensial
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam masyarakat, komunitas, maupun di
media sosial.
Ajaran moral yang tergambar melalui kisah Seh Amongraga dalam Serat
Centhini mencerminkan nilai-nilai etika Jawa yang kaya, khususnya terkait
dengan hak dan kewajiban dalam berbagai konteks kehidupan. Seh
Amongraga mengajarkan tentang kewajiban terhadap diri sendiri, yang
melibatkan usaha dalam mempertahankan hidup dan pengembangan diri, di
mana tekun belajar dan mengembangkan kelebihan menjadi kunci.
Selanjutnya, kewajiban terhadap keluarga tercermin dalam ajaran moral hak
dan kewajiban terhadap saudara kandung dan istri. Seh Amongraga memenuhi
peran kakak kandung dengan mencari adiknya, Jayengsari dan Rancangkapti,
menggarisbawahi hak moral adik untuk mendapatkan perlindungan
(Poedjawijatno ,1982:65)
Dalam konteks masyarakat, Seh Amongraga mengajak untuk mengikuti
ajaran kesempurnaan hidup, menegaskan hak moral masyarakat ketika
melaksanakan kewajiban sebagai seorang wali dalam menyebarkan agama
Islam. Hak dan kewajiban terhadap Tuhan diwujudkan melalui kewajiban
beribadah dan menyebarkan ajaran agama, menunjukkan tanggung jawab
kepada Sang Pencipta. Hak dan kewajiban terhadap diri sendiri, keluarga,
masyarakat, dan Tuhan menunjukkan bahwa kebaikan merupakan keharusan
yang dibebankan kepada kehendak manusia yang untuk dilaksanakan.
Kebaikan itu harus dilakukan, artinya tidak boleh disangkal, dan jika orang
melanggar, maka orang salah, karena melaksanakan kebaikan itu tuntutan dari
kodrat manusia (Driyarkara, 2006:555). Poedjawiyatna (1982:60) juga
menyatakan untuk bertindak sebagai mestinya, orang harus melakukan
wajibnya. Keadilan menjadi nilai sentral, di mana hak dan kewajiban
dipertimbangkan secara proporsional. Ajaran tentang keadilan gender juga
tercermin, memposisikan wanita Jawa dengan sederajat antara perempuan dan
laki-laki. Seh Amongraga memberikan contoh nyata tentang tanggung jawab,
baik legal maupun moral, seperti ketika menghadapi hukuman atas kelalaian
abdinya dan melaksanakan kewajiban sebagai suami. Selain itu, Seh
Amongraga menekankan pentingnya mendengarkan suara hati nurani dalam
membuat keputusan moral. Nilai-nilai seperti kejujuran, keberanian,
kerendahan hati, dan kesetiaan tercermin dalam perilaku dan ajaran moralnya.
Seh Amongraga, tokoh dalam Serat Centhini, memberikan contoh nilai
moral hati nurani melalui keputusannya yang didasari oleh pertimbangan budi
praktis. Hal itu sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Fudyantara
(1974:84-86) dan Rachels (2004:53) bahwa suara hati adalah fungsi budi
praktis, yaitu keputusan tentang kebaikan atau keburukan moral terhadap
perbuatan-perbuatan sendiri yang riil dan konkrit. Contoh perkawinan Seh
Amongraga dengan Niken Tambangraras menunjukkan kesesuaian dengan
ajaran Islam dan penghargaan terhadap hak-hak pasangan. Seh Amongraga
mengajak untuk berbuat baik sesuai norma agama dan masyarakat,
menunjukkan nilai kewajiban terhadap masyarakat. Nilai keadilan sosial juga
terkait dengan larangan Seh Amongraga terhadap praktik riba.
Nilai moral seperti hak dan kewajiban, keadilan, tanggung jawab, hati
nurani, kejujuran, keberanian moral, kerendahan hati, dan kesetiaan
memainkan peran penting sebagai pedoman perilaku manusia yang baik.
Nilai-nilai tersebut menjadi acuan normatif bagi individu atau kelompok
dalam menilai sejauh mana suatu sikap atau tindakan dianggap baik atau tidak.
Hak dan kewajiban, sebagai nilai moral, menjadi landasan untuk mencapai
tujuan hidup yang seimbang sesuai dengan prinsip-prinsip kesusilaan. Nilai
keadilan mendorong manusia untuk memberikan pengakuan dan perlakuan
yang adil terhadap hak-hak orang lain. Tanggung jawab, sebagai nilai moral,
membimbing individu agar dapat melaksanakan tugas sesuai dengan
kewajiban yang diemban dalam kehidupan sehari-hari.
Hati nurani, dikenal sebagai "ngelmu rasa" dalam budaya Jawa, menjadi
panduan bagi seseorang untuk mengambil keputusan berdasarkan suara
hatinya. Kepribadian Seh Amongraga, yang terkenal jujur dalam tindakan dan
perkataannya, menciptakan contoh nilai kejujuran yang kini mungkin
terancam oleh perubahan zaman. Keberanian Seh Amongraga dalam
menciptakan perdamaian antara Giri dan Mataram dapat menjadi teladan bagi
generasi saat ini yang mungkin sedang kehilangan nilai-nilai keberanian
moral.
Pesan moral Seh Amongraga tentang kerendahan hati mengajarkan
manusia untuk tidak bersikap sombong dan selalu menunjukkan sikap
tawaduk. Ajaran moral kerendahan hati ditunjukkan dalam perilaku Seh
Amongraga yang rendah hati, meskipun sebagai wali yang menguasai ilmu
kesempurnaan hidup. Seh Amongraga tidak pernah menunjukkan
kesombongannya. Apa yang ditunjukkan oleh Seh Amongraga sesuai dengan
apa yang diungkapkan oleh Magnis-Suseno (1989:149) bahwa kerendahan
hati tidak berarti bahwa kita harus merendahkan diri, melainkan bahwa kita
melihat diri kita seadanya. Kesetiaan, sebagai nilai moral, dianggap sebagai
kunci untuk menjaga keharmonisan dalam hubungan antara keluarga dan
teman. Keseluruhan, nilai-nilai moral ini memainkan peran penting dalam
membentuk karakter dan perilaku manusia yang bermartabat.

D. Kelemahan dan Saran


Kurangnya sumber informasi menyebabkan sempitnya lingkup tema yang
dibahas. Keterbatasan tersebut mempengaruhi validitas dan keakuratan hasil yang
dipaparkan. Disarankan untuk pembaca lebih memahami konteks budaya di Jogja
dan mengenali ragam bahasa tubuh serta menganalisis kosa kata khas jogja agar
lebih memahami isi dari buku ini.
Daftar Pustaka

Agustinah S.W. & Indriyani D. (t.thn.). Dampak Globalisasi Terhadap Perilaku Belajar
Siswa di SMK Negeri 1 Cianjur.
Alfian M. (2014, Januari 02). Regulasi Emosi Pada Mahasiswa Suku Jawa, Suku Banjar
dan Suku Bima. JIPT, Vol. 02 No. 02(ISSN : 2301-8267).
Budiono L.A. & Masing M. (2022). Emosi Dalam Perspektif Lintas Budaya. Journal Of
Social Science research, Vol. 2, No. 1.
E., Rahardian. (2018, Mei 1). Menilik Cara Pandang MAsyarakat Jawa Tentang Emosi
Melalui Metafora. Kandai, Vol 14. No 1., Halaman 1-14.
Hafiz O. (2020, Januari 10). Kalau Kamu Dengar 10 Kalimat ini, Berarti Tandanya Kamu
Sedang Berada di Jogja. Nggak Asing, Kan?
Jogjaicon. (2012, Oktober 4). "Marahnya" Orang Jogja.
Kurniawan A.P, dan Hasanat N.UI. (t.thn.). Perbedaan Ekspresi Emosi Pada Beberapa
Tingkat Generasi Suku Jawa di Yogyakarta. Jurnal Psikologi, Vol.
34, No. 1, 1-17.
Mudrikah. (2017). Regulasi Emosi Ditinjau Dari Suku Batak Toba dan Suku Jawa.
Regulasi Emosi Ditinjau Dari Suku Batak Toba dan Suku Jawa.
Medan, Sumatera Utara: Universitas Medan Area.
Ni Made Artha W.I & Supriyadi. (2013). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dan Self
Efficacy dalam Pemecahan Masalah Penyesuaian Diri Remaja
Awal. Jurnal Psikologi Udayana, Vol. 1, No. 1(ISN: 2354-5607),
190-202.
Parinnusa S. Fransiska W.F. (2022, Juni 22). Tata Krama Ajining Diri Saka Lathi, Ajining
Raga Saka Busana dalam Filosofis Jawa di Era Milenial. Jurnal
Teologi Injili, Vol. 2. No. 1., Hal 1-34.
Rahmi K.R. (2020). Transmisi Nilai Sopan Santun Pada Keluarga Abdi Dalem. Transmisi
Nilai Sopan Santun Pada Keluarga Abdi Dalem. Yogyakarta:
Univeritas Negeri Yogyakarta.
Saraswati B.D. (2022, Februari Jum'at). Misuh dengan Kata Bajingan, Sontoloyo, dan
Bajigur? Pahami Dulu Artinya. Misuh dengan Kata Bajingan,
Sontoloyo, dan Bajigur? Pahami Dulu Artinya. Yogyakarta,
Yogyakarta: Harian Jogja.
Sucita R. & Agung I.M. (2016, Desember 2). Perbedaan Ekspresi Emosi pada Orang
Batak, Jawa, Melayu, dan Minang. Jurnal Psikologi, Vol. 12, No.
2.
Supriatma M. (2014, September 1). Amarah dan Wajah Ganda Jogja.
Syarif R.F. (2016). Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Regulasi Emosi pada
Penderita Diabetes Mellitus di Komunitas Prolanis (Program
Penyuluhan Penyakit Kronis) Sokaraja. Purwokerto: Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.
Wibawa S. (2013). Etika Jawa. Etika Jawa. Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta:
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
Yusrifa F. (2022). Pekewuh: Etika Makan MAsyarakat Jawa dan Implikasinya Terhadap
Peningkatan Kuantitas Sampah Makanan. Jurnal Paradigma:
Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, Vol. 3
No. 2.

Anda mungkin juga menyukai