Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PSIKOLOGI BUDAYA JAWA

“PEMIKIRAN JAWA TENTANG DIRI”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Budaya Jawa


Dosen Pengampu: Dr. Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si.

Disusun Oleh:

Regina Lovey Taqiyyah G0118062


Yessi Chamelliya G0118084

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pembahasan mengenai kebudayaan dan masyarakat Jawa dari berbagai disiplin ilmu
dari masa ke masa tiada habis-habisnya, tidak terkecuali dalam bidang psikologi. Hal ini
membuktikan betapa kayanya budaya jawa ini sendiri. Khazanah kebudayaan dan masyarakat
Jawa secara berkesinambungan memberikan kontribusi yang sangat berarti kepada
masyarakat luas, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Dalam kehidupan setiap bangsa
di dunia dan dalam lingkup kebudayaannya masing-masing, tiap-tiap bangsa itu memiliki
kebiasaan hidup (adat-istiadat) yang merupakan aturan tata hidupnya.
Yatman dalam bukunya menyatakan bahwa memperkuat budaya adalah hal yang
penting dan perlu dilakukan sejak dini (Yatman, 2008). Dalam kaitannya dengan psikologi
jiwa dikenal dengan Kawruh Jiwa. Dalam dunia yang berkembang, terdapat dua pilihan bagi
eksistensi budaya lokal. Pertama, akan punah karena tidak terpelihara keberadaannya.
Kedua, tetap eksis dalam pengaruh budaya lokal dan keadaan yang ada. Karena budaya dapat
mengandung makna adaptasi sehingga akan menyesuaikan seperlunya, tanpa mengubah
eksistensinya.
Keberadaan orang Jawa dalam dunia modern saat ini, tidak dapat dipisahkan dengan
beragam petuah yang ada didalamnya. Petuah dikembangkan secara turun menurun hingga
menjadi sebuah nilai budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa masa kini. Nilai inilah yang
kemudian menjadi pembentuk diri masyarakat Jawa dan menjadi guide dalam aktivitasnya
sehari-hari. Sejalan dengan ini, Baron dan Byrne dalam Susetyo, dkk berpandangan tentang
pentingnya identitas sosial untuk meneguhkan eksistensi individual. Self merupakan salah
satu komponen pembentuk identitas sosial. Karenanya, bila terdapat pertanyaan tentang
“siapa anda?” maka individu Jawa dapat menyatakan jati dirinya sebagai orang Jawa,
walaupun berada di tengah perkembangan global sekalipun.
Menurut Soemanto Hardjoprakoso, Candra Jiwa Indonesia membuka kesempatan
bagi ‘Aku’nya manusia untuk meleburkan diri di dalam kekuasaan yang lebih tinggi dan
meliputi keseluruhan, yaitu Alam Sadar Kolektif. Di sini mempersyaratkan sang Aku harus
mengurangi dan menundukkan kedaulatannya sendiri (Purwowiyoto, 2014)

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
1. Siapa itu Ki Soenarto?
2. Apa itu pemikiran Jawa tentang ‘diri’?
3. konsep diri orang Jawa menurut Candra jiwa ki Sunarto?
4. Bagaimana penerapan konsep diri orang Jawa menurut Candra jiwa ki
Sunarto?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mengetahui biografi Ki Soenarto
2. Memahami pemikiran Jawa tentang ‘diri’
3. Mengetahui konsep diri orang Jawa menurut Candra jiwa ki Sunarto?
4. Mendeskripsikan dan menganalisis penerapan konsep diri menurut Candra
Jiwa ki Sunarto oleh Orang Jawa.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Diri Secara Umum


Pandangan dan penjelasan yang mengartikan tentang self telah disampaikan oleh
berbagai pendapat. Freud telah membantu manusia mengenal dirinya sebagai sang aku, das
Ich, Id sebagai salah satu bagian dari suatu organisasi yang bagian-bagiannya saling
berhubungan karena adanya proses kejiwaan di dalam dirinya. Menurut Freud, Sang aku
berasal dari das ES (Id) yang dipengaruhi oleh dunia luar melalui kesadaran, merupakan
kelanjutan dari differensiasi permukaan. Das Es (id) yang asadar adalah awal eksistensi
manusia.

Dalam Saliyo, Cooley menyatakan pandangannya tentang diri dengan teori diri kaca
cermin. Teori ini menyatakan bahwa konsep diri seseorang dipengaruhi oleh apa-apa yang
diyakini individu-individu, bahwa orang berpendapat mengenai dia (Saliyo, 2012). Senada
dengan Cooley, Mead menyatakan bahwa konsep diri hadir melalui masyarakat. Di mana,
konsep diri dianggap sebagai hasil dari perhatian individu atau cara yang ditunjukkan orang
lain saat berinteraksi dengannya (Susetyo, Widiyatmadi, & Sudiantara, 2014). Bila seseorang
memperlakukannya dengan pantas, maka ia akan melakukan hal yang sama terhadap
lingkungan di sekitarnya, termasuk bila sebaliknya.
Sementara Goffman berpandangan bahwa konsep diri merupakan perluasan paham
interaksi simbolis dalam metafor dramaturgis. Individu dianggap tengah mengadakan
pertunjukan bagi orang lain. Karenanya, ia perlu mengatur kesan tertentu pada orang lain,
agar orang tersebut dapat menerimanya. Dalam hal ini, Goffman berpandangan bahwa “diri”
yang ditunjukkan kepada orang lain merupakan pencitraan. Sehingga, melalui hal ini nampak
siapa diri sata dan siapa orang lain yang diajaknya untuk berinteraksi (Susetyo, Widiyatmadi,
& Sudiantara, 2014).
Berkaca dengan pandangan yang disampaikan masing-masing tokoh, ketiganya
memiliki pandangan tersendiri tentang diri. Mead, menyatakannya hadir melalui interaksi
yang dilakukan masyarakat, terjadinya secara berkelanjutan. Sementara Goffman
berpandangan konsep diri hadir dalam waktu pendek, dengan menekankan pada penunjukkan
diri bagi orang lain. Mead berpandangan bahwa diri dan masyarakat merupakan gambaran
yang serupa atau kembar. Sementara menurut Goffman, diri dan masyarakat merupakan dua
bagian berbeda yang saling berinteraksi dengan batasan-batasan tertentu. Diri dapat
meninggalkan “kostum” yang ditunjukkan pada masyarakat sewaktu-waktu, untuk beralih
pada interaksi lainnya. Dalam hal ini, Goffman menekankan bahwa diri memiliki
kemampuan untuk beradaptasi, sehingga memudahkan proses sosial dalam pertunjukan yang
disajikannya (Susetyo, Widiyatmadi, & Sudiantara, 2014).

B. Konsep Diri dalam Budaya Jawa


Tidak hanya berasal dari barat, di Indonesia konsep diri telah diperkenalkan oleh
beberapa ahli. Sebut saja salah satunya, Dedy yang menyatakan bahwa konsep diri
merupakan pandangan kita mengenai siapa diri kita. Hal ini hanya dapat diwujudkan dengan
adanya informasi yang diperoleh melalui orang lain. Di saat yang bersamaan, diri pun dapat
tercipta dengan adanya komunikasi yang dilakukan dengan orang lain, serta dapat hadir bila
individu merasakan siapa dirinya sendiri. Sementara menurut Yaman, konsep self dalam
budaya Jawa dikenal dengan wong Jawa iku nggone rasa. Dalam hal ini dapat berarti
penginderaan sampai hidup, hidup, maupun sensasi (Yatman, 2008).
Sementara menurut Hadi Wiyono dalam Susetyo, self orang Jawa dipahami sebagai
konstruk yang berlapis-lapis. Manusia Jawa digambarkan sebagai aku yang terdiri dari
konstruksi lapis yang paling dalam, jagad kecil, dan jagat besar (Susetyo, Widiyatmadi, &
Sudiantara, 2014). Hal ini diperkuat oleh Baron dan Byrne yang menyatakan bahwa self
dalam etnis Jawa memiliki kaitan yang erat dengan adanya hubungan intrapersonal dari
orang-orang yang ada di sekelilingnya ataupun dari keanggotaannya pada kelompok etnisnya.
Maka dapat disimpulkan bahwa self orang Jawa dapat hadir ditentukan oleh nilai-nilai
penting yang ada di sekitarnya. Orang Jawa mengedepankan prinsip rukun dan prinsip untuk
hormat dalam mengatur relasinya dengan orang lain.
Hal ini dipertegas oleh Muddler dengan nilai-nilai budaya Jawa yang menekankan
pada kesadaran tinggi terhadap orang lain. Kesadaran tinggi ini ditunjukkan dengan adanya
pandangan bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian. Manusia akan selalu berhubungan
dengan orang lain, sehingga diperlukan hubungan baik antara satu dengan yang lain.
Hubungan ini akan berlangsung baik, bila kontak terjadi tanpa friksi atau ketegangan.
Karenanya, sikap sopan santun dan menghormati menjadi pilihan utama dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari dan mempengaruhi konsep diri Orang Jawa. Dari berbagai pemahaman
tersebut, dapat diketahui bahwa konsep diri hadir dengan adanya komunikasi yang dilakukan
individu dengan individu lainnya. Waktu yang dibutuhkan beragam, dapat terjadi dalam
waktu panjang ataupun panjang. Karena inti dari konsep ini adalah adanya komunikasi dari
orang lain terhadap dirinya.
Rupanya hal senada dialami oleh orang Jawa, khususnya Samin yang disampaikan
dalam penelitian Saliyo. Dalam penelitiannya, diketahui bahwa Orang Samin yang memiliki
kepatuhan tersendiri dengan ungkapan-ungkapan dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Ungkapan-Ungkapan yang disampaikan secara turun temurun, kemudian menjadi pedoman
hidup dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, ungkapan
“nuladha laku utama, umparing wong tanah Jawi, wong Agung ing Ngeksiganda,
Panembahan Senapati, Kapati Amarsudi, Sudaning Hawa lan Napsu, Pinesu tanpa brata,
Tanapi ing siang ratri, Amangun karyenak tyasing sasama.Artinya, perilaku utama, bagi
orang tanah Jawa, orang Agung dari Mataram, Panembahan Senapati, habis-habisan
berusaha, mengurangi hawa nafsu, bertapa sepenuh hati, baik siang dan malam, membangun
enaknya hati sesama (Saliyo, 2012)”
Ungkapan ini menjadi salah satu contoh bahwa didalam ungkapan terdapat sebuah
makna perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ungkapan, masyarakat Jawa
diminta untuk dapat berperilaku baik terhadap orang disekitarnya, yang nampak pada bagian
akhir ungkapan. Ungkapan ditujukan bagi seluruh orang Jawa, termasuk bagi orang Jawa
modern dan generasi mendatang.
Terdapat juga wejangan dari Ki Ageng Soerjomentaraman kelak dikenal adanya
“aku” tanpa ciri, yang transenden. Beberapa konsep “aku” tampak dengan jelas, yakni “aku”
Kramadangsa seperti yang disaksikan oleh orang lain, “aku” Kramadangsa dengan rasa
namanya sendiri, serta “aku” tanpa dapat disebut Kramadangsa lagi. Demikianlah dilihat
bahwa kepribadian manusia Jawa terutama dibentuk dari interaksinya dengan lingkungan luar
(kenyataan), serta lingkungan dalam (kasunyatan). Pandangan ini dilengkapi dengan tiga
pokok ajaran, yaitu rasa, aku (kramadangsa), dan mawas diri. Rasa merupakan kesadaran
manusia seutuhnya, sebagai makhluk yang memiliki rasa hidup.
Senada dengan orang-orang Samin yang memegang teguh nilai-nilai melalui
ungkapan dan membuat konsep diri menurut para ahli barat nyata, terdapat pandangan yang
disampaikan oleh Soenarto tentang konsep diri. Konsep diri yang diperkenalkan Soenarto
dikenal dengan Candra Jiwa yang kini dikenal dengan Candra Jiwa Indonesia yang banyak
digunakan dalam berbagai bidang, termasuk psikologi. Awal mula konsep ini hadir setelah
diturunkan dari Babon Kitab “Sasangka Jati” oleh Soemantri.
Candra jiwa menurut Soemantri adalah sebuah lukisan rangka (anatomi) sekaligus
fungsi (fisiologi) dari jiwa manusia, dipakai sebagai hipotesis dasar untuk bekerja
selanjutnya. Candra Jiwa Indonesia (Soenarto) bahkan diklaim Soemantri Hardjoprakoso
sejajar dengan candra jiwanya Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, dan Alfred Adler.
sebelumnya, siapakah pencetus model Candra Jiwa ini?
C. Biografi Ki Soenarto

R. Soenarto Mertowardojo, lahir pada tanggal 21 April 1899 di Desa Simo,


Kabupaten Boyolali, Surakarta. Beliau adalah putra keenam dari delapan bersaudara dari
keluarga Bapak R. Soemowardojo. Hidup pada masa itu, di Zaman pendudukan Belanda,
dengan delapan putra merupakan cobaan yang berat bagi keluarga Bapak R. Soemowardojo
yang sehari-hari bekerja sebagai mantri penjual. ketika Soenarto berumur 7 tahun saatnya ia
bersekolah, di titipkanlah Soenarto di saudara ayah atau ibunya yang tinggal di kota untuk
bersekolah, karena di desa Simo saat itu belum ada sekolah. Sejak itulah Soenarto harus
berpisah dengan orang tua dengan dititipkan (ngenger) demi menuntut ilmu.
Pangestu sendiri adalah singkatan dari Paguyuban Ngesti Tunggal. Paguyuban ini
berdiri pada tanggal 20 Mei 1949 di Solo, terbuka untuk mereka yang membutuhkan
kedamaian hati, ketentraman serta kebahagiaan dengan membangun jiwa yang luhur
(kesusilaan batin) melalui ajaran Sang Guru Sejati/Utusan Tuhan yang Abadi. Ajaran Sang
Guru Sejati pertama kali diterima oleh R. Soenarto Mertowardojo pada tanggal 14 Februari
1932. Setelah itu, ajaran Sang Guru Sejati dikenal dan diminati oleh masyarakat sekitar.
R. Soenarto adalah siswa Sang Guru Sejati yang dipakai sebagai perantara
menyampaikan ajaran. R. Soenarto bukan guru atau penuntun dan para siswa yang lain
menganggapnya sebagai saudara tua atau orang tua. Oleh karena itu, di kalangan Pangestu R.
Soenarto mendapat panggilan hormat “Pakde Narto”.

D. Model Candra Jiwa


Peta jiwa atau candra jiwa yang dipaparkan oleh salah seorang putra Indonesia telah
diuji dalam sebuah disertasi dan akhirnya diterima oleh tim penguji, berjudul Indonenrtich
Mansbeld ats Baris Einer Pycho-therapy di Rijloumicersiteit, Leyden, Belanda, pada tanggal
20 Juni 1958. Candra Jiwa Indonesia merupakan hasil belajar Soemantri Hardjoprakoso dari
seorang puranpara bernama R. Soenarto Mertowardoyo, seorang Jawa yang lahir dalam
budaya Jawa. Dalam riwayatnya. Soenarto sebagai seorang jawa mencari dan terus mencari
sesembahan manusia yang benar dan setelah mengerahkan segala daya dan kekuatan pada
dirinya akhirnya beliau mendapatkan yang didambakan tersebut. Soenarto memperoleh yang
umumnya disebut sebagai enlightenment. Enlightenment tersebut berbentuk ajaran kang
diperlukan oleh manusia dalam menjalani hidup guna mempelajari kekuatan dan
ketenteraman (Supriani & Darmastuti, 2011).

Alam semesta dibagi menjadi Makrokosmos (Dimensi-1, D1) dan Mikrokosmos.


Mikrokosmos dibagi menjadi 3 dimensi. D2 adalah Soma; badan/jasmani kasar (Body), D3
adalah Psike; badan/jasmani halus di dalamnya berisi pusat-pusat vitalitas angan-angan,
perasaan, dan nafsu-nafsu yang secara fungsional diwakili oleh Sang Akunya (Ego) manusia.
Ego dikatakan dinamis dan berkekuatan karena memiliki fungsi koordinatif terhadap pusat-
pusat vitalitas tersebut. Kepemimpinannya hanya bersifat sementara dan dapat berevolusi
dengan melalui ”perjalanan” yang berat menuju Dimensi ke 4, sebagai jati dirinya manusia
yang hakiki, Pusat Imateri (Purwowiyoto, 2014).
Dalam konsep candra jiwa, manusia hidup dalam tiga lingkungan, yaitu alam sejati,
badan halus, dan badan jasmani. Pada alam sejati, terdapat tiga bagian yaitu suksma kawekas
yang merupakan “ada” yang tidak berubah, suksma sejati yang merupakan “ada” dan
berubah, dan roh suci yang merupakan “ada” manusia dalam badan halus. Ketiga bagian ini
dikenal dengan Tri Purusa yang selalu berkaitan dengan manusia. Manusia dapat melakukan
komunikasi dengan ketiganya, bila selalu “eling”, “pracaya”, dan “mituhu” (Yatman, 2008).
Cermin dari Tri Purusa dalam badan halus inilah yang disebut dengan Ego atau aku.
Ego berfungsi untuk melindungi roh suci dari dorongan nafsu. Karenanya, ego berdaulan
dengan kemampuan angen-angennya yang berupa cipta, nalar, dan pengerti. Karenanya,
manusia dipetuahkan untuk selalu “eling”, pracaya, dan mituhu.
Alam sejati dengan badan halus manusia dihubungan dengan rahsa jati. Rahsa Jati
bukan organ, tetapi suasana tertentu dari kehidupan jiwa. Suatu esensi dari kehidupan
perasaan. Ia adalah pintu gerbang (The- Gate) kontinuitas kesadaran atau ambang pintu
masuk ke kemungkinan- keberadaan yang imateri (Purwowiyoto, 2014). Adanya “aku”
berhubungan dengan badan jasmani, yaitu melalui panca indera. Berdasarkan hal ini, dapat
disimpulkan bahwa candrajiwa menggambarkan aku dalam badan jasmani halus yang rindu
untuk dapat bersatu dengan Tri Purusa atau yang disebut dengan diri (Yatman, 2008), yang
dalam kepustakaan lain sering disebut sebagai pribadi atau diri atau ingsun (Sunarno, 2012).
Sementara jiwa atau badan halus memiliki tiga kemampuan, yaitu angen-angenan
yang membuat manusia eling atau sadar. Angan-angan dalam istilah ilmiah dinamakan
Paradigm (Paradigma atau Pola Pikir). Paradigm dalam CJI adalah Angan-Angan manusia.
Dialah kendali seluruh sendi kehidupan dan dia pula yang akan membawa seluruh perangkat
manusia ke arah yang baik atau buruk. Semua perbuatan baik manusia selalu diawali dari
kerja Cipta, Nalar dan Pangerti manusia. Cipta yang membuat membawa prabawa, dan
pangerti yang membawa kemayan. Dasar dari pracaya ialah rasa, baik menerima ataupun
menolak, sementara dasar dari taat ialah nafsu. Ketiga unsur itu akan mengarahkan nafsu
manusia (Supriani & Darmastuti 2011). Sehingga demikian “aku, ego, dan superego”,
mampu untuk dapat sadar, percaya, dan taat. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa
diri dalam masyarakat Jawa menurut Sunarto berhubungan erat dengan alam sejati dan badan
jasmani.
Menurut Soenarto (dalam Supriani & Darmastuti 2011), Perasaan merupakan hasil
saling mempengaruhi (interaksi) antara angan-angan dan nafsu. Bila angan-angan dan nafsu
manusia selaras, maka perasaan menjadi positif. Perasaan positif yang dimaksud adalah:
menerima (accept), senang dan puas dsb. Bila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu angan-
angan tidak selaras dengan nafsunya, maka perasaan menjadi negatif. Timbul rasa menolak
seperti sedih, kecewa dan sebagainya. Fungsi tertinggi dari perasaan adalah perasaan kepada
Tuhan. Manusia akan merasakan ketentraman yang abadi jika perasaan selalu diarahkan
kepada Tuhan, bahwa segala sesuatu yang diperbuat di dunia ini semuanya hanya untuk-Nya
Yang dirindukan hanyalah dapat kembali kepada-Nya.
Nafsu-Nafsu. Badan jasmani halus manusia dilengkapi dengan nafsu yang disebut
sebagai Amarah, Sufiah, Mutmainah dan Lauwamah; (dalam Supriani & Darmastuti, 2011)
a. Nafsu Lauwamah sebagian menuju ke hal-hal yang negatif yang dapat
mengarah ke kerusakan, namun bisa juga menjadi positif bila diarahkan. Sisi
positif dari nafsu Lauamah adalah tahan penderitaan, tahan banting, dan
menjadi kekuatan jasmani.
b. Nafsu Sufiah atau nafsu keinginan terwujud dalam segala macam bentuk
keinginan, baik yang mengarah ke hal-hal negatif maupun positif.
c. Nafsu Amarah adalah nafsu yang netral dan menjadi pendorong nafsu yang
lain. Sebagian menjadi brangasan, tetapi jika diarabkan ke arah positif akan
menjadi kemauan atau energi.
d. Nafsu Mutmainah adalah rasa kasih sayang kepada sesama dan inilah yang
harus diperluas dan diperdalam.
Dalam CJI terdapat 3 kata-kata Sadar, Percaya dan Taat kepada Tuhan. Dalam
disertasi Prof. Dr. Soemantri Hardjoprakoso (dalam Supriani & Darmastuti, 2011), Sadar,
Percaya dan Taat pada Tuhan dapat dirintis ketika manusia mulai membangun watak Rela,
Narima, Jujur, Sabar, Budi Luhur, dan menjauhi larangan-Nya. Artinya bahwa Angan-angan,
Perasaan, dan Nafsu harus diarahkan kepada mentaati perintah Tuhan.
Roh suci manusia diliputi oleh angan-angan, perasaan dan nafsu. Yang harus
diperjuangkan oleh manusia agar menjadi manusia ideal adalah ketiga unsur tersebut harus
harmonis untuk menuju ke tujuan keutamaan. Ketika dari ketiga unsur tersebut masih ada
ketimpangan, dapat dikatakan bahwa harmonisasi belum berbentuk dan yang terjadi adalah
manifestasi hal negatif dalam tindakan. Jiwa positif adalah jiwa yang taat kepada Tuhan dan
tentu saja tindakannya menjadi taat kepada aturan Tuhan. Taat kepada Tuhan berarti juga
percaya kepada Tuhan dan untuk percaya kepada Tuhan diperlukan kesadaran kepada Nya.
Lantas mengapa model Candra Jiwa ini disebut-sebut sejajar dengan teori ego
ilmuwan psikologi terdahulu seperti Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, dan Alfred Adler?
Berdasarkan bagan di bawah ini, dapat dilihat ‘kesetaraan’ konsep ego milik Sigmund Freud,
Carl Gustav Jung, Alfred Adler dan Model Candra Jiwa Indonesia milik Soenarto
(Purwowiyoto, 2014).
BAB III
PENUTUP
Pemikiran tentang candra jiwa sunarto pun tidak dapat dilepaskan dengan beragamnya
petuah yang disampaikan dan menjadi nilai dari kehidupan orang Jawa. Orang Jawa memiliki
kebiasaan untuk mendengar petuah-petuah yang berasal dari tetua sebagai pedoman dalam
hidupnya. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan dalam konsep candra jiwa, bahwa diri
tidak dapat terlepas dari lingkungan luar dan lingkungan dalam. Diri seorang dengan budaya
Jawa dapat saja terpengaruh dengan adanya perubahan-perubahan yang ada di sekelilingnya.
Kondisi ini termasuk kemungkinan untuk menyelamatkan diri sendiri dibandingkan harus
memperhatikan dan menolong orang lain. Keadaan ini dapat terjadi dalam kehidupan
perkotaan yang notabene masyarakatnya hidup secara mandiri dan tidak banyak melakukan
interaksi dengan orang lain. Sementara masyarakat di pedesaan atau yang penanaman nilai-
nilainya lebih kental memiliki kemungkinan berbeda. Karena dalam setiap tindakan yang
diambilnya akan melibatkan alam sejati, badan halus, dan badan jasmani.
Ketiganya akan memainkan peranan khusus, sehingga orang Jawa memiliki keinginan
untuk saling membantu dalam masa pandemi yang menyulitkan bagi hampir seluruh pihak.
Alam sejati akan memainkan peran dengan melindungi diri dari dorongan nafsu. Sementara
badan halus dan badan jasmani akan memainkan perannya melalui panca indera.
Misalkan dalam kaitannya dengan pandemi Covid-19, nilai-nilai ini menjadi hal penting agar
pemikiran untuk mendapatkan keuntungan pribadi dilakukan. Hal ini dapat dilihat pada
beberapa pemberitaan, misalnya kehadiran aksi solidaritas pangan Yogya yang
mengumpulkan bahan pangan untuk membantu masyarakat yang kekurangan dan kesulitan
rejeki. Hal serupa dilakukan oleh warga Lamongan yang mendirikan warung gotong royong
yang menyediakan sayuran dan bahan makanan gratis (Sudjarwo, 2020). Adanya inisiatif
masyarakat untuk berbagi dan membantu pihak yang membutuhkan tidak dapat dilepaskan
dari adanya nilai-nilai yang ditanamkan untuk saling membantu masyarakat lain.
Keadaan ini pun tidak dapat dipisahkan dari adanya konsep diri yang disampaikan
oleh para ahli, termasuk Candra Jiwa. Di mana, masyarakat membantu orang lain yang ada di
sekitarnya karena adanya petuah yang ditanamkan orang tua dan orang lain sejak dini.
Karenanya, walaupun dengah berada dalam kesulitan, masyarakat Jawa dengan konsep diri
yang kuat memiliki kecenderungan untuk tetap membantu pihak lain yang kesulitan. Hal ini
tidak dapat dipisahkan dengan adanya kesadaran atau eling yang merupakan bagian dari alam
sejati, badan halus, dan badan jasmani. Ketiganya memainkan peranan besar, sehingga dapat
mempengaruhi keputusan yang diambil oleh individu termasuk untuk membantu pihak yang
membutuhkan.
Berkaca dengan hal ini, pandangan yang disampaikan Goffman tentang diri
sepenuhnya dapat diterapkan. Karena orang Jawa memiliki kecenderungan untuk berlaku
sama walaupun dengan “kostum” yang berbeda pada masyarakat yang ada di sekitarnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang Jawa cenderung mengikuti petuah-petuah yang
disampaikan para pendahulu walaupun tengah berada dalam masa yang sulit. Orang Jawa
tetap mempertahankan konsep dirinya dengan mengikuti petuah dan menjadikan Tri Purusa
dalam konsep Candra Jiwa sebagai pedoman hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Putri, R. N. (2020). Indonesia dalam Menghadapi Pandemi Covid-19. Jurnal Ilmiah


Universitas Batanghari Jambi, 705-709.
Purwowiyoto, B. S. (2014). C A N D R A J I W A I N D O N E S I A Warisan Ilmiah Putra
Indonesia (Sang Aku "EGO") (Vol. 3). H&B/Heart & Beyond PERKI.
Ridlo, I. A. (2020). Pandemi Covid-19 dan Tantangan Kebijakan Kesehatan Mental di
Indonesia. Jurnal Insan, 155-164.
Saliyo. (2012). Konsep Diri dalam Budaya Jawa. Buletin Psikologi Vol 20, 26-35.
SUNARNO, I. (2012). Konsep Sehat Menurut Perspektif Budaya Jawa (Studi Perilaku
Masyarakat Jawa dalam Menjaga dan Meningkatkan Kesehatan di Blitar Jawa Timur)
(Doctoral dissertation, UNIVERSITAS AIRLANGGA).
Supriyani, N., & Darmastuti, S. (2011). Candra Jiwa Indonesia (CJl) Sebagai Dasar
Pendalaman Ajaran Ki Hajar Dewantara Mengenai Watak Manusia Terkait dengan
Tugas Siswa dalam Belajar. Pendidikan Mencerdaskan dan Membumikan (Prosiding),
94-104. http://journal.ustjogja.ac.id/download/jurnal_candra_jiwa_ind.pdf
Susetyo, B., Widiyatmadi, E., & Sudiantara, Y. (2014). Konsep Self dan Penghayatan Self
Orang Jawa. Psikodimensia Vol 13, 47-59.
Yatman, D. (2008). Ilmu Jiwa Pribumi. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Semarang: Fakultas
Psikologi Universitas Diponegoro .

Anda mungkin juga menyukai