Anda di halaman 1dari 13

Psikodimensia Vol. 13 No.

1, Januari – Juni 2014, 47 - 59

KONSEP SELF DAN PENGHAYATAN SELF ORANG JAWA


DP. Budi Susetyo, HM. Edy Widiyatmadi dan Y. Sudiantara*
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan memahami konsep self dan penghayatan self orang
Jawa. Metode penelitian dengan pendekatan kualitatif, dengan melakukan wawancara
mendalam. Subjek penelitian adalah tujuh (7) orang Jawa berusia 40 tahun ke atas yang
tinggal di Semarang. Hasil penelitian menunjukkan deskripsi konseptual self mereka
sebagai orang Jawa tergambarkan dalam frase-frase menurut ungkapan masing-masing.
Akar dari self orang Jawa bermuara pada menjalankan prinsip rukun dan hormat yang
memang menjadi ciri khas kepribadian orang Jawa. Dalam hal penghayatan self di
kehidupan nyata, subjek mengimplementasikan apa yang mereka konsepkan sebagai
karakteristik dari self masing-masing ke dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Deskripsi
mengenai penghayatan self dalam kehidupan sehari-hari hanya berbeda dalam hal
target interaksi. Secara substantif, esensi atau kualitas sikap dan perilaku identik
dengan self yang dikonsepkan.

Kata kunci : Konsep Self, Penghayatan Self, orang Jawa


_________________________
* Staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang

PENDAHULUAN Menurut penelitian Susetyo


Eksistensi orang Jawa di era (2006) terhadap mahasiswa Jawa di
global sekarang ini ibarat di Semarang menunjukkan gambaran
persimpangan jalan. Dalam berbagai bahwa prinsip rukun dan hormat masih
indikasi nilai-nilai budaya Jawa sudah menjadi pertimbangan perilaku. Hal
mulai memudar. Semakin banyak orang tersebut menunjukkan gambaran bahwa
Jawa meninggalkan tradisi Jawa dengan pewarisan budaya Jawa melalui
menjalankan tradisi budaya modern yang enkulturasi masih tetap berlangsung,
lebih praktis. Bahasa Jawa semakin hanya saja tidak sekuat dulu lagi.
jarang digunakan untuk komunikasi Sejumlah sifat khas orang Jawa seperti
sehari-hari. Seiring dengan nrimo, pasrah, sungkan mulai
perkembangan jaman, nilai-nilai budaya ditinggalkan dan lebih mengembangkan
Jawa yang mendasari setiap gerak sifat lebih terbuka, menjadi pribadi yang
perilaku orang Jawa mulai ditinggalkan asertif.
orang Jawa sendiri.

47
DP. Budi Susetyo, HM. Edy Widiyatmadi dan Y. Sudiantara

Itulah sebabnya mempertanyakan Karena kenyataannya selalu ada saja


bagaimana jati diri orang Jawa mampu yang berusaha menahan kapal Jawa agar
bertahan di tengah arus pengaruh budaya tidak hanyut. Mereka tetap melestarikan
modern menjadi penting. Pendapat dan berusaha mengembangkan yang ada.
tentang pentingnya memperkuat identitas Pada gilirannya nanti identitas lokal tidak
lokal di tengah pengaruh global memiliki harus menjadi asor (rendah) dan tetap
nilai strategis penting untuk memperkuat bisa setara dengan arus budaya
jati diri suatu bangsa. Apalagi etnis Jawa mainstream.
termasuk etnis mayoritas di Indonesia. Menelaah eksistensi orang Jawa
Dalam Yatman (2008) melalui self merupakan hal yang strategis
dikemukakan bahwa kesadaran tentang untuk memahami bagaimana nilai-nilai
pentingnya memperkuat local genius Jawa masih berpengaruh pada kehidupan
sudah ada sejak lama, diantaranya orang Jawa sendiri. Mengacu pada Baron
dikemukakan oleh Ki Said Ketua Taman dan Byrne (2004) bahwa betapa
Siswa Jakarta pada tahun 1970 an. pentingnya identitas sosial untuk
Khususnya terkait dengan psikologi meneguhkan eksistensi individual
Jawa, dikenal dengan Kawruh Jiwa. ataupun kelompok sosial. Self
Menurut Yatman (2004) mengikuti merupakan salah satu komponen
jaman yang berkembang, maka memang pembentuk identitas sosial. Setidaknya
ada dua pilihan bagi eksistensi suatu dalam praksis pertanyaan: “Siapa
budaya lokal. Kemungkinan pertama Anda?” yang ditanyakan pada orang
adalah punah seperti diartikulasikan Jawa ataupun ketika orang Jawa
dengan the last Javanese. Kemungkinan mengungkapkan jati dirinya tentang
kedua, suatu budaya lokal tetap eksis di “Siapa Saya ?”, kiranya menjadi pintu
tengah putaran pengaruh global karena masuk untuk mengerti jati diri orang
budaya mengandung makna adaptasi, Jawa melalui konsep self dan
sehingga mengalami penyesuaian penghayatan self-nya. Dari permasalahan
seperlunya namun tanpa mengurangi tersebut penelitian ini mempertanyakan:
eksistensinya. Yatman menegaskan lagi bagaimana konsep self dan penghayatan
bahwa kematian budaya Jawa self orang Jawa?
diartikulasikan dalam terminologi
tunggak jati mati. Namun daya adaptasi TINJAUAN PUSTAKA
budaya Jawa lebih tergambar dalam Pengertian tentang self dijelaskan
terminologi tunggak jarak mrajak. mengacu pada beberapa pendapat.

48
Konsep Self Dan Penghayatan Self Orang Jawa

Menurut Baron dan Byrne (2004), self lebih besar seperti ras, etnis ataupun
didefinisikan sebagai kumpulan budaya.
keyakinan dan persepsi terhadap diri Diri sosial terbangun dalam
sendiri yang terorganisir. Self konteks relasional dengan lingkungan
memberikan kerangka berpikir yang budaya yang berpengaruh kuat pada
menentukan bagaimana kita mengolah individu. Matsumoto (2004)
informasi tentang diri kita sendiri, membedakan antara diri sosial pada
termasuk motivasi, keadaan emosional, budaya kolektivistik dan budaya
evaluasi diri, kemampuan dan lainnya. individualistik. Budaya individualistik
Mengacu pada Sedikides dan membentuk konstruk diri independen
Skowronski (dalam Baron dan Byrne, (independent construal of self), yaitu self
2004) self berevolusi sebagai sebuah yang fokus pada atribut internal yang
karakteristik adatif. Aspek pertama yang sifatnya personal atau kemampuan
muncul adalah kesadaran diri subjektif, individual. Self terpisah dari orang lain
yang melibatkan kemampuan individu dan lingkungannya. Pada budaya
membedakan dirinya dengan lingkungan kolektivistik membentuk konstruk diri
fisik dan sosialnya; Aspek kedua adalah interdependen (interdependent construal
kesadaran diri objektif berupa kapasitas of self). Budaya yang menekankan pada
individu untuk menjadi objek diri kolektif sangat khas dengan ciri
perhatiannya sendiri; Aspek ketiga perasaan akan keterkaitan antar manusia
adalah kesadaran diri simbolik, yaitu satu sama lain, bahkan antar dirinya
kemampuan untuk membentuk sebagai mikro kosmos dengan
representasi diri yang abstrak melalui lingkungan di luar dirinya sebagai makro
bahasa. kosmos. Tugas normatif dari budaya
Dalam konteks penelitian ini, kolektivistik adalah melakukan
maka konstruk self yang terkait dengan penyesuaian diri untuk menjadi pas dan
diri sosial (social self) menjadi lebih mempertahankan saling ketergantungan
ditekankan daripada konstruk diri diantara individu. Dengan demikian,
personal (personal self). Mengacu pada individu yang dibesarkan dalam budaya
Baron dan Byrne (2004), sosial self kolektivistik dibesarkan untuk
terdiri dari dua komponen: (1) berasal menyesuaikan diri dengan orang lain
dari hubungan interpersonal, (2) berasal dalam suatu hubungan atau kelompok,
dari keanggotaan pada kelompok yang membaca maksud orang lain, menjadi
orang yang simpatik, bertindak secara

49
DP. Budi Susetyo, HM. Edy Widiyatmadi dan Y. Sudiantara

pantas dan sebagainya. Aspek terpenting Zat Yang Mutlak pada inti lapis paling
dalam pengalaman kesadaran adalah dalam, kemudian Jagad Kecil (lapis
intersubjective, yaitu saling terhubung tengah) dan Jagad Besar (lapir luar).
antarpersonal. Kontruk self Jawa juga dapat dipaham
Konsep self dalam budaya Jawa dalam konstruksi kepribadian orang
memiliki penjelasan yang khas. Timur, yang oleh Hsu (dikutip oleh
Sebagaimana dikemukakan oleh Yatman Koentjaraningrat, 1974) digambarkan
(2004) wong Jawa iku nggone rasa. Rasa sebagai psikososiogram yang merupakan
memiliki makna yang sangat luas mulai perpaduan gagasan Timur dan
dari pengindraan sampai hidup itu pandangan Sigmud Freud tentang
sendiri, lebih dari makna dari feeling, struktur kepribadian manusia yang
emotion, sentimentalty, lust, mood berlapis-lapis.
ataupun sensation. Rasa dipahamkans Terkait dengan penelitian ini,
sebagai substansi yang mengaliri alam pemahaham teoritis tentang self pada
sekalir, artinya ia berupa suasana orang Jawa dirumuskan mengacu pada
pertemuan antara jagad gedhe dan jagad pandangan Baron dan Byrne, bahwa self
cilik. Terdapat tiga bentuk rasa, yaitu (1) terkait dengan etnisitasnya dalam hal ini
Rasa Pangrasa, yaitu rasa badan etnis jawa disebut sebagai social self
wadhag, seperti dihayati seseorang yang dibentuk dari hubungan
melalui indranya (rasa pedas, rasa gatal interpersonal dan dari keanggotaannya
dan sebagainya), kemudian rasa yang pada kelompok etnisnya.
hadir dalam kebadanan seseorang seperti Dengan demikian self orang Jawa
rasa sakit, rasa enak. (2) Rasa Rumangsa, ditentukan oleh nilai-nilai penting
yaitu rasa eling, rasa cipta dan rasa sebagai orang Jawa. Mengacu pada
grahita. (3) Rasa Sejati, yaitu rasa yang Suseno (1996) orang Jawa
masih masih mengenal rasa yang mengedepankan prinsip rukun dan
merasakan dan rasa yang dirasakan, prinsip hormat yang mengatur relasinya
seperti rasa damai, rasa bebas, rasa abadi. dengan orang lain. Menurut
Self orang Jawa juga dipahami Koentjaraningrat (1984), perilaku orang
dalam kontruks yang berlapis-lapis. Jawa ditentukan oleh penghayatan
Seperti dikemukakan oleh Hadiwiyono perasaan-perasaan orang Jawa yang
(dalam Yatman, 2004), manusia Jawa dominan dalam interaksi sosialnya, yaitu
digambarkan sebagai aku dengan inti tentang perasaan pada orang yang
yang berlapis-lapis, terdiri dari konstuksi superior, perasaan inferior diri sendiri,

50
Konsep Self Dan Penghayatan Self Orang Jawa

perasaan positif pada orang yang dan Penelitian ini menggunakan


perasaan negatif pada orang lain. metode kualitatif, karena penelitian ini
Menurut Mulder (1994) nilai-nilai diarahkan pada pemahaman individu
budaya Jawa menekankan bahwa orang secara holistik. Mengacu pada Patton
Jawa seharusnya memiliki kesadaran (dalam Poerwandari, 1998) pendekatan
yang tinggi akan keberadaan orang lain. holistik mengasumsukan bahwa
Dalam hidupnya seseorang tidak keseluruhan fenomena perlu dimengerti
sendirian, orang secara terus menerus sebagai suatu sistem yang kompleks dan
berhubungan dengan orang dari bahwa yang menyeluruh tersebut lebih
lingkungan yang berbeda. Hubungan ini besar dan lebih bermakna. Subjek
akan berlangsung baik jika dalam setiap penelitian adalah orang Jawa yang
kontak berlangsung tanpa friksi dan berumur 40 tahun ke atas, memiliki Ayah
menyenangkan. Diperlukan sikap sopan dan Ibu etnis Jawa. Penetapan sampel
dalam setiap interaksi misalnya dengan secara purposif sesuai dengan kriteria
memberikan salam secara menunduk. yang telah ditetapkan. Metode
Sikap sopan dengan memberi salam ini pengumpulan data dilakukan dengan
menjadi tuntutan dalam setiap situasi wawancara mendalam dengan
sosial, bahkan terhadap orang yang mendasarkan pada pedoman wawancara,
belum begitu dikenalnya di lingkungan yang meliputi identitas subjek, konsep
tempat tinggal ataupun lingkungan self dan penghayatan self. Analisis hasil
lainnya. penelitian dilakukan dengan menemukan
Kontruksi self orang Jawa kata kunci pada data verbatim,
ditandai kekhasan yaitu tentang peran melakukan koding tema, analisis antar
rasa sebagai lambaran ataupun sebagai tema dan kesimpulan.
bingkai orang Jawa. Konstruksi self
orang Jawa merupakan konstruk HASIL PENELITIAN
berlapis-lapis sebagaimana dijelaskan Penelitian ini melakukan
oleh Hsu dan Hadiwiyono, yang intinya wawancara terhadap 7 orang Jawa seperti
terdiri dari lapis luar/peripheral/dangkal, kriteria yang ditetapkan. Adapun
lapis tengah dan lapisan terdalam sebagai gambaran subjek penelitian dapat
lapisan paling inti. dijelaskan sebagai berikut:

METODE PENELITIAN
Tabel 1

51
DP. Budi Susetyo, HM. Edy Widiyatmadi dan Y. Sudiantara

Subjek Penelitian

Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 Subjek 4 Subjek 5 Subjek 6 Subjek 7


Nama DJ BW Y YAS PR D PM
Umur 65 th 51 th 54 th 43 th 61 th 48 57
Jenis Pria Pria Wanita Pria Pria Pria Wanita
kelamin
Status Kawin Kawin Kawin Kawin Duda Kawin Kawin
perkawinan
Pekerjaan Petani Wiraswasta Petani Karyawan Pensiunan Karyawan Pengusaha
PNS Rumah
Makan
Daerah Surakarta Kebumen Boja Semarang Sragen Gombong Semarang
Asal Semarang
Bahasa Jawa Jawa Jawa Jawa Jawa Jawa Jawa
Sehari-hari

Hasil penelitian diuraikan berdasarkan Subjek 2 menggambarkan dirinya


konsep self dan penghayatan self dari sebagai orang Jawa memiliki posisi sama
masing-masing subjek sebagai berikut: dengan yang lain yang buka Jawa. Hanya
saja memang ada perbedaan dengan yang
Konsep Self: lain dalam hal perasaan, pikiran dan
Dari ke 7 subjek, ketika ditanyakan tindakan. Sebagai orang Jawa ia lebih
tentang self sebagai orang Jawa mereka banyak menggunakan rasa dalam
menjawab dengan ungkapan yang menjalani hidup, bahkan berpikirpun
berbeda-beda yang dipengaruhi oleh dengan perasaan. Seringkali subjek
latarbelakang kehidupan yang selama ini merasa kesulitan untuk memilah antara
ditekuninya. perasaan dan pikiran karena keduanya
Seperti subjek 1 yang berlatar jumbuh (sulit dibedakan) dalam setiap
belakang petani, ia menggunakan situasi dan lingkungan. Yang
ungkapan bahwa sebagai orang Jawa membedakan orang Jawa satu dengan
mementingkan kebersamaan dengan yang lain adalah dalam kepekaan rasa-
sesama, tidak boleh adigang-adigung- nya.
adiguna, tidak boleh umuk (sombong). Subjek 3, yang berlatarbelakang
Sebagai orang Jawa subjek selalu bisa petani menekankan bahwa sebagai orang
rumangsa dan tidak boleh rumangsa Jawa ia mengedepankan guyub, gotong
bisa, yang intinya adalah mawas diri royong dan saling membantu pada
untuk tidak ambisi, sombong dan lebih sesama. Subjek mudah merasa kasihan,
bisa menempatkan diri dengan situasi. kalau ada yang kesulitan mudah

52
Konsep Self Dan Penghayatan Self Orang Jawa

membantu, apa yang dimiliki seperti Menurut subjek 7, Jawa identik


hasil pertanian akan dibagi-bagi dengan dengan gotong royong, membantu yang
tetangga yang memerlukan. lain. Ketika ada yang sakit saling
Ada juga subjek yang menjenguk, kalau ada yang kesulitan
menggambarkan orang Jawa dari ciri saling membantu. Sebagai orang Jawa
perilakunya yang khas. Seperti juga mengedepankan sopan santun,
dikemukakan oleh subjek 4, sebagai unggah ungguh dan hormat dengan yang
orang Jawa logat bicaranya tidak lebih tua.
meledak-ledak, berbicara pelan, lemah
lembut dan santun. Sebagai orang Jawa Penghayatan Self
ia suka berteman, ramah kepada siapapu, Penghayatan self terkait dengan
menghargai yang lebih tua dan punya bagaimana konsep self diimplementasi-
welas asih. Kesemuanya tadi diperolah kan dalam kehidupan sehari-hari.
dari ajaran dalam keluarga. Subjek 1 menjalani kehidupan apa
Subjek 5, sebagai orang yang adanya, tidak ngoyo (tidak ambisi) dan
berasal dari daerah Surakarta (Sragen) semua mengalir saja. Sebagai petani ia
mengaku betul-betul murni orang Jawa. menjalani kehidupannya dengan tekun,
Sebagai orang Jawa ia mengedepankan dilakoni wae (dijalani saja kehidupan
adat ketimuran berupa unggah-ungguh ini). Ia juga mementingkan terjalinnya
atau tata krama seperti hormat pada hubungan yang baik dengan orang lain,
orang yang lebih tua. Disamping itu ia tidak berbuat neko-neko (berlebihan,
juga tidak menonjolkan diri tentang aneh-aneh), bersikap wajar-wajar saja.
kemampuan dan pengetahuannya dengan Hubungan yang dijalin dengan orang lain
bersikap tidak rumangsa bisa. Dalam seperti hubungan saudara, tidak
bertindak ia juga mawas diri, betul-betul membeda-bedakan siapapun meskipun
melakukan instrospeksi sebelum bukan keluarga sendiri ataupun berbeda
bertindak. keyakinan (agama). Yang terjadi adalah
Subjek 6, sebagai orang Jawa hubungan sebagai sesama manusia. Hal
mengedepankan adat ketimuran dengan tersebut membuatnya merasa ringan
sopan santun, budi pekerti dan tepa slira. untuk membantu yang lain baik melalui
Dengan menjalankan adat tersebut maka nasihat maupun perannya sebagai ‘orang
untuk menjadi hubungan antar pribadi pinter’ dengan orang-orang yang minta
dalam berbagai situasi dan kepentingan pertolongan untuk disembuhkan
juga nyaman. penyakitnya.

53
DP. Budi Susetyo, HM. Edy Widiyatmadi dan Y. Sudiantara

Subjek 2 banyak mengalami rasa Ada kalanya subjek juga menjalankan


rikuh (sungkan) saat harus menunjukkan prinsip hidup tanpa pamrih, dengan
siapa dirinya. Dalam konteks keluarga, di memberi ataupun membantu tetangga
masyarakat dan dalam relasi dengan yang memerlukan tanpa mengharap
pegawai-pegawainya (subjek memiliki 6 imbalan.
karyawan), mitra bisnis serta kompetitor Subjek 4, sebagai orang Jawa
bisnis, subjek masih merasakan adanya dalam implementasi kehidupan sehari-
rasa rikuh tersebut. Meskipun demikian hari subjek mementingkan sifat tidak
terhadap orang tertentu yang menonjolkan diri sendiri, misalnya
dikategorikan sebagai kawan akrab, dengan mengungkapkan pendapat tidak
subjek tidak merasa sungkan atau langsung agar tidak menyinggung orang
dibebani rasa rikuh untuk lain. Ia lebih suka mengalah jika
mengungkapkan perasan dan pikirannya. menghadapi perbedaan (konflik). Ia juga
Subjek juga merasa penting untuk mudah berempati untuk membantu orang
menjaga keselarasan, mengindari konflik lain yang mengalami masalah, sakit dan
dan bersikap empan papan lainnya. Ia menghargai yang lebih tua,
(menempatkan diri sesuai situasi). selalu ingat dengan orangtua, membantu
Misalnya, subjek sebenarnya tidak suka orangtua di saat usia tua.
dengan upacara keagamaan namun demi Subjek 5, menerapkan bentuk
kewajaran umumnya orang, maka ia penghormatan dan penghargaan kepada
selalu rutin mengunjungi tempat ibadah. leluhur dengan tetap menjalankan ritual
Kalau pas tidak berangkat subjek merasa selapanan, yaitu memperingati weton
tidak enak dan khawatir disorot oleh kelahirannya setiap 35 hari dengan
lingkungannya. penyesuaian dengan kehidupan sekarang.
Subjek 3, sebagai anggota Ia juga melakukan slametan untuk
masyarakat desa subjek sering keperluan tertentu. Subjek juga
melakukan gotongroyong, tolong mengutamakan kebersamaan dengan
menolong, seperti membantu orang di warga masyarakat di sekitar tempat
sawah ketika musim tanam. Hal tersebut tinggalnya.
tidak bisa dihindarkan karena menyadari Subjek 6, dalam keseharian di
hidup tidak bisa sendirian, mungkin di keluarga ia berusaha sabar untuk
saat lain ia juga memerlukan pertolongan membimbing dan memberi nasihat
orang lain. Jadi gotongroyong dan tolong kepada istri dan anaknya. Ia lebih sering
menolong ini memiliki sifat timbal balik. memberi pengertian dengan cara

54
Konsep Self Dan Penghayatan Self Orang Jawa

berbicara yang pelan, sabar, tenang terungkap dalam frase-frase berikut:


sampai akhirnya tujuan tercapai. Dalam mengedepankan rasa, tidak boleh
relasi dengan lingkungan kerjanya, ia adigang-adigung-adiguna, tidak boleh
membangun relasi dan komunikasi yang umuk, selalu bisa rumangsa, tidak boleh
nyaman, enak ketika diajak bicara, mau rumaksa bisa, hidup ini adalah cakra
mendengar orang berbicara, sehingga manggilingan (kadang di atas, kadang di
kesannya tidak sombong, tidak galak. bawah), mengedepankan guyup, selalu
Hanya saja ia juga memiliki kelemahan merendah, tidak suka bertengkar/
yaitu sulit mengatakan tidak. bersengketa, dan selalu unggah-ungguh
Subjek 7, sebagai orang Jawa ia dan tata krama.
senang membantu dan bergotongroyong Dalam hal ini sikap hidup rukun
ketika orang lain ataupun tetangga dan hormat adalah nilai yang melekat
mengalami masalah ataupun kerepotan. dalam dan membedakan diri mereka dari
Misalnya ketika membantu orang orang lain yang bukan Jawa. Rukun juga
memiliki hajatan pernikahan, subjek diyakini kondisi yang selalu harus
sering membantu kerepotan di dapur. diupayakan dalam berinteraksi dengan
Subjek juga menerapkan dalam unggah- orang lain dan dalam kehidupan
ungguh ketika berpakaian dan juga pergaulan secara umum. Adapun hormat
dengan berbahasa Jawa. diyakini sebagai keharusan dalam
bersikap dan berperilaku pada orang lain
PEMBAHASAN yang lebih tua atau yang kedudukannya
Sebagian besar subjek lebih tinggi. Hal yang menarik
mengkonsepkan self mereka secara dikemukakan oleh subjek 2 yang
kategoris yaitu mengaku bahwa mereka mengkonsepkan self-nya secara
sebagai orang Jawa memang berbeda eksistensial (non-kategoris), yakni
dengan orang lain dari budaya non-Jawa. keniscayaan dilahirkan sebagai orang
Merasa sebagai orang Jawa tulen secara Jawa. Menurutnya, kerukunan dan sikap
genetis, membuat mereka hormat terhadap orang lain adalah
mengkonsepkan self-nya dengan pilihan sikap dan perilaku yang bisa
gambaran prototipe orang Jawa; yaitu melampaui kategori budaya suatu
sebagai individu-individu yang suka dan komunitas. Artinya, bukan semata orang
berupaya mewujudkan keselarasan dalam Jawa yang memiliki nilai-nilai tersebut.
kehidupan bersama. Beberapa deskripsi Kendatipun ada variasi perbedaan
konseptual tentang self para subjek, dalam mengkonsepkan nilai rukun dan

55
DP. Budi Susetyo, HM. Edy Widiyatmadi dan Y. Sudiantara

hormat dalam kehidupan bersama di lebih menekankan pada hidup apa


antara 7 subjek, namun ditemukan adanya, tidak ngoyo dan mengalir saja.
benang merahnya dalam menempatkan Hal tersebut menunjukkan gambaran
peran serta fungsi rasa sebagai tentang pengendalian keinginan, emosi
keutamaan dalam berinteraksi serta dan ambisi. Hidup hanya pasrah saja
bersosialisasi dengan orang lain. Yang pada Tuhan. Pada subjek 2 yang
membedakan antara orang Jawa satu berlatarbelakang wirausaha ditandai oleh
dengan orang Jawa lain adalah dalam hal rasa rikuh (sungkan), merasa malu yang
kepekaan rasa, artinya semakin peka, berlaku dalam setting-setting sosial yang
terasa semakin nJawani. mengharuskan ia lebih menahan diri
Menurut semua subjek, konsep ataupun memendam untuk
self mereka yang didefinisikan dalam mengungkapkan diri. Namun dalam
gambaran karakteristik sikap dan lingkungan karibnya, rasa sungkan untuk
perilaku rukun dan hormat semula menungkapkan diri itu tidak ada lagi.
ditumbuhkan dan lebih lanjut Subjek 3 sangat dipengaruhi oleh
dikembangkan atas dukungan serta peran karakter hidup pedesaan sebagai petani
orangtua dalam keluarga masing-masing. yang menekankan pada hidup secara
Dalam hal penghayatan self di gotong royong, tolong menolong tanpa
kehidupan nyata, terungkap bahwa pamrih. Hal tersebut menjadi kunci
semua subjek mengimplementasikan apa kebersamaan hidup sebagai orang desa
yang mereka konsepkan sebagai yang masih guyup dan kental rasa
karakteristik dari self masing-masing ke solidaritasnya. Subjek 4 menekankan
dalam sikap dan perilaku sehari-hari. pada sifat tidak menonjolkan diri, tidak
Deskripsi mengenai penghayatan self langsung atau terbuka dalam
dalam kehidupan sehari-hari hanya mengungkapkan pendapatnya. Subjek 5
berbeda dalam hal target interaksi. nampaknya lebih menekankan
Secara substantif, esensi/kualitas sikap penghayatan sebagai orang Jawa dalam
dan perilakunya identik dengan yang hal penghormatan pada nilai-nilai dan
dikonsepkan. ajaran leluhur dengan menjalankan
Hal yang menarik dalam ritual-ritual khas orang Jawa seperti
implementasi relasional dengan orang selamatan dengan berbagai maksud dan
lain dan lingkungannya dibingkai oleh tujuannya, juga mengutamakan
konteks situasional masing-masing. kebersamaan, rukun, kompak dengan
Seperti pada subjek 1, penghayatan self orang lai. Subjek 6 menekankan pada

56
Konsep Self Dan Penghayatan Self Orang Jawa

pembawaan lembut, sabar dan tidak kesadaran diri simbolik. Maka yang
menyinggung perasaan orang lain, enak terjadi pada subjek penelitian ini adalah
kalau diajak bicara, mau mendengar terjadinya tumpang tindih antara aspek
orang lain berbicara. Subjek 7 ke-1 dan ke -2. Asumsi di balik itu
menekankan pada gotong royong dan adalah, bahwa individu-individu berlatar
unggah-ungguh dalam bergaul. belakang budaya Jawa mengkonsepkan
Bila temuan di lapangan self yang bercirikan interdependent
sebagaimana dideskripsikan di atas dikaji construal of self. Dalam mengkonsepkan
dengan jabaran Baron dan Byrne (2004) dan memahami dirinya terdapat perasaan
mengenai self, ternyata bahwa konsep kuat akan keterkaitan antar manusia satu
self para subjek dalam penelitian ini sama lain.
sedikit banyak mencerminkan kumpulan Hal terakhir yang perlu dicermati
keyakinan dan persepsi terhadap diri dari hasil penelitian ini adalah
sendiri yang terorganisir. Self mengendai peran dan fungsi rasa secara
memberikan kerangka berpikir yang umum diakui oleh semua subjek. Dalam
menentukan bagaimana individu hal ini cukup relevan melansir konstruksi
mengolah informasi tentang dirinya pemahaman Yatman (2004) mengenai
sendiri. Namun demikian dari data peran penting rasa bagi orang Jawa.
penelitian terdapat anasir lain di luar diri Menurutnya rasa memiliki makna yang
individu-individu itu sendiri, yaitu bahwa sangat luas, mulai dari pengindraan
konsep mereka mengenai self sangat sampai hidup itu sendiri, lebih dari
kental terkait (dan dikaitkan) dengan makna feeling, emotion, sentimentality,
nilai-nilai kearifan budaya Jawa yakni lust, mood ataupun sensation. Dalam
sikap dan perilaku rukun dan hormat. kaitannya dengan konsep dan
Bila dibedah lagi dalam penghayatan self terlihat bahwa anasir
bagaimana konsep self dalam gambaran rasa yang mewarnai sikap serta perilaku
prototipnya sebagai orang Jawa dengan rukun dan hormat termasuk dalam
apa yang dikemukakan oleh Sedikides wilayah perasaan Rasa Rumangsa yang
dan Skowronski (Baron dan Byrne, banyak berperan dalam wilayah sosial.
2004), yang menyatakan bahwa self Di sini dapat dipahami bahwa baik
berevolusi sebagai sebuah karakteristik konsep maupun penghayatan self pada
adaptif dimana terdiri dari aspek ke-1 orang Jawa sangat terkait dengan
adalah kesadaran diri subjektif, aspek dimensi psikososial yang melampaui
ke-2, kesadaran diri objektif dan ke-3 sekedar wilayah personal.

57
DP. Budi Susetyo, HM. Edy Widiyatmadi dan Y. Sudiantara

Analisis hasil penelitian ini Jawa yang tergambarkan di atas


tentunya masih meninggalkan pertanyaan bercirikan interdependent construal
penting: apakah benar orang-orang Jawa of self.
tidak mengenal konsep self dalam tataran 2. Dalam penghayatan self di
personal tanpa mengkaitkan dengan kehidupan nyata terungkap bahwa
dimensi eksternal sosialnya? Untuk semua subjek mengimplementasikan
menjawab pertanyaan itu perlu apa yang mereka konsepkan sebagai
pendalaman lebih lanjut terutama dalam karakteristik self masing-masing ke
mengeksplorasi data di level personal dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
dengan metode yang lebih relevan dan Deskripsi mengenai penghayatan
memadai menyesuaikan karakter self self dalam kehidupan sehari-hari
yang sifatnya berlapis-lapis. Cakupan hanya berbeda dalam hal target
yang diperoleh dari penelitian ini interaksi. Secara substatif, esensi
mungkin masih dalam tataran peripheral maupun kualitas sikap dan
atau permukaan, karena memang belum perilakunya identik dengan self yang
dilakukan eksplorasi lebih intensif untuk dikonsepkan.
masuk ke cakupan yang lebih mendalam Saran yang terkait dengan hasil
dan personal, bahkan cakupan penelitian ini lebih pada pengembangan
spiritualnya. untuk penelitian lanjutan. Hal tersebut
karena penelitian ini memunculkan
KESIMPULAN DAN SARAN pertanyaan penting: Apakah benar orang-
Dari penelitian ini dapat orang Jawa tidak mengenal konsep self
disimpulkan dua hal sebagai berikut: dalam tataran personal tanpa
1. Deskripsi konseptual self orang Jawa mengkaitkan dengan dimensi eksternal
tergambarkan dalam frase-frase sosialnya? Untuk itu perlu
menurut ungkapan masing-masing. dikembangkan penelitian lebih lanjut,
Dari beragam ungkapan tersebut terutama dalam mengeksplorasi data
dapat ditarik benang merahnya level personal dengan metode penggalian
bahwa akar dari self orang Jawa data yang lebih memadai.
bermuara pada menjalankan prinsip
rukun dan hormat yang memang DAFTAR PUSTAKA
sudah menjadi ciri khas kepribadian Baron, R.A. dan Byrne, D. 2004.
orang Jawa. Jika ditarik dalam Psikologi Sosial (terjemahan).
terminologi lain, maka self orang Jakarta: Penerbit Erlangga.

58
Konsep Self Dan Penghayatan Self Orang Jawa

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Pengukuran dan Pendidikan


Mentalitet dan Pembangunan. Psikologi (LPSP3) Fakultas
Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Psikologi Universitas Indonesia.
--------------------. 1984. Kebudayaan Suseno, F.M. 1996. Etika Jawa. Jakarta:
Jawa. Jakarta:P.N. Balai Pustaka PT. Gramedia
Matsumoto, D. 2004. Pengantar Susetyo, D.P.B. 2006. Identitas Sosial
Psikologi Lintas Budaya Orang Jawa: Studi Deskriptif
(terjemahan). Yogyakarta: pada Mahasiswa Jawa. Jurnal
Pustaka Pelajar. Psikodimensia. Vol. 5, No. 1, hal.
Mulder, N. 1994. Individual dan Society 1.
in Java. A Cultural Analysis. Yatman, D. 2004. Psikologi Jawa
Yogyakarta: Gadjah Mada Jangkep. Semarang: Penerbit
University Press. LIMPAD
Poerwandari, E. K. 1998. Pendekatan Yatman, D. 2008. Ilmu Jiwa Pribumi.
Kualitatif dalam Penelitian Pidato Pengukuhan Guru Besar.
Psikologi. Jakarta: Lembaga Fakultas Psikologi Universitas
Pengembangan Sarana Diponegoro.

59

Anda mungkin juga menyukai