Anda di halaman 1dari 230

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu ciri dari sikap modern, menurut pendapat Mulder (De Jong,

1984) ialah obyektifisasi, menaruh perhatian mental terhadap benda-benda, rasa

hormat terhadap materi dan hubungan yang positif dengan materi adalah syarat

mutlak bagi setiap modernisasi. Modernisasi dan kemajuan zaman yang

membawa masyarakat pada pola dan gaya hidup materialistis, konsumtif dan

hedonistis telah menggiring perspektif masyarakat terhadap nilai-nilai

kemanusiaan yang menyempit. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat

yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap

menerabas, pragmatis dan serba cepat.

Manusia modern, menurut Kusuma (dalam Tuhusetya, 2007) telah

melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya sendiri akibat pada

keasyikan sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan

mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Dampak dari sikap dan

gaya hidup masyarakat modern yang materialistis, konsumtif dan hedonis adalah

suatu eksistensi manusia yang timpang dan berat sebelah. Soejatmoko (dalam De

Jong, 1984) menyebutnya ”kehampaan eksistensiil” karena manusia tidak dapat

menghadapi tantangan-tantangan kehidupan modern. Soejatmoko menjelaskan

bahwa dalam peradaban modern, upaya pembangunan tidak hanya mengejar


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2

peningkatan kesejahteraan material sehingga terlepas dari cita-cita yang berakar

dalam kebudayaan tradisional.

Kebudayaan dan agama yang tradisionallah yang dapat mengajarkan

manusia untuk memahami pertanyaan-pertanyaan tertinggi seperti kehidupan,

maut, tujuan, dan makna. Nilai-nilai tinggi seperti hidup, mati, dan tujuan hidup

tidak merintangi kecakapan manusia, melainkan justru memperlebarnya (De Jong,

1984). Modern tidak berarti imitasi, peniruan dari keadaan negara-negara yang

sudah maju. Modern adalah suatu sikap, suatu cara berpikir, suatu cara

menghadapi dunia dan kehidupan manusia. Modern tidak berarti merubah

keadaan tradisional melainkan berarti pembukaan dimensi-dimensi yang baru

(Mulder, 1986). Modern adalah suatu sikap yang mampu menginovasi nilai-nilai

tradisional, melestarikannya, dan mengambil sisi positifnya untuk membuka

dimensi baru demi kehidupan yang lebih bermakna, lebih bahagia, dan lebih

hidup.

Mulai tahun 2000 masyarakat mulai melirik teknik-teknik tradisional untuk

meraih ketenangan batin dan jiwa seperti yoga atau zen. Prabowo dan kawan-

kawan menerangkan bahwa sejak awal dekade 2000-an, mulai diramaikan dengan

adanya pelatihan (training seminar) yang diselengggarakan oleh konsultan asing.

Pelatihan ini mencakup latihan meditasi, pengembangan pikiran (mind), dan

kekuatan-kekuatan kejiwaan (psychic powers). Dalam pelatihan tersebut, konsep-

konsep, dan teknik-teknik diambil dari disiplin agama-agama timur terutama

India, Cina, dan Jepang (dalam Prabowo, dkk., 2005).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3

Ada baiknya sebagai masyarakat Indonesia untuk melihat cara-cara

tradisional dari budaya bangsa sendiri sebagai salah satu upaya mencapai

kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman jiwa, serta kesehatan mental agar tidak

lagi terdapat kehampaan eksistensiil dalam kehidupan manusia Indonesia. Salah

satu upaya manusia Indonesia, khususnya masyarakat Jawa untuk memahami

hakikat kehidupan dan mencapai kebahagiaan yang sempurna adalah melalui

tradisi mistik

Sepanjang sejarah Indonesia, tanah Jawa terkenal dengan budaya dan

tradisinya yang selalu berbau mistik. Sebagian besar masyarakat memahami

mistik sebagai suatu hal yang berkaitan dengan klenik dan gaib. Namun ternyata

arti mistik lebih luhur daripada kelihatannya. Happold (dalam Hidayatullah,

2004:) dalam bukunya “Misticism; A Study and Anthology” mendefinisikan a

mystic: “one who had been initiated into this mysteries, through which he had

gained an esoteric knowledge of Divine things and had been reborn into

eternity”. Mistik dalam pengertian ini adalah suatu sikap untuk membuka tabir

misteri supaya mendapat pengetahuan Ilahi dan akhirnya dapat terlahir kembali

dalam keabadian. Mistik seperti ini seharusnya merupakan ekspresi keagamaan

paling luhur dari setiap orang. Seorang feminis, Margaret Smith menjelaskan

mistik merupakan bagian terpenting semua agama yang besar, yang bangkit

menentang formalitas beku dan ketumpulan religius. Tujuannya, menurut Smith,

membangun hubungan secara sadar dengan yang Absolut, dimana sosok manusia

menemukan obyek cinta yang bersifat personal (Sutopo, 2006).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4

Pengetahuan keilahian dan keabadian adalah dirasakan secara personal.

Meminjam pendapat James (dalam Liem, 2008), yang menyebutkan bahwa

“agama” adalah rumah dari agama personal. Sebagai rumah agama, agama formal

mampu memberikan perilaku standar, namun tidak secara personal. Bahkan

kesadaran intuitif dalam agama personal tidak bisa dipaksakan karena kesadaran

ini adalah buah dari pengertian yang melewati pengalaman psikologis yang paling

dalam. Dan itu semua diberikan oleh mistik dalam setiap agama.

Masyarakat Jawa telah mengenal mistik sejak lama. Sejak zaman dahulu

kala, telah banyak masyarakat yang tahu tentang tradisi mistik di Jawa yang

dikenal dengan agama Jawa atau kejawen (Javanisme). Sejak di tanah Jawa belum

mengenal agama, hingga masuknya agama-agama besar di Jawa, dan sampai

sekarang, mistik kejawen (Javanisme) tetap eksis dipelosok desa, di sudut kota,

bahkan di tengah hingar bingar ibukota. Javanisme menekankan ketentraman

batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap narima terhadap segala peristiwa

sambil menempatkan individu dibawah masyarakat dan masyarakat dibawah

semesta alam (Mulder 1986).

Secara umum mistisisme kontemporer Jawa disebut kebatinan (Rajaby,

2009). Praktik mistisisme pada masyarakat Jawa lazim disebut laku batin. Laku

batin dapat dilakukan perorangan maupun ritual yang dilakukan kelompok dengan

cara mengikuti perkumpulan kebatinan (Soehadha, 2008). Kebatinan seringkali

dianggap intisari Javanisme. Gaya hidup orang Jawa adalah kebatinan, yaitu gaya

hidup manusia yang memupuk batinnya. Pada dasarnya kebatinan adalah mistik,

penembusan terhadap pengetahuan mengenai alam dengan tujuan mengadakan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5

hubungan langsung antara individu dengan lingkungan Yang Maha kuasa

(Mulder, 1986).

Sekarang ini organisasi-organisasi kebatinan atau aliran-aliran kejawen

masih tetap menunjukkan perkembangannya dengan berbagai bentuk ajaran dan

praktik ritual masing-masing. Praktik mistisisme dan aliran kebatinan berkembang

di Indonesia sejak awal abad ke-20 dan meningkat cukup pesat semenjak

kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 (Woodward, 1999 dalam Soehadha,

2008). Biro Pengawas Aliran Kepercayaan (PAKEM) dari Departemen Agama

telah mencatat sebanyak 360 gerakan kebatinan dalam tahun 1964. Setelah G 30

September 1965, banyak gerakan yang bersimpati dengan PKI hilang, sehingga

daftar PAKEM yang baru yang dibuat dalam tahun 1971 hanya mencatat

sebanyak 217 gerakan saja, dan 177 diantaranya bertempat di Jawa Tengah. Dari

ke-177 gerakan itu, 13 berada di Surakarta (De Jong, 1973, Pakan, 1978,

Koentjaraningrat, 1984).

Zifana menuliskan bahwa dalam daftar Kejaksaan Agung tahun 1975/1976

terdaftar 224 aliran. Direktorat PPK (sekarang Dit Binahayat) sejak tahun 1979

hingga 1981 berhasil menginventaris 182 macam aliran penghayat kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ke-182 aliran yang terdaftar di Direktorat PPK

tersebut nampaknya belum mencakup keseluruhan aliran-aliran kebatinan.

Berbagai macam aliran yang masih bersifat lokal yang pernah dijumpai Simuh

dalam penelitian di daerah-daerah Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, dan

Cilacap belum termasuk dalam perhitungan tersebut (Zifana, 2008). Said Aqil
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

Siroj, ketua pengurus besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bahkan mengatakan saat ini

ada kurang lebih 320 aliran kebatinan di Indonesia (Siroj, 2007)

Lima aliran kebatinan terbesar di tanah Jawa yang sampai sekarang ini

masih tetap eksis dengan jumlah penganut terbanyak adalah Hardapusara dari

Purworejo, Susila Budi Darma (SUBUD) yang asalnya berkembang di Semarang,

Paguyuban Sumarah dan Sapta Darma dari Yogyakarta dan Paguyuban Ngesti

Tunggal (Pangestu) dari Surakarta. Tempo, 19 september 1987 menuliskan bahwa

di Indonesia ada ratusan aliran kepercayaan yang terdaftar. Pangestu memiliki

lebih dari 100.000 anggota dan nampaknya merupakan aliran kebatinan terbesar di

Indonesia. Jumlah itu tersebar di 170 cabang di berbagai daerah, terutama Jawa,

Kalimantan, dan Sumatra (www.majalah.tempointeraktif.com, 1987). Sekarang

ini jumlah cabang dan penganut Pangestu telah bertambah banyak. Darsokusumo,

sebagai Pejabat Ketua Pengurus Pusat Pangestu pada 20 Mei 2005 dalam

sambutannya ketika Kongres Pangestu ke-15 menerangkan bahwa Pangestu telah

memiliki 196 cabang dimana 184 cabang berada di Pulau Jawa dan 12 cabang di

luar Pulau Jawa, dengan jumlah anggota seluruhnya 206.030 orang (Kongres

Pangestu XV, 2005).

Pangestu sebagai suatu paguyuban kebatinan yang terbesar di Indonesia

memiliki pokok-pokok ajaran yang menitikberatkan pada pendidikan dan

pengolahan jiwa yang memberikan tuntunan bagi umat manusia dalam bersikap

dan berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, serta alam. Tujuan

Pangestu ialah “mengantar umat manusia ke kesejahteraan abadi di pangkuan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

Suksma Kawekas (Tuhan) dan memperkukuh para anggotanya untuk

kesejahteraan umat manusia dan negara” (Hadiwiyono, 1983).

Pangestu sebagai salah satu aliran mistik kebatinan juga memiliki tujuan

mistik seperti ajaran-ajaran mistik kebatinan lainnya. Olah jiwa dan laku batin

dalam ajaran Pangestu juga mengarah pada tujuan mistik manunggaling kawula

Gusti (Endraswara, 2006). Latihan spiritual atau ritual, laku batin, maupun olah

jiwa dalam kebatinan Pangestu pada dasarnya adalah bertujuan agar para

pelakunya dapat merasakan “rasa tertinggi” sebagai aspek fundamental dari

penghayatan mistik seseorang (Geertz, 1993).

Tradisi mistik pada umumnya memiliki sebuah kesamaan, yaitu adanya

penyatuan pada sesuatu yang bersifat transenden. Penyatuan adalah pengalaman

yang ditandai dengan hilangnya batas antara subyek dan obyek. Pengalaman ini

oleh Bistami diekspresikan dalam sebuah kalimat, “Aku mencari Tuhan dan hanya

menemukan diriku. Aku mencari diriku dan hanya menemukan Tuhan” (dalam

Liem, 2008).

Tradisi mistik secara umum dan tradisi mistisisme Jawa khususnya, pada

dasarnya terangkum dalam penghayatan dan pengalaman mistik para pelakunya.

Stace mengatakan: ”Our question “what is mysticism?” really means “what is

mystical experience.” (dalam Kartowidjojo, 2004). Selanjutnya Stace

mengatakan, ”The point is that a mystical idea is a product of the conceptual

intellect, whereas a mystical experience is a non-intellectual mode of

conciousness”. Pertanyaan tentang apa itu mistik, menurut Stace sebenarnya

berarti juga apakah pengalaman mistik itu. Yang jadi poin disini adalah gagasan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

mistik adalah hasil dari konsep intelek, sedangkan pengalaman mistik adalah hasil

dari suasana/keadaan kesadaran yang non-intelek. Memahami mistik adalah

dengan memahami pengalaman mistik pelaku mistik, sedangkan pengalaman

mistik itu sendiri lebih dari pengalaman intelektual, karena pengalaman mistik

tidak pernah terjadi pada saat indra bekerja, terutama indra intelek yaitu otak.

Geertz, Mulder, dan Jong mengatakan pengalaman mistik kebatinan Pangestu

adalah masalah “rasa”.

Pengalaman mistik ataupun permasalahan rasa dalam mistik kebatinan

Pangestu adalah suatu pengalaman transpersonal. Kajian keilmuan mengenai

pengalaman transpersonal adalah psikologi transpersonal. Psikologi transpersonal

ingin menjawab pertanyaan “siapa saya?” dengan penyembuhan, spiritual,

kreativitas, dan menghubungkan dengan ‘higher self’ (Milburn, dalam

www.judithmilburn.com; Tisdale, 1995). Beberapa psikolog telah menemukan

bahwa pengalaman mistik tampak berhubungan dengan psychological strength

dan well-being. Tes psikologi juga mengindikasikan bahwa “peakers” atau

seorang yang mengalami “peak experience” adalah lebih tidak dogmatik, tidak

autoritarian, dan lebih intelektual, imajinatif, dan rileks daripada “non-peakers”

(Koltko, 1989).

Penjelasan diatas menggambarkan psikologi transpersonal yang tertarik pada

perubahan dan perluasan konsep self. Psikologi transpersonal juga mengkaji

pengalaman seseorang yang berkenaan dengan eksistensi individual sebagai

ekspresi realitas yang lebih luas dan berkonsentrasi pada wilayah dimana

psikologi dan spiritual saling meliputi (Milburn, dalam www.judithmilburn.com).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

Pengalaman mistik tentunya juga termasuk di dalam pengalaman semacam ini

mengingat pengalaman mistik adalah transformasi kesadaran, dari kesadaran

mental-spiritual yang bersifat empiris menjadi kesadaran transpersonal yang

bersifat tunggal ilahiah (Hilmy, 2006). Penulis menyimpulkan dalam hal ini

psikologi transpersonal ingin melihat perkembangan kepribadian seseorang,

sejauh mana individu secara sadar mengembangkan self-nya melalui pengalaman

mistik untuk mencapai kesejahteraan hidup dan psychological strength.

Bila dilihat beberapa dekade sebelum psikologi transpersonal

dikembangkan, sudah banyak tokoh psikologi yang mencoba menelurkan teori-

teori perkembangan kepribadian dan self. Tujuan perkembangan kepribadian

seluruh umat manusia tentunya adalah kepribadian sehat dan penuh. Tiap tokoh

menyebutnya dengan cara masing-masing dan menjelaskannya dengan proses

masing-masing pula. Carl Gustav Jung menyebut individu dengan kepribadian

yang sempurna adalah orang-orang yang terindividuasi. Sedangkan Abraham

Maslow menyebutnya orang-orang yang teraktualisasi.

Pribadi yang teraktualisasikan dilukiskan sebagai “penggunaan, dan

pemanfaatan secara penuh bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan

sebagainya”. Orang semacam ini memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik

yang dapat dilakukannya (Goble, 2000; Baihaqi, 2008). Dalam perkembangan

teori Maslow berikutnya disimpulkan bahwa level tertinggi dari aktualisasi diri

adalah transenden (Huiitt, W, 2004). Maslow mengungkapkan bahwa ada dua

point yang dibuat tentang orang yang teraktualisasi yaitu nilai-nilainya yang

natural (alami) dan nampak mengalir begitu saja dalam kepribadiannya. Dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

orang-orang yang teraktualisasi mampu mentransendensikan banyak hal yang

berlawanan yang tidak dapat disangkal seperti perbedaan antara spiritualitas dan

fisik, egois dan tidak egois, serta yang maskulin dan feminin.

Sedikit berbeda dengan Maslow, Jung menjelaskan orang-orang yang

terrealisasi ini dengan suatu kondisi yang menunjukkan proses yang lebih

struktural karena mengikutsertakan kesadaran dan ketidaksadaran serta posisi

sentral ego dalam proses tersebut. Teori psikologi analitik Jung menjelaskan

bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan hidup yang disebut

realisasi diri. Orang dikatakan mencapai realisasi diri, kalau dapat

mengintegrasikan semua kutub-kutub yang berseberangan dalam jiwanya menjadi

kesatuan pribadi yang homogen (Alwisol, 2008).

Realisasi diri merupakan truly your self yang dapat dicapai dengan berani

menerima kesunyian dan dilalui dengan proses yang awalnya tidak mengenakkan

(Jung, 1986). Realisasi diri berarti diferensiasi yang sangat penuh, sangat

sempurna, serta perpaduan yang harmonis dari semua aspek seluruh kepribadian

manusia. Ini berarti bahwa psyche telah mengembangkan pusat baru, yakni “diri”,

menggantikan pusat yang lama yakni ego (Hall dan Lindzey, 1993). Jung juga

menjelaskan konsepnya mengenai realisasi diri melalui fungsi transendental

dimana proses ini mencoba mengintegrasikan aspek-aspek kepribadian yang

saling berlawanan, antara kesadaran dan ketidaksadaran, antara ego dan shadow,

dan antara anima dan animus.

Apa hubungan orang yang terindividuasi menurut Jung dan orang yang

teraktualisasi menurut Maslow dengan pengalaman mistik kebatinan Pangestu


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

dan psikologi transpersonal? Pertanyaan inilah yang mendasari penelitian penulis.

Psikologi analitik Jung memahami ketidaksadaran dan dimensi spiritual dalam

hidup. Psikologi humanistik Maslow mencari makna dasar psyche sebagai ‘soul’

yang tidak hanya sebuah otak yang dihubung-hubungkan atau perilaku yang

dikondisikan. Soul adalah aspek yang abadi dari eksistensi manusia yang benar-

benar membawa makna dan hidup kepada setiap orang dan menunjukkan intisari

siapa dia sebenarnya (Milburn, dalam www.judithmilburn.com). Psikologi

analitik Jung adalah tentang kesadaran yang dipengaruhi oleh ketidaksadaran,

psikologi humanistik Maslow adalah kesadaran yang dipengaruhi oleh

pengalaman (individual conscious experience), dan psikologi transpersonal

menurut Walsh (Tisdale, 1995) adalah tentang mistik dimana rasa individu

tentang self yang secara signifikan berubah dan pada kenyataanya meluas.

Singkatnya, realisasi diri Jung yang dicapai melalui usaha mental dalam

memperluas kesadaran dengan menerima ketidaksadaran dapat dilakukan dengan

tata cara spiritual atau mistik. Sedangkan aktualisasi diri Maslow dapat dicapai

melalui pengalaman puncak (peak experience) yang terbukti lebih mistik, religius

dan indah (poetical).

Konsep realisasi diri Jung dan aktualisasi diri Maslow meskipun berada

dalam dua aliran psikologi yang berbeda namun arah dan ujung dari pemikiranya

adalah sama yaitu suatu tingkat perkembangan kepribadian yang melampaui

normalitas. Artinya, suatu tingkat perkembangan kepribadian yang belum tentu

dapat dimiliki oleh banyak orang. Ide-ide Jung telah mempengaruhi tulisan-

tulisan Maslow hingga sampai akhir hidupnya Maslow membuka aliran keempat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

psikologi yaitu psikologi transpersonal yang mengkaji higher self dilihat dari

tradisi-tradisi mistik timur. Tidak dapat dipungkiri bahwa Jung akan diakui

sebagai pemimpin spiritual dan intelektual dari gerakan revolusioner dalam

psikologi modern ke arah fenomenologi, eksistensialisme, meditasi, kerohanian,

ilmu mistik, ilmu gaib, perluasan kesadaran, transendensi, kesatuan diri, dan

pemenuhan diri (Hall dan Lindzey, 2001). Bagaimana realisasi diri dan aktualisasi

diri ini terjadi dapat dipahami melalui pengalaman mistik yang merupakan bagian

dari psikologi transpersonal. Dan pada akhirnya, pengalaman mistik yang dipilih

penulis untuk menjadi objek kajian penelitian ini adalah mistik kebatinan

Pangestu.

Suatu hal yang menarik untuk melihat lebih dalam tentang apa saja yang

dapat diberikan oleh mistik kebatinan Jawa khususnya Pangestu pada aspek

psikologis seseorang karena mistik kebatinan Jawa ternyata bukan saja

memberikan suatu nilai yang gaib dan hitam namun memiliki nilai keluhuran

sebagai upaya mental manusia menuju kesempurnaan hidup. Mistisisme Jawa,

dalam hal ini, merupakan sebuah harapan yang mampu mempertemukan semua

tradisi spiritual dalam cara pandang yang universal. Encyclopedia Britannica

(dalam Liem, 2008) menyebutkan bahwa mistisisme adalah harta karun abad ke-

20 yang tersembunyi di pusat-pusat jiwa manusia. Bagi penulis mistik kebatinan

Jawa memiliki keistimewaan yang sama dengan Yoga dalam budaya Hindhu-

Budha dan Zen dalam budaya Jepang, dalam menyumbangkan upaya

kesejahteraan psikologis dan kesehatan mental di bidang psikologi. Mungkin hal


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

itulah yang mampu menjelaskan tentang alasan mengapa banyak orang tua Jawa

tampak sabar, tenang, dan berumur panjang.

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Pertanyaan penelitian yang akan dicari jawabannya adalah sebagai berikut:

1) Bagaimana pengalaman mistik para penganut Pangestu?

2) Bagaimana proses mencapai realisasi diri penganut Pangestu menurut teori

Jung?

3) Bagaimana proses mencapai aktualisasi diri penganut Pangestu menurut teori

Maslow?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang :

1) Pengalaman mistik penganut kebatinan Pangestu.

2) Proses pencapaian realisasi diri dan aktualisasi diri para pengikut Pangestu.

3) Keterkaitan antara aktualisasi diri Maslow dan Realisasi diri Jung dalam

pengalaman mistik Pangestu.

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini dibagi mejadi 2 macam, di antaranya sebagai

berikut ini :
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bukti empiris tentang

pengalaman mistik dalam aliran kebatinan Jawa, khususnya Pangestu sehingga

mampu membantu dalam upaya mencapai realisasi diri dan aktualisasi diri.

2. Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan:

a. Bagi masyarakan luas, dapat membantu dalam memahami filsafat dan

ajaran mistik kebatinan Jawa untuk mendapatkan kebahagiaan hidup serta

diharapkan dapat mengambil sisi positif dari pengalaman mistik para

pengikut Pangestu.

b. Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk

penelitian selanjutnya, khususnya mengenai aktualisasi diri dalam praktek

mistik pangestu, realisasi diri dalam praktek mistik pangestu dan

pengalaman mistik pengikut pangestu.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. MISTISISME JAWA

1. Pengertian Mistisisme Jawa

Mistisisme, dalam bahasa Inggris mysticism, bahasa Yunani mysterion, dari

mystes (orang yang mencari rahasia-rahasia kenyataan) atau myein (menutup mata

sendiri). Istilah ini berasal dari agama-agam misteri Yunani yang para calon

pemeluknya diberi nama “mystes” (dalam Hidayatullah, 2004). Pendapat-pendapat

tentang paham mistik (dalam www.wikipedia.com) adalah sebagai berikut:

1) Kepercayaan tentang adanya kontak antara manusia bumi (aardse mens) dan

Tuhan (Haeringen dan Woordenboek, 1948),

2) Kepercayaan tentang persatuan mesra (innige vereneging) ruh manusia (ziel)

dengan Tuhan (Haeringen dan Woordenboek, 1948),

3) Kepercayaan kepada suatu kemungkinan terjadinya persatuan langsung

(onmiddelijke vereneging) manusia dengan Dzat Ketuhanan (goddelijke

wezen) dan perjuangan bergairah kepada persatuan itu (Kunstwoordentolk,

dan Kramers),

4) Kepercayaan kepada hal-hal yang rahasia (geheimnissen) dan hal-hal yang

tersembunyi (verborgenheden) (Kramers),

5) Kecenderungan hati (neiging) kepada kepercayaan yang menakjubkan

(wondergeloof) atau kepada ilmu yang rahasia (geheime wetenschap).

(Kunstwoordentolk dan Kramers),


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

Happold (dalam Hidayatullah, 2004) dalam bukunya “Misticism; A Study

and Anthology” mendefinisikan a mystic: “one who had been initiated into this

mysteries, through which he had gained an esoteric knowledge of Divine things

and had been reborn into eternity”. Maksudnya, seorang yang terinisistaif ke

dalam misteri, yang mendapat pengetahuan ilahiah dan setelah itu merasa

dilahirkan kembali ke dalam keabadian.

Berger (1991) dan Geertz (1993) menerangkan bahwa mistisisme sendiri

merupakan suatu pengalaman keagamaan tertentu yang ditunjukkan oleh adanya

kondisi psikologis yang berhubungan dengan ciri-ciri tertentu yang melibatkan

jenis kesadaran tertentu, dimana simbol-simbol indrawi dan pengertian-pengertian

dari pengertian abstrak seolah-olah terhapuskan. Jiwa merasa disatukan dalam

suatu kontak langsung dengan kenyataan yang menguasainya. Dalam bentuk

idealnya, mistisisme menimbulkan pengakuan bahwa penyatuan seperti itu telah

terjadi secara empiris, semua invidualitas menghilang dan diserap dalam lautan

keilahian yang maha luas (dalam Soehadha, 2008).

Mistisisme Jawa tentunya merupakan suatu fenomena mistik ataupun

mistisisme yang terdapat atau lebih tepatnya dilakukan oleh masyarakat Jawa.

Mistisisme yang dulunya berkembang dan beranak-pinak, terutama di Jawa,

tumbuh subur bersama budaya asli, secara perlahan-lahan tergusur oleh paham

keagamaan baru yang disebut agama-agama theisme (Sutopo, 2006).

Mistisime Jawa adalah mistisisme yang berakar dari budaya Jawa (dalam

http/:mauratania.wordpress.com). Secara umum mistisisme kontemporer Jawa

disebut kebatinan (Rajaby, 2009). Praktik mistisisme pada masyarakat Jawa lazim
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

disebut laku batin. Laku batin dapat dilakukan perorangan maupun ritual yang

dilakukan kelompok dengan cara mengikuti perkumpulan kebatinan (Soehadha,

2008). Pada dasarnya orang-orang Jawa beranggapan bahwa Tuhan terletak di

dalam hati dan hidup. Bagi orang Jawa penyembahan ini adalah penyembahan

terhadap yang transenden. Selain itu pula, budaya mistik Jawa sangat memberikan

ruang bagi pemikiran dan terminology mistik agama “impor” yang juga

mengekspresikan penyembahan dengan cara-cara ritual dan ceremonial (Rajaby,

2009).

2. Sejarah Mistisisme Jawa

Tradisi mistik di Jawa merupakan suatu sinkretisme dari agama-agama yang

datang ke tanah Jawa. Agama-agama yang membawa pengaruh besar pada

perkembangan mistik di Jawa diantaranya adalah agama Hindhu, Budha, dan

Islam. Agama Hindhu yang datang di Indonesia ialah suatu bentuk penyembahan

Siwa. Agama Siwa yang ada di Indonesia pada waktu itu ialah agama Siwa yang

telah dipengaruhi oleh aliran Tantra, yaitu yang mengajarkan penjelmaan atau

penubuhan Brahman (zat pertama, asal segala sesuatu). Sedangkan Agama Budha

yang berkembang di Indonesia adalah agama Budha Mahayana yang telah

menyembah banyak Budha (Hadiwiyono, 1983). Sedangkan ajaran agama Islam

yang tersebar di pantai utara Jawa mengandung unsur-unsur mistik, karena agama

Islam yang berkembang di pantai utara itu berasal dari Gujarat India, yang pada

saat itu juga diwarnai unsur-unsur mistik (Imam, 2005). Pada akhir abad ke-16

dan belahan kedua abad ke-17 di Aceh ada 4 orang tokoh tassawuf, yaitu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

Syamsul-din dari Pasai, Hamzah dari Pansur, Nurul-Din Al Raniri dan Adul-Rauf

dari Singkel. Namun ajaran Hamzah dan Syamsul-Din merupakan ajaran yang

mencerminkan kebatinan yang dianut umum (Hadiwiyono, 1983).

Konsep penciptaan dalam ajaran Hindhu-Siwa mapun Budha-Mahayana

merupakan suatu penciptaan alam semesta (jagad gedhe) dan manusia (jagad

cilik) yang keluar dari keadaan Siwa ataupun Budha. Ajaran Budha-Mahayana

dan Hindhu-Siwa sama-sama mengajarkan bahwa manusia dan alam semesta

dipandang sebagai pengaliran keluar dari Yang Ilahi (Hadiwiyono, 1983; Imam,

2005).

Ajaran Hamzah tentang konsep penciptaan disebut dengan ”pengaliran

keluar” (tanazzul) dan ”pengaliran kembali” (taraqqi). Dari dalam diri Allah

mengalirlah ke luar alam semesta dan manusia secara bertahap atau berpangkat-

pangkat. Di dalam kebatinan Islam pangkat-pangkat ini disebut martabat. Hamzah

mengumpamakan martabat ini seperti pangkat laut yang tak bergerak, pangkat

ombak, pangkat uap dan awan, pangkat hujan, pangkat sungai, dan pangkat

pengaliran kembali ke laut (Hadiwiyono, 1983). Sedangkan ajaran Syamsul-Din

tantang konsep penciptaan ini adalah terjadi dalam 6 pangkat, dengan 1 pangkat

tambahan tentang pengaliran kembali. Ajarannya mirip dengan ajaran Al-

Burhanpuri karena Symasul-Din juga adalah muridnya (Imam, 2005). Ajaran ini

dikenal dengan ajaran martabat tujuh.

Jalan kembali manusia kepada Tuhan baik dalam ajaran Hindhu, Budha,

maupun Islam adalah suatu jalan kesempurnaan. Konsep kelepasan dan

kesempurnaan menurut ajaran Hindhu-Siwa dan Budha-Mahayana pada


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

prinsipnya adalah ketika manusia bisa lepas dari tumimbal lahir sehingga dapat

kembali (mantuk) ke tampat kediamannya dan tercapailah kesempurnaan. Jalan

menuju kesempurnaan ini menurut Hamzah ada 4 pangkat, yaitu syaria, tariqa,

haqiqa, dan ma’rifa. Sedangkan Syamsul-Din menyebutnya dengan pangkat

islam, iman, tawhid, ma’rifa.

3. Kejawen dan Mistik Kebatinan

a. Pengertian Kejawen

Suseno juga membedakan masyarakat Jawa kedalam dua kelompok atas

dasar keagamaan. Kedua-duanya secara nominal termasuk agama Islam, tetapi

golongan pertama dalam kesadaran dan cara hidupnya lebih ditentukan oleh

tradisi-tradisi Jawa pra-Islam, sedangkan golongan kedua memahami diri sebagai

orang Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam. Yang pertama

disebut Jawa Kejawen. Dalam kepustakaan, kelompok pertama sering juga disebut

“abangan”, yang kedua “santri” (Suseno, 1993).

Cliford Geertz dalam disertasinya “Religion of Java” menjelaskan Kejawen

sebagai ilmu Jawi atau Javanese-ism. Kejawen adalah segala adat istiadat

masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah yang merupakan warisan leluhur yang

tidak termasuk dalam hukum Islam. Ada juga yang mendefinisikan kejawen

sebagai sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa dimana terdapat

keyakinan akan adanya Tuhan, yakni akan adanya dewa-dewa tertentu yang

menguasai alam serta memiliki konsep-konsep tentang hidup dan kehidupan

setelah kematian, yakni akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

moyang yang sudah meninggal, yakin adanya roh-roh penjaga, setan-setan, hantu,

raksasa dan kekuatan-kekuatan gaib dalam alam semesta (Koentjaraningrat,

1984). Budaya Jawa Kejawen inilah yang selanjutnya mengembangkan ajaran

mistisisme di Jawa khususnya sangat berkembang di wilayah keraton Surakarta

dan Yogyakarta. Inti dari budaya Jawa maupun kejawen adalah mistik. De jong

menjelaskan mistik merupakan salah satu bentuk, bahkan visi dasar dari

Javanisme. Seluruh Jawa diliputi oleh suasana mistik yang merangkum semua

kelompok penduduk, lepas dari tingkat sosial atau pendidikan (De Jong, 1984).

b. Pola Pikir Mistik Jawa

Endraswara (2006) merangkumkan pola pikir mistik dalam masyarkat Jawa

sebagai berikut:

1) Pola pikir etis, yakni pemikiran mistis yang mengarah tercapainya manusia

berbudi pekerti luhur atau manusia waskitha. Yakni manusia yang mampu

hidup harmonis antara makrokosmos dan mikrokosmos;

2) Pola pikir kosmis, yakni manusia yang menginginkan lebur dengan alam

semesta. Manusia berada dalam proses ”menjadi” secara kontinu;

3) Pola pentheistis, yakni suatu paham antroposentris yang harus mengupayakan

ke arah manunggaling Kawula Gusti. Manusia selalu mengadakan semedi

untuk manunggal dengan Tuhan.

Pola pikir etis dan kosmis didasarkan pada pandangan orang-orang Jawa

untuk mencapai harmonisasi dengan alam semesta. Widodo (2004) menerangkan

bahwa kondisi harmonis ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari konsep

tentang kesatuan eksistensi, konsep ini dikenal dengan jagad gedhe


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

(makrokosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos). Endraswara menjelaskan alam

semesta atau jagad gedhe identik dengan jagading manungsa atau jagad cilik yang

harus diseimbangkan. Keharmonisan dua alam hidup manusia ini, akan

menyebabkan ketentraman hidup. Prinsip harmoni dapat dicapai melalui tindakan

mistik kejawen. Yakni melalui harmonisasi batin manusia, yaitu menegakkan

etika mistik kejawen. Etika yang dianut adalah budi pekerti luhur, yaitu bertindak

sepi ing pamrih rame ing gawe (Endraswara, 2005).

Selanjutnya, terkait dengan pola pikir kosmis, Mulder (1996)

mengungkapkan adanya hukum kosmis (ukum pinesthi) yang mengungkapkan

bahwa segala peristiwa yang terjadi dalam perjalanan sejarah di dunia ini

sebenarnya telah ditetapkan sebelumnya. Segalanya menunjuk pada adanya

keteraturan karena pusat dari hukum kosmis ini sesungguhnya adalah ”Yang

Maha Tunggal” (Hyang Suksma) yaitu hidup (urip) dari mana semua eksistensi

berasal dan kepada siapa harus kembali (dalam Widodo, 2004). Peleburan dengan

kosmos ataupun alam semesta merupakan tujuan mistik kejawen.

Pola pikir pantheistis dalam mistik kejawen adalah mengenai konsep

ketuhanan yaitu manunggaling kawula Gusti. Manunggal artinya menjadi satu

atau bersatu. Jadi manunggaling Kawula Gusti merupakan upaya manusia untuk

manunggal atau bersatu dengan Tuhan. Hal ini dilandasi dengan kepercayaan

bahwa manusia dapat mengadakan komunikasi langsung atau bahkan bersatu

dengan Tuhan (Endraswara, 2006).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

c. Pengertian dan Sifat Kebatinan

Kebatinan seringkali dianggap sebagai intisari “Kejawen”. Gaya hidup

orang Jawa adalah kebatinan (Imam, 2005). Kebatinan sendiri akar katanya batin,

berasal dari lafaz bahasa Arab, artinya yang di dalam, yang sulit, yang

tersembunyi. Batin itu menunjukkan sifat, dengan sifat batin itu manusia merasa

dirinya lepas dari segala yang semu. Beberapa tokoh mencoba mendefinisikan

kebatinan. Kebatinan menurut Wongsonegoro merupakan bentuk kebaktian

kepada Tuhan Yang Maha Esa menuju tercapainya budi luhur dan kesempurnaan

hidup (dalam Endraswara, 2006).

Kebatinan menurut Projohusodo adalah suatu ilmu atas dasar ketuhanan

absolut yang mempelajari kenyataan dan mengenal hubungan langsung dengan

Tuhan tanpa perantara (dalam Imam, 2005). Sedangkan Mertodipuro menjelaskan

bahwa kebatinan adalah cara ala Indonesia mendapatkan kebahagiaan. Di

Indonesia, kebatinan, apapun namanya seperti tasawuf, ilmu kesempurnaan,

teosofi, dan mistik adalah gejala umum. Kebatinan memperkembangkan inner

reality, kenyataan rohani. Karena itulah selama bangsa Indonesia tetap berwujud

Indonesia, beridentitas asli, maka kebatinan akan tetap di Indonesia, baik di dalam

agama atau di luarnya (dalam Imam, 2005).

Pengertian-pengertian tersebut diatas memberi kesimpulan bahwa kebatinan

merupakan cara asli Indonesia dalam mencapai kebahagiaan, budi luhur, dan

kesempurnaan hidup dengan mempelajari kenyataan dan mengenal hubungan

langsung dengan Tuhan dimana dimaksudkan untuk mengembangkan eksistensi

batin atau kenyataan rohani. Adapun mistik kejawen, adalah pelaku budaya Jawa
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

yang berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini berarti, mistik

kejawen, kepercayaan, dan kebatinan adalah tiga sisi kultural yang saling

melengkapi. Mistik kejawen adalah perwujudan dari salah satu laku yang

dilaksanakan oleh sebuah aliran kebatinan dan kepercayaan. Dengan kata lain,

mistik merupakan bagian dari jurus kebatinan dalam praktik kultural. Pandangan

hidup masyarakat Jawa yang menganut aliran kebatinan serta laku mistik, akan

menekankan pilar hidup pada ketentraman batin, keselarasan, dan keseimbangan

(harmoni), yang dilandasi oleh sikap menerima, sabar, awas eling (mawas diri),

anoraga atau andhap asor (rendah diri), dan prasaja (Endraswara, 2006).

Jelaslah bahwa dalam budaya Jawa mistik dan kebatinan adalah sangat

dekat. Bahkan menurut pemahaman kontemporer, mistisisme juga berarti

kebatinan. Pelaku mistik pasti dan selalu menggunakan daya batin untuk

menyingkapkan misteri dan kerahasiaan. Orang Jawa dalam budayanya

menggunakan batin untuk berkomunikasi langsung dengan realitas yang lebih

tinggi. Sejalan dengan hal ini Subagya (dalam Endraswara, 2006) menjelaskan

sifat-sifat kebatinan yang mengandalkan pada:

1) Batin, berasal dari lafal bahasa Arab yang bermakna perut, rasa mendalam,

tersembunyi, rohani, dan asasi;

2) Rasa, yaitu sebuah pengalaman rohani subyektif;

3) Keaslian, yaitu bangkitnya hasrat untuk mengembangkan kepribadian asli;

4) Hubungan antar warga, mereka bersatu karena terikat sebuah paguyuban yang

memiliki kesamaan pandangan hidup yaitu, ke arah manunggaling kawula

Gusti;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

5) Ahklak sosial, kebatinan merupakan gerakan yang melawan demoralisasi,

karenanya selalu menyerukan kesusilaan dengan semboyan budi luhur dan

sepi ing pamrih;

6) Gaib, dalam kebatinan terdapat kepercayaan pada daya-daya gaib yang

suprarasional, misalnya nujum, ilmu ngalamat, ilmu pertanda, zimat, tuah, dan

sebagainya.

4. Teori Mistik

a. Delapan Postulat Geertz tentang Mistik Kebatinan Jawa

Teori mistik ini terkait dengan delapan postulat yang telah diungkapkan

Clifford Geertz dalam bukunya Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,

yaitu sebagai berikut:

1. Dalam kehidupan sehari-hari manusia, perasaan tentang “baik” dan

”buruk”, ”kebahagiaan”, dan ”ketidakbahagiaan” saling bergantung

secara inheren dan tak bisa dipisahkan. Tak seorang pun bisa

berbahagia sepanjang waktu atau tidak bahagia sepanjang waktu,

tetapi terus menerus berada diantara dua keadaan ini dari hari ke hari,

dari jam ke jam, menit ke menit. Variasi ini sama buat semua

perasaan (cinta, benci, takut, dan sebagainya). Selanjutnya, tujuan

hidup bukanlah untuk memaksimalkan perasaan yang positif dan

meminimalkan yang negatif, yakni ”pengejaran kebahagiaan” yang

pada hakikatnya tidak mungkin, sebab maksimasi sesuatu perasaan

juga mengandung maksimasi perasaan sebaliknya. Maka yang


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

menjadi tujuan adalah meminimalkan semua nafsu dan sedapat

mungkin membungkam semuanya itu, mengerti ”perasaan’ yang

lebih benar yang terletak di baliknya. Yang mejadi tujuan adalah

tentrem ing manah, ”kedamaian (ketenangan, ketentraman) di dalam

hati (tempat kedudukan emosi-emosi itu).

2. ”Di bawah” atau ”di balik” perasaan manusiawi yang kasar ada suatu

perasaan makna dasar yang murni, rasa, yang sekaligus merupakan

diri sendiri seorang individu (aku) dan suatu manifestasi Tuhan

(Gusti, Allah) dalam individu itu. Kebenaran keagamaan yang dasar

dari seorang mistikus priyayi terletak dalam persamaan: rasa = aku =

Gusti.

3. Tujuan manusia adalah untuk ”tahu” atau ”merasakan” rasa tertinggi

ini di dalam diri sendiri. Prestasi demikian membawa kekuatan

spiritual, suatu kekuatan yang bisa digunakan untuk maksud baik

maupun buruk dalam soal-soal duniawi. Hanya ada sedikit perhatian

terhadap ganjaran di luar dunia ini; sepanjang hal semacam itu

mungkin, ini merupakan mistik yang menduniawi.

4. Untuk memperoleh ”pengetahuan” tentang rasa tertinggi ini, orang

harus memiliki kemurnian kehendak, harus memusatkan kehidupan

batinnya sepenuhnya untuk mencapai tujuan tunggal ini,

mengintensifkan dan memusatkan semua sumber-sumber

spiritualnya pada suatu titik yang kecil (seperti kalau orang

memusatkan sinar matahari melalui suryakanta untuk menghasilkan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

panas maksimum pada suatu titik). Alat utama untuk memperoleh

kemurnian kehendak dan pemusatan daya upaya demikian ini adalah:

pertama, pengumpulan kehidupan instinktif seseorang, mengangkat

diri diatas kebutuhan fisiologis sehari-hari, dan kedua, disiplin dalam

penarikan diri dari minat duniawi untuk jangka waktu yang lama atau

sebentar dan pemusatan terhadap hal-hal yang dalam. Yang paling

penting diantara disiplin instinktual adalah puasa, begadang, dan

absensi seksual. Penarikan diri sementara dari minat kepada dunia

lahir disebut semedi atau dalam bentuknya yang paling intensif yang

tak pernah dipraktekkan sekarang, tapa, yang terdiri dari duduk lurus

berdiam diri mutlak dan mengosongkan diri dari semua isi duniawi

sejauh mungkin.

5. Kecuali disipilin spiritual dan meditasi, studi empiris terhadap

kehidupan emosional, suatu psikologi metafisik, juga menimbulkan

suatu pengertian dan pengalaman mengenai rasa. Studi semacam itu

merupakan suatu analisa pengalaman fenomenologis dan dianggap

sebagai ”teori” yang menyangkut praktek berpuasa dan kewajiban

lainnya. Salah satu rangkaian variasi diantara berbagai sekte mistik

agaknya terletak sepanjang kontinum ini; menurut titik berat yang

mereka berikan terhadap pengendalian naluriah dan meditasi di satu

pihak serta refleksi dan analisa di pihak lain; tapi tak satu pun

mengabaikan salah satu dari keduanya itu mendukung dan

memperkuat satu sama lain.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

6. Karena orang berbeda-beda dalam kesanggupannya melaksanakan

disiplin spiritual itu (dan tak seorang pun benar-benar mampu

sekarang ini jika dibandingkan dengan orang di zaman dulu), dalam

kesanggupan lamanya mereka berpuasa, tidak tidur dan bermeditasi

dan berbeda-beda pula dalam kesanggupannya untuk melakukan

analisa sistematik tentang pengalaman dalam (atau memahami suatu

analisa yang sudah dilakukan seorang guru terkenal), maka

mungkinlah untuk meletakkan orang pada tingkatan yang berbeda-

beda menurut kesanggupan dan prestasi spiritualnya, suatu

penggolongan yang menimbulkan sistem guru-murid, dimana

seorang guru yang maju mengajar kepada murid yang kurang maju

sedang ia sendiri merupakan murid guru yang lebih maju lagi.

7. Pada tingkat pengalaman dan eksistensi tertinggi, semua orang

adalah satu dan sama dan tidak individualitas, karena rasa, aku, dan

Gusti adalah ”obyek abadi”, yang sama dalam semua orang.

Walaupun pada tingkatan pengalaman sehari-hari, individu-individu

dan bangsa-bangsa dapat dikatakan memiliki kedirian yang berbeda

dan memiliki perasaan yang berbeda pula (sekalipun bahkan disini

ada suatu unsur kebersamaan yang penting), pada dasarnya mereka

itu sama. Kombinasi pengertian ini dengan ide mengenai hirarki

yang didasarkan atas prestasi rohaniah menimbulkan suatu etik yang

menganjurkan keterlibatan yang makin meningkat dalam merasakan

perasaan orang lain (tepo saliro), dimulai dari keluarga sendiri lalu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

para tetangga, desa, distrik, dan negara sampai ke seluruh dunia

(hanya beberapa orang saja seperti Gandhi, Isa, Muhammad yang

dianggap telah mencapai simpati universal serupa itu), dan sebuah

pandangan organis feodal mengenai organisasi sosial di mana

individu dan kelompok mempunyai suatu tempat di masyarakat

menurut anggapan tentang kesanggupan rohani mereka.

8. Karena tujuan semua manusia untuk mengalami rasa, maka sistem

religi, kepercayaan dan praktek-prakteknya seharusnya hanyalah

merupakan alat untuk mencapai tujuan itu dan hanya baik sepanjang

semua itu bisa membawa ke sana. Ini menimbulkan pandangan yang

relatifistis terhadap sistem-sistem serupa itu, dimana beberapa sistem

dianggap memang baik untuk beberapa orang dan yang lain baik buat

orang lain lagi dan semuanya memiliki beberapa kebaikan buat

seseorang. Dengan demikian adanya toleransi mutlak diperintahkan,

meskipun tidak selalu dipraktekkan dengan sempurna (dikutip dari

Geertz, 1989).

Dari ke delapan postulat tersebut dapat disimpulkan bahwa teori mistik

mengandung konsep tentang manunggaling kawula Gusti, tata cara (ritual) dan

disipilin mistik yang harus dilakukan, analisa fenomenologis mengenai

pengalaman yang dirasakan, serta interaksi yang terjadi antara guru-murid.

b. Manunggaling Kawula Gusti

Konsep ketuhanan dalam budaya mistik Jawa masih ambivalen. Endraswara

menerangkan bahwa paham mistik masih menganut transendensi dan imanensi.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

Transendensi percaya bahwa Tuhan adalah absolut, mutlak, berada sebelum yang

lain ada. Tuhan adalah supranatural, menembus, dan teramat sangat. Sedangkan

imanensi, menganggap bahwa Tuhan ada (inhenet) atau hadir (present). Tuhan

ada di dalam alam semesta dan di dalam diri manusia (Endraswara, 2005). Tuhan

pada dasarnya ada dua peneguhan, yaitu monisme dan panteisme. Rudolf Eisler

(dalam Zoetmulder, 1991) menjelaskan monisme adalah kecederungan untuk

mengembalikan kejamakan dalam suatu bidang kepada suatu kesatuan atau

menerangkan keanekaan dengan berpangkal suatu prinsip tunggal. Sedangkan

panteisme adalah ajaran Tuhan dan dunia tak merupakan dua hakikat yang

sungguh terpisah dan yang diluar dari yang lain, melainkan Tuhan sendiri

merupakan segala-galanya, segalanya itu Tuhan, segalanya itu modus, partisipasi

dalam Ketuhanan; Tuhan adalah imanen dalam segalanya itu sebagai hakikat

kodratnya. Lalande (dalam Zoetmulder, 1991) bahkan mendefinisikan panteisme

sebagai teori yang mengajarkan bahwa segala sesuatu itu Tuhan, Tuhan dan dunia

manunggal.

Selain kebimbangan antara Tuhan yang dianggap transenden atau imanen,

antara panteistis dan monistis, juga apakah manunggaling kawula Gusti dianggap

bersatunya manusia dengan Tuhan adalah masalah ”rasa” ataukah ”ada”.

Beberapa sumber menunjukkan bahwa manunggaling kawula-Gusti lebih bersifat

immanen. Hal ini ditunjukkan dengan ajaran martabat tujuh yang bersifat tajjali

yang rata-rata banyak aliran mistik menjelaskan konsep Tuhan dan manusia

berdasarkan ajaran ini.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

Endraswara menerangkan bahwa manunggaling kawula-Gusti merupakan

suatu pengalaman, bukan ajaran. Manusia merasa menghadap Tuhan melalui

batin. Suatu pengalaman yang benar-benar nyata, tak terbatas (infinite) bagi yang

pernah mengalaminya (Endraswara, 2008). Jadi manunggaling kawula-Gusti

merupakan pengalaman bersatunya manusia dengan Tuhan melalui rasa.

Seperti yang dijelaskan Zoetmulder (1991) bahwa kemanunggalan yang

dimaksud adalah kemanunggalan yang tercapai dalam keadaan ekstasis.

Kemanunggalan kawula-Gusti ini terjadi dengan lenyapnya kesadaran sang

mistikus untuk sementara waktu, namun sesudah saat ekstasis kesadaran tetap

kembali dan yang dialami adalah antara Dia yang dicari dengan dia sendiri tetap

ada perbedaan. Kemanunggalan ini berarti bukan manunggal pada ”ada” Tuhan

yang mutlak, melainkan kemanunggalan yang hanya untuk menerangkan suatu

kemanunggalan yang tak dapat diterangkan.

c. Analisa Fenomenologi Pengalaman Mistik

1) Rasa

Geertz menjelaskan bahwa usaha aliran mistik adalah pertama-tama untuk

memenangkan fluktuasi perasaan dalam kehidupan sehari-hari dan mencapai

keadaan ”damai di hati” (dalam Geertz, 1989).

Jika emosi dan perasaan dapat menjadi tenang, maka ”dibelakang” atau ”di

bawah” atau ”di dalam”emosi itu seorang bisa berhadapan dengan realitas yang

tertinggi yakni refleksi Tuhan dalam diri. Biasanya, bagian pusat dari kehidupan

dalam seseorang, tempat Tuhan berada dalam individu, disebut ”hati” (manah).

Tetapi pada umumnya hanya dianggap sebagai inti dari individu manusia, pusat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

yang dalam dari eksistensinya. Dengan demikian ”hati” dalam pengertian ini

merupakan semacam lokasi rohaniah, tempat di kedalaman individu dimana

dirinya yang sejati maupun rasa tertinggi, yakni Tuhan, dapat ditemui (dalam

Geertz, 1989).

Masalah pengalaman mistik yang perlu digaris bawahi adalah tentang

”rasa”. Gonda (1998) berpendapat bahwa rasa yang berkembang dalam

masyarakat Jawa memiliki kedalaman makna. Rasa dalam pemahaman mistik

Jawa, menurutnya ada tekanan khusus pada hati, sufi, dan atas kalbu. Selanjutnya,

Gonda menyatakan sebagai berikut:

...tidaklah mudah untuk menyatakan dengan tepat, konotasi apa yang

dimaksud oleh para mistikus ini ketika menggunakan istilah yang

favorit ”rasa”. Kata ini sering dipakai untuk menerjemahkan kata Arab

”sirr” rahasia, misteri yang merujuk pada unsur yang paling halus dan

laten dalam hati nurani manusia, yang disebut sebagai tempat Tuhan

bertahta, ”tempat” dimana roh dan Tuhan bersatu... dalam naskah-

naskah mistik Jawa prinsip Ketuhanan ini juga disebut ”rasa”, tetapi

bukan rasa yang biasa, bukan rasa (perasaan) yang kita alami di tubuh,

melainkan rasa yang kita hayati dalam hati. Hati nurani yang bersih

dan jernih menerima ”rasa” tertinggi, yang suci dan tanpa

cacat...(dan)...di satu sisi ”suksma” dan ”rasa” dianggap berkaitan,

tetapi bukan prinsip yang identik...di sisi lain keduanya dapat saling

dipertukarkan atau suksma bisa disebut ”rasa sejati” (dalam

Endraswara, 2005).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

Rasa yang melingkupi manusia juga dibagi kedalam:

a. Rasa pangrasa, yakni rasa badan wadag, seperti yang dihayati manusia

melalui inderanya: rasa pedas, gatal, sakit, enak, dan lain-lain,

b. Rasa rumangsa, yakni rasa eling, rasa cipta, dan rasa grahita, seperti misalnya

ketika manusia menyatakan bahwa kramadangsa telah ”ngrumangsani

kaluputani” atau ” rumangsa amung titah, kramadangsa amung saos sukur”,

c. Rasa sejati, yakni rasa yang masih mengenal rasa yang merasakan, dan rasa

yang dirasakan. Sudah manunggal, tetapi masih dapat disebut. Rasa damai,

rasa bebas, rasa abadi, termasuk dalam pilihan ini,

d. Sejatining rasa, yakni rasa, yang berarti hidup itu sendiri yang abadi

(Hadiwiyono, 1983; Jatman, 1997; Endraswara, 2005).

Tingkat rasa (1) sebenarnya kalau berpijak pada pandangan psikologi Jawa

Ki Ageng Suryamentaram masih tergolong ”rasa hidup”. Sedangkan tingkatan

rasa (2), (3), (4) telah merambah ke dunia batin manusia. Rasa tersebut sudah

tergolong rasa rohani. Rasa yang benar-benar tumbuh dari kedalaman batin

(dalam Endraswara, 2005). Dari empat tingkatan rasa tadi yang paling banyak

memberi aroma batin dalam kehidupan mistik adalah rasa sejati. Akhirnya,

melalui rasa sejati manusia dapat mengenal rahasia hidup, rahasia hubungan

manusia dengan Tuhan dengan membuka tabir misteri (Endraswara, 2005).

Geertz mengatakan bahwa pengetahuan tentang rasa tertinggi adalah tujuan

pencarian mistik dan harus menjadi tujuan keagamaan semua orang. Sering

perbuatan pemahaman ini dianggap memiliki dua tahap utama yaitu ”neng” atau

”hening” atau ”diam” yang menunjuk kepada penenangan emosi, dan kemudian
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

ning (kejernihan pengetahuan yang dalam), gerak hati yang mengikuti keheningan

dan yang bisa merupakan pengalaman yang sangat emosional, sekalipun biasanya

dilukiskan sebagai ”tanpa isi sama sekali, batin yang sama sekali kosong” (dalam

Geertz, 1989).

Mulder (1983) menjelaskan tahap-tahap yang akan dilalui untuk mencapai

apa yang disebut oleh Geertz ”rasa yang tertinggi”, yaitu:

1) Tahap mistik pertama, yang paling rendah disebut sarengat adalah

menghormati dan hidup sesuai dengan hukum-hukum agama. Pelaku mistik

kaum priyayi menjalankan kewajiban-kewajiban seperti menghormati manusia

tua, guru, dan raja, dengan kesadaran bahwa menghormati mereka adalah

menghormati Tuhan. Kaum santri, menjalankan sholat lima waktu dengan

setia, sedangkan kaum abangan juga menghormati aturan-aturan sosial, tetapi

tidak secara khusus mengutamakan hirarki sosial, melainkan lebih pada hirarki

para leluhur, roh-roh, tokoh wayang, dan hormat pada tatanan kosmos. Tahap

perjalanan mistik ketiga dan selajutnya, jalan makin sempit dan meninggalkan

yang lahir menuju yang batin, dan lebih mistik;

2) Tahap kedua, disebut tarekat, dimana kesadaran tentang hakikat tingkah laku

tahap pertama harus insyafi lebih dalam dan ditingkatkan. Misalnya, doa-doa

ritual tidak lagi hanya gerak-gerik tubuh dan pembacaan ayat-ayat melainkan

usaha-usaha yang luhur dan kudus dan persiapan dasar untuk menjumpai

Tuhan dalam lubuk batin manusia;

3) Tahap ketiga, disebut hakikat adalah tahap menghadapi kebenaran. Inilah

tahap berkembangnya secara penuh kesadaran akan hakikat doa dan pelayanan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

kepada Tuhan; pemahaman mendalam, bahwa satu-satunya cara bagi apa saja

yang ada adalah menjadi wadi Tuhan, menjadi bagian yang tergantung kepada

seluruh tatanan kosmos. Tindakan ritual menjadi kehilangan kepentingan

karena hidup dan tindakan manusia menjadi doa terus menerus kepada Tuhan;

4) Tahap terakhir dan tertinggi adalah mahrifat, yaitu ketika manusia mencapai

jumbuhing kawula lan Gusti. Dalam tahap ini, jiwa manusia terpadu dengan

jiwa semesta dan tindakan manusia semata-mata menjadi laku, kehidupan

manusia menjadi doa terus menerus kepada Tuhan, apapun yang

dikerjakannya seperti halnya bekerja, mandi, tidur, atau makan. Pada titik ini

manusia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi (dalam

Endraswara, 2005).

2) Pengalaman Mistik

Pengalaman menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti barang apa

yang dirasakan. Pengalaman mistik adalah memperluas batas pengatahuan tentang

diri. Individu akan merasa menjadi satu dengan orang lain, dengan lingkungan

alam, dengan alam semesta secara keseluruhan. Hal ini bukanlah pengalaman

intelektual belaka. Dalam pengalaman transeden individu adalah satu dengan

dunia dan alam semesta. Batas pribadi digambarkan secara lebih luas. Pada

akhirnya batas ini menghilang secara bersama-sama. Situasi seperti ini, dimana

rasa seseorang tentang identitas meluas melebihi batas kepribadian juga disebut

sebagai pengalaman transpersonal (Koltko, 1989).

Koltko, seorang psikolog juga menguraikan karakteristik pengalaman mistik

dilihat dari kualitasnya, yaitu:


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

1) The ”ego quality”, selama pengalaman ini, individu kehilangan rasa tentang

diri, dan merasakan larut ke dalam sesuatu yang lebih hebat,

2) The ”unifying quality”, selama pengalaman ini, individu merasakan bahwa

”semuanya adalah satu”,

3) The ”inner subjective quality”, individu merasakan bahwa sesuatu memiliki

kesadaran yang mana tidak biasa dipandang sebagai dasar, seperti pohon, atau

bumi itu sendiri,

4) The ”temporal/spatial quality”, individu mengalami waktu dan ruang secara

berbeda, dan bahkan merasakan bahwa pengalaman terjadi diluar batas normal

dari ruang dan waktu,

5) The ”noetic quality”, individu merasakan bahwa pengalaman merupakan

sebuah sumber dari pengetahuan yang benar,

6) The ”ineffable quality”, pengalaman yang tidak mungkin untuk diekspresikan

dalam bahasa normal,

7) The ”positive emotion quality”, pengalaman yang memiliki aspek yang riang

gembira,

8) The ”sacred quality”, pengalaman yang pada hakikatnya suci atau keramat

(dalam Koltko, 1989).

Pengalaman mistik sebagai salah satu subyek dari kajian ilmu psikologi

transpersonal merupakan transformasi kesadaran, dari kesadaran mental-spiritual

yang bersifat empiris menjadi kesadaran trans-personal yang bersifat tunggal

ilahiah (Hilmy, 2006). Koltko menjelaskan bahwa pengalaman mistik adalah

tingkat kesadaran yang lebih tinggi yang merupakan the most highly developed
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

minds yang lebih dari sekedar puisi, seni, ilmu pengetahuan, atau filosofi (Koltko,

1989).

Kesadaran mengambil posisi penting dalam pengertian pengalaman mistik

diatas. Green (2001) mendefinisikan kesadaran (consciousness) sebagai persepsi

yang terjaga dari objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan waktu (dalam Prabowo

dkk, 2005). Kesadaran merupakan kapasitas dari mata pikiran untuk

merefleksikan image atau gambaran mental tentang diri sebagaimana

direpresentasikan dalam masa lalu, saat ini, dan masa depan (Tinnin, 1991).

Merriam webster online (2008) menyataan bahwa kesadaran adalah kualitas atau

status untuk menjadi sadar terutama sesuatu dengan diri seseorang atau tentang

objek eksternal, status, dan fakta (dalam Ahlin, 2009). Edelman (2003)

menjelaskan bahwa kesadaran adalah suatu proses multidimensional yang muncul

dari interaksi otak, tubuh, dan lingkungan. Kesadaran ini ada dua bentuk yaitu

primary consciousness dan higher consciousness. Yang pertama merupakan

kemampuan untuk menggunakan persepsi, keadaan motorik, dan memory untuk

membangun suasana multimodal di dalam keadaan sekarang, sedangkan yang

kedua adalah dihubungkan kepada yang melebihi perkembangan binatang dengan

kemampuan bahasa yang mana mengizinkan individu untuk melampaui keadaan

sekarang yang diingat, dan bentuk suatu cerita masa lalu, rencana masa depan, dan

kesadaran yang menjadi sadar (dalam Ahlin, 2009). Karakteristik dari status sadar

yang dibangun oleh otak termasuk diantaranya segi-segi, kesatuan, integrasi,

refleksi dari perasaan subyektif dan stimulasi perasaan yang familiar ataupun

perasaan kekurangan (Ahlin, 2009).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

Kesadaran ini memiliki tingkatan (level of consciousness), tapi ada pula

yang menyebutnya sebagai “posisi”, karena sifatnya yang tidak memilki hirarki.

Huston Smith (dalam Rowan, 1993) membuat model dengan empat tingkatan:

body, mind, soul, dan spirit. Pada tingkatan soul, masalah simbolik dan ganda

merupakan hal penting. Tingkat ini merupakan tingkatan yang ditemukan apabila

benar-benar masuk ke dalam dan menerima kualitas imaginatif, sehingga banyak

orang yang meletakkan imajinasi sebagai suatu yang fantastik, menggairahkan,

bahkan mungkin berbahaya. Pada tingkatan spirit penekanannya pada kesatuan

(unity) dan meninggalkan hal-hal yang simbolis (dalam Prabowo dkk, 2005).

Dalam struktur kepribadian manusia, evolusi atau perkembangan level kesadaran

secara ringkas bisa dibagi dalam tiga tahap: dari level subconscious ke level self

conscious dan ke level superconscious. Level paling bawah, subconscious, sangat

bersifat insting, libido, impulsif, animal (sifat binatang), kurang lebih sama

dengan komponen id dalam psikoanalisa Freud. Level menengah dari kesadaran

manusia ditandai dengan sifat-sifat adaptasi sosial, penyesuaian mental, sifat

integrasi dari ego, dan tahap lanjut konsepsi. Sedangkan tahap paling tinggi yang

dicapai kesadaran manusia adalah tahap yang sama keadaannya dalam pencapaian

puncak spiritual dari agama-agama. Tahap puncak ini ditandai dengan penyatuan

kesadaran diri dengan kesadaran semesta, kebahagiaan, ketenangan dan hal-hal

yang bersifat holistik, mungkin lebih mirip dengan konsep individuasi dari Jung

dan aktualisasi diri dari Maslow (Wilber, 2000).

Lingkaran kehidupan manusia bergerak dari level bawah yaitu level

subconscious (instingtual, id-ish, impulsive) ke level menengah atau level self-


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

conscious (egoic, conceptual) kemudian ke level puncak atau level

superconscious, digambarkan dalam bentuk lingkaran. Lingkaran ini dibagi ke

dalam dua bagian, busur keluar (outward arc) dan busur ke dalam (inward arc).

Pergerakan dari level sub-conscious ke level self-conscious digambarkan dalam

bentuk busur keluar. Pergerakan ini ditandai dengan sifat penegasan diri, kisah

pertempuran sang ego dengan dirinya sendiri, dan konflik-konflik di bawah sadar

yang ditandai dengan rasa cemas dan terasing. Sedangkan perkembangan

kesadaran dari level selfconscious ke level superconscious merupakan pergerakan

ke dalam diri, digambarkan dengan busur kedalam (inward arc), ini ditandai

dengan pencapaian tahap transendensi dan realisasi diri. Kesadaran manusia selain

dapat dipahami melalui level kesadaran juga dapat dipahami melalui status

kesadaran. Beberapa status kesadaran manusia yang biasa dikenal misalnya,

terjaga, mimpi, dan tidur pulas. Ini adalah status normal kesadaran yang biasa

dialami sehari-hari, disamping ada juga status luar biasa atau perubahan status

kesadaran dan merupakan kesadaran yang sifatnya lebih tinggi, yaitu berupa

pengalaman puncak (pengalaman spiritual, atau peak experience menurut

Maslow), keadaan meditasi dan kontemplasi (Wilber, 2000).

Ada empat jenis status kesadaran yang luar biasa ini, dan disebut juga

kesadaran transpersonal, yaitu: psychic, subtle, causal dan nondual. Psychic

adalah status kesadaran yang dialami oleh type nature mysticism, yakni

pengalaman spiritual seolah-olah dirinya menyatu dengan seluruh sensor alam

semesta. Subtle ialah status kesadaran yang dialami oleh type deity mysticism,

yakni pengalaman diri yang menyatu dengan sumber, pusat alam semesta. Causal
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39

adalah kesadaran yang dialami oleh type formless mysticism, dimana individu

yang mengalaminya akan merasakan terhentinya pengalaman dan segenap sensor

indrawi, tenggelam dalam keadaan yang tidak mewujud, kesadaran yang tak

berbentuk. Nondual adalah keadaan yang dialami oleh tipe integral mysticism,

yakni sebuah pengalaman bersatunya antara yang memanifestasi dan yang tidak,

antara wujud dan ketiadaan (Wilber, 2000).

Setiap struktur atau level kesadaran seseorang tentu saja meliputi semua

status kesadarannya. Setiap orang pasti akan mengalami status kesadaran yang

normal seperti terjaga, mimpi, dan keadaan pulas, tak menjadi masalah dimana

level orang tersebut berada. Juga setiap level bisa berada pada status kesadaran

yang luar biasa, atau perubahan kesadaran, berupa pengalaman puncak dalam

bentuk psychic, subtle, causal, dan nondual. Hanya saja ada perbedaan sikap dan

interperstasi terhadap pengalaman tersebut yang bergantung kepada tingkatan

level kesadarannya. Umpamanya, dua orang yang berada di level yang berbeda

(misalnya antara rational dan psychic) bisa sama-sama mempunyai pengalaman

puncak pada status causal, tapi pengaruh (berupa penyikapan dan interpretasinya)

dari pengalaman puncak tersebut masing-masing sangat berbeda. Pengalaman

puncak yang dialami oleh orang di semua tingkatan level kesadaran, pada

dasarnya bersifat sementara. Pengalaman ini menjadi permanen andaikata

seseorang sudah berada di level tersebut. Umpamanya, orang yang berada di level

causal pasti mempunyai pengalaman pada status causal secara permanen, tapi

pengalaman puncak yang berada di atasnya, misalnya pada status nondual, yang

dialami, sifatnya hanyalah sementara atau temporer (Wilber, 2000).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40

Berbeda dengan dengan kesadaran adalah bawah sadar (subconscious).

Koneksi antara kesadaran dan bawah sadar disebut altered state of consciousness

(ASC). Koneksi ini dengan sendirinya akan mengarah menjadi keadaan bawah

sadar (Green, 2001 dalam Prabowo dkk, 2005). Secara intensif, ASC dapat juga

dicapai melalui hypnosis, meditasi, berdoa, yoga atau dzikir (Prabowo dkk, 2005).

Menurut Bourguignon (1979), Altered state of consciousness adalah kondisi

dimana sensasi, persepsi, kognisi, dan emosi dirubah. Hal ini dapat

dikarakteristikkan dengan perubahan dalam melakukan sensasi, mempersepsi,

memikirkan, dan merasakan. Hal ini merupakan modifikasi hubungan individual

kepada self, body, sense of identity, and environment of time, space, or other

people (dalam Tinnin, 1990). Peters dan Price William (1983) menjelaskan bahwa

kondisi ASC sebagai jalan kepada status batin yang lain dan mereka percaya

bahwa bermacam tingkat ASC hanya untuk dinamika proses psikologis yang

secara spontan dan sukarela didatangkan, memiliki perbedaan dengan manifestasi

fisik dan menjadi secara tinggi dipengaruhi oleh kepercayaan kebudayaan, simbol,

dan nilai personal yang menentukan isi pengalaman (dalam Ahlin, 2009).

Menurut Charles Tart, ASC adalah suatu perubahan kualitatif dalam

keseluruhan pola dari fungsi mental, seperti misalnya orang yang mengalami

merasa bahwa kesadarannya secara radikal berbeda dari fungsinya yang biasa.

Selanjutnya Metzner (1992) menambahkan bahwa perubahan yang terjadi adalah

perubahan dalam berpikir, merasakan, dan mempersepsi yang memiliki awal,

durasi, dan akhir. Perubahan ini yang dapat diukur adalah:


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

1) A disturbed time sense (gangguan perasaan tentang waktu): percepatan waktu

atau “time standing still”;

2) Perceptual change (perubahan perseptual): visual dan akustik;

3) Body image change (perubahan gambaran tubuh): seperti sensasi mengambang

atau terbang atau experiencing body-boundaries dissolved (mengalami batas

tubuh yang lenyap);

4) Alteration thingking (pemikiran yang lebih): multi asosiasi, perasaan

kreativitas yang meningkat, atau pemikiran magis (dalam Kjellgren dkk,

2008).

Kadang-kadang selama ASC, pengalaman transpersonal terjadi. Pengalaman

transpersonal merupakan keseluruhan pengalaman manusia melebihi level ego,

juga termasuk pengalaman spiritual. Beberapa pengalaman sering

dikarakteristikan sebagai rasa yang tak terlukiskan, atau suatu pengalaman

langsung yang menghubungkan dengan sagala hal, atau perasaan terhubung

dengan semesta alam (Kjellgren, dkk, 2008).

d. Tata Cara (Ritual) dan Disiplin Mistik

Geertz menjelaskan untuk mencapai keadaan mistik, orang harus ngesti.

Ngesti berarti menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya

langsung kepada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya

ke arah satu tujuan yang sempit. Hal ini semacam penggalian mental yang intens,

pencarian pengertian yang didukung oleh kehendak yang tak tertahankan dan

suatu penggabungan kedalam satu keseluruhan sederhana dari berbagai kekuatan

dalam individu itu. Semua indra, emosi, bahkan sebisa mungkin seluruh proses
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

fisik tubuh, semuanya dibawa kedalam satu kesatuan dan dipusatkan kepada

tujuan tuggal (dalam Geertz, 1989).

Ngesti sebagai suatu penggalian yang intens atau sebagai permohonan yang

sangat juga dilengkapi dengan banyak disiplin instinktual. Disiplin instinktual ini

terwujud dalam suatu tata cara ataupun ritual. Turner (1966) mengartikan ritual

sebagai perilaku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu tertentu

secara berkala, bukan sekedar sebagai rutinitas yang bersifat teknis, melainkan

mengacu pada tindakan yang didasari oleh keyakinan religius terhadap kekuasaan

atau kekuatan mistis (dalam Soehadha, 2008).

Kesimpulannya, agar sampai kepada Tuhan orang harus memusatkan

seluruh kekuatannya kepada tujuan itu dan mengekang sejauh mungkin

kebutuhannya untuk makan, minum, tidur dan juga kebutuhan seksual. Kegiatan

serupa itu disebut semedi atau tapa (dalam Geertz, 1989).

e. Pola Guru dan Murid

Sistem guru diletakkan atas dasar perbedaan bakat spiritual diantara

berbagai individu dan kelompok, bakat yang bisa ditingkatkan tetapi hanya

sampai titik tertentu. Hubungan guru murid merupakan sekumpulan hubungan

pasangan antara individu guru dan individu murid, istilah yang pada akhirnya

relatif karena bila dua orang sedang mempelajari mistik bersama-sama maka yang

lebih tinggi otomatis adalah guru dan yang lebih rendah adalah murid (dalam

Geertz, 1989).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

B. PANGESTU

1. Pengertian dan Sejarah Pangestu

Pengestu didirikan oleh R. Soenarto Mertowardojo. Soenarto dilahirkan

pada hari jumat 21 April 1899 di desa Simo, Kawedanan Simo, Kabupaten

Boyolali, Jawa Tengah. Paguyuban Ngesti Tunggal berdiri sebagai sebuah

organisasi pada tanggal 20 Mei 1949, dalam suatu pertemuan yang

diselengggarakan di rumah Soenarto. Acara pertemuan diawali dengan melakukan

pangesti (doa permohonan) dan dilanjutkan dengan pemberian wejangan dari

Soenarto. Isi dari wejangan tersebut dimuat dalam buku ”Sabdha Khusus”. Salah

satu dari wejangan tersebut menyebutkan agar didirikan sebuah perkumpulan

sebagai pengikat para siswa dalam mendalami ajaran Sang Guru Sejati,

sebagaimana telah diturunkan melalui R.Soenarto (Soehadha, 2008).

Perkumpulan ini dinamakan ”Paguyuban Ngesti Tunggal” setelah Soenarto

melakukan pangesthi dan mendapat petunjuk dari Tuhan. Pangestu mempunyai

arti ”berkah”, yaitu berkah dari Sang Guru Sejati kepada siswanya. Adapun

Paguyuban Ngesti Tunggal dimaksudkan sebagai sebuah perkumpulan yang

memiliki pengertian, yang bersifat lahir dan batin. Secara lahir bertujuan hendak

bertunggal (bersatu) dengan semua golongan yang dilandasi oleh kerukunan dan

kasih sayang. Pengertian yang bersifat batin dimaksudkan bahwa Pengestu

memiliki tujuan untuk bersatu atau kembali kepada Tuhan Yang Mahatunggal

(Soehadha, 2008).

Selama kurun waktu 16 tahun (dwi windu) yaitu pada tahun 1965, tahun

terakhir masa kehidupan Soenarto, Pangestu telah berkembang pesat dengan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

memilki 82 cabang dan puluhan ribu anggota di beberapa kota di Indonesia

(Imam,2005; Soehadha, 2008).

Data terakhir diperoleh dari kongres XV Pangestu yang diadakan di Solo.

Kongres Pangestu ke-15 menerangkan bahwa Pangestu telah memiliki 196 cabang

dimana 184 cabang berada di Pulau Jawa dan 12 cabang di luar Pulau Jawa,

dengan jumlah anggota seluruhnya 206.030 orang (dalam Kongres Pangestu XV,

2005).

2. Ajaran Pangestu dalam Kitab Sasangka Djati

Di dalam kitab Sasangka Djati terangkum tujuh ajaran Pangestu yaitu Hasta

Sila, Paliwara, Gumelaring Dumadi, Tunggal Sabda, Jalan Rahayu, Sangkan

Paran, dan Panembah.

a. Hasta Sila

Ajaran hasta sila, atau panembah batin delapan sila, sebagai jalan untuk

kembali bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa, dibagi menjadi dua bagian, yakni

tri sila, dan panca sila. Tri sila adalah panembah hati dan cipta kepada Tuhan

Yang Maha Tunggal. tri sila terdiri atas:

1) Eling, berarti sadar atau ingat. Eling berarti kesadaran yang membuat manusia

merasa bahwa dirinya ada dan sedang melakukan sesuatu. Jadi eling adalah

kesadaran akan keberadaan (Suparto, 2001). Suparto menjelaskan terdapat tiga

kesadaran manusia kepada Tuhan, yaitu: (1) kesadaran murni, yaitu kesadaran

akan Suksma Kawekas sebagai sumber hidup; (2) kesadaran tinggi, yaitu

kesadaran akan Suksma Sejati sebagai pembabar prinsip hidup; (3) kesadaran
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

manusia sebagai wujud hidup. Terdapat tingkatan dalam kesadaran manusia.

Tingkat terendah kesadaran manusia ialah kesadaran yang dilandasi oleh

pemahaman bahwa yang disebut ’aku’ adalah raga yang kasat mata sehingga

segenap potensi hidup masih diwarnai oleh tujuan untuk melayani raga, yaitu

makan, minum, seks, dan kenyamanan. Sedangkan kesadaran yang sejati

adalah kesadaran yang dilandasi oleh suatu sikap bahwa manusia bukanlah

semata sebagai raga, melainkan roh suci sebagai sinar Tuhan yang menjadi

sumber hidup abadi;

2) Pracaya, berarti percaya. Kitab Sasangka Djati (1969) menyebutkan bahwa

orang Pangestu harus percaya bahwa Sang Guru Sejati menjadi penuntun

hidup manusia. Pangestu mengajarkan bahwa manusia sejati adalah manusia

yang dapat menyatu dengan Tuhan. Percaya kepada Tuhan adalah sesuatu

yang mutlak, jika manusia ingin menyatu dengan Tuhan;

3) Mituhu, berarti taat, taat melaksanakan perintah Tuhan. Orang Pengestu harus

percaya bahwa tidak ada suatu pekerjaan apapun yang utama yang harus

dilaksanakan manusia yang bukan pekerjaan Tuhan. Jadi semua pekerjaan

yang baik bagi semua manusia sebenarnya adalah pekerjaan Tuhan (dalam

Soehadha, 2008).

Ajaran Pancasila merupakan lima watak utama yang terdiri dari:

1) Rila, berarti ikhlas. Kitab Sasangka Djati menyebutkan bahwa rila adalah

keleluasaan hati dengan disertai rasa bahagia dalam menyerahkan seluruh

miliknya, wewenangnya, dan semua hasil pekerjaannya kepada Tuhan, dengan

rasa tulus ikhlas, sebab semua itu ada dalam kekuasaan Tuhan, maka harus
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

tidak ada sesuatu apapun yang mengganjal (membekas) dalam hatinya (kitab

Sasangka Djati, 1969);

2) Narima, berarti menerima apa adanya. Kitab Sasangka Djati (1969)

menyebutkan bahwa orang yang bersikap narima bukanlah orang yang lemah

dalam pekerjaannya, tetapi orang yang “nrima ing pandum”, yang artinya

orang yang menerima apa yang telah menjadi bagiannya dan selalu bersyukur

kepada Tuhan. Orang–orang ini adalah orang yang terkaya di antara manusia

kaya lainnya. Sikap rela mengarahkan perhatian kepada segala sesuatu yang

telah dicapai dengan upayanya sendiri, sedangkan narima menekankan kepada

“apa adanya”, menerima segala sesuatu yang telah menimpa diri (De Jong,

1976);

3) Temen, berarti jujur dan sungguh-sungguh. Temen dalam kitab Sasangka Djati

(1969) diartikan sebagai ajaran yang membangun kesadaran manusia agar

selalu sungguh-sungguh menepati janji atau kesanggupannya, baik yang masih

dalam batin maupun yang sudah diucapkan.

4) Sabar, dalam Sasangka Djati (1969) diartikan sebagai sikap kuat dalam

menghadapi segala cobaan, tetapi bukan orang yang pupus dalam

keinginannya, namun kebalikannya sebagai orang yang sentosa hatinya, luas

ilmunya, tidak sempit budinya, pantas disebut lautnya pengetahuan, oleh

karena dirinya yang tidak membeda-bedakan antara emas dengan tanah,

kawan dengan lawan sudah dianggap sama saja. Dapat diumpamakan sebagai

samudra yang dapat menampung apa saja, tidak bisa meluap akibat dialiri oleh

sungai-sungai dari mana saja;


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

5) Budi luhur, adalah sifat yang diusahakan oleh manusia agar dapat menyerupai

sifat Tuhan, yaitu kasih sayang kepada sesama.

b. Paliwara

Paliwara adalah pokok larangan Tuhan kepada manusia. Paliwara ada lima

macam, yaitu:

1) Jangan meyembah kepada selain Allah,

2) Berhati-hati dalam hal syahwat,

3) Jangan makan atau mempergunakan makanan yang memudahkan rusaknya

badan jasmani,

4) Taatilah undang-undang negara dan peraturanya

5) Jangan berselisih.

c. Gumelaring Dumadi

Gumelaring dumadi berarti pagelaran penciptaan kehidupan, mulai dari

jagad besar, mahkluk seperti hewan, tumbuhan dan juga manusia. Ajaran pertama

berisi pengetahuan tentang adanya empat unsur (anasir) yang membentuk dunia

materi alam semesta, yakni unsur swasana, api, air, dan tanah. Kedua,

pengetahuan tentang penciptaan hewan, tumbuhan, dan segala yang ada di muka

bumi ini, selain manusia. Ketiga adalah ajaran atau pengetahuan tentang

penciptaan manusia (Soehadha, 2008).

Pertama kali yang diciptakan oleh Tuhan, adalah swasana, kemudian api,

air, dan tanah. Dan kemudian menjadi jagad gedhe. Keempat anasir ini saling

berinteraksi sehingga menyebabkan terciptanya benda-benda angkasa. Baru

kemudian memungkinkan bagi adanya kehidupan dan diciptakanlah mahkluk


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48

hidup. Ajaran Pangestu menerangkan bahwa masing-masing mahkluk hidup yang

ada di bumi tercipta dari anasir yang berbeda satu sama lainnya. Secara skematis

anasir yang ada dalam mahkluk tersebut dapat diambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 1.

Anasir mahkluk menurut ajaran Pangestu (dalam Soehadha, 2008)

Mahkluk Hidup Anasir / Unsur Fisik Jiwa

1) Sari tanah
Roh suci (tanpa penuntun Guru
Binatang 2) Sari api
Sejati)
3) Sari swasana

1) Sari tanah
Tumbuhan Tanpa Roh Suci
2) Sari air

Mahkluk halus
1) Sari api Daya bayangan Tuhan
(dewata)

1) Sari Swasana Roh Suci disertai Suksma Sejati

2) Sari api sebagai penuntun dan Guru Sejati


Manusia
3) Sari tanah yang manunggal dengan Suksma

4) Sari air Kawekas.

Selain itu manusia juga dilengkapi dengan empat macam nafsu, yaitu nafsu

mutmainah, amarah, lawamah, dan sufiah. Keempat nafsu ini merupakan

cerminan dari sifat-sifat empat anasir yang membentuk diri manusia (Soehadha,

2008):

1) Unsur swasana menimbulkan nafsu mutmainah. Nafsu mutmainah mendorong

manusia untuk selalu menyatu dengan lingkungannya dan menyatu dengan

Suksma Sejati. Oleh karena itu manusia yang memilki nafsu mutmainah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49

cenderung hidup rukun dengan masyarakat di sekelilingnya dan berakhlak

mulia.

2) Unsur tanah membentuk nafsu lawamah. Nafsu ini mendorong manusia

bersikap menjaga eksistensinya, mempertahankan diri, dan

memperkembangkannya. Wujud konkretnya mendorong manusia senang

terhadap makanan, minuman, dan syahwat.

3) Nafsu sufiah adalah nafsu yang terbentuk dari anasir air. Nafsu sufiah lazim

pula disebut keinginan. Oleh karena itu nafsu sufiah mendorong manusia

untuk mendekatkan diri kepada apa yang diinginkannya.

4) Nafsu amarah adalah nafsu yang terbentuk dari anasir api yang dapat

membakar semangat manusia atas berbagai keinginannya. Apabila nafsu

amarah manusia besar, maka akan kuat pula keinginannya, dan juga

sebaliknya.

d. Tunggal Sabda

Tunggal sabda mengandung arti bahwa baik kitab suci Al-Quran, maupun

kitab suci Injil, demikian pula kitab Sasangka Djati, ketiga-tiganya merupakan

sabda tunggal, dalam arti sama-sama sabda dari Tuhan (Allah) (Imam, 2005).

Namun tetap ada perbedaan yang mendasar dari ketiganya sebab Pangestu sendiri

menyatakan bukan agama dan R. Soenarto sendiri juga mengaku hanya sebagai

‘siswa’ Suksma Sejati, dan menyebut dirinya hanya sebagai warana (perantara)

sabda.

e. Jalan Rahayu

Jalan Rahayu terdiri dari lima ajaran, yaitu:


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50

1) Paugeraning Pangeran Marang Kawula, sebagai dasar kepercayaan;

2) Panembah, sebagai sarana untuk memperkuat kebaktian kepada Tuhan yang

dapat dilakukan sepanjang waktu, namun ada waktu khusus yang sebaiknya

dilakukan yaitu ketika menjelang terbitnya matahari dan menjelang

terbenamnya matahari;

3) Budi darma, sebagai wujud kasih sayang kepada sesama hidup, seperti tolong

menolong, memberi kebaikan, dan kasih sayang, bisa berwujud materi

maupun tenaga dan pengetahuan;

4) Ngunjara hawa nafsu atau mengekang hawa nafsu yang menuju kejahatan,

yang dapat dilakukan dengan cara berpuasa atau dengan menahan segala

keinginan dan angan-angan yang bersifat keduniawian;

5) Budi luhur sebagai bekal dalam menuju hidup yang sejati, yaitu manusia yang

mampu melaksanakan perbuatan yang disenangi Tuhan, yaitu rela berkorban,

merelakan kenikmatan, dan kemuliaan diri sendiri bagi orang lain.

f. Sangkan Paran

Seperti yang dikutip Imam (2005) dari kitab Sasangka Djati bahwa sangkan

paran berisi lima ajaran, yaitu:

1) Kembalinya jiwa ke asal mulanya, jika tiba saatnya hamba dipanggil ke

hadirat Tuhan.

2) Sebab-sebab yang merintangi kembalinya jiwa ke asal mulanya, karena

melanggar larangan Tuhan,

3) Pahala dan pidana Tuhan,

4) Datangnya pembalasan dan leburnya dosa,


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51

5) Datangnya pembalasan bagi perbuatan buruk yang belum dibebaskan melalui

tobat.

g. Panembah Tiga Tingkatan

Panembah tiga tingkatan terdiri dari:

1) Panembah raga kepada Roh Suci adalah tingkatan panembah bagi jiwa yang

masih muda. Pada tingkatan ini roh suci berupaya menundukkan empat nafsu,

yakni lauamah, ammarah, sufiah, dan muthmainah. Panembah raga terhadap

Roh suci sebaiknya juga menggunakan bahasa Arab, yang digunakan dalam

mengingat Tuhan yang dibarengi dengan keluar masuknya nafas dengan

kalimat: ”HU” dan ”ALLAH”. Hu dalam Sasangka Jati berarti singgasana

Tuhan yang teramat luas dan tanpa batas yaitu berada di dalam dan di luar

jagad cilik karena Tuhan itu meliputi semuanya. Allah berarti Suksma

Kawekas yang Maha Luhur, Maha Asih, yang meliputi semesta alam dan

seisinya. Panembah kepada Roh Suci sebaiknya dilakukan pada saat

tenggelamnya matahari (waktu magrib) dan pada saat munculnya matahari

yaitu pada waktu subuh.

2) Panembah roh suci kepada Suksma Sejati, adalah tingkatan panembah bagi

jiwa yang telah dewasa, karena Roh Suci telah berhasil menundukkan hawa

nafsunya. Pada tingkatan ini roh suci berupaya taat kepada Suksma Sejati.

Panembahan ini dilakukan dalam tiga waktu, yaitu ketika magrib (suruping

srengenge), tengah malam (lingsir wengi), dan subuh (bangun raina).

3) Panembah Suksma Sejati kepada Suksma Kawekas adalah tingkatan panembah

bagi jiwa yang telah luhur budinya. Panembah pada tingkatan ini merupakan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52

jalan untuk bertunggal dengan Tuhan. Waktu melakukan panembah sama

dengan dengan panembah tingkat dua, bedanya panembah tingkat tiga ini

tidak ada sembah raga

Selain penembah tiga tingkatan ada pula panembah empat tataran, yaitu:

1) Sembah raga, merupakan pertanda yang kasat mata dalam menyembah Tuhan.

Tata krama dalam panembah sebagai sembah raga, adalah sebagai berikut:

bersila dan ngapurancang, posisi tangan menyembah (kedua tangan ditempel

didepan hidung), laku duduk, dan lain-lain sesuai dengan cara masing-masing;

2) Sembah cipta, artinya penembah diikuti dengan ingat kepada Tuhan dan

memuji nama-Nya;

3) Sembah kalbu, maksudnya adalah dalam melakukan panembah tidak hanya

raga dan ciptanya saja yang melakukannya namun juga hatinya. Panembah

harus disertai dengan hati yang tulus, sungguh-sungguh dalam menyembah

Tuhan;

4) Sembah rasa, sejatinya adalah sembahing orang yang sampai pada tingkat budi

luhur sehingga dalam melakukan panembah tidak perlu menggunakan

sesembahan tiga sebelumnya. Sembah rasa dilakukan hanya dengan pasrah

jiwa raga terhadap Suksma Kawekas (Sasangka Djati, 1968).

3. Konsep Tuhan dalam Ajaran Pangestu

Konsep Tuhan dalam Pangestu adalah monoteisme, yaitu percaya pada satu

Tuhan, namun Pangestu mengajarkan keadaan Tuhan yang bersifat tiga yang

disebut Tripurusa. Tripurusa ini berarti keadaan satu yang bersifat tiga, yaitu:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53

1) Suksma Kawekas (Tuhan Sejati) atau Allah Ta’ala yang berarti yang

menghidupi, yang membuat hidup, yang membuat manusia merasa hidup, atau

sumber hidup;

2) Suksma Sejati (penuntun sejati, guru sejati) adalah utusan Tuhan. Suksma

Sejati adalah karsa atau aktivitas Suksma Kawekas. Kitab Sasangka Djati

menyebut Suksma Sejati ini sama dengan Nur Muhammad dalam ajaran

tasawuf (Islam), dan sama dengan Sang Putra atau Kristus dalam agama

Kristen. Suksma Sejati adalah utusan Tuhan yang sejati sebagai panutan,

penuntun, dan guru sejati;

3) Roh Suci (manusia sejati), adalah sifat yang dihidupi atau yang diberi hidup

dan yang diberi kekuasaan dalam melaksanakan karsa (kehendak) Tuhan. Roh

Suci adalah cahaya Ilahi yang bersemayam dalam jasmani manusia

(Hadiwiyono, 1983; Imam, 2005; Soehadha, 2008).

Sumantri menjelaskan kata sifat dalam Sasangka Djati berarti faset, aspek,

segi, muka (wajah). Jadi Allah itu satu dalam hakikat-Nya namun menampakkan

diri dalam tiga faset, tiga wajah yaitu Suksma Kawekas, Suksma Sejati, dan Roh

Suci (Hadiwiyono, 1983). Aspek pertama adalah tertinggi, mutlak, diam, statis

disebut Suksma Kawekas. Aspek kedua adalah hidup yang dinamis, dilahirkan

dari yang statis, disebut Suksma Sejati. Aspek ketiga disebut Roh Suci, jiwa sejati

dari manusia yang dianggap sebagai cahayaNya atau percikan api dari Suksma

Kawekas (Imam, 2005).

Hal ini mirip dengan konsep tajalli (penampakan diri) Tuhan dalam mistik

Islam seperti konsep tajalli dan fayd (emanasi) dari Ibn Al-Arabi dan martabat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54

tujuh dari Al-Burhanpuri. Hal ini juga sejalan dengan martabat Nur Muhammad

dalam wirid Hidayat Jati Ronggowarsito. Selain itu konsep Tripurusa ini juga

menyerupai apa yang menurut Zoetmulder disebut teori emanasi yang

disederhanakan.

4. Konsep Manusia dalam Ajaran Pangestu

Di dalam kitab SasangkaDjati di terangkan bahwa Tuhan mempunyai

kehendak menurunkan Roh Suci sebelum dunia tercipta (Imam, 2005). Sasangka

Djati juga menunjukkan bahwa penciptaan (penurunan) Roh Suci terjadi dari

cahaya Tuhan yang digambarkan seperti plethikan api dari api Yang Maha Agung.

Keterangan ini menunjukkan bahwa penciptaan manusia menurut Pangestu

melalui proses emanasi (Imam, 2005). Sebelum Roh Suci diturunkan ke dunia,

Tuhan telah memberikan kesaksian yang disebut pahugeran, agar setelah roh suci

memakai anasir jasmani senantiasa sadar, bahwa Roh Suci berasal dari Tuhan dan

harus kembali kepada-Nya.

Terjadinya manusia adalah dari cahaya Tripurusa yang diberi pakaian empat

anasir, yang dilengkapi dengan peralatan badan jasmani, yaitu lima panca indera,

empat nafsu, dan tiga angan-angan. Sejalan dengan hal ini, karena bayi terjadi dari

tujuh keadaan, yakni Tripurusa dan empat macam anasir, maka manusia juga

disebut mempunyai saudara tujuh, yang lahir bersama-sama dalam satu hari.

Empat saudara disebut nafsu lauamah, amarah, sufiah, mutmainah, dan tiga

saudara lainnya disebut angan-angan, yakni pangaribawa, prabawa, dan

kemayan. Adapun dasar alasan bahwa manusia itu disebut mempunyai saudara
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55

tujuh, karena empat saudara atau empat nafsu itu terjadi dari halusnya empat

anasir, dan tiga saudara lainnya atau tiga angan-angan terjadi dari bayangan

Tripurusa (Hadiwiyono, 1983; Imam, 2005).

Angan-angan sebagai bayangan atau refleksi Tripurusa di dalam selubung

jasmani menurut Sumantri (1967) adalah daya-daya intelektual manusia. Refleksi

ini mempunyai tiga aspek, yakni cipta, nalar, dan pangerti, masing-masing

mempunyai fungsi. Cipta berfungsi untuk menangkap atau membayangkan, nalar

berfungsi untuk mengasosiasikan (menghubungkan) berbagai bayangan, dan

pangerti berfungsi untuk menyimpulkan dari semua yang dibayangkan. Daya

intelektual yang dimiliki oleh masing-asing aspek adalah sebagai pantulan dari

Tripurusa, cipta sebagai pantulan Roh suci, nalar sebagai pantulan Suksma Sejati,

dan pangerti sebagai pantulan Suksma Kawekas (dalam Hadiwiyono, 1983; Imam,

2005).

Kekuasaan angan-angan atau kecakapan intelektual manusia di dalam hidup

sehari-hari dipusatkan kepada yang disebut Aku atau Ego manusia. Bahkan, Aku

adalah pusat pimpinan jiwa manusia meliputi angan-angan, perasan dan nafsu-

nafsu. Akan tetapi angan-angan yang dipusatkan pada Aku (Ego) itu

sesungguhnya bukan jiwa manusia yang sejati, atau bukan Roh suci, melainkan

hanya bayangan Tripurusa. Kekuasaan angan-angan yang diberikan Tuhan kepada

manusia, supaya dipakai untuk mengendalikan ”saudara empat” (empat nafsunya)

lainnya, agar selaras dengan karsa atau kehendak Tuhan (Imam, 2005). Jika

kecakapan intelektual manusia disebut Ego, maka Roh Suci dapat disebut ”super

ego” (Hadiwiyono, 1983).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56

Ketiga unsur jiwa yaitu angan-angan, perasaan, dan nafsu-nafsu, harus

berada di bawah satu kendali yang dipimpin oleh sang Aku, agar ketiga unsur jiwa

tersebut dapat berjalan selaras dan seimbang sesuai dengan kehendak Tuhan. Bila

ketiga unsur jiwa tersebut berjalan selaras dan seimbang, maka jiwa manusia akan

merasa tenang tenteram dan bahagia (Imam, 2005).

Gambaran jiwa manusia menurut Pangestu yang dirangkum Sumantri dalam

Candra Jiwa Soenarto, adalah sebagai berikut:

Badan Jasmani kasar Badan Jasmani Halus (Jiwa) Alam Sejati

Cipta Pangaribawa
Angan-angan Nalar Prabawa
Alat-alat Sadar
Palaksana Pangerti Kemayan
Menerima
Senang
Suksma
P Menarik T Kawekas
a Perasaan Positif Sadar r
Super Ego
n Aku (Ego)
Percaya Rahsa i
c Percaya Taat Jati
a Menolak P
Suksma
Tak Suka u Sejati
i r
n Negatif u
d s
e a Roh
r Nafsu Taat Suci
a
Amarah Sufiah Mutmainah Lauwamah
(kemauan) (Keinginan) (Egosentrifugal) (Netral) (Egosentrifugal)
Tahan Minum Tamak
Suprasosial Penderitaan Makan Iri
Tidur Aniaya
Kekuatan Syahwat Fitnah
Sosial Jasmani Loba dll.

Gambar 1. Candrajiwa Soenarto (dalam Imam, 2005; Hadiwiyono, 1983; Jatman,

2000)

Di dalam Struktur Candrajiwa Sunarto terdapat dua pusat, yaitu: pertama,

pusat yang immaterial, yakni Tri Purusa: Suksma Kawekas, Suksma Sejati, dan

Roh Suci. Kedua, pusat yang material yang terdiri atas angan-angan, nafsu-nafsu,

dan rasa pangrasa atau hidup perasaan. Angan-angan yang terdiri dari pangerti,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57

nalar, dan cipta, kemayan, pangaribawa, prabawa. Nafsu-nafsu terdiri dari

mutmainah, amarah, sufiah, dan lawwamah (Hadiwiyono, 1983).

5. Konsep Mistik dalam Ajaran Pangestu

Konsep mistik dalam ajaran Pangestu tampak pada hakikat ajarannya yang

mengarah pada manunggaling kawula-Gusti. Di dalam Sasangka Djati

diterangkan bahwa ajaran Pangestu hakikatnya merupakan tuntunan kerohanian

(Kesuksman) menuju bertunggal dengan Tuhan. Hasta sila sebagai intisari ajaran

Pangestu, adalah jalan menuju kembali bertunggal dengan Tuhan, berwujud

sembah batin delapan sila. Bila Tri sila telah sampai pada kesempurnaanya, maka

panca sila segera menyusul mengikuti Tri sila, hingga sampai pula pada

kesempurnaannya. Keadaannya lantas campur lebur bertunggal menjadi satu,

berwujud kasunyatan (kesempurnaan) abadi (Imam, 2005). Menurut Pangestu ada

dua macam kesempurnaan, yaitu kesempurnaan yang tertinggi yang dicapai

setelah meninggal dunia dan kesempurnaan yang dicapai orang di dalam hidup ini

(Hadiwiyono, 1983).

C. REALISASI DIRI JUNG

1. Struktur Psike atau Kepribadian

Psikhe adalah totalitas segala peristiwa psikis baik yang disadari maupun

tidak disadari (Suryabrata, 2005). Psyche adalah mencakup keseluruhan pikiran,

perasaan dan tingkah laku (Alwisol, 2008). Jung (1971) percaya bahwa psyche

adalah tersusun dari sistem-sistem yang saling tergantung yang terdiri dari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58

kesadaran, yang menyediakan konsistensi, petunjuk dan persepsi yang terkontrol,

ingatan, pikiran, dan perasaan; ketidaksadaran personal yang terdiri dari materi

yang dilupakan dan direpresikan yang telah hilang dari pikiran yang sadar tapi

masih dapat dikeluarkan kembali; dan ketidaksadaran kolektif, yang merupakan

transpersonal atau nonpersonal kesadaran yang tidak menyangkut dengan

pengalaman personal (dalam, James dan Gillliland). Jadi psyche terdiri dari

kesadaran dan ketidaksadaran. Kedua alam itu tidak hanya saling mengisi, tetapi

berhubungan secara kompensatoris. Kesadaran berfungsi untuk penyesuaian

terhadap dunia luar dan ketidaksadaran berfungsi untu penyesuaian terhadap dunia

dalam (Suryabrata, 2005). Batas antara kesadaran dan ketidaksadaran tidak tetap

melainkan dapat berubah-ubah, artinya luas daerah kesadaran atau ketidaksadaran

dapat bertambah atau berkurang (Suryabrata, 2005).

Ada tiga jalinan asumsi tentang sejarah universal psyche, yaitu:

1) The evolution of the psyche, psyche layaknya tubuh telah terstruktur secara

kolektif, dan dalam beberapa pengertian dapat dikembangkan seperti itu.

Dalam pandangan Darwinian, simbol ini, image, dan ide yang telah

diperjuangkan sangat lama adalah paling pas dalam memandu proses

individuasi;

2) The preexitence of the psyche, psyche bukanlah sesuatu yang simpel yang

telah datang menjadi merdeka dari setiap jiwa, telah mempersiapkan untuk

mati, atau hidup dalam beberapa bentuk individual. Bagaimanapun juga efek

kumulatif dari seorang yang terindividuasi menemukan jalannya kepada

kebijaksanaan secara kolektif dalam ras;


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59

3) The archeology of the psyche, menyusul abad ke-19 prinsip biology bahwa

“ontogeny recapitulates phylogeny”, proses individuasi mengizinkan ego

individual untuk mengalami lagi sejarah psikis ras atau bangsa dari waktu

sebelum peradaban sampai sekarang (dalam Heisig, 1997).

a. Kesadaran

1) Ego

Menurut Jung, hasil pertama dari proses diferensiasi kesadaran itu adalah

ego (Alwisol, 2008). Ego merupakan subyek dari segala kegiatan pribadi

kesadaran. Kesadaran adalah fungsi aktif yang menghubungkan isi-isi psikis

dengan ego sebagai pusatnya sehingga isi psikis ini dapat disadari oleh ego.

Seluruh pengalaman menyangkut dunia luar dan dalam harus melewati ego

supaya dapat diamati dan dialami. Semua relasi dengan ego sejauh oleh ego

sendiri tidak dialami sebagai berhubungan denganya, tetap tinggal dalam

ketidaksadaran dan tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan ego. Relasi dari satu

isi psikis dengan ego merupakan kriterium dari keasadaran, karena tak ada yang

menjadi sadar jika tidak dihadirkan kepada satu subyek (Jung, 1986). Jadi

membicarakan kesadaran sama halnya dengan membicarakan ego, ego lah yang

menyaring atau menghadirkan semua hal dalam kesadaran subyek.

Ego bukan faktor tunggal atau elementer tapi satu faktor kompleks yang

tidak bisa diuraikan sampai habis. Ego dilandasi oleh dua dasar berbeda, yaitu

dasar somatis dan dasar psikis (Jung, 1986). Dasar somatis ego terdiri dari faktor

sadar yaitu faktor-faktor yang mampu menembus ambang kesadaran, dan faktor

tak sadar merupakan faktor yang sebagian besar subliminal atau dibawah ambang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60

kesadaran. Dasar psikis ego yaitu ego berdasar pada seluruh ruang kesadaran dan

juga pada seluruh jumlah isi yang tak sadar. Ego adalah faktor sadar yang paling

utama (par excellence). Awalnya ego muncul dari tubrukkan yang lain antara

dunia luar dan dunia batin. Ego merupakan subyek dari semua usaha adaptasi

yang berhasil, sejauh usaha-usaha ini dicapai oleh kehendak, namun kehendak

didalamnya terbatas. Ego punya peranan penting dalam pengaturan psikis. Ego

hanya titik referensi dari ruang kesadaran, yang didasarkan pada dan dibatasi oleh

faktor somatis yang disebut diatas, bukan terdiri dari seluruh alam kesadaran. Ego

hanyalah bagian dari kepribadian, bukan seluruh kepribadian. Jadi tidak mungkin

memberi uraian umum tentang ego karena sifatnya yang individualitas, individual,

unik, dan mempertahankan identitasnya sampai tingkat tertentu (Jung, 1986).

Kesadaran mempunyai dua komponen pokok, yaitu fungsi jiwa dan sikap jiwa

(Suryabrata, 2005).

2) Fungsi Jiwa

Fungsi jiwa, adalah suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tiada

berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda. Jung membedakan empat fungsi

pokok, yang dua rasional, yaitu pikiran dan perasaan, sedang yang dua lagi

irasional, yaitu pendriaan dan intuisi. Fungsi-fungsi rasional bekerja dengan

penilaian. Pikiran menilai atas benar dan salah, sedang perasaan menilai atas dasar

menyenangkan dan tidak menyenangkan. Fungsi irasional berfungsi hanya

semata-mata dengan pengamatan. Pendriaan mendapatkan pengamatan dengan

sadar-indriah, sedang intusi mendapatkan pengamatan secara sadar-naluriah. Pada

dasarnya tiap manusia memiliki keempat fungsi itu, akan tetapi biasanya hanya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61

salah satu fungsi saja yang paling berkembang (dominan) (Alwisol, 2008;

Hall&Lindzey, 2005; Suryabrata, 2005).

3) Sikap Jiwa

Sikap jiwa, adalah arah daripada energi psikis umum atau libido yang

menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya. Arah ini dapat

keluar ataupun ke dalam. Arah orientasi manusia yang cenderung ke luar

menunjukkan bahwa individu itu memiliki sikap jiwa yang ekstravers.

Orientasinya terutama tertuju keluar, pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama

ditentukan oleh lingkungan, baik lingkungan sosial maupun non-sosial. Sikap jiwa

dengan arah orientasi ke dalam menunjukan orang yang introversi. Orang ini

terutama dipengaruhi oleh dunia subyektif, yaitu dunia dalam dirinya sendiri

(Alwisol, 2008; Hall&Lindzey, 2005; Suryabrata, 2005).

Jung memakai kombinasi sikap dan fungsi ini untuk mendeskripsi tipe-tipe

kepribadian manusia dan diperoleh delapan macam tipe manusia, yakni tipe

ekstraversi-pikiran, ekstraversi-perasaan, ekstraversi-pengindraan, ekstraversi-

intuisi, introversi-pikiran, introversi-perasaan, introversi-pengindraan, dan

introversi-intuisi (Alwisol, 2008; Hall&Lindzey, 2005; Suryabrata, 2005).

4) Persona

Apa yang telah diuraikan di atas adalah keadaan kehidupan alam sadar yang

sebenarnya, tetapi masih ada satu lagi yaitu bagaimana individu dengan sadar

menampakkan diri ke luar karena cara individu dengan sadar menampakkan diri

keluar itu belum tentu sesuai dengan keadaannya dirinya yang sebenarnya, dengan

individualitasnya. Cara individu dengan sadar menampakkan diri keluar (ke dunia
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
62

sekitarnya) disebut ”Persona” (Suryabrata, 2005). Jung (1945) menjelaskan

bahwa persona adalah topeng yang dipakai sang pribadi sebagai respon terhadap

tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat, serta terhadap kebutuhan

arketipal sendiri. Persona adalah kepribadian publik, aspek pribadi yang

ditunjukkan kepada dunia atau pendapat publik yang melekat pada individu,

lawan dari kepribadian privat yang berada di balik wajah sosial (dalam Hall dan

Lindzey, 2005).

b. Ketidaksadaran

1) Isi Tak Sadar

Isi tak sadar terbagi dalam:

a. Isi yang untuk sementara subliminal, yaitu yang dapat dihasilkan kembali

sekehendak hati (memory),

b. Isi yang tidak apa diingat kembali menurut kemauan, munculnya tiba-tiba

(irupsi) dan spontan dari isi subliminal ke dalam kesadaran,

c. Isi yang sama sekali tak bisa menjadi sadar, bersifat hipotetis, yang merupakan

kesimpulan logis dari fakta-fakta yang mendasari kelompok isi yang kedua. Isi

ketidaksadaran ini belum meyerbu ke kesadaran, atau sama sekali tak bisa

menjadi sadar (Jung, 1986).

Ketidaksadaran mempunyai dua lingkaran, yaitu ketidaksaran pribadi

(personal) dan ketidaksadaran kolektif.

a. Ketidaksadaran Personal, meliputi hal-hal yang terdesak atau tertekan

(kompleks terdesak) dan hal-hal yang terlupakan (bahan-bahan ingatan) serta

hal-hal yang teramati, terpikir, dan terasa di bawah ambang kesadaran


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63

(Suryabrata, 2005). Ketidaksadaran personal berisikan sekelompok idea

(perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, persepsi-persepsi, ingatan-ingatan)

mungkin mengorganisir diri menjadi satu, yang disebut kompleks (Alwisol,

2008). Ketidaksadaran Personal memuat isi-isi yang adalah unsur integral dari

kepribadian individual dan karena itu juga bisa sadar (Jung, 1986);

b. Ketidaksadaran kolektif, mengandung isi-isi yang diperoleh selama

pertumbuhan jiwa seluruhnya, pertumbuhan jiwa seluruh jenis manusia

melalui generasi yang terdahulu. Daerah yang paling atas langsung dibawah

ketidaksadaran pribadi berisi emosi-emosi dan afek-afek serta dorongan-

dorongan primitif, apabila isi-isi ini termanifestasi maka orang masih dapat

mengontrolnya. Daerah dibawahnya lagi berisi ”invasi”, yaitu erupsi dari

bagian terdalam daripada ketidaksadaran serta hal-hal yang sama sekali tak

dapat dibuat sadar, manifestasi dari hal ini dialami oleh individu sebagai

sesuatu yang asing (Suryabrata, 2005).

2) Arketip

Ketidaksadaran adalah tidak sadar. Pengetahuan individu akan apa yang

tidak disadarinya diperoleh dari manifestasi daripada isi-isi ketidaksadaran itu,

yaitu dapat berbentuk kompleks dan symptomp, mimpi, dan archetipus. Symtomp

adalah tanda bahaya, yang memberitahu bahwa ada sesuatu dalam kesadaran yang

kurang, dan karenanya perluasan ke alam tak sadar. Kompleks-kompleks adalah

bagian kejiwaan kepribadian yang terpecah dan lepas dari penilikan (kontrol)

kesadaran dan kemudian mempunyai kehidupan sendiri dalam kegelapan alam


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
64

ketidaksadaran, yang selalu dapat menghambat atau memajukan prestasi

kesadaran (Suryabrata, 2005).

Mimpi sering timbul dari kompleks dan memiliki bahasa yang bersifat

perlambangan dan perlu ditafsirkan. Arketip adalah suatu bentuk pikiran (ide)

universal yang mengandung unsur emosi yang besar (Alwisol, 2008; Hall &

Lindzey, 2005). Arketip merupakan pusat serta medan tenaga daripada ketidak

sadaran yang dapat mengubah sikap kehidupan sadar manusia (Suryabrata, 2005).

Arketip dibawa sejak lahir dan tumbuh pada ketidaksadarn kolektif selama

perkembangan manusia (sebagai jenis) jadi tidak tergantung pada manusia

perorangan. Meskipun semua arketip dapat dipandang sebagai sistem-sistem

dinamik otonom yang secara relatif bidang menjadi tidak tergantung pada aspek-

aspek lain kepribadian, namun sejumlah arketip telah berkembang sedemikian

jauh sehingga harus dipandang sebagai sistem-sistem terpisah dalam kepribadian,

yaitu bayang-bayang (shadow), syzygy (anima dan animus), dan self (Alwisol,

2008; Hall dan Lindzey, 2005).

a. Shadow (Bayang-bayang), bayang-bayang atau shadow adalah arketip yang

mencerminkan insting kebinatangan yang diwarisi manusia dari evolusi

mahkluk tingkat rendahnya. Bayang-bayang merupakan ”bagian gelap”

kepribadian, kekurangan yang tak disadari. Bayang-bayang terbentuk dari

fungsi inferior serta sikap jiwa yang inferior, yang karena pertimbangan moral

atau pertimbangan-pertimbangan lain dimasukkan ke dalam ketidaksadaran,

karena tidak serasi dengan kehidupan alam sadarnya. Bayang-bayang bersifat

emosional, semacam otonomi, obsesif (menghantui) dan posesif (menguasai).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65

Pada taraf tertentu bayang-bayang dapat diasimilasikan ke dalam kepribadian

sadar selama masih bersifat personal, namun jika bayang-bayang muncul

sebagai arketip akan menjadi sulit untuk membuatnya sadar. Hal ini terjadi

melalui proyeksi, namun terkadang proyeksi ini tidak dikenali sebagai

proyeksi sehingga penyingkapannya merupakan usaha moral yang besar

(Alwisol, 2008; Hall dan Lindzey, 2005; Jung, 1986; Suryabrta, 2005).

b. Syzygy, terdiri dari anima dan animus. Anima adalah penjelmaan sifat wanita

dalam rupa manusia, sifat wanita yang terdapat dalam alam tak sadar pria.

Animus adalah penjelmaan sifat pria dalam rupa manusia, sifat pria dalam

alam tak sadar wanita (Alwisol, 2008; Hall dan Lindzey, 2005; Jung, 1986;

Suryabrta, 2005). Syzygy ada dalam hubungan yang langsung dengan persona.

Persona menyesuaikan diri ke luar sedang syzygy menyesuaikan diri ke dalam;

jadi persona adalah fungsi perantara antara aku dan dunia dalam. Makin kaku

persona, maka makin rendah diferensiasi anima atau animus dan makin

diproyeksikan kepada orang lain (Suryabrata, 2005). Anima dan animus hanya

disadari dalam relasi lawan jenis, sebab dalam relasi yang demikian proyeksi-

proyeksi ini bekerja selektif (Jung, 1986). Harus ada kompromi antara

tuntutan tak sadar kolektif dengan realitas dunia, agar terjadi penyesuaian

yang sehat (Alwisol, 2008; Hall dan Lindzey, 2005).

c. Self adalah arketip yang memotivasi perjuangan seseorang menuju keutuhan

(Alwisol, 2008). Self adalah titik pusat kepribadian, di sekitar mana semua

sistem lain terkonstelasikan. Self mempersatukan sistem-sistem ini dan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66

memberikan kepribadian dengan kesatuan, keseimbangan, dan kestabilan pada

kepribadian.

2. Perkembangan Psike atau kepribadian

a. Kausalitas, Teleologi, dan Sinkronitas

Jung berpendapat, bahwa kausalitas dan teleologi kedua-duanya penting

dalam psikologi (Suryabrata, 2005). Segi pandangan teleologis menerangkan

masa sekarang dari sudut masa depan. Kepribadian manusia dipahami menurut

kemana akan pergi, bukan dimana telah berada. Sebaliknya, masa sekarang dapat

dijelaskan oleh masa lampau. Ini adalah pandangan kausalitas, yang menyatakan

bahwa peristiwa-peristiwa sekarang adalah akibat atau hasil pengaruh dari

keadaan-keadaan atau sebab-sebab sebelumnya. Orang memeriksa masa lampau

seseorang dengan maksud untuk menerangkan tingkah lakunya sekarang (Hall dan

Lindzey, 2005).

Menurut Jung, peristiwa psikis tidak selalu dapat dijelaskan dengan prinsip

sebab akibat. Dua peristiwa psikis yang terjadi secara bersamaan dan tampak

saling berhubungan, yang satu tidak menjadi penyebab dari yang lain, karena

keduanya tidak dapat ditunjuk mana yang masa lalu dan mana yang masa depan.

Ini dinamakan prinsip sinkronitas. Jung menyimpulkan dari pengalaman-

pengalaman dalam telepati mental, penginderaan batin (clairvoyance), dan

fenomena paranormal lainnya; bahwa ada aturan lain di alam semesta disamping

aturan sebab akibat, aturan itulah prinsip sinkronitas (Alwisol, 2008).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
67

b. Progresi dan Regresi

Di dalam proses perkembangan dapat terjadi gerak maju (progresi) atau

gerak mundur (regresi). Apa yang dimaksud dengan progresi oleh Jung adalah

bahwa aku sadar dapat menyesuaikan diri secara memuaskan baik terhadap

tuntutan-tuntutan dunia luar maupun kebutuhan-kebutuhan ketidaksadaran. Dalam

progresi normal, kekuatan-kekuatan penghalang dipersatukan secara selaras dan

koordinatif oleh proses-proses kejiwaan (Hall dan Lindzey, 2005; Suryabrta,

2005).

Apabila gerak maju ini terganggu oleh rintangan dan karenanya libido

tercegah untuk digunakan secara maju maka libido lalu membuat regresi kembali

ke fase yang telah di lewati atau masuk ke ketidaksadaran. Regresi tidak selalu

berarti negatif, regresi memungkinkan individu untuk mencari penyelesaian dari

dalam ketidaksadaran (Hall dan Lindzey, 2005; Suryabrta, 2005).

c. Sublimasi dan Represi

Sublimasi merupakan pemindahan energi dari proses-proses yang lebih

primitif, instingtif, dan kurang berdiferensiasi ke proses-proses kultural dan

spiritual yang lebih tinggi dan lebih berdiferensiasi. Sublimasi ini terjadi untuk

proses individuasi dan fungsi transedensi. Apabila pelepasan energi terhambat,

entah melalui saluran instingtif atau saluran yang telah disublimasikan maka

dikatakan bahwa energi itu direpresikan (Hall dan Lindzey, 2005).

Jadi dalam pandangan Jung sublimasi dan represi adalah dua hal yang

berlawanan: sublimasi itu progresif, menyebabkan psyche bergerak maju,


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
68

menambah rasionalitas, sedang represi itu adalah regresif, menyebabkan pyche

bergerak mundur, dan menghasilkan irasionalitas. Namun bagi Jung represi itu

tetap mempunyai nilai positif (Suryabrata, 2005).

d. Jalan Kesempurnaan

1) Individuasi

Proses individuasi merupakan proses analitik, memilah-milah, memerinci,

dan mengelaborasi aspek-aspek kepribadian (Alwisol, 2008). Individuasi adalah

kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam spesies-spesies manusia dan

pada setiap orang dengan mana psyche individu dapat mencapai perkembangan

yang lengkap dan utuh. Prosesnya berpangkal dari keseluruhan psyche, suatu

organisme yang bagian-bagian individualnya dikoordinir oleh sistem relasi

komplementer dan saling mengimbangi dan memperkembangkan kematangan

kepribadian (Jung, 1986).

Proses individuasi berjalan melalui empat sifat yaitu (dalam Baihaqi, 2008;

Schultz, 1991):

a. Sifat pertama ialah bahwa orang menyadari segi-segi diri yang telah

diabaikannya. Hal ini tidak dapat terjadi sebelum usia setengah tua. Jung

merumuskan proses individuasi sebagai proses menjadi individu yang unik,

diistilahkanya dengan “satu ada, mewujud, yang homogen” yaitu menjadi diri

sendiri. Untuk bertujuan ke arah individuasi, orang harus melepaskan tingkah

laku-tingkah laku, nilai-nilai, dan pikiran-pikiran yang membimbing setengah

bagian pertama dari kehidupan dan sampai pada ketidaksadarannya;


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
69

b. Sifat kedua ialah pengorbanan tujuan-tujuan material dari masa remaja dewasa

dan sifat-sifat kepribadian yang memungkinkan seseorang mencapai tujuan-

tujuan itu. Dalam individuasi tidak ada satupun fungsi atau sikap yang

dominan. Dengan individuasi secara paradoks, kategori-kategori perbedaan

individual (tipologi kepribadian) ini hilang sebab orang itu tidak dapat

dikategorikan sebagai misalnya seorang yang ekstrovers, introvers, ataupun

yang lain. Di dalam individuasi akan terjadi perubahan-perubahan pada usia

setengah tua, yaitu yang pertama penurunan tahta persona. Kepribadian publik

tetap diteruskan sebab masih ada peranan-peranan sosial tetapi orang harus

menyadari dirinya dan juga menjadi dirinya sendiri. Yang kedua, ialah

menyadari semua kekuatan bayang-bayang yang bersifat destruktif dan

konstruktif. Hal ini berarti orang harus menyadari sisi gelap kepribadiannya

serta menerima impuls-impuls yang bersifat animalistis dan primitif seperti

sifat destruktif dan egois. Hal ini merupakan bagian dari tahap pengetahuan

diri, individu harus menerima dan menyadari sisi buruk kepribadiannya juga.

Yang ketiga ialah menerima biseksualitas psikologis yaitu anima dan animus.

Setiap langkah dalam proses individuasi adalah sulit, tapi mengenal dalam diri

sendiri kualitas-kualitas dan sifat-sifat dari jenis kelamin lain jelas hal yang

paling sulit karena merupakan hal yang sangat luar biasa dan penyimpangan

yang sangat tajam dari gambaran diri sebelumnya. Hal ini juga berfungsi

sebagai pelepasan terakhir dalam pengaruh masa kanak-kanak. Bersamaan

dengan pengetahuan diri muncullah penerimaan diri.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
70

c. Sifat ketiga ialah integrasi diri. Semua segi kepribadian diintegrasikan dan

diharmoniskan sehingga semuanya dapat diungkapkan. Untuk pertama kalinya

hidup, tidak ada segi, sikap, atau fungsi yang dominan

d. Sifat terakhir ialah orang yang mampu menampakkan ungkapan-diri.

Ungkapan diri merupakan sifat terkahir dari orang-orang yang terindividuasi.

2) Fungsi Transendensi

Jung (1961) menjelaskan bahwa apabila keanekaragaman telah dicapai lewat

proses individuasi, maka sistem-sistem yang berdifereniasi itu kemudian

diintegrasikan oleh fungsi transeden (dalam Hall dan Lindzey, 2005). Fungsi

transendensi merupakan proses sintetik, mengintegrasikan materi tak sadar dengan

materi kesadaran, mengintegrasikan aspek-aspek di dalam suatu sistem, dan

mengintegrasikan sistem-sistem secara keseluruhan agar dapat berfungsi dalam

satu kesatuan secara efektif (Alwisol, 2008). Jung (1943) menjelaskan bahwa

fungsi ini memiliki kapasitas untuk mempersatukan semua kecenderungan yang

saling berlawanan dalam beberapa sistem dan bekerja menuju tujuan yang ideal

yakni kebulatan sempurna (diri). Tujuan dari fungsi transenden adalah

pengungkapan pribadi yang esensial dan “realisasi kepribadian dalam semua

aspeknya yang mula-mula tersembunyi dalam cairan sel telur; produksi dan

penyingkapan dari kebulatan yang original dan potensial” (dalam Hall dan

Lindzey, 2005).

3) Realisasi diri

Proses individuasi dan fungsi transendensi merupakan langkah menuju

realisasi diri. Realisasi diri adalah tujuan hidup menurut pandangan Jung atau
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
71

tujuan dari perkembangan kepribadian itu sendiri. Realisasi diri berarti

diferensiasi yang sangat penuh, sangat sempurna serta perpaduan yang harmonis

dari semua aspek seluruh kepribadian manusia. Hal ini berarti bahwa psyche telah

mengembangkan pusat baru, yakni diri menggantikan pusat yang lama, yaitu ego

(Hall dan Lindzey, 2005). Sifat-sifat dalam individuasi akan menunjukkan

individu yang mampu menjadi dirinya sendiri atau mencapai realisasi diri. Boeree

menyebut pribadi ini sebagai pribadi yang tidak egoistik (Boeree, 2000). Ciri

orang seperti ini adalah berupa:

1) Penerimaan dan toleransi terhadap kodrat manusia pada umumnya. Orang-

orang yang terindividuasi memiliki kesadaran dan toleransi yang lebih besar

terhadap kondisi umat manusia, dengan begitu orang-orang ini merasa lebih

empati dengan masalah kemanusiaan, tanpa memandang ras, golongan, dan

agama (Baihaqi, 2008; Schultz, 1991).

2) Orang-orang ini menerima apa yang tidak diketahui dan misterius, menerima

dalam kesadaran dan ketidaksadaran, serta adanya faktor-faktor irasional. Hal

ini juga meliputi gejala-gejala supranatural dan spiritual yang mencakup

kepercayaan terhadap kewaskitaan dan kepercayaan terhadap Allah.

3) Selanjutnya orang yang sudah terindividuasi adalah orang yang memiliki

kepribadian yang universal karena tidak ada satupun segi kepribadian yang

dominan (Baihaqi, 2008; Schulz, 1991). Ketika individuasi tercapai, self

meliputi totalitas psyche manusia seimbang dalam pusatnya, self menyatukan

tanpa kontradiksi dari kutub-kutub jiwa: kesadaran dan ketidaksadaran, terang

dan gelap, tubuh dan jiwa, dan sebagainya (Kuhnis, 2006). Self adalah tujuan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
72

hidup, suatu tujuan yang terus menerus diperjuangkan tetapi jarang tercapai.

Sebelum diri muncul, maka berbagai komponen kepribadian harus terlebih

dahulu berkembang sepenuhnya dan terindividuasikan (Hall dan Lindzey,

2005). ”True self” dapat dengan kemudian berpartisipasi secara individual

dalam kenyataan sebelumnya untuk beberapa perbedaan antara subyek dan

obyek, antara kesadaran dan dunia, bahkan antara berpikir dan bertindak. Self

adalah tujuan atau kesempurnaan dari ego. Hal ini diandaikan seperti biji

yang jatuh ke tanah dan mati, kemudian mengeluarkan lagi bunga yang indah.

Individu yang luar biasa yang mampu menjadi pahlawan karena membunuh

kekuatan binatang dan meletakkan tangan pada harta yang terpendam (Heisig,

1997). Ada enam kesimpulan tentang self dalam teori Jung, yaitu:

1) An original wholeness, self merupakan totalitas psyche;

2) A potential for becoming, self membuat terindividuasi secara total;

3) A agent of the collective unconscious, self merupakan pusat dari proses

individuasi;

4) An achieved wholeness, self merupakan hasil aktual dari kesatuan yang

harmonis dan antara kekuatan-kekuatan psyche;

5) An archetype of the transcendent absolute, image dari Tuhan, Buddha,

Tao, dan sebagainya tak dapat dibedakan dari image self;

6) An archetyoe of the union of the transcendent and the immanent, image

Kristus, Khidr, dan lainnya adalah tidak dapat dibedakan dari image self

(dalam Heisig, 1997).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
73

Integrasi isi-isi ketaksadaran kolektif memiliki pengaruh yang besar

terhadap kepribadian ego. Integrasi isi-isi ketaksadaran merupakan bagian dari

self. Asimilasinya dapat memperbesar ruang kesadaran tapi juga peranan ego.

Sangat penting supaya ego berlabuh dalam dunia kesadaran dan supaya kesadaran

diperkuat dengan adaptasi yang tepat. Untuk ini kebajikan-kebajikan tertentu

seperti perhatian, ketelitian, kesabaran sangatlah penting dari sudut moral,

sebagaimana observasi yang cermat dari symtomatology alam tak sadar dan kritik-

kritik diri yang obyektif sangat berguna dari segi intelektual (Jung, 1986).

Pengalaman-pengalaman religius sejati merupakan bentuk pengalaman paling

dekat dengan diri (selfhood) yang mampu dicapai oleh kebanyakan manusia. Rata-

rata archetipe self tidak akan tampak sebelum orang mencapai usia setengah baya

(Hall dan Lindzey, 2005) .

D. AKTUALISASI DIRI MASLOW

1. Teori Kebutuhan Maslow

a. Deficiensy Needs

Pada awalnya Maslow, mengemukakan kebutuhan manusia meliputi lima

kebutuhan yang bersifat hierarkis, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa

aman, kebutuhan akan memiliki dan cinta, kebutuhan-kebutuhan akan

penghargaan, kebutuhan untuk mencapai aktualisasi diri. Keempat kebutuhan

pertama disebut basic needs atau D needs (Deficiency-needs) (Baihaqi, 2008).

Tabel 2 berikut menjelaskan tentang hirarki kebutuhan Maslow.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
74

Tabel 2

Hirarki Kebutuhan dari Maslow (Alwisol, 2008)

Jenjang Need Deskripsi

Kebutuhan Self Kebutuhan orang unuk menjadi yang seharusnya


berkembang actualization sesuai dengan potensinya. Kebutuhan kreatif,
(meta need) needs realisasi diri, pengembangan self.
(metaneeds) Kebutuhan harkat kemanusiaan untuk mencapai
tujuan, terus maju, menjadi lebih baik.
Kebutuhan Esteem Needs (1) kebutuhan kekuatan, penguasaan, kompetensi,
karena kepercayaan diri, kemandirian.
kekurangan (2) kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain,
(Basic need) status, ketenaran, dominasi, menjadi penting,
kehormatan, dan apresiasi
Love needs/ Kebutuhan kasih sayang, keluarga, sejawat,
belongingness pasangan, anak.
Kebutuhan bagian dari kelompok, masyarakat.
Safety needs Kebutuhan keamanan, stabilitas, proteksi, struktur,
hukum, keteraturan, batas, bebas dari takut dan
cemas.
Dapat berupa:
(1) kebutuhan pekerjaan dan gaji yang mantap,
tabungan dan asuransi (askes dan taspen),
memperoleh jaminan masa depan.
(2) praktek beragama dan keyakinan filsafat tertentu

dapat membantu orang untuk mengorganisir

dunianya menjadi lebih bermakna dan seimbang.

Physiological Kebutuhan homeostatik: makan, minum, gula,


needs garam, serta kebutuhan seks dan istirahat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
75

b. Being Needs

Dalam penelitian Maslow selanjutnya (1971) memperluas konsep basic need

ini untuk memasukkan sebuah kategori kebutuhan yang lebih tinggi yang disebut

”metaneeds” atau ”metamotivation”. Metaneeds atau metamotivation adalah

tentang dorongan untuk orang-orang yang mengaktualisasikan diri. Maslow

menyebut nilai yang paling utama ini mencari aktualisasi diri seseorang sebagai

”being values” atau ”B-values”. Nilai ini disebutkan lagi dan lagi oleh orang yang

teraktualisasi diri atau oleh orang lain untuk mendeskripsikan pengalaman

puncak. B-values ini terdiri dari: wholeness, perfection, completion, justice,

aliveness, richness, simplicity, beauty, goodness, uniqueness, effortlessness,

playfulness, truth, honesty, self sufficiency, and meaningfulness (dalam Dhiman,

2007).

Empat kebutuhan dasar adalah kebutuhan karena kekurangan atau “D-need”

(deficiency need), sedang kebutuhan meta atau kebutuhan aktualisasi diri adalah

kebutuhan karena ingin berkembang, ingin berubah, ingin mengalami

transformasi menjadi lebih bermakna atau B-need (being need) (Alwisol, 2008).

Awalan ”meta’ berarti sesudah atau melampui, dan metamotivation berarti

bergerak melampaui ide tradisioal tentang dorongan. Dorongan ini tidak seperti

sekedar dorongan kebutuhan D-needs yang terjadi karena keadaan kekurangan. D-

needs ialah dorongan untuk membereskan suatu kekurangan dalam organisme.

Sedangkan metamotivation tidak diusahakan untuk memperbaiki kekurangan-

kekurangan atau mereduksi tegangan. Tujuannya ialah memperkaya dan

memperluas pengalaman hidup, meningkatkan kesenangan dan kegembiraan yang


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
76

luar biasa dalam hidup. Cita-citanya ialah meningkatkan tegangan melalui

bermacam-macam pengalaman baru yang menantang (Schultz, 1991). Menurut

Maslow kebutuhan dasar berisi kebutuhan kebutuhan konatif, sedangkan

kebutuhan meta berisi kebutuhan estetik dan kebutuhan kognitif (Alwisol, 2008).

Nilai-nilai dalam B-values ini tidak dapat dipisahkan sepenuhnya satu sama

lain. Nilai-nilai ini saling berhubungan dan untuk merumuskan yang satu perlu

menggunakan lain-lainnya sehingga kebutuhan-kebutuhan untuk tumbuh

seluruhnya memiliki nilai yang sama pentingnya dan tidak hierarkis (Goble,

2000). Alwisol (2008) menjabarkan B-needs sebagai meta kebutuhan untuk

tumbuh dan berkembang yang berisi kebutuhan estetik dan kebutuhan kognitif

dalam tabel 3 di bawah ini. B-needs atau metakebutuhan akan lebih jelas dengan

menyajikan juga dengan metapatologi-metapatologi khusus yang disebabkan oleh

kegagalan metakebutuhan (Schlutz, 1991).

Tabel 3

Kebutuhan Meta: Kebutuhan estetik dan kognitif dan metapatologi

(Alwisol, 2008 ; Goble, 2000; Schlutz, 1991)

Karakter yang
B-need sama atau Metapatologi-metapatologi
berhubungan
Keanggunan (beauty) Keindahan, Kekasaran, kegelisahan, kehilangan
keseimbangan selera, rasa suram.
bentuk, menarik
perhatian.
Bersemangat (aliveness) Hidup, bergerak Mati, menjadi robot, merasa diri
spontan, berfungsi sendiri sama sekali ditentukan,
penuh, berubah kehilangan emosi dan semangat dalam
dalam aturan. kehidupan, kekosongan pengalaman.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
77

Lanjutan tabel 3

Karakter yang
B-Needs sama atau Metapatologi-metapatologi
berhubungan
Keunikan (uniqueness) Keistimewaan, Kehilangan perasaan diri dan
kekhasan, tak ada individualitas, perasaan diri sendiri
yang sama, yang dapat berubah-rubah atau
kebaruan. anonim.
Bermain-main Gembira, riang, Keseragaman, depresi, keadaan tidak
(playfullness) senang, jenaka, paranoid, kehilangan
menggelikan, humor. semangat dalam kehidupan,
kesedihan.
Kesederhanaan Jujur, terbuka, Terlalu kompleks, kekacauan,
(simplicity) menasar, tidak kebingungan, kehilangan orientasi.
berlebihan, tidak
rumit.
Kebaikan (goodness) Positif, bernilai, Kebencian, penolakan, kejijikan,

sesuai dengan yang kepercayaan hanya pada diri dan

diharapkan. untuk diri.

Teratur (order) Rapi, terencana, Ketidakamanan, keidakwaspadaan,

mengikuti aturan, kehilangan rasa aman, dan

seimbang. kemungkinan meramalkan, perlu

berhati-hati.

Kemandirian (self Otonom, Tanggung jawab diberikan pada

sufficiency) menentukan diri orang lain.

sendiri, tidak

tergantung.

Kemudahan Ringan, tanpa usaha, Kelelahan, tegagan, kecanggungan,

(effortlessness) tanpa hambatan kejanggalan, kekakuan.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
78

Lanjutan tabel 3

B-needs Karakter yang sama Metapatologi-metapatologi


atau berhubungan
Kesempurnaan Mutlak, pantas, tidak Keputusasaan, tidak bisa bekerja apa-
(perfection) lebih, tidak kurang, apa.
optimal
Kelengkapan Selesai, tamat, Ketidaklengkapan, keputusasaan,
(completion) sampai akhir, puas berhenti berjuang dan
terpenuhi, tanpa sisa. menanggulangi.
Berisi (richness) Kompleks, rumit, Depresi, kegelisahan, kehilangan
penuh, berat, perhatian pada dunia.
Hukum (justice) Tidak berat sebelah, Kemarahan, sinisme,
menurut hukum yang ketidakpercayaan, pelanggaran hkum,
seharusnya. sama sekali mementingkan diri
sendiri.
Penyatuan Menerima perbedaan, Pikiran hitam/putih, pikiran salah
(dicotomy/transcendence) perubahan, satu dari dua, pandangan sederhana
penggabungan. tentang kehidupan.
Keharusan (necessity) Tak dapat ditolak, Kaca balu, tidak dapat diramalkan.
syarat sesuatu harus
seperti itu.
Kebulatan (wholeness) Kesatuan, integrasi, disintegrasi
kecenderungan
menyatu, saling
berhubungan.
Kebenaran (truth) Kenyataan, apa Ketidakpercayaan, sinisme,
adanya, faktual, tidak skeptisisme
berbohong.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
79

2. Aktualisasi Diri

a. Pengertian Aktualisasi Diri

Definisi pribadi yang teraktualisasikan memang masih kabur, namun secara

bebas Maslow melukiskanya sebagai ”penggunaan, dan pemanfaatan secara penuh

bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan sebagainya. Orang semacam ini

memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik yang dapat dilakukannya (Goble,

2000; Baihaqi, 2008).

Mula-mula Maslow menyebut orang-orang luar biasa yang diseledikinya itu

orang-orang yang ”teraktualisasikan dirinya”. Aktualisasi diri hanya terdapat pada

orang-orang berusia lanjut, cenderung dipandang sebagai suatu keadaan puncak

atau keadaan akhir, suatu tujuan jangka panjang, bukan sebagai suatu proses

dinamis yang terus menerus aktif sepanjang hidup, lebih sebagai ada daripada

menjadi (Goble, 2000).

Karena orang-orang yang teraktualisasikan dirinya demikian ini biasanya

berumur enam puluh tahun atau lebih, maka kebanyakan orang tidak termasuk

dalam kategori ini, orang-orang tersebut belum statis, belum sampai, sedang

beranjak ke arah kematangan. Proses aktualisasi adalah perkembangan atau

penemuan jati diri dan mekarnya potensi yang ada atau yang terpendam (Goble,

2000).

Posisi dasar teori Maslow adalah seseorang menjadi lebih “ter-aktualisasi

diri dan ter-transendensi diri”, orang dapat menjadi lebih bijaksana dan otomatis

tahu apa yang akan dilakukan dalam suatu situasi yang sangat bervariasi. Daniels

(2001) menyarankan bahwa kesimpulan terakhir Maslow bahwa level tertinggi


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
80

dari aktualisasi diri adalah transenden, pada dasarnya mungkin adalah kontribusi

terpenting Maslow pada studinya tentang perilaku dan motivasi manusia (dalam

Huiit W, 2004)

Transendensi diri adalah untuk menghubungkan sesuatu melebihi ego atau

untuk membantu orang lain menemukan pemenuhan diri dan merealisasikan

segala potensinya (Huiit W, 2004). Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan

Dhiman dalam tulisannya, “ Maslow went beyond even self actualization. He

considered self-transcendent to be our deepest need and highest aspiration”

(Dhiman, 2007).

b. Dua Macam Pengaktualisasi Diri

Alwisol menjelaskan bahwa aktualisasi diri yang dapat dipandang sebagai

kebutuhan tertinggi dari hirarki kebutuhan, tapi juga dapat dipandang sebagai

tujuan final, tujuan ideal dari kehidupan manusia dapat dicapai melalui

pengembangan diri dan pengalaman puncak (peak experience). Maslow

mengemukakan dua jalur untuk mencapai aktualisasi diri yaitu, jalur belajar yang

diartikan dengan mengembangkan diri secara optimal pada semua tingkat

kebutuhan hirarkis dan jalur pengalaman puncak (peak experience) (Alwisol,

2008).

Berkaitan dengan ini Maslow menambahkan bahwa terdapat dua macam

pengaktualisasi diri yaitu yang pertama adalah orang mengalami pengalaman

puncak lebih kurang atau lebih ringan dan yang kedua adalah orang yang

mengalami pengalaman puncak lebih banyak. Yang pertama disebut non-peakers

dan yang kedua disebut peakers.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
81

1) Peakers

Peakers lebih hidup dalam dunia-B, dimetamotivasikan dengan lebih jelas

dan memiliki pengalaman-pengalaman puncak yang memberikan wawasan-

wawasan yang jelas tentang diri mereka dan dunia mereka (dalam Schlutz, 1991).

2) Non Peakers

Non-peakers cenderung menjadi orang-orang yang praktis, berinteraksi

dengan dunia nyata secara efekif, dan kurang dengan dunia kehidupan B (B-

living) yang lebih tinggi (dalam Schlutz, 1991).

c. Karakteristik Aktualisasi Diri

Maslow mendeskripsikan arti aktualiasi diri dalam bentuk perilaku nyata,

yaitu (dalam Dhiman, 2007):

1) Going at thing ‘whole hog”, aktualisasi diri berarti penuh pengalaman, hidup

penuh semangat, tidak mementingkan diri sendiri dengan penuh konsentrasi

dan totalitas;

2) Making growth choices. Untuk membuat sebuah pilihan hidup daripada

pilihan ketakutan. Selusin waktu dalam sehari adalah untuk bergerak maju

menuju aktualisasi diri;

3) Letting the self emerge, dengan mendengarkan gerak suara hati. Orang yang

teraktualisasikan membiarkan “self emerge”;

4) Taking responsibility. Orang-orang yang teraktualisasi diri tiap waktunya

selalu bertindak dengan jujur dan bertanggung jawab;

5) Listening to one’s own self, menjadi lebih berani dan memiliki keteguhan hati

dalam menikmati hidup;


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
82

6) Working ti become first-rate, selalu ingin menjadi sebaik semampunya;

7) Creating condition for peak experiences. Dengan membuat pilihan untuk

berkembang, dengan menjadi jujur dan bertanggung jawab, dengan

mendengarkan suara hati, dan dengan selflessly dalam bekerja adalah suatu

alasan kejayaan diri mereka. Orang-orang yang teraktualisasi menciptakan

kondisi sehingga menjadi mengalami pengalaman yang lebih tampak benar-

benar terjadi.

8) Having courage to drop ane’s defenses. Artinya, dapat mengidentifikasi

pertahanan dan menemukan alasan untuk berkembang.

Berikut ini karakteristik sifat pada orang-orang yang teraktualisasi (Boeree

dalam www.ship.edu.com; Baihaqi, 2008; Goble, 2000) yaitu:

1) Orang-orang yang reality-centered, dimana dapat mendeferensiasikan apa itu

tipuan dan ketidakjujuran dari apa itu kenyataan dan kesungguhan. Orang-

orang ini tidak memandang dunia hanya sebagaimana yang diinginkan atau

dibutuhkan, namun melihatnya sebagaimana adanya.

2) Orang-orang ini adalah problem-centered, artinya memperlakukan kesulitan

hidup sebagai suatu masalah yang perlu solusi, bukan suatu kekacauan

personal yang bisa membuat menyerah begitu saja. Dan orang-orang ini

memiliki pandangan yang berbeda tentang makna dan tujuan. Orang-orang ini

merasa bahwa tujuan akhir bukanlah suatu keperluan untuk membenarkan

makna, bahwa makna dapat menjadi tujuan akhir dari semuanya, dan bahwa

makna adalah sebuah perjalanan yang lebih penting daripada tujuan akhir.

Orang-orang seperti ini memiliki dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaan dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
83

profesinya. Orang-orang ini menganggap pekerjaan bukanlah sebagai tugas,

namun sebagai suatu permainan dan senang melakukannya. Bagi orang-orang

seperti ini ide-ide seperti liburan, lelucon, hiburan, istirahat, atau kegemaran

terlebur dalam tugas, panggilan, dan pekerjaan.

3) Orang-orang yang menikmati kesepian, dan nyaman dengan kesendirian.

Orang-orang ini menikmati relasi personal yang lebih dalam dengan sedikit

teman dekat dan anggota keluarga, daripada suatu hubungan yang dangkal

dengan banyak orang. Orang-orang ini memiliki kemampuan untuk

membentuk pikiran, mencapai keputusan, dan melaksanakan dorongan dan

disiplinnya sendiri.

4) Orang-orang ini menikmati otonomi, suatu kemerdekaan yang relatif dari

sekedar kebutuhan fisik dan sosial. Orang-orang ini menentang enkulturasi,

tidak mudah terkena jebakan tuntutan sosial untuk menjadi ”sesuai aturan”

atau ”layak”, dalam kenyataannya orang-orang ini nonconformists in the best

sense. Hal ini terjadi karena orang-orang ini tidak lagi didorong oleh motif-

motif kekurangan dan tidak tergantung pada dunia nyata untuk mendapatkan

kepuasan sebab pemuasan dari motif-motif pertumbuhan datang dari dalam.

Orang-orang ini mampu mempertahankan suatu ketenangan dasar di tengah-

tengah apa yang dilihat orang-orang yang kurang sehat sebagai malapetaka.

5) Orang-orang yang memiliki unhostile sense of humor, memiliki kualitas yang

disebut acceptance of self and others. Artinya, orang-orang ini lebih suka

membawa “dirimu” sebagai “dirimu” daripada merubah “dirimu” menjadi apa

yang seharusnya. Orang-orang ini juga memiliki motivasi yang kuat untuk
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
84

merubah kualitas negatif dalam diri mereka sendiri jika dapat dirubah. Ini

semua datang secara spontan dan simpel. Orang-orang ini lebih suka menjadi

diri mereka sendiri daripada harus pura-pura terlihat “wah”.

6) Orang-orang ini memiliki rasa kerendahan hati dan rasa hormat terhadap

orang lain. Artinya, orang-orang ini terbuka terhadap etnik dan keunikan

individual, bahkan menghargainya. Orang-orang ini memiliki ketertarikan

sosial, perasaan kasihan, dan kemanusiaan. Hal ini diiringi oleh etika yang

kuat, yang mana adalah spiritual dan kadang-kadang religiusitas dalam

pengertian yang alami.

7) Orang-orang ini memiliki apresiasi yang segar, kemampuan untuk melihat

sesuatu, bahkan sesuatu yang luar biasa. Orang-orang ini tidak mudah menjadi

puas atau bosan oleh pengalaman hidup. Orang-orang ini senantiasa

menghargai pengalaman-pengalaman tertentu bagaimanapun seringnya

pengalaman itu terulang, dengan suatu perasaan kenikmatan yang segar,

perasaan terpesona, dan kagum. Kemampuannya menjadi kreatif,

berdayacipta, dan original. Orang-orang ini adalah asli, inventif, dan inovatif,

meskipun tidak selalu dalam pengertian dalam menghasilkan karya seni.

Maslow menyamakan kreativitas ini dengan daya cipta dan daya khayal naif

yang dimiliki anak-anak, suatu cara yang tidak berprasangka dan langsung

melihat kepada hal-hal. Kreativitas lebih merupakan suatu sikap, suatu

ungkapan kesehatan psikologis, dan lebih mengenai cara bagaimana

mengamati dan bereaksi terhadap dunia dan bukan mengenai hasil-hasil yang

sudah selesai dari suatu karya seni.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
85

8) Orang-orang ini lebih cenderung memiliki pengalaman puncak (peak

experience) daripada orang-orang pada umumnya.

3. Peak experience

a. Pengertian Peak Experience

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa orang yang mencapai

aktualisasi diri ternyata mengalami pengalaman puncak. Pengalaman puncak

adalah suatu pengalaman mistik mengenai perasaan dan sensasi yang mendalam,

psikologik, dan fisiologik. Suatu keadaan dimana seseorang mengalami ekstasi-

keajaiban-terpesona-kebahagiaan yang luar biasa, seperti pengalaman keilahian

yang mendalam, dimana saat itu diri seperti hilang atau mengalami transendensi

(Alwisol, 2008).

b. Karakteristik Peak Experience

Maslow menerima gambaran pengalaman puncak yang disusun oleh

William James sebagai berikut:

1) Tak terlukiskan (ineffability): subyek sesudah mengalami pengalaman puncak

segera mengatakan bahwa itu adalah ekspresi keajaiban, yang tidak dapat

digambarkan dengan kata-kata, yang tidak dapat dijelaskan kepada orang lain;

2) Kualitas kebenaran intelektual (noetic quality): pengalaman puncak adalah

pengalaman menemukan kebenaran dari hakikat intelektual;

3) Waktunya pendek (transiency): keadaan mistis tidak bertahan lama.

Umumnya hanya berlangsung 30 menit atau paling lama satu atau dua jam;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
86

4) Pasif (passivity): orang yang mengalami pengalaman mistik merasa kemuan

dirinya tergusur (abeyance), dan terkadang merasa terperangkap dan dikuasai

oleh kekuatan yang sangat besar (dalam Alwisol, 2008).

c. Pengaruh Peak Experience dalam Jangka Lama

Pengaruh pengalaman puncak berjangka lama, antara lain:

1) Hilangnya symptom neurotic,

2) Kecenderungan melihat diri sendiri lebih sehat,

3) Perubahan pandangan mengenai orang lain dan hubungan dirinya dengan

orang lain,

4) Perubahan pandangan diri mengenai dunia,

5) Munculnya kreativitas, spontanitas, dan kemampuan mengekspresikan diri.

6) Kecenderungan mengingat pengalaman puncak itu dan berusaha

mengulanginya,

7) Kecenderungan melihat kehidupan secara umum sebagai hal yang lebih

berharga (dalam Alwisol, 2008).

Maslow menyimpulkan bahwa selama mengalami pengalaman puncak orang

memperoleh persepsi yang lebih baik tentang realitas itu sendiri (Goble, 2000).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
87

E. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

Kejawen

Mistik Kebatinan

PANGESTU

Ajaran Ritual PANEMBAH

Konsep Konsep
Konsep mistik
Manusia Ketuhanan 1. Panembah
Raga kepada
Roh Suci
2. Panembah
Manuggaling Candra Jiwa Tripurusa Roh Suci
Kawula_Gusti Sunarto kepada
Suksma Sejati
3. Panembah
Suksma Sejati
kepada
Suksma
Kewekas
JUNG Struktur Perkembangan Psyche:
Psyche REALISASI DIRI

B-Needs
PENGALAMAN
MASLOW Aktualisasi Diri
MISTIK

Gambar 2. Kerangka Konseptual Penelitian

Kerangka konseptual penelitian ini disusun berdasarkan landasan teori yang

telah dikemukakan diatas. Gambar 2 menunjukkan bahwa sasaran penelitian ini

adalah pengalaman mistik para pengikut Pangestu yang melakukan ritual

Panembah tiga tingkatan. Konsep tentang ritual mistik tentunya juga disertai

dengan pemahaman konsep ajarannya. Di dalam setiap ajaran kebatinan termasuk

Pangestu selalu terangkum konsep tentang ketuhanan, kemanusiaan dan mistik.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
88

BAB III

METODE PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis

atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (dalam Moleong,

2007).

Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus.

Menurut Smith (dalam merriam,1998) rancangan studi kasus dibedakan dari

rancangan penelitian kualitatif yang lain karena mendeskripsikan dan menganalisa

secara lebih intensif terhadap satu unit tunggal atau satu sistem terbatas (bounded

system) seperti seorang individu, suatu program, suatu peristiwa,suatu intervensi,

atau suatu komunitas (dalam Alsa, 2007). Sebagaimana halnya penelitian ini yang

berusaha menganalisa lebih mendalam suatu sistem terbatas pengalaman mistik

komunitas penganut aliran kebatinan Pangestu, oleh karena itu rancangan

penelitian yang digunakan adalah studi kasus.

B. FOKUS PENELITIAN

Penelitian ini difokuskan pada pengalaman mistik penganut Paguyuban

Ngesti Tunggal dalam melakukan ritual mistik panembah untuk mendapatkan

gambaran yang jelas mengenai proses realisasi diri menurut teori Jung dan proses
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
89

aktualisasi diri menurut teori Maslow. Fokus penelitian ini telah dirumuskan

dalam pertanyaan penelitian berikut ini:

1) Bagaimana pengalaman mistik para penganut Pangestu?

2) Bagaimana proses mencapai realisasi diri penganut Pangestu menurut teori

Jung?

3) Bagaimana proses mencapai aktualisasi diri penganut Pangestu menurut teori

Maslow?

C. RESPONDEN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan tiga responden sesuai dengan tiga tingkatan

panembah, yaitu panembah raga kepada Roh Suci, panembah Roh Suci kepada

Suksma Sejati, dan panembah Suksma Sejati kepada Suksma Kawekas. Kriteria

umur dari responden disesuaikan dengan ciri yang diberikan oleh Maslow dan

Jung yaitu bahwa realisasi diri dan aktualisasi diri tidak dapat terjadi sebelum usia

setengah tua (dalam Goble, 2000).

Responden yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat disimpulkan

dalam kriteria sebagai berikut:

1) Siswa Pangestu

2) Melaksanakan panembah dan telah sampai minimal pada ritual panembah

tingkatan pertama atau sembah raga,

3) Komunikatif,

4) Berdomisili di wilayah karisidenan Surakarta. Karisidenan Surakarta dipilih

sebagai lokasi penelitian karena pangestu lahir dan berkembang pesat di


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
90

Surakarta selain karena Surakarta adalah salah satu pusat mistik dan budaya

Jawa.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara. Wawancara

adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan

tertentu (Poerwandari, 2005). Jenis wawancara yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah sesuai dengan pembagian jenis wawancara menurut Patton

(dalam Poerwandari, 2005; Moleong, 2007), yaitu wawancara dengan pedoman

umum. Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan

garis besar pokok-pokok yang dirumuskan yang tidak perlu ditanyakan secara

berurutan (Moleong, 2007).

Pada proses wawancara dengan pedoman umum, peneliti dilengkapi

rancangan wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus

diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk

pertanyaan eksplisit. Rancangan wawancara digunakan untuk mengingatkan

peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas. Wawancara dengan pedoman

umum ini diarahkan pada bentuk wawancara mendalam, dimana peneliti

mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara utuh dan

mendalam (Poerwandari, 2005). Jenis wawancara ini tidak terdapat pertanyaan

baku yang sudah disiapkan terlebih dahulu, pelaksanaan wawancara disesuaikan

dengan konteks wawancara yang sebenarnya (Moleong, 2007).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
91

E. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA

Prosedur pengambilan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data Penelitian

Data penelitian dalam penelitian ini adalah pengalaman mistik yang

mengandung aspek realisasi diri dan aktualisasi diri. Data pengalaman mistik yang

mengandung aspek realisasi diri dan aktualisasi diri tersebut tersimpan dalam

sumber data.

2. Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu sumber data primer

dan sumber data sekunder. Sumber data primer penelitian ini adalah langsung dari

responden atau subyek penelitian dan akan berupa kata-kata yang diperoleh

melalui wawancara. Sedangkan sumber data sekunder adalah berupa deskripsi

tertulis yang diperoleh dari buku-buku tentang Pangestu, yaitu hasil penelitian

Hadiwiyono, Soehadha, dan De Jong serta kitab-kitab Pangestu, yaitu Sasangka

Djati dan Candra Jiwa Soenarto.

3. Operasionalisasi Data Penelitian

Operasionalisasi data penelitian ini merumuskan tentang definisi-definisi

operasional data penelitian. Hal ini akan dapat digunakan untuk membuat

pedoman pertanyaan penelitian.

a. Pengalaman menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti barang apa yang

dirasakan. Pengalaman mistik berarti mengalami mistik, yaitu tentang adanya

kontak antara manusia, alam semesta, dan Tuhan atau persatuan mesra antara

ruh manusia, atau persatuan langsung manusia dengan dzat ketuhanan dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
92

perjuangan bergairah kepada perstuan itu. Pengalaman mistik merupakan

transformasi kesadaran, dari kesadaran mental-spiritual yang bersifat empiris

menjadi kesadaran trans-personal yang bersifat tunggal ilahiah (Hilmy, 2006).

Untuk mengungkap variabel pengalaman mistik digunakan metode wawancara

dengan rencana umum dan dari ajaran Pangestu melalui kitab Pangestu dan

buku-buku tentang Pangestu.

b. Realisasi diri adalah tujuan hidup menurut pandangan Jung atau tujuan dari

perkembangan kepribadian itu sendiri. Hal ini berarti bahwa psyche telah

mengembangkan pusat baru, yakni diri menggantikan pusat yang lama, yaitu

ego. Realisasi diri dicapai melalui proses individuasi dan fungsi transendensi.

Proses individuasi dan fungsi transendensi akan dilihat dari sifat-sifat orang-

orang yang terrealisasi yang diberikan oleh Baihaqi (2008) dan Schultz (1991)

dan seorang yang mencapai realisasi diri tampak dari ciri-ciri yang

disampaikan oleh Schlutz (1991). Untuk mengungkap variabel realisasi diri

digunakan metode wawancara dengan rencana umum dan dari ajaran Pangestu

melalui kitab Pangestu dan buku-buku tentang Pangestu.

c. Aktualisasi diri adalah penggunaan, dan pemanfaatan secara penuh bakat,

kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan sebagainya. Orang semacam ini

memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik yang dapat dilakukannya.

Aktualisasi diri dalam penelitian ini adalah aktualsasi diri yang dicapai

melalui pengalaman puncak (peak experience) yang dalam hal ini adalah

pengalaman mistik (peakers). Perubahan yang terjadi dalam diri peakers

karena pengalaman mistik tampak pada pengaruh pengalaman puncak


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
93

menurut Alwisol (2008). Untuk mengungkap variabel aktualisasi diri

digunakan metode wawancara dengan rencana umum dan dari ajaran Pangestu

melalui kitab Pangestu dan buku-buku tentang Pangestu.

4. Langkah-langkah Pengumpulan Data Penelitian

Adapun langkah-langkah mencari data terbaik dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut. (1) mengkaji sumber data sekunder, yaitu dari buku-buku hasil

penelitian Pangestu diantaranya buku Konsepsi Manusia dalam Kebatinan Jawa

karangan Hadiwiyono, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa karangan De Jong,

dan Orang Jawa Memaknai Agama karangan M. Soehadha serta kitab Pangestu

yaitu Sasangka Djati dan Candra Jiwa Soenarto. (2) melakukan wawancara

langsung terhadap informan atau responden penelitian untuk mendapatkan sumber

data primer. (3) memadukan dan mengkonsultasikan sumber data primer dan

sumber data sekunder kepada informan atau responden penelitian. (4) data terbaik

yang didapat akan dijadikan data penelitian.

Prosedur pengumpulan data ini secara konkret dapat dilihat pada gambar 3

dibawah ini:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
94

Pengumpulan Data

Sumber Data Sumber Data


Primer Sekunder

Berupa Kata-kata Berupa deskripsi


tertulis

Diperoleh dari Diperoleh dari buku Konsepsi


Hasil Wawancara Manusia dalam Kebatinan
Jawa karangan Hadiwiyono,
Salah Satu Sikap Hidup Orang
Jawa karangan De Jong, dan
Orang Jawa Memaknai
Agama karangan M. Soehadha
serta kitab Pangestu yaitu
Sasangka Djati dan Candra
Jiwa Soenarto

Dipadukan dan
Dikonsultasikan dengan
Informan atau Responden
Penelitian

Data Terbaik

Gambar 3. Prosedur Pengumpulan Data

F. TEKNIK PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA

Pelaksanaan teknik pemeriksaan data dilakukan atas empat kriteria, yaitu

derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan

(dependability), dan kepastian (confirmability) (Moleong, 2007).

Kredibilitas penelitian berfungsi untuk melaksanakan inkuiri sedemikian

rupa sehingga tingkat kepercayaannya dapat dicapai dan mempertunjukkan derajat

kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada

kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kredibilitas dalam penelitian ini dapat

dilakukan dengan teknik triangulasi (Moleong, 2007).

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain (Moleong, 2007). Penelitian ini akan menggunakan kredibilitas

penelitian dengan teknik triangulasi sumber atau data. Triangulasi sumber

mengarahkan peneliti agar didalam mengumpulkan data juga menggunakan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
95

beragam sumber data yang berbeda-beda yang tersedia. Artinya, data yang sama

atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bilamana dipadukan dengan data

sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda, baik kelompok sumber

sejenis atau berbeda jenis (Sutopo, 2006). Triangulasi sumber dalam penelitian

adalah untuk memperoleh suatu data, peneliti akan menggunakan tiga sumber

data, yaitu informan, kitab dan buku Pangestu, serta aktivitas atau perilaku.

Sumber pertama diperoleh langsung dari responden dan sumber kedua dari buku

dan kitab Pangestu. Data dari sumber yang pertama diperoleh dari hasil

wawancara dengan responden dan hasil observasi aktivitas responden selama

penelitian. Triangulasi sumber dalam penelitian ini tampak jelas dalam gambar 4

berikut:

Responden Wawancara

Buku dan Kitab Kesimpulan hasil


Pangestu penelitian dan Data
konsep ajaran

Gambar 4. Triangulasi Sumber Penelitian

Kriteria keteralihan berbeda dengan validitas eksternal dari nonkualitatif.

Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks

pengirim dan penerima (Moelong, 2007). Mengutip Stangl (1980), Sarantakos

(1993) menyampaikan bahwa dalam penelitian kualitatif validitas dicoba dicapai

tidak melalui manipulasi variabel, melainkan melalui orientasinya, dan upayanya

mendalami dunia empiris, dengan menggunakan metode paling cocok untuk

pengambilan dan analisis data. Konsep yang dipakai antara lain validitas

kumulatif, validitas komunikatif, validitas argumentatif, dan validitas ekologis.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
96

Validitas kumulatif dicapai bila temuan dari studi-studi lain mengenai topik yang

sama menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa. Validasi komunikatif

dilakukan melalui dikonfirmasikannya kembali data dan analisisnya kepada

responden penelitian. Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan

kesimpulan dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah. Validitas

ekologis menunjuk pada sejuah mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dan

apa adanya (dalam Poerwandari, 2005).

Reliabilitas dalam penelitian kualitatif dikenal dengan dependenbility.

Melalui konstruk dependenbility peneliti memperhitungkan perubahan-perubahan

yang mungkin terjadi menyangkut fenomena yang diteliti, juga perubahan dalam

desain sebagai hasil dari pemahaman yang lebih mendalam tentang setting yang

diteliti. Peneliti menyadari kompleksitas konteks yang dihadapinya dengan

menggunakan desain dan strategi penelitian yang luwes. Peneliti berusaha

mengkonsentrasikan diri pada pencatatan rinci tentang fenomena yang diteliti,

termasuk interrelasi aspek-aspek yang berkait (Poerwandari, 2005).

Konfirmabilitas (confirmability) diusulkan untuk mengganti konsep

tradisional tentang objektivitas. Objektivitas dapat diartikan sebagai sesuatu yang

muncul dari hubungan subjek-subjek yang berinteraksi. Karenanya, objektivitas

dilihat sebagai konsep inter-subjektivitas, terutama dalam kerangka ‘pemindahan’

dari data yang subjektif ke arah generalisasi (data objektif). Untuk peneliti

kualitatif lain, yang lebih penting adalah obyektivitas dalam pengertian

transparansi, yakni kesediaan peneliti mengungkapkan secara terbuka proses dan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
97

elemen-elemen penelitianya, sehingga memungkinkan pihak lain melakukan

penilain (Poerwandari, 2005)

G. PROSEDUR ANALISIS DATA

Analisis artinya kajian untuk menguraikan dan menemukan keterkaitan logis

antar hal dan susunan keterkaitan tersebut. Keterkaitan logis antar hal dan susunan

keterkaitan dapat disebut memetakan. Singkatnya, menganalisis berarti mengkaji

dengan menguraikan dan memetakan (Suwignyo, 2002). Model yang digunakan

untuk melakukan itu semua dalam penelitian ini adalah metode analisis data

menurut Miles dan Huberman yaitu model analisis interaktif (interactive model of

analysis) (Moleong, 2007; Sutopo, 2006).

Analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu:

reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles &

Huberman, 1992). Prosedur analisis data dalam penelitian ini akan berlangsung

sesuai dengan alur kegiatan analisis yang disarankan dalam model analisis

interaktif Miles dan Huberman.

1. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data ”kasar” yang muncul dari

catatan-catatan tertulis di lapangan (Miles dan Huberman, 1992). Reduksi data

dalam penelitian ini merupakan komponen pertama dalam analisis yang

merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi dari semua

jenis informasi yang tertulis lengkap dalam catatan lapangan (fieldnote). Proses ini
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
98

berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian (Sutopo, 2006). Data dapat

disederhanakan dan ditrasformasikan dalam koding yaitu melalui seleksi yang

ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat, menggolongkan dalam suatu pola

yang lebih luas, dan sebagainya (Miles & Huberman, 1992).

2. Penyajian Data

Penyajian dibatasi sebagai sekumpulan informasi yang tersusun yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan

(Miles & Huberman, 1992). Data dalam penelitian ini akan disajikan dalam

bentuk teks naratif, meskipun tidak menutup kemungkinan juga akan disajikan

dalam bentuk matriks, grafik, jarigan dan bagan (Miles & Huberman, 1992;

Sutopo, 2006). Semuanya dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya

mudah dilihat dan dapat lebih dimengerti dalam bentuknya yang lebih kompak

(Sutopo, 2006).

3. Verifikasi atau Penarikan Kesimpulan

Sejak permulaan pengumpulan data, penulis mulai mencari arti benda-

benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang

mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan-kesimpulan yang didapat

dibiarkan longgar, terbuka, dan skeptis. Mula-mula kesimpulan yang disediakan

belum jelas kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh.

Kesimpulan akhir tidak mungkin muncul sampai pengumpulan data berakhir.

Selama proses analisis berlangsung, kesimpulan-kesimpulan ini juga diverifikasi

(Miles & Huberman, 1992; Sutopo, 2006).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
99

Verifikasi merupakan aktifitas pengulangan untuk tujuan pemantapan,

penelusuran data kembali dengan cepat, mungkin sebagai akibat dari pemikiran

kedua yang timbul melintas pada penulis pada waktu menulis sajian data dengan

melihat kembali sebentar pada catatan lapangan (Sutopo, 2006). Singkatnya,

verifikasi merupakan pengujian kebenaran data penelitian, kekokohannya, dan

kecocokannya, atau dengan kata lain validitasnya (Miles & Huberman, 1992).

Ketiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data itu sendiri

merupakan proses siklus dan interaktif. Proses analisis data bergerak di antara

empat ”sumbu” kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak

bolak-balik di antara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan atau

verifikasi data selama sisa waktu penelitiannya (Miles & Huberman, 1992).

Prosesnya adalah sebagai berikut: pengumpulan data dilakukan yaitu dengan

menggali data dari sumber data primer dan sumber data sekunder sehingga

diperoleh data pengalaman mistik dari dua sumber. Data pengalaman mistik yang

berupa catatan lapangan yang terdiri dari bagian deskripsi dan refleksinya disusun

rumusan pengertiannya secara singkat, berupa pokok-pokok temuan yang penting

dalam reduksi data. Kemudian dilakukan penyusunan sajian data yang berupa

cerita sistematis dan logis dengan suntingan penulis supaya makna peristiwa

menjadi lebih jelas dipahami, dengan dilengkapi perabot sajian yang diperlukan

(matriks, gambar, atau bagan) yang mendukung kekuatan sajian data. Dari sajian

data akan dilakukan penarikan kesimpulan (sementara) dan dilanjutkan

verifikasinya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
100

Data penelitian mistik dari dua sumber data akan direduksi dan disajikan

dalam dua bentuk kiteria, teks naratif, matriks, jaringan, dan bagan. Data ini akan

diteliti manakah yang mengandung aspek realisasi diri dan aspek aktualisasi diri

dan kemudian baru akan diperoleh kesimpulan sementara lalu diverifikasi. Proses

analisis data model interaktif menurut Miles dan Huberman bila diaplikasikan

pada proses analisis data pengalaman mistik Pangestu dalam penelitian akan

menjadi gambar 5 di bawah ini.

PENGUMPULAN DATA
1. Data pengalaman mistik hasil
wawancara dan observasi (sumber
data primer)
2. Data pengalaman mistik dalam
ajaran kitab Pangestu dan menurut
buku tentang Pangestu (sumber data
sekunder).
SAJIAN DATA
1. Teks naratif
2. matriks, jaringan, dan
bagan.

REDUKSI DATA
1. Data dari sumber data primer
didapatkan dan dibandingkan
dengan sumber data sekunder
VERIFIKASI DATA
2. Kesimpulan perbandingan data
1. Aspek realisasi diri
didiskusikan dengan responden atau
2. Aspek aktualisasi diri
informan
3. Data pengalaman mistik dengan
aspek realisasi diri dan aktualisasi
diri dideskripsikan

Gambar 5. Proses Analisis Data Pengalaman Mistik Pangestu berdasarkan Model

Interkatif Miles dan Huberman


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
101

BAB IV

PERSIAPAN, PELAKSANAAN, HASIL PENELITIAN, DAN

PEMBAHASAN

A. PERSIAPAN PENELITIAN

Sebelum penelitian berlangsung peneliti melakukan beberapa tahap guna

mempersiapkan penelitian ini. Tahap-tahap yang dilakukan adalah sebagai

berikut:

1. Tahap Penyusunan Panduan Wawancara dan Pengembangan Metode

Wawancara

Berdasarkan apa yang telah dihasilkan dari tahap eksplorasi metode

wawancara maka telah dikembangkan pertanyaan-pertanyaan dalam panduan

wawancara (panduan pertanyaan dapat dilihat lebih lanjut pada lampiran 1).

Pertanyaan-pertanyaan dalam panduan pertanyaan disusun dengan susunan dari

pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat konseptual (lebih abstrak) menurun

hingga pertanyaan pada sesuatu yang lebih nyata atau konkret. Susunan ini

digunakan selain untuk mengetahui seberapa jauh pertanyaan menangkap hal- hal

yang abstrak, hal ini juga digunakan untuk mengurangi terjadinya pengaruh dari

pertanyaan yang direktif yang biasanya hanya akan dijawab “ya” atau “tidak”.

Selain itu juga dikembangkan teknik wawancara yang disesuaikan dengan

kebiasaan responden.

a. Pertanyaan dalam wawancara biasanya diajukan dengan bahasa Jawa.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
102

b. Kalau pertanyaan terbuka belum mampu menggali apa yang dipikirkan dan

dirasakan oleh responden, responden dapat dituntun dengan menggunakan

pertanyaan-pertanyaan yang bersifat direktif.

c. Formulasi pertanyaan dengan menggunakan kata “apa”, “seperti apa” biasanya

lebih mudah dibandingkan pertanyaan-pertanyaan yang menggunakan kata

“mengapa”, “kenapa”, “bagaimana”.

2. Rencana Koding Untuk Reduksi Data

Koding adalah pemberian kode pada satuan-satuan yang telah direduksi.

Pemberian kode meliputi: (a) penandaan sumber asal satuan, dalam penelitian ini

data yang berasal dari wawancara, (b) penandaan jenis responden, pada penelitian

ini kode R=Responden. Kedua responden akan dibedakan dengan pemberian kode

I untuk responden I dan kode II untuk responden II, (c) penandaan waktu

wawancara, pada penelitian ini wawancara dilakukan dilakukan minimal dua kali

untuk setiap responden. Pemberian kode waktu wawancara adalah dengan

menggunakan kode 01 dan 02 untuk membedakan wawancara 1 dan wawancara 2,

(d) penandaan letak baris di dalam verbatim, penandaan dilakukan dengan

mengggunakan angka Arab untuk menunjukkan letak baris di dalam verbatim.

Contoh: W. R. I. 01. 101-105 berarti ini merupakan wawancara terhadap

responden I, pada pertemuan yang pertama, dan kutipan diambil dari baris 101-

105 dari verbatim tersebut.

Satuan yang telah dikoding dimasukkan ke dalam kategori-kategori

tertentu. Kategori adalah kelompok satuan yang disusun berdasarkan pikiran,

intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu (Moleong, 2000). Penafsiran data dilakukan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
103

dengan menemukan hubungan antar kategori dan memberinya label dengan

pernyataan sederhana berupa proposisi yang menunjukkan hubungan. Proses ini

diteruskan hingga memperoleh hubungan yang cukup padat, yaitu sampai

menemukan petunjuk metafora atau kerangka berpikir umum (Moleong, 2000).

B. PELAKSANAAN PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September sampai bulan Oktober.

Penelitian ini diawali dengan mencari responden. Responden di dapatkan dari

hasil pencarian melalui beberapa teman dan kerabat. Awalnya didapatkan

informasi dari seorang teman yang salah satu kerabatnya adalah seorang penganut

Pangestu cabang Surakarta. Namun setelah dihubungi orang tersebut meminta

untuk menghubungi orang lain, tepatnya adalah pengurus Pangestu bidang

penelitian. Orang ini ternyata tak dapat dihubungi, sehingga diputuskan untuk

mencari responden dari cabang Pangestu yang lain. Salah satu kerabat ternyata

dekat dengan para penganut Pangestu Ranting Ngargoyoso, cabang Karanganyar.

Dari orang inilah didapatkan tiga responden penganut Pangestu ranting

Ngargoyoso. Berikut tabel responden yang digunakan dalam penelitian:

Tabel 4

Data Responden Penelitian

No Nama Jenis kelamin Usia Agama

1 Soenardi Pria 63 tahun Kristen

2 Sutanti Wanita 49 tahun Kristen

3 Sularso Pria 49 tahun Islam


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
104

Pengambilan data dilakukan pada bulan Oktober. Jadwal pengambilan data dapat

dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5

Jadwal Pengambilan Data

Pengambilan

Data pada 1 2 3

Responden

Responden I 10 Oktober 2009 17 Oktober 2009 22 Oktober 2009

Responden II 17 Oktober 2009 18 Oktober 2009 23 Oktober 2009

Responden III 18 Oktober 2009 24 Oktober 2009 -

C. HASIL PENELITIAN

1. Karakteristik Responden

Tidak ada kendala dalam membuat rapport dengan responden penelitian

selama pengambilan data. Responden I bernama Soenardi. Selama wawancara

responden I sering dipanggil dengan “Eyang Nardi”. Responden I adalah seorang

kakek yang telah memiliki banyak cucu, berumur 63 tahun, dan seorang

pensiunan kepala sekolah dasar salah satu SD negeri di Kecamatan Ngargoyoso.

Responden I memiliki dua orang istri, beberapa teman dan kerabatnya menyebut

dia memiliki bojo sambung. Istri pertamanya telah meninggal, istri keduanya

tampak lebih muda. Responden I hampir tidak pernah secara langsung

menyebutkan agama apa yang dia anut. Menurut informasi yang diperoleh dari

teman responden I, dikatakan, “mbah Nardi agamane ketoke Kristen, garwane

sing dhisik agamane Kristen”. Sehari-hari responden I menghabiskan hari-hari di


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
105

kebun. Responden I memiliki kebun wortel. Di kampungnya, responden I

menjabat sebagai ketua RW.

Responden II adalah seorang ibu yang memiliki dua orang anak gadis.

Selama wawancara biasa dipanggil Budhe Tanti. Responden II memiliki sebuah

warung makan di pinggir jalan besar. Kebetulan responden yang satu ini adalah

anak dari ketua Pangestu ranting Ngargoyoso, namun ketika penelitian ini

dilaksanakan ketua ayahnya telah meninggal. Sementara responden III adalah

seorang ayah dari tiga orang anak gadis. Selama wawancara biasa dipanggil

pakdhe Larso. Responden III adalah seorang penjaga sekolah sekaligus penjual

ayam.

Responden I dan III selama pengambilan data sangat bekerja sama, semua

pertanyaan di jawab dengan cukup jelas. Sedangkan responden II lebih banyak

bicara dibandingkan dua responden lainnya. Selama pengambilan data pertanyaan

dijawab dengan panjang lebar dan terkadang keluar dari topik dalam pertanyaan.

Selain itu jawaban yang diungkapkan sering diulang-ulang. Responden I selama

pengambilan data sering menjawab pertanyaan dengan menggunakan bahasa

Indonesia, sedangkan dua responden lainnya lebih sering menjawab pertanyaan

dengan bahasa Jawa. Responden III sangat sering menjawab pertanyaan dengan

bahasa Jawa krama inggil, sedangkan responden II lebih sering menjawab

pertanyaan dengan bahasa Jawa ngoko.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
106

2. Hasil Wawancara Responden I

a. Pengalaman Mistik

Pengalaman mistik berarti mengalami suatu keadaan mistik, yaitu adanya

kontak antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Responden I mengaku bahwa

selama ini pengalaman seperti ini hanya dialami ketika melakukan ritual

panembah (W. R. I. 03. 899-903). Sebagaimana pengertian ritual sebagai perilaku

tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu secara berkala, bukan

sekedar rutinitas yang bersifat teknis, melainkan mengacu pada tindakan yang

didasari oleh keyakinan religius terhadap kekuasan atau kekuatan mistis (dalam

Soehadha, 2008). Panembah pun dilakukan oleh responden I secara berkala dan

penuh keyakinan akan adanya Tuhan. Seperti diterangkan dalam kitab Sasangka

Djati bahwa panembah terdiri dari tiga tingkatan yaitu sembah raga, sembah

kalbu, dan sembah rasa. Responden I dirasa-rasakan telah mencapai sembah rasa.

Dia mampu melakukan panembah dimanapun, dan kapanpun hanya

menghubungkan perasaannya dengan Tuhan tanpa perlu lagi memperagakan

gerakan-gerakan seperti dalam sembah raga dan sembah kalbu.

Saya melakukan panembah sesuai kebutuhan saya mbak, biasanya

tiap bangun tidur dan sebelum tidur pada malam hari. Selebihnya

sesuai kebutuhan dan keinginan saya. Seperti misalnya kemarin

ketika saya akan ke Surabaya, saya melakukannya di dalam mobil.

Di dalam mobil ?? Iya, di dalam mobil. Panembah dapat

dilakukan dimana saja, mbak. Di dalam mobil, pastinya ramai,

ada suara mesin, suara bising hiruk pikuk jalan raya. Apakah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
107

mungkin bisa tercipta suasana hening?? Kalau saya bisa, mbak

Ganis (eyang tersenyum). Ketika kita berpergian jauh dan disitu

bersama-sama banyak orang tentunya kita akan memohon

keselamatan kepada Sang Gusti Pangeran baik itu untuk saya

maupun semua orang yang berada di dalam mobil. (W. R. I. 01.

80-95).

Responden I mengaku bahwa perbedaan dari ketiga tingkatan panembah

adalah pada sembah raga seolah-olah hanyalah sebagai latihan dan masih mudah

sekali terganggu, setelah mencapai tahap sembah kalbu timbul perasaan mantap.

Pada saat melakukan panembah ini satu hal yang teramat sulit yaitu menciptakan

konsentrasi.

ee..kemudian. ini sedikit mengingat-ingat yang, ketika eyang

melakukan panembah itu ka nada tingkatan, ee apakah ada

perbedaan ketika eyang melakukan tingkatan pertama, kedua,

dan ketiga? Anu, perbedaanya? Iya, Perbedaanya, anu.. kalau

sembah raga yang jelas itu untuk awal daripada petunjuk itu

seolah-olah merupakan latihansaja. Tetapi setelah sampai kita

meningkat pada sembah kalbu kemudian sembah suksma, itu anu

rasa-rasanya hanya mantap begitu. Hanya begitu, mantap. Kalau

kita nilai perbedaan secara pribadi, awalnya rasanya hanya

merupakan latihan tapi masih mudah sekali terganggu. Mudah

sekali terganggu. Tapi setelah sudah sampai pada tingkatan

berikut rasanya mantap, begitu. Hanya begitu. Kalau saya


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
108

mengatakan terganggu ya, kadang-kadang pada saat itu, pada

saat melaksanakan sembah raga seharusnya kan harus

konsentrasi, lah konsentrasi ini yang benar-benar sulit. Nah,

kadang-kadang ketika saya baru melakukan panembah, kemudian

ada suara anak-anak dari luar mungkin orang lain itu saya masih

mendengar dan setelah saya dengar seolah-olah hati saya kurang

konsentrasi. Kurang konsentrasi. Padahal sebaiknya kita

melakukan itu harus konsentrasi, melupakan segalanya. (W. R. I.

02. 228-250).

Dari responsden I diketahui bahwa pengalaman mistik dalam melakukan

panembah terdapat proses dari heneng ke hening. Heneng adalah suatu keadaan

dimana pikiran hanya terpusat pada satu arah yaitu Tuhan. Keadaan ini disebut

responden I dengan “lupa segala-galanya”.

Melupakan segalanya? Iya, melupakan segalanya istilahnya

dalam bahasa heneng dan hening. Heneng dan hening? Heneng

dan hening. Yang heneng dan hening tadi, yang. Heneng itu

apa? Dan hening itu apa? Heneng itu ee artinya setelah kita

mulai manembah, pikiran itu yah tidak kemana-kemana,

melupakan segala-galanya, menuju ke satu arah. Satu arah.

Pengertiannya satu arah itu hanya kepada Yang Maha Pencipta

atau kepada Tuhan. Dan Tuhan itu dimana. Kemarin sudah saya

bilang Tuhan itu yah tampatnya dimana-mana, besarnya sedunia

ini, mungkin lebih besar lagi tapi bisa dikatakan kecil karena
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
109

sudah berada di istilahnya telenge manah. Apa ya? Lubuk hati.

Lubuk hati? Iya, lubuk hati. Sudah berada di lubuk hati kita. (W.

R. I. 02. 251-307).

Baru kemudian proses ini berlanjut ke tahap hening. Hening adalah suatu

konsentrasi yang teramat sangat dan sepenuh hati kepada Tuhan. Segala doa dan

pujian ataupun permohonan dan pengharapan hanya ditujukan kepada Tuhan.

Kalau hening? Kalau hening, hening artinya apa yang kita

kehendaki, mungkin dapat diucapkan atau mungkin dapat

dikatakan ini yah kalau ini merupakan kata-kata atau kalimat kita

ucapkan dengan mulut misalnya atau bisa dibaca dalam hati saja

tapi langsung, langsung tujuan ini hanya kepada hati yang kecil

sekali yang kita tuju Tuhan berada disitu. Misalnya, “Duh Gusti

Allah kang Maha Kawasa”, ini ee ucapan ini betul-betul diaturke

kesana gitu loh. Nah maksud saya itu.(W. R. I. 02. 308-316).

Selama ini responden I berusaha melakukan panembah sesuai dengan

petunjuk yang ada pada kitab Sasangka Djati, namun kadang-kadang karena fisik

yang tidak kuat maka sambil duduk pun bisa. Sedangkan ketika melakukan

sembah kalbu responden I masih mudah terganggu namun responden I selalu

berusaha untuk tidak peduli agar suasana heneng dan hening dapat tercapai.

Eyang melakukan panembah itu bagaimana? Sebenarnya

sesuai petunjuk dalam sembah raga itu ada gerakan-gerakan.

Menurut petunjuk. Tapi dapat dilakukan sesuai sikon. Yah..kalau

orang Islam itu seperti melakukan sholat. Tapi kadang-kadang


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
110

orang mau melakukan seperti itu fisiknya enggak kuat. Sambil

duduk di lantai pun bisa, jadi bukanlah suatu keharusan, begitu.

Tapi memang sebaiknya sesuai dengan yang ada di buku petunjuk

itu. Yang pertama begini, kemudian begini, eee…yang terakhir

begini. Kalau waktu eyang sembah raga itu masih sulit

menimbulkan suasana heneng sama hening ya, Yang? Iya, iya.

Kalau di sembah kalbu sendiri bagaimana, Yang? Yah, saya

katakan sulit tadi awal ya. Setelah kita melakukan sembah kalbu

ee terus terang saja sampai sekarang ini istilahnya khusus pribadi

saya, masih mudah terganggu pihak-pihak kiri atau pihak lain,

begitu. Artinya untuk kita membuat suatu konsentrasi tapi ternyata

ada suara-suara dari luar masih mendengar. Tapi saya suara apa

itu, suara bagaimana itu saya, karena saya ingin sampai heneng

dan hening tadi ya tidak peduli, begitu. Kalau dulu, pertama gitu

saja atau awal itu akhirnya saya masih ingin mengikuti artinya

masih ingin berpikir itu gimana tapi ee akhirnya tuh yah

terserahlah yang penting saya baru menghadap Tuhan, menurut

perasaan saya begitu. Jadi apapun situasinya tidak peduli.(W. R.

I. 02. 328-352).

Responden I mengaku bahwa ketika melakukan panembah yang dirasakan

adalah perasaan bertemu dengan Tuhan atau berhadapan dengan Tuhan.

Responden I sangat yakin bahwa saat itu rasanya dihadapan Tuhan. Dan baginya

disitu hanya ada dia dan Tuhan, tidak ada yang lain.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
111

Ketika melakukan panembah itu rasanya bagaimana? Gimana

ya kalau saya rasakan rasanya tuh anu benar-benar rasa saya

bertemu atau saya ini berhadapan dengan Maha Pencipta.

Rasanya saya berhadapan dengan Maha Pencipta. Hanya saja

yang saya katakan Maha Pencipta atau Tuhan disitu tidak dapat

kita gambarkan, tidak bisa kita gambarkan seperti apapun, tidak

bisa. Tapi saya yakin karena Tuhan itu ada, pada saat melakukan

panembah ini benar-benar rasa saya di hadapan Tuhan, begitu.

Rasanya tuh apakah eyang benar-benar merasakan disitu

hanya ada eyang sendiri dan Sang Maha Pencipta atau masih

ada gangguan?? Ya, yang jelas hanya saya dan Maha Pencipta.

Tidak ada yang lain. (W. R. I. 02. 353-366).

Pada saat itu responden I mengaku bahwa tubuhnya terasa merinding. Jika

rasanya merinding kadang-kadang bisa langsung berakhir artinya panembah itu

selesai. Namun kadang-kadang bisa berlanjut sampai tahap berada di pangkuan

Tuhan.

Apa yang eyang rasakan pada tubuh eyang pada saat itu?

Kadang-kadang anu ee rasanya itu merinding. Terus? Kalau

rasanya saya merinding begitu kadang-kadang bisa langsung

berakhir, kadang-kadang sampai anu sama sekali yang lain itu

tidak ada, kita benar-benar berada di pangkuan Tuhan. Rasanya

begitu. Ya sulit kita gambarkan, ehehehe…Hehehe.. (W. R. I. 02.

367-374).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
112

Hal ini secara emosional digambarkan oleh responden dengan perasaan

yang bahagia, benar-benar bahagia. Bagi responden I, saat itu hatinya merasa

nalongso dan penuh dosa.

Secara emosional rasanya bagaimana? (responden diam saja,

melihat peneliti penuh tanya) Secara emosional itu, mm

apakah merasa gembira atau bagaimana? Ooh anu rasanya

bahagia, jadi merasa bahagia. Benar-benar bahagia. Bahagia?

Iya, bahagia. Mm mungkin ada kata lainya yang bisa lebih

menggambarkan itu? Hehe gimana ya ehehehe…hanya bahagia

dan senang. Hati sana itu rasanya itu istilahnya apa ya, nalongso,

mm benar-benar saya ini mahkluknya Tuhan, pernah mempunyai

banyak dosa. Ini, nalongsonya disitu. Timbul perasaan seperti

itu? Ho’o ada perasaan seperti itu. (W. R. I. 02. 375-389).

Responden mengaku bahwa pada saat itu yang ada di ingatannya adalah

segala harapan baik bagi dirinya pribadi, keluarga, maupun masyarakat pada

umumnya. Ketika pengharapan itu responden memohon kepada Tuhan maka dia

pun berharap segala permohonannya dikabulkan selain untuknya juga untuk

keluarga dan seluruh masyarakat.

Ketika terjadi seperti itu, apa yang ada pikiran, Eyang? Di

ingatan Eyang itu apa? Ketika perasaan seperti itu terjadi,

karena saya ini masih diberikan hidup hanya harapan, mudah-

mudahan Tuhan selalu mengabulkan apa yang kita kehendaki atau

yang kita inginkan. Ini bukan untuk secara pribadi saja, tapi juga
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
113

kita sekeluarga, sampai pada masyarakat pada umumnya, sampai

disitu. Gitu. Sampai pada keluarga, sampai pada masyarakat

pada umumnya? maksudnya? Ee kadang-kadang kan kita ini

hidup ditengah-tengah masyarakat, kalau saya mohon salah satu

misalnya ee mohon keselamatan dan kekuatan misalnya kecuali

pribadi juga keluarga, juga masyarakat pada umumnya. Artinya,

ee semuanya diberikan tuntunan dan ee pepadang dalam bahasa

Jawanya begitu, pepadang ini dapat saya ganti, pengertian antara

umat dengan Tuhan, begitu. (W. R. I. 02. 290-405).

Hal ini terjadi seperti sebuah permohonan yang diucapkan dalam hati,

seolah-olah seperti berbicara kepada Tuhan. Namun sepanjang pembicaraan itu

tidak ada yang menjawab. Dan disini responden sangat yakin bahwa

permohonannya didengar oleh Tuhan dan akan dikabulkan.

Apakah itu terjadi seolah-olah Eyang bicara atau bagaimana?

Saya atau Yang Pencipta? Ya Eyang sendiri gimana, Yang

Pencipta gimana? Hehehe…Ooh. Saya sendiri dalam hati kecil

sana berbicara tapi sepanjang pembicaraan itu ya tidak ada yang

menjawab. Tapi yang kita bicarakan, saya sendiri punya

keyakinan karena tujuan saya kepada Tuhan, saya yakin Tuhan

pasti tahu. Dan saya juga yakin karena saya umat menyampaikan

permohonan atau permintaan kepada Tuhan, saya yakin akan

mengabulkan. Hanya begitu, ini dilandasi dengan keyakinan yang

kuat. Kalau tidak ya heeeh…. (W. R. I. 02. 406-416).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
114

Panembah ini dilakukan dan tanpa terasa bisa berlangsung selama satu jam

misalnya. Responden mengaku bahwa panembah itu tahu-tahu sudah selesai dan

pernah diceritakan bahwa responden pernah melakukan panembah dari kecamatan

Karangpandan sampai di Karanganyar (W. R. I. 01. 100-104).

Kalau seperti itu rasanya cepat atau gimana, Yang? Waktunya

bagaimana rasanya? Seperti misalnya ketika Eyang ceritakan

melakukan panembah dari Karangpandan sampai

Karanganyar. Itu rasanya cepat, karena pada detik ini saya mulai

manembah, dalam perjalanan tadi ya itu tahu-tahu sudah sampai

disana atau tahu-tahu sudah disana. Itu kan anu menyangkut

perasaan cepat itu. Begitu. Jadi ya tidak peduli digoyang-goyang

dalam kendaraan. Eehem. Seperti itu tidak terasa? Tidak terasa.

Ee ya terasa tapi sekilas saja, sekilas saja tapi ya saya

tetap..nekat. agar disini tidak goyah begitu. (W. R. I. 02. 417-

127).

Keadaan ini terjadi dalam suasana heneng dan hening dan bisa terjadi baik

pada sembah raga, sembah kalbu, maupun sembah rasa. Semua itu bisa tercapai

kalau dari awal akan melakukan panembah sudah diniati. Namun kalau asal-

asalan akan mudah terganggu. Suatu panembah hingga bisa tercapai suasana

heneng dan hening dirasa sulit oleh responden dan dinilai belum seratus persen

menjalankannya.

Itu semua terjadi dalam suasana heneng dan hening? Iya.

Keadaan seperti itu terjadi dalam keadaan sembah raga,


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
115

sembah kalbu, atau sembah suksma? Semuanya. Semuanya?

Iya. Eyang merasakan setiap manembah terjadi seperti itu

atau bagaimana? Kalau kita dari awal itu memang ee sudah kita

niati, niati tahu? Iya. Hemm itu bisa. Selalu? Iya, tapi kalau acak-

acakan atau asal-asalan gampang sekali diganggu. Sampai

seperti itu sulit? Sulit. Tidak semuanya dapat melakukan seperti

itu dan saya sendiri melakukan sampai seperti itu kalau saya nilai

sendiri yah seperti tadi belum seratus persen. (W. R. I. 02. 428-

447).

Pada pertemuan berikutnya, peneliti menanyakan tentang tumraping laku

manunggal yang tertulis dalam kitab sasangka djati. Ini merupakan suatu perilaku

yang berupaya untuk menyatu dengan Tuhan. Responden menjelaskan hal ini

sebagai suatu kegiatan manembah yang langsung kepada Tuhan. Manembah

dalam hal ini adalah suatu kegiatan dimana individu tidak memikirkan hal lain

selain Tuhan, segala hal sedapat mungkin dilupakan, dan perasaan hanya

dikonsentrasikan untuk bertemu Tuhan.

Tumraping laku manunggal, maksude laku manunggal niku

gimana yang? Laku manunggal iku maksudnya seseorang yang

sedang melakukan manembah, tentunya manembah kan langsung

pada Tuhan. Maksudnya manunggal itu seperti yang saya katakan

kemarin dalam hati kecil atau perasaan saat melaksanakan

manembah berlaku manunggal, pikiran tidak memikirkan hal-hal

lain selain Gusti Allah. Jadi harus konsentrasilah intinya seperti


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
116

itu. Ada sesuatu atau hal-hal lain itu sedapat mungkin dilupakan .

Jadi saya merasa hanya berhadapan sama Tuhan, melupakan hal-

hal lain. Istilahnya jika saya merasa di sini, Tuhan di depan saya,

perasaanya begitu. Ini kalau dijabarkan panjang, tapi intinya ya

seperti tadi, istilahnya melupakan segala sesuatu apapun situasi

yang ada di dunia ini dan saat itu hati kita fokus hanya satu arah

berhadapan dengan Tuhan. (W. R. I. 03. 490-504).

Ini adalah suatu tahap dimana lebih unggul dari situasi heneng dan hening.

Ada satu kejanggalan ketika hal ini ditanyakan kepada responden. Jika kemarin

responden menerangkan seolah-olah tahap heneng dulu baru hening, namun kali

ini responden mengaku bahwa situasinya adalah heneng dulu, baru kemudian

hening. Hening disini juga merupakan suatu tahap dimana seseorang mampu

ngereh hawa nafsune atau menekan hawa nafsu. Hawa nafsu perlu ditekan agar

tidak mengganggu perjalanan manembah untuk bertemu dengan Tuhan. Setelah

tahap hening ini mampu tercapai, baru kemudian adalah tahap heneng dimana

seseorang diajarkan harus matahake gegarane, pangaribawane, lan ciptane atau

singkatnya mengosongkan pikiran.

Itu lebih unggul daripada hening yang eyang ceritakan

kemarin itu? Ya..ya..seperti itu. Karena saya ingin hening sampai

heneng, klo masih belum dapat melupakan hal-hal yang lain

namanya nanti belum bisa heneng. Hening dulu baru heneng.

Hening kemarin berarti kalau ngereh hawa nafsu manembah

jati sukmo. Manembah pertama berarti menciptakan hening?


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
117

Ya….berarti ngereh hawa nafsu. Betul….ngereh hawa nafsu itu

ada 4 macam, kudu direh agar tidak mengganggu saya pada saat

saya ingin bertemu dengan Tuhan. Ya…ya…ya. Berarti disitu

baru matahake gegarane pangaribawane atau ciptane yang

berarti mengosongkan pikiran gitu yang? Ya….betul. (W. R. I.

03. 505-518).

Setelah mengosongkan pikiran inilah, seseorang akan mampu manunggal

dengan Tuhan. Namun responden menjelaskan bahwa itu hanyalah pikiran, tidak

sampai ke rasa. Jika seseorang merasa berhadapan dengan Tuhan, walaupun

Tuhan sebenarnya tidak bisa digambarkan seperti apa. Tuhan itu ada, namun tidak

dapat digambarkan seperti apa. Jika seseorang merasa bertemu dengan Tuhan dan

tergambarkan, sesungguhnya itu bukan.

Setelah mengosongkan pikiran baru manunggal dengan

Tuhan? Ya…ya..Itu hanya pikiran, enggak sampai ke rasa. Kalau

saya merasa berhadapan dengan Tuhan, walaupun Tuhan itu

sebenarnya tidak bisa digambarkan seperti apa…artinya ora

gondho, ora rupo ora iso dirupakake…Nek Tuhan iku koyo opo.

Sebenarnya ada, tapi ga bisa digambarkan kayak apa. Dalam arti

hening artinya Manunggal dengan Tuhan perasaannya, tapi kalau

perasaan masih tergambar rumongso aku urip koyo ngono, ada

sesuatu merupakan gambaran itu Bukan….sebenarnya tidak ada

apa-apa, tapi kalau masih merasa ada, itu tetap bukan….sulit ya?

(W. R. I. 03. 519-529).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
118

Ketika pikiran kosong dan segala hal telah dilupakan terkadang muncul

sesosok yang mengaku Tuhan. Dan ini dianggap godaan, responden menjelaskan

bahwa ini adalah godaan saudara ke empat, atau nafsu-nafsu dalam ajaran

Pangestu dan dapat juga ini adalah godaan syetan.

Apa kadang-kadang merasa ada apa-apa? Ya. Apanya itu apa?

Saya sudah konsentrasi secara benar sampai hening, perasaan

saya satu, saya berhadapan dengan Tuhan…oh ini saya ketemu

Tuhan rupa dan bentuknya seperti ini…oh ternyata bukan. Apa

kadang-kadang seperti itu? Ya….namanya hawa nafsu sodara ke

4 tadi masih mengganggu…jadi bisa aja terjadi demikian. Apa

pernah terjadi? Ya….Melihat sesosok? Ya… Apa? Ya hanya

seperti tubuh manusia. Godaan bisa saya katakan syetan…ya

bentuk dan rupanya seperti manusia. (W. R. I. 03. 530-546).

Jika hal ini terjadi maka harus disingkirkan terlebih dahulu atau berhenti

dulu. Di dalam ajaran Pangestu hal ini dapat disingkirkan dengan suatu cara,

responden menyebutnya dengan kata-kata mistik. Namun kata-kata itu tidak

diperkenankan untuk diberitahukan kepada orang lain yang belum masuk ke

Pangestu dan mengikuti ceramahnya.

Eyang melihat sesuatu waktu melakukan manembah,

perasaaanya gimana? Oh masih ada yang menganggu….perlu

kita singkirkan dulu atau pergikan dulu atau kita berhenti dulu.

Dan caranya menyingkirkan seperti itu ada. Gimana yang?

Kemarin udah saya utarakan…satu hal itu. Untuk pengertiannya


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
119

tidak dapat saya utarakan pada mbak…soalnya mbak sendiri

belum mengikuti dan masuk dalam Pangestu. Berarti caranya

hanya ingin melupakan hal itu kalau saya gambarkan berarti

menganggap itu nafsu dan Eyang melupakan gitu? Ya…itu ada

caranya dan merupakan kata-kata mistik, tapi saya yakin itu bisa

menyingkirkan semua yang menggoda hati. Itu semua sebenarnya

berbadan syetan. (W. R. I. 03. 551-561).

Responden mengaku bahwa karena hal seperti di atas sering terjadi maka sebelum

melakukan panembah harus diniati dengan sungguh-sungguh supaya tidak ada

gangguan dari empat nafsu. Dan jika tidak ada yang mengganggu akan sampai

pada tahap lupa dengan segala-galanya dan manunggal dengan Tuhan. Responden

mengaku bahwa perasaanya ketika manunggal itu adalah merinding seperti luyut.

Nanti kalau setelah seperti itu baru tahap seperti itu tidak ada

apa-apa? Atau langsung tidak apa-apa? Karena pernah

mengalami gangguan , klo dalam bahasa jawa ada istilah kata-

kata “ aku arep nindake manembah opo yang dikehendaki jangan

ganggu gawe”ini jawabe dalam hati. Baru melaksanakan

Manembah, tentang lama dan tidaknya tergantung pribadi

masing-masing…kadang-kadang sampai lupa, artinya itu sudah

masuk dalam suasana hening. Lha jalurnya manunggal dengan

Tuhan, ora rupo dan digambarkan koyo ngopo ga bisa. Tidak ada

tapi ada kalau gambaran Tuhan seperti itu ada….itu berarti

bukan. Rupanya beda-beda ya? Ya….beda…beda. Kalau seperti


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
120

itu rasanya di tubuh gimana yang? Segalanya seolah-olah lupa,

mrinding luyut, lupa segalanya. (W. R. I. 03. 562-576).

Luyut ini adalah perasaan yang merasa tenang, tentram, kosong dari segala

beban duniawi. Pada saat luyut ini responden hanya merasakan kekosongan dalam

pikiran, adanya hanya Tuhan menyatu dengan hati. Menurut responden luyut

adalah perasaan dimana dirinya berada di alam suwung dan remang-remang.

Responden tidak merasakan apa-apa hanya ada satu titik di hati yang menurutnya

menghubungkan antara dirinya dengan Tuhan.

Apa yang artinya luyut yang? Sudah melaksanakan manembah

dari heneng, hening sampai ke luyut. Luyut itu adalah perasaan

yang merasa tenang, tentram kosong dari segala beban duniawi.

Kesadaran Eyang dalam luyut itu gimana? Situasinya sulit

untuk diilustrasikan, pokoknya setelah hening ke luyut itu lupa

segala-galanya atau ada kekosongan dalam pikiran. Kalau

menurut Pakdhe narto ada aspirasi dari Tuhan yang mungkin

merupakan petunjuk, titah..tapi selama ini saya rasakan belum ke

level itu. Adanya ya…Tuhan itu menyatu dengan hati kita

begitu..menyatu dan tak ada apa-apa. Kan bisa merasakan

antara batas ini saya ini alam pada saat manunggal? Ya…tapi

perasaan itu adalah alam kosong atau suwung dan perasaan itu

remeng-remeng.tidak terang benderang gitu, tapi remeng-remeng.

Tahu remeng-remeng? Iya, terang tapi tidak terang sekali, tapi

juga tidak gelap sekali. Iya betul..betul. Antara diri kita


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
121

mungkin dengan udara, Eyang bisa merasakan batas antara

diri saya dan alam? Pada saat luyut, tidak bisa merasakan sama

sekali hanya titik di hati. Seolah-olah ada tali yang

menghubungkan dengan Tuhan, hanya begitu. Sulit sekali

digambarkan dengan kata-kata. Sulit sekali. (W. R. I. 03. 612-

635).

b. Realisasi Diri

Ciri pertama realisasi diri adalah kesadaran dan toleransi yang besar

terhadap kondisi umat manusia, lebih empati dengan masalah kemanusiaan tanpa

memandang ras, golongan, dan agama. Responden I sangat menghargai hal

tersebut. Responden mengaku senang dengan orang lain yang taat dengan agama

masing-masing. Menurut responden setiap manusia dikodratkan untuk berbakti

dengan Tuhan karena manusia adalah ciptaan Tuhan. Cara berbakti inilah yang

berbeda-beda, ada yang secara Islam, Kristen, ataupun Pangestu. Responden juga

sangat mengahargai dan menerima perbedaan. Responden menceritakan bahwa

dirinya sangat senang ketika ada KKN dari mahasiswa UGM di desanya. Menurut

responden para mahasiswa ini dari berbagai daerah, pintar, sopan, dan baik hati.

Responden mengaku sangat menyenangkan berkumpul dengan orang-orang yang

berasal dari banyak daerah yang berbeda-beda.

Ya…ya…ya. Menurut Eyang kodrat sebagai manusia

bagaimana? Saya menjadi manusia itu tau yang mengadakan

siapa? Kalau sudah tau yang mengadakan, sebaiknya berbakti

kepadaNya. Berbakti ini dapat melalui berbagai jalan, misalnya


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
122

lewat Agama Islam, Kristen atau Pangestu. Dalam Pandangan

Eyang Bagaimana? Misal saya orang Pangestu melihat orang

lain yang beragama lain, menurut saya kalau orang lain sudah

memiliki keyakinan agama lain berarti saya senang. Artinya

mereka-mereka punya jalan untuk berbakti kepada yang

menciptakan.Bagaimana menerapkan Bhineka Tunggal Ika

dalam kehidupan sehari-hari? Saling hormat-menghormati,

saling memberi dan menerima. Bhinelka Tnggal ika yang ada di

Indonesia satu. Contoh perilaku saling hormat menghormati,

saling memberi dan menerima adalah seperti kemarin ada KKN

dari UGM berjumlah 25 orang, mereka berasal dari suku, agama

yang berbeda-beda. Dari ke 25 orang ini ditempatkan dalam 4

tempat., kebetulan di tempat Eyang terdapat 7 orang. Orang-

orang ini berasal dari medan, padang, wonosobo, Jakarta, Ciamis,

Irian dan Bantul. Melihat mereka hidup begitu akrab saya

melihatnya senang sekali, kita ajak apa saja mereka selalu siap.

UGMnya jurusan apa? Macam-macam, peternakan, peternakan,

kependudukan geografi. Dan sekarang ke 7 orang UGM yang

sudah 2 tahun 2bulan tingkat kuliahnya tidak sama. Setelah lulus

dan diwisuda ada yang sudah kerja, yang dari wonosobo jadi

guru. Kalau ke sini memberikan les privat anak-anak namanya

Lia. Programnya apa? Saya enggak tau, tapi setiap mingu selalu

membuat laporan dan mengirimkan laporan ke UGM. Sekarang


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
123

yang kerja di Pontianak 1 orang, tapi kadang muter-muter sampai

ke Makasar, yang 1 lagi diangkat sebagai PNS di Jakarta. Ini

kaitannya dengan Bhineka Tunggal Ika selama 2 bulan hidup

dalam satu keluarga dengan orang-orang dari berbagai asal di

kota-kota Indonesia.Kemarin ada permainan Kujang ganong yang

hamper mirip dengan Reog Ponorogo. Ini yang mendorong saya

mencari alat sampai ke Ponorogo.Kaitannya dengan Bhineka

Tunggal ika saya senang sekali kita hidup di dalam satu keluarga

bisa saling memberi dan menerima. (W. R. I. 03. 653-693).

Responden I adalah seorang yang menerima banyak hal yang misterius,

seperti kehidupan spiritual yang menyangkut dengan hubungan dengan Tuhan,

alam semesta yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan mahkluk halus

seperti jin, syetan, ataupun malaikat.

Menurut Eyang, hubungan manusia dengan Tuhan

seharusnya yang seperti apa dan bagaimana? Kalau seperti apa

itu sulit sekali digambarkan. Yang jelas menurut saya, saya

berperasaan kuat bahwa saya ada karena dicipta olehNYA,

sehingga kita tau. Berbaktinya menurut saya ya sesuai dengan

ajaran agama yang kita anut. Kalau dalam Islam sholat 5 waktu,

Kristen kebaktian tiap hari minggu, tapi kalau di Pangestu

berbaktinya tidak terikatwaktu dan dimana tempatnya tidak apa-

apa. Kalau hubungan manusia dengan alam semesta gimana

yang? Gimana ya….Kalau hubungan manusia dengan alam


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
124

semesta, alam yang dimaksud alam lingkungan sekitar. Karena

saya ditempatkan di alam yang saya lihat sekarang ini, kita wajib

bersyukur, memelihara, merawat segala sesuatu yang ada di

lingkungan kita saja. Karena ini juga menyangkut yang ada di

lingkungan ini. Ini juga mirip dengan cobaan kita. Kalau istilah

dalam Pangestu, Manusia sama dengan Jagat kecil, sedangkan

Dunia adalah Jagad Besar. Untuk manusia terjadinya dari an

nash 4 macam yaitu bumi, air, api dan udara. Kalau alam

semesta yang kita tidak lihat gimana yang? Alam di luar jagad.

Kalau orang Jawa menyatakan awang-awang atau langit. Langit

itu panas dan tak ada batasnya, seandainya kita sampai ke sana

kita akan ketemu dengan apa yang dinamakan Galaksi. Galaksi itu

adalah suatu tempat ciptaan Tuhan, di tengah-tengah ada

matahari dan dikelilingi oleh planet sampai planet terbesar. Di

sana ada bintangbintang hanya akan mengelompok disini.Kalau

di alam lain, kayak dunia ghaib? Dunia Ghoib alam lain yang

ditempati makhluk Tuhan yang tidak dapat dilihat dengan mata,

atau biasa disebut makhuk halus.Kalau alam ghoib Tuhan

menciptakan makhluk-makhluk yang manusia tidak bisa

melihatnya karena kecilnya dan tidak dapat dilihat, maka disebut

makhluk halus. Manusia diciptakan paling sempurna dan paling

akhir. Makhluk halus diciptakan dan diberi ijin untuk menggoda

manusia. Kalau dalam buku Sasongko Jati saya yang dik ganis
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
125

bawa tolong nanti kalau di rumah ada…gumelare dumadi pernah

dibaca? Pernah ada rincian. (W. R. I 03. 694-732).

Responden juga mengaku pernah mengalami kejadian-kejadian

supranatural. Namun sesuai dengan ajaran Pangestu, responden tidak menerima

pertolongan dari paranormal. Responden adalah seorang yang sangat meyakini

pertolongan Tuhan, dan sangat percaya bahwa mahkluk halus juga ciptaan Tuhan

jika tidak diganggu juga tidak akan mengganggu.

Kalau kejadian sepeti spiritual, supranatural eyang pernah

mengalaminya? Pernah, tapi secara bersama-sama dengan

teman-teman lain, tidak sendirian… (W. R. I. 03. 767-796).

Ya…ya….ya. Menurut Eyang itu gimana pendapat eyang

fenomena tentang orang-orang yang mampu melihat masa

depan, atau melakukan konsultasi spiritual atau pengobatan

alternative gitu? Misalnya kaitannya dengan perdukunan, kalau

kita percaya pada Sang Guru Sejati (Pangestu), kalau dalam Islam

gih Nabi Muhammad SAW bahwa Sang Guru itu yang

membimbing kita, memberikan petunjuk, memberikan jalan dan

pertolongan. Sebenarnya kalau kita ke tempat orang-orang

“pinter” itu tidak benar atau tidak disahkan. Kenapa segala

sesuatu yang memberi Tuhan lantaran Sang guru tadi, koq malah

mintanya kepada orang “pinter” tadi? Ini sangat berdopsa dan

disitu sabda yang tertulis juga berbunyi antara lain “Nek kowe

butuh opo wae kowe lagi kebingungan, kekurangan sak piturute,


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
126

nyuwuno marang Aku (Gusti), Aku bakal maringi, menehi opo sing

mbok suwun, tapi kalau masih dating kepada paranormal berarti

jiwa orang itu masih tipis dan istilah lainnya ibaratnya orang

berjalan sudah tidak melewati jalan yang benar/ menyimpang.

Atau dengan kata lain lagi dia itu sudah dianggap mempunyai

Tuhan yang 2 arah, bukan Tuhan Yang Maha Kuasa, tapi Tuhan

kepada paranormal tadi karena percaya. Ini bahayanya disitu…

.(W. R. I. 03. 707-817).

Hal ini menurut responden dianggap berbahaya karena akan mengganggu saat

kematian. Meminta pertolongan kepada Tuhan dianggap menyimpang dari Tuhan

oleh responden.

Kenapa koq bahaya?sangat Bahaya? Bahaya, kalau minta pada

paranormal, karena sudah dianggap menyimpang dengan Tuhan

yang lain tidak langsung pada Tuhan Yang Maha Esa. Ini

seandainya dia nanti sudah meninggal itu nanti disana akan

banyak gangguan mungkin jalannya tidak langsung mulus ke

surga, tapi lewat jembatan yang sangat mengerikan, menyedihkan

dan lain sebagainya. Mungkin begitu…..mungkin. Kalau di

Sasongko jati kemarin sempat baca……..kalau tidak salah

orang-orang yang sudah melakukan tata-cara tata-cara yang

diajarkan Pangestu kemudian melakukan praktek

perdukunan bukanlah suatu hal yang benar. Apa benar

memang ajaran di Pangestu itu bisa memberikan kepada kita


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
127

suatu pengertian-pengertian yang orang awam tidak

mengetahui gitu ya? Yang pertama, tidak dibenarkan atau tidak

benar. Misalnya ada orang yang datang ke Paranormal untuk

minta pertolongan itu tidak dibenarkan. Ajaran-ajaran Pangestu

itu yang dapat melaksanakan adalah pribadi masing-masing

pengikut, semua dapat dilihat, dalam arti tingkah laku dan

kepribadian seseorang yang telah mengikuti ajaran Pangestu itu.

Ini kalau memang ajaran itu sudah benar-benar dimengerti oleh

seseorang, tapi kalau ngambang atau belum dapat diresapi orang

itu ya…ga bisa. (W. R. I. 03. 820-842).

Ciri ke tiga realisasi diri adalah seorang yang memiliki kepribadian yang

universal, artinya tidak ada satu pun segi kepribadian yang dominan. Namun

selama pengambilan data responden hanya mengaku ada banyak perubahan pada

diri pribadinya dan perubahan dalam hidup secara umum. Satu hal yang sering

diungkapkan responden selama pengambilan data yaitu responden merasa lebih

sabar, tidak cepat marah, dan tenang.

Mengandung arti, itu arti yang bagaimana, yang? Mengandung

arti…. Setelah saya me…ya istilahnya instropeksi pada diri saya

sendiri, itu kan dalam saya hidup ini banyak hal-hal yang saya

lakukan..yah kami anggap kurang baik…saya ingin mempunyai

perilaku yang baik. Lah maksudnya baik dan tidak baik untuk saya

ya misalnya didalam urusan rumah tangga ini itu kadang-kadang

saya pernah tidak, hati saya itu tidak sabar misalnya begitu. Nah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
128

ini saya ingin mempunyai jiwa yang sabar. Kalau saya punya

sesuatu kemudian diminta atau digunakan oleh orang lain,

kadang-kadang saya, ee dalam hati kecil saya tidak rela, tidak

iklas. Setelah itu saya tahu, saya ingin semuanya itu, agar saya

mempunyai jiwa yang rela, iklas. Artinya saling tolong menolong

kepada sesama. Itu..contoh itu. Banyak sekali.. (W. R. I. 02. 169-

182). Kalau tentang menilai kepribadian atau karakter pada

diri Eyang sendiri setelah melaksanakan olah rasa itu

bagaimana? Menurut perasaan saya yang tadinya saya kurang

sabar, akhirnya bisa lebih sabar. Itu yang bisa kita terapkan, hal-

hal lain masih banyak. (W. R. I. 03. 878-881).

Penjelasan ini tentu belum dapat mengungkapkan tidak adanya segi yang

dominan dalam kepribadian. Penjelasan responden tentang perubahan dalam

pribadinya setelah menghayati ajaran Pangestu hanyalah suatu efek dari selama

ini berusaha untuk menghayati dan memahami ajaran. Dan efek ini belum tentu

menjelaskan perubahan dalam struktur kepribadian. Menurut pengamatan selama

pengambilan data responden I kurang sering mengungkapkan tentang kehidupan

pribadi dan keluarganya. Hanya dua kali responden menceritakan tentang

keluarganya, itupun tentang kehidupan anak-anaknya. Responden sama sekali tak

pernah bercerita tentang dirinya dan istrinya juga tentang kehidupan bergamanya.

Namun dari transkrip wawancara responden di atas tampak bahwa adanya satu

kesadaran untuk merubah sisi gelap pribadinya menjadi lebih baik sesuai tuntunan

ajaran Pangestu. Walaupun responden mengatakan bahwa hal itu sangat sulit
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
129

tercapai dan hanya 20 sampai 30 persen saja yang responden mampu capai dari

tuntunan ajaran Pangestu tersebut.

Eyang merasa sulit? Merasa sulit. Seandainya yang saya katakan

kemarin namanya pancasila. Utamanya empat, panca itu kan lima,

yang empat ini saja rila,narima, temen atau jujur, dan sabar ini

udah tertanam pada jiwa saya, diri saya mungkin saya sudah bisa.

Saya tahu itu tapi menurut saya, saya nilai sendiri pada pribadi

saya sendiri, keempat-empatnya ini belum bisa sempurna untuk

kita terapkan. Kalau keempat-empatnya ini nanti bisa seratus

persen, kalau saya persentase mungkin yah baru dua lima atau

tiga puluh persen begitu. Hehe.. Dua puluh lima sampai tiga

puluh persen ya, yang? Iya..hahaha..ini penilaian saya sendiri,

kalau saya boleh interopeksi..eehehehe.. (W. R. I. 02. 215-227).

c. Aktualisai Diri

Responden mengaku bahwa ada banyak perubahan yang terjadi dalam diri

dan dalam hidupnya setelah menghayati ajaran Pangestu dan mampu mencapai

heneng, hening, dan luyut dalam melakukan Panembah. Perubahan dalam diri

ditunjukkan responden dari pengakuannya bahwa dirinya merasa lebih sabar,

iklas, dan tenang (W. R. I. 03. 878-881). Sedangkan perubahan dalam kehidupan

pribadi dengan orang lain tampak dari banyak jawaban responden seperti ketika

responden selalu memohonkan keselamatan (W. R. I. 01. 91-95) dan pepadhang

(W. R. I. 02. 392-405) untuk keluarga dan masyarakat. Responden juga mengaku

bahwa dirinya dulu sering bersikap kurang sabar sdalam rumah tangga namun
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
130

setelah menghayati ajaran Pangestu responden merasa lebih sabar di dalam rumah

tangga dan lebih iklas dalam kehidupan bermasyarakat, tolong menolong dan

bergotong royong (W. R. I. 02. 169-182 dan 881-896).

Dalam menghayati ajaran Pangestu itu sejauh Eyang

menghayatinya selama ini ada perubahan enggak dalam hidup

Eyang? Perubahan dalam kehidupan Eyang secara pribadi yang

dulu mudah marah, tidak sabaran dan lain sebagainya, ternyata

saya setelah ikut Pangestu mengalami perubahan banyak sekali.

Kemudian dengan orang lain pun dalam hal tolong menolong,

gotong royong benar-benar sangat saya rasakan. Bahasanya

hidup koq kebingungan dengan masalah ini, kita Tanya saja kowe

jane bingung masalah opo? Butuhmu ki opo? Kita timbul rasa

kasihan. Sebab akhirnya setelah kita rasakan bahwa hidup ini, kita

lahir ini awalnya tidak membawa apa-apa, jadi yang saya nikmati

sekarang ini hanyalah sesuatu titipan saja. Sodaqah itu pahalanya

besar, bukan dalam hal materi tapi mungkin dalam hal salah dan

dosa dapat dikurangi juga dengan melaksanakan sodaqah.Dalam

Pangestu sodaqah itu namanya Budi Dharma (memberi kepada

orang lain dilepas secara ikhlas dan sah). Itu dalam bentuk olah

rasa. Misalnya saya pas datang mengikuti acara kuraos di

Pangestu, kebetulan saya membawa uang 1 juta. Setelah saya

kalkulasi dengan semua kebutuhan uang itu masih sisa 1rb..lha

uang sisa ini saya masukkan ke kotak amal, tetapi pas dikalkulasi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
131

ternyata ga cukup, ga memasukkan ke kotak amal ga apa-apa. (W.

R. I. 03. 855-877).

Responden mengaku merasa bahagia ketika melakukan panembah.

Menurut responden saat melakukan panembah adalah suatu pengalaman yang

luar biasa dan responden merasa bahwa panembah adalah suatu kebutuhan.

Responden melakukan panembah secara rutin setiap bangun tidur dan sebelum

tidur malam, selebihnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Ada suatu

keinginan untuk selalu mengulang panembah dan pengalaman yang luar biasa

tersebut.

Saya melakukan panembah sesuai kebutuhan saya mbak, biasanya

tiap bangun tidur dan sebelum tidur pada malam hari. Selebihnya

sesuai kebutuhan dan keinginan saya. Seperti misalnya kemarin

ketika saya akan ke Surabaya, saya melakukannya di dalam mobil.

(W. R. I. 01. 80-84).

Responden mengaku bahwa sekarang tidak ada perasaan cemas akan hari

esok. Responden mengatakan bahwa sama sekali tidak ada perasaan seperti itu.

Responden memang memiliki keyakinan yang besar terhadap rencana Tuhan.

Menurut responden Tuhan telah mengatur hidup manusia, dan hanya kepadaNya

seharusnya mengeluh, dan meminta pertolongan.

Kalau sekarang Eyang memandang masa depan gimana Yang?

Apa ada perasaan was-was, cemas, kuatir gitu?tentunya setelah

mengikuti Pangestu… Rasa cemas atau kuatir sama sekali ga ada,

dulu sebelum ikut ajaran Pangestu sering sekali kuatir. Ada istilah “
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
132

Yen Kowe Butuh Kebutuhan Rasah Sumelang, Kowe Jaluk Engsun

bakal Paringi” begitu mbak…. (W. R. I. 03. 897-903).

3. Hasil Wawancara Responden II

a. Pengalaman Mistik

Responden ini adalah seorang Kristen yang cukup taat. Panembah

dilaksanakan dengan menggunakan doa Kristen. Responden melakukan panembah

empat kali sehari, pagi saat bangun tidur, siang, sore dan sebelum tidur.

Budhe, nglampahi panembah menurut ajaran pangestu niku

nggih setiap teng gereja, nggih setiap saat? Kulo, nek manembah

niku, gandeng agama kulo Kristen nggih nggange doa Kristen.

Tapi nek setiap saat bututine pangesti, misalnya saya

membutuhkan pepadhang, saya bisa menggunakan cara pangestu.

(W. R. I. 03. 296-301). Jadi waktune nek sembahyang berapa

kali ? Lima kali. Lima kali ? Pagi, siang, trus mengke….eh empat

kali ding, jadi sonten, terus badhe mapan sare, terus diantara jam

satu sampai tiga niku, terus pagi. Niku. Nah itu kalo dalam

pangestu itu doa nya bisa sewktu-waktu, tapi yang tidak mau harus

dijalankan. (W. R. I. 03. 311-317).

Responden mengaku melakukaan sembah raga dan sembah kalbu. Akan

lebih baik jika melakukan sembah raga karena menurut responden ada banyak

pengorbanannya. Namun terkadang mau berdiri saja tidak mau sehingga yang

dilakukanya adalah sembah kalbu.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
133

Budhe sudah sembah raga atau sembah kalbu? Dua-duanya.

Kadang-kadang arep ngadeg we wegah, mbak dadi sing kulo

lakoni nggih sembah kalbu. Nggangge duduk, lha sing marake

nggih nilai wau aluawamah'e hehehe… wegah adem-adem.

Sembah kalbu yang penting dirinya bisa nyampe kesana

(menunjuk dada lalu menunjuk keatas) nek bisa niate, ngoten

mbak..lebih baik lagi sembah raga. Sembah Raga ka nada

pengorbanan lagi, misalnya saya mensucikan diri dulu, harus

obah, kudu obah. Tambah bagus lagi itu nek iso nglakoni.hehe..

(W. R. I. 03. 333-242).

Responden II mengaku bahwa saat melakukan panembah merasakan suatu

ketenangan dan kedamaian jika khusyuk dalam melakukannya. Responden juga

mengaku bahwa ketika melakukan panembah seolah-olah merasa melupakan

segalanya.

Oh niku rasane pripun ketika melakukan panembah ? Rasane

nggih….kalo kula, padane dengan khusyuk saestu ngoten lhe

mbak, kan otomatis disitu ada rasa ketenangan, kedamaina…nek

pas khusyuk tenan. Nah kan kadas melupakan segalanya.

Melupakan segalanya ? Nggih, melupakan keduniawian ngoten

lhe mbak. Dadi niate mung nyaket thok, dadi teng mriki (menunjuk

ke dada) damai dan selamat. (W. R. I. 03. 348-356).

Saat melakukan panembah agar sampai pada tahap khusyuk maka harus

diusahakan untuk melupakan alam sekitar. Selama panembah agar kekhusyukan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
134

dapat tercapai sebisa mungkin tidak merasakan apa yang terjadi atau apa yang

dirasakan pada tubuh. Responden mengumpamakan hal ini dengan digigit

nyamuk. Jadi walaupun digigit nyamuk, sebisa mungkin untuk tidak dirasakan

agar mencapai khusyuk.

Rasane Lingkungan sekitarnya tuh gimana? saat manembah

terus khusyuk begitu niku pripun? Oh…pas khusyuk ngaten

berusaha melupakan alam sekitar, ngoten. Oh ngoten nggih ?

Nggih, rasanya Cuma tenang. Merasakan ketenangan dan

ketentraman. Kalau kayak gitu itu merem ?

Nggih no mbak merem. Kalau berdoa merem, kalau ga merem

padanane nyamuk, misale awake dewe pas berdoa, terus da

nyamuk,trus digigit, dianggap wae ga digigit mbak. Yo ra

dirasake, dirasake nggih podo mawon. Enggak dirasake, niku

kerasa tapi ga dirasake, opo ga kerasa tenan ? Kerasa nanging

ga dirasakake. Berusaha tidak merasakan itu. Oh gitu? Yo

kerasa….hehe..wong dicokot, tapi ga dirasake ben khusyuk. (W.

R. I.03. 357-372).

Pada saat khusyuk tubuh responden merasa merinding, kemudian tubuh

terasa ringan. Hal ini dirasakan sebagai suatu keajaiban bagi responden, tubuh

terasa ringan, tidak merasakan apa-apa, dan hanya merasa enak saja. Namun kalau

tidak khusyuk kaki mulai terasa kesemutan, dan jika digigit nyamuk jadi terasa.

Terus tubuhnya tuh rasanya gimana? Nek pas khusyuk ngoten

gitu nggih gemrinding, terus entiiing ngoten, tapi sok-sok ning sikil
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
135

kene gringgingen. oh gitu? Nggih. Tapi pas bener-bener

khusyuk gitu tuh? Ya enggak merasakan. Tubuhnya rasanya

gimana? Entenglah…biasa ngaten le, mbak. Mboten ngrasake

pripun-pripun ngaten, koyo dene suatu keajaiban ngaten nika,

dadi awak ki ngrasake penak thok. Nek dong pas ora ngoten

nggih…..oalah nyamuke, di ceplek..terus dadi ora khusyuk, wong

dirasake, dadi wis ora sido khusyuk maleh. Nek khusyuk tenan

niku, rasane nggih penak thok. (W. R. I. 03. 374-387).

Secara emosional responden mengaku merasa senang karena pada saat

khusyuk itu hanya ada ketenangan, ketentraman, dan kedamaian. Pada saat

khusyuk pikiran harus dikosongkan, segala permasalahan keduniawian harus

ditinggalkan. Namun bukanlah suatu hal yang mudah mengiklaskan segala bentuk

keinginan dan permasalahan duniawi.

Secara emosional gimana? Secara emosional…mah… sedih..

seneng. Seneng, tentrem og. Nek khusyuk tenan niku

tenang…seneng…perasaane ki damai seneng! … Terus di dalam

pikirannya itu pripun? Pikirane nggih, harus di kosongkan

pikirkan itu harus kosong mbak. Semua keduniawan koyo wis

ditinggal-nggal tenan, ngoten nika. Koyo-koyo nek belajar wis

nglaleke, sing arep dipikir-pikir yo wis iklasno ngoten nika. Tapi

tidak setiap doa itu bisa tercapai seperti itu. Tapi Budhe pernah

mencapai seperti itu?? Kadang-kadang. Tidak sering tapi

kadang-kadang enek masalah arep nglaleke yo angel yo mbak, yo


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
136

ra khusyuk mung ngucapke thok. Dadine koyo keburu-buru ngoten

niku. Kerep yen ngoten niku. Kerepe ngoten niku, dadi misale oh

arep doa sek, duwe pikiran ''ngopo to kesusu'' , nah untuk

menghilangkan itu tuh kan sulit sekali, dadi yo mung butuhe thok

ok..plek..plek..wis nindakake kewajibane. Padane ngoten niku,

dadi ra khusyuk. Khusyuk dan tidaknya sering tidaknya,

hehe…waktu doa itu. Wong sesasi niku, khusyuk niku paling ping

tiga ping pindho kok khusyuknya, lha wong rumongso piye dunia

besar tesih sumandul ning badan niki, dados untuk ngosong ke

pikiran itu susah sekali. Karepe pas niat tenan dilalah pikirane

pingin tenang eh mikir opo, kelingan opo, kan dadi ora khusyuk.

Ngoten niku. (W. R. I. 03. 388-419).

Pada saat khusyuk itu tidak melihat apa-apa. Diri menjadi merasa berdosa,

nelangsa, dan penuh taubat. Pikiran kosong dan hati merasa penuh dosa. Jika

suasana seperti ini dapat tercapai maka lamanya panembah menjadi tidak terasa.

Pikiran kosong, tidak tahu waktu, tidak merasa capek dan kesemutan (W. R. I. 03.

451-453). Satu jam ataupun setangah jam berlalu begitu saja. Namun jika suasana

ini tidak tercapai, mengingat situasi seperti ini tidak selalu mampu dicapai karena

sulit maka pelaksanaan panembah juga menjadi terburu-buru.

Pas khusyuk gitu pernah ga kosong, ga lihat apa-apa ? Nek pas

khusyuk niku malah anu mbak teng mriki niku koyo ewa den era

nonton apa-apa. Malah hanya merasa diri kita itu penuh dosa,

penuh panalongso, penobatan, ngaten lhe mbak nek koyo ra


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
137

terpikir, dadine neng jiwa ki koyo wis penuh kotoran, penuh dosa

ngunu. Teng mriki koyo kosong blong ngoten.Berapa lama

kegiatan gitu? Lah kadang-kadang pas donga tenan ngoten, sak

jam yo ra kroso, setengah jam mboten kroso nek pas saat-saat

ngoten niku nggih, tapi nek pas saat-saat sambil lalu yo lima menit

koyo wis kudu oyak-oyak. Hehe…Padane cepet-cepet ndang

rampung. Sing penting nglakoni kewajibane. Ngoten niku

gangguan luar ki tetep masih banyak…mboten mesti sebulan iso

khusyuk ping pisan nopo ping pindho niku mboten mesti, tenan

niku. Hehe..mengosongkan niku sulit sekali. (W. R. II. 03. 420-

435).

Setelah melakukan panembah sampai pada suasana khusyuk yang

dirasakan adalah senang, gembira, lega, dan tenang. Beban terasa lepas, hilang,

dan yang ada hanya merasa tenang. Baik sembah raga, sembah kalbu, dan sembah

rasa suasana khusyuk ini tetap dapat diciptakan.

Nek bar ngeteniku bar nglakoni manembah. Setelah

manembah khusyuk selama 1 jam, itu rasane ati gimana? Gih

sumringah neng ati seneng, lego, tenang ngoteniku mbak….beban

rasane koyo ucul, ilang yang ada Cuma ketenangan

…Ya….ya….ya… Iku gunanya di antara manembah rasa,

manembah qalbu bisa diciptakan semacam itu? Bisa…tapi

alam khusyuk bener-bener tenang, damai. Ketenangan tetep ada,

ketentraman juga tetep ada. (W. R. II. 03. 483-492).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
138

Responden mengaku tidak pernah merasa bertemu dengan Sang Pencipta.

Saat melakukan panembah sampai khusyuk tadi yang dirasakan hanya perasaan

damai, senang, dan tenang saja.

Ketemu sama Pencipta? Klo ketemu yo gak mbak….wong Gusti

Allah iku angel dijangkau. Yang ada Cuma merasakan senang,

damai dan tenang…merasakan kosong blong ga da beban…eneke

muk seneng, damai tenang…. (W. R. II. 03. 493-497).

Suasana khusyuk ini tercapai dengan mengucapkan dzikir terus menerus.

Di dalam dzikir ini tersebar doa dan permohonan kepada Tuhan. Responden

mengucapkan hu Allah, hu Allah terus menerus dengan khusyuk, pikiran dan hati

terus mengucapkan doa kepada Tuhan hingga tidak terasa, perasaan menjadi

damai, dan pikiran menjadi kosong.

Selama itu mengucapkan doa terus dan kita merasa tenang

tenang gitu? Yo gih…andaikan kita khusyuk betul-betul kan

diwaktu kita doa..apa kebutuhan kami dan ucapannya tersebar itu

kados Dzikir. Klo dzikirnya dari Pangestu

itu…Hu…Allah…Hu…Allah dzikir dalam batin. Begitu terus?

Ya…selama kita dzikir kan tidak terasa mbak…klo sehabis kita

doa mengucapkan ayat itu sudah ikut dzikir. Sembah raga?

Waktu sembah raga jadi suasana khusyuk pas dzikir itu?

Gih…Jadi dipikiran sama hatinya mengucapkan Hu Allah…Hu

Allah gitu terus. (W. R. II. 03. 498-510).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
139

Responsden mengatakan bahwa dirinya sudah sampai pada sembah kalbu.

Selama ini responden ingin sekali melaksanakan sembah rasa tapi belum bisa

karena dirasa-rasakan belum sesuai dengan apa yang pernah dibaca dan tuntunan

Pangestu.

Budhe, sampeyan nek mpun sampe sembah apa ? Nek kulo

niku sampe sembah kalbu. Nek sembah rasa ingin sekali tapi

belum bisa. Belum bisa ? Iya karena dirasa-rasakan kok tidak

sesuai dengan apa yang pernah dibaca. Ajaran-ajaran yang sudah

disampaikan sama atasan-atasan, itu kan oh sembah rasa ki

ngaten-ngaten, tapi belum pernah merasakan. (W. R. II. 03. 625-

627).

Pada sembah rasa menurut responden adalah sudah merasakan

kekosongan, alam terasa kosong. Responden mengumpakan sama dengan keadaan

mati suri.

Sejauh ini yang dirasakan sampai sembah kalbu itu gimana

Budhe ? Sembah kalbu, nggih ngaten wau… yow is sing

melupakan ke duniawian lha nek sembah rasa kan iku mbak sing

wis iso seakan-akan kosong, alame wis kosong seakan-akan koyo

wis ngrasake MATI SURI niko le. Nek aku durung pernah. Budhe

dereng pernah ? Belum. Lha kan masih banyak kekurangan,

dosa-dosa gitu, utawa kesalahan-kesalahan. Belum sesempurna

apa yang diharapkan. (W. R. II. 03. 633-642).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
140

b. Realisasi Diri

Responden adalah seorang yang menerima kodrat kemanusiaan dan

perbedaan. Responden menganggap bahwa kodrat manusia adalah seperti roh

yang suci, yang suka berbuat baik sesuai dengan ajaran Tuhan. Selain itu kodrat

menurut responden diibaratkan seperti takdir, harus berusaha merubah dan

menjadi lebih baik namun dengan jalan yang baik dan mendekat dengan Tuhan.

Responden menerima kodrat manusia yang dipahami sebagai takdir namun juga

tidak ingin menyerah pada nasib. Manusia harus menerima takdir yang dituliskan

Tuhan namun juga mau merubahnya menjadi lebih baik dengan jalan yang baik

dan mendekat pada Tuhan.

Kalau menurut, Budhe kodrat manusia yang seharusnya itu

bagaimana? Kodrat? Ya itu tadi kalau jiwa manusia ini kan ada

roh suci. Nah kodratnya juga harus berbuat seperti roh suci.

Berbuat kebaikan sesuai ajaran Tuhan. Ning manusia kalau sudah

di kodratkan di dalam sangkan paran, yang dulu pernah berbuat

seperti itu, terus diciptakan lagi. kodratmu ik kalu kita tidak mau

merubah, kodrat itu kan seperti takdir to mbak? Kalau kita tidak

berusaha merubah, lha misale kodrae we arep dadi wong sugih,

kita malas bekerja, kan kita melawan kodrat. Nah malas-malasan

kan kita enggak bisa kan kita jadi orang kaya. Seperti itu. Nek

kodrate dadi wong ora duwe, sanajan warisane akeh, ndilalah

tumindake ora bener, opo diapusi uwong, opo lah. Nah ini harus

kita lawan. Tuhan tidak akan merubah kodrat manusia, kalau kita
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
141

sendiri tidak merubah. Lha nek gitu kita harus hati-hati, mendekat

pada Sang Pencipta. Lha misale wong ki arep kejeglokan kelopo,

karena kita mendekat kepada Tuhan dadine kejeglokan pelem wae

ora loro. Dapet pengentheng-pengentheng. Tapi nek ora mendekat

kejeglokan kelopo, eh malah sing akeh sisan. Hahahaha. (W. R.

II. 03. 1112-1131).

Beberapa jawaban responden menunjukkan bahwa responden adalah

seorang yang sangat menghagai perbedaan agama, maupun ras, dan golongan.

Seperti halnya responden I, responden II juga hidup di tengah-tengah perbedaan

agama, orang tuanya seorang Islam, dan pembantunya yang setiap hari bekerja di

warung makan miliknya juga seorang muslim, sedangkan dia sendiri beragama

Kristen dan cukup taat. Beberapa cerita tentang sikap responden terhadap

pembantunya yang suka mencuri menunjukkan bahwa sikap responden sangat

menghargai, dan menerima perbuatan pembantunya. Responden tidak ingin

melukai hati pembantunya dengan mengeluarkannya dari pekerjaan dengan cara

yang buruk sehingga tidak terjadi pertengkaran kemudian memutus tali

persaudaraan diantara keduanya. Meskipun pembantunya berbeda keyakinan

dengan responden. Tidak berbeda dengan responden I, responden II pun beralasan

bahwa semua umat manusia ini ciptaan Tuhan sama dengan dirinya dan mengapa

pula tidak saling membantu padahal tujuan semua manusia adalah sama yaitu

kembali kepada Tuhan hanya jalannya saja yang berbeda.

Sak niki mbak nek jenenge uwong ora saling menghargai, lha sak

niki kula Kristen, orang tua Islam to mbak kok iso seiring to mbak
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
142

wong urip bareng-bareng. Sing penting iso kerja sama, nggih to?

Wong kabeh ciptaane Tuhan. Nek rewang kulo ora sholat, nggih

kulo sengeni. “mbak luhur, mbak sholat, ngashar opo magrib”

seperti itu kita saling mengingatkan. Saat pengajian, “mbak kowe

kok ora pengajian, ngopo?”, nah gitu. Kalau saya mau ke gereja,

yo dielingke, “Budhe nang gereja mboten, beston mboten?”, gitu.

Jadi kita saling menghargai, jadi komunikasinya kan bagus,

ngaten. (W. R.II. 03. 1102-1111).

Responden menjelaskan bahwa dalam menerapkan prinsip Bhineka

Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari harus pandai-pandai menempatkan diri.

Hal ini berhubungan dengan saling menghormati dan menghargai. Dalam ajaran

Pangestu memang dituntun agar menghargai semua umat manusia, menghargai

dan menghormati umat agama lain. Jika seorang Pangestu menjalankan ajaran

Pangestu dengan baik, sudah otomatis kehidupan bertoleransi dan berbhineka

tunggal ika akan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Nah, kalau menurut Budhe menerapkan prinsip bhineka

tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari, itu bagaimana? Kita

harus pandai-pandai menempatkan diri. Nah ini kalau

hubungannya saling menghargai, saling menghormati tadi. Yang

kalau tadi kita berlainan agama, kan tujuannya sama. Misalnya

mau ke Solo, ada yang lewat Sragen, lewat Karanganyar. Lah ini

mengapa kita tidak saling mengingatkan, saling menjaga? Kalau

dalam bhineka kan harus menghargai kerukunan, nggih to mbak?


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
143

Kalau kita bisa menjalankan kodrat ajaran otomatis, bhineka

tunggal ika kita jalankan sehari-hari. Nggih to? Hehehe… (W. R.

II. 03. 1132-1142).

Hal ini menunjukkan responden memenuhi ciri pertama realisasi diri yaitu

menerima kodrat manusia pada umumnya, memiliki kesadaran dan toleransi yang

lebih besar terhadap kondisi umat manusia, dan berempati dengan masalah

kemanusiaan, tanpa memandang ras, golongan, dan agama.

Responden tentunya adalah pribadi yang sangat meyakini akan adanya

Tuhan. Terbukti karena berdasarkan pengamatan selamapengambilan data,

responden tiap minggu pergi ke gereja. Dan dari banyak pembicaraan selama

pengambilan data, responden sering menghubungkan masalah sehari-hari dengan

rencana atau kehendak Tuhan (W. R. II. 02. 198-200; 205-207; 439-447; 437-

448). Selain itu responden juga mempercayai hal-hal yang misterius dan

supranatural seperti takdir, mahkluk halus, surga, neraka dan kematian.

Responden dalam banyak kesempatan sering mengungkakan bahwa hidupnya

sudah dekat dengan kematian.

Nggih niku wau, carane srengenge wis pangklong dadi wong ki

umure wis kari pirang dino kas, dadi lagi kroso meh tobat.

Hehe…Baru menyadari, baru sangat membutuhkan, nek boten

nggih yi dianggap alah opo ngunu kuwi, alah…. Hehe…. Wis

umur……. Tapi kan mung ucapan lha nek koyo niku ngoten-ngoten

eh yo penting tenan. (W. R. II. 02. 182-187).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
144

Responden juga nampak banyak berusaha untuk memperbaiki

hubungannya dengan Tuhan. Responden merasa banyak dosa, dan berusaha

memperbaiki diri dengan semakin mendekat dengan Tuhan. Banyak

permasalahan hidup yang diselesaikan dengan memperbanyak kepasrahan kepada

Tuhan, seperti masalah responden dengan pembantunya, masalah rejeki, bahkan

masalah rumah tangga. Oleh karena itu responden mendapat ketenangan dan

ketentraman.

Kalau dalam kepribadian atau karakter Budhe,bagaimana?

Didalam kehidupan sebelum menghayati Pangestu itu ajaran-

ajaran mungkin didalam batin itu tidak tenang, ketentraman

tidak ada, kedamaina di dalam rumah tangga, tidak ada. Tidak

ada kekompakan. Tapi setelah menyiswa, setelah menghayati

ajaran semua itu yo rumah tangga merasa ada kedamaian, ada

ketentraman antara pakdhe, sama anak, dan sama lingkunganya

pun merasa jauh sekali sebelum kita mengenal. Sekarang sudah

ada rasa panarima. Apa yang ada didepan saya sudah saya

syukuri, itu yang membuat kita rasakan tenang. Gimana ya

mbak…orang yang menyiswa dan tidak itu mesti ada bedanya.

Misalnya kalau kita merasa sedih, orang awam pasti larinya ke

dukun atau paranormal. Tetapi kita sudah punya senjata yaitu

berserah kepada Tuhan. Meski kita akan mendapatkan apa yang

kita inginkan dalam arti kita bias merasakan ketenangan dalam

berdoa, Tuhan akan memberikan jalan ketenangan. Kan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
145

misalkan hati kita sedih, sedang dalam menghadapi masalah,

apa yang membuat hati kita gelap. Tapi setelah mendekat,

berserah itu kita ada pepadhang dari Tuhan, gitu. (W. R. II. 03.

650-674)

Selain meyakini akan adanya Tuhan, responden juga mempercayai hal-hal

yang tidak diketahui secara kasat mata di alam semesta seperti indra keenam serta

hal-hal misterius yang tidak banyak disadari. Responden percaya bahwa manusia

diciptakan Tuhan hidup berdampingan dengan mahkluk lain yang tidak kelihatan

yaitu mahkluk halus.

Kalau memandang alam semesta, gimana Budhe? Alam donya

niku kan misterius, ada yang kita ketahui, ada yang tidak. Nah

itu menurut Budhe gimana? Misale punden, roh halus,

gendruwo ngaten to mbak? (Kemudian Budhe berdiri dan

menunjukkan kepada saya suatu kitab tentang pewayangan Jawa

yang hubungannya dengan alam kadewatan. Tapi karena kitab itu

tidak ada penjelasanya dan hanya terdapat gambar, Budhe

berusaha menjawab pertanyaan peneliti dengan kalimatnya

sendiri). Panca indera manusia itu kan sebetulnya ada indera

keenam. Kalau orang-orang biasa, kalau ada apa-apa kan kita

enggak tahu. Kalau kita mendekat, misalnya saja diberi

pengetahuan lebih oleh Tuhan, misalnya saja ada roh halus disitu,

dia tahu. Nah jin-jin itu kan tidak semuanya jahat, ada yang suka

menolong, ada yang untuk pesugihan itu, ada yang mengganggu


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
146

tapi kalau misalnya kita tidak mengganggu, mereka juga tidak

mengganggu. (W. R. II. 03. 1143-1159).

Ini menunjukkan bahwa responden II memenuhi ciri kedua realisasi diri

yaitu menerima hal-hal yang misterius, tidak disadari, dan hal yang berhubungan

dengan kewaskitaan, supranatural, dan kepercayaan akan adanya Tuhan.

Selanjutnya untuk ciri ketiga realiasasi diri yaitu tentang kepribadian yang

universal ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang ditunjukkan oleh

responden I. Jawaban responden II tidak menunjukkan ciri yang spesifik yang

bisa menunjukkan bahwa terjadi perubahan struktur kepribadian selama reponden

menghayati ajaran Pangestu dan memiliki pengalaman mistik selama melakukan

panembah. Responden mengaku bahwa setelah benar-benar menghayati ajaran

Pangestu, menerapkan sendiri ajarannya, dan merasakan sendiri pengalaman-

pengalaman selama melakukan panembah telah terjadi banyak perubahan dalam

diri dan kehidupan pribadinya. Responden merasa lebih sehat, merasa bahwa

banyak sifat buruknya yang menjadi lebih baik sekarang, dan hubungan dengan

orang lain juga menjadi lebih baik, hubungan dengan keluarga menjadi semakin

kompak.

Ee… selama ini, selama 5 tahun ini menghayati Pangestu,

walaupun sebelumnya sudah tahu, perasaanya gimana?

Perasaanya yo luwih tenang, luwih tentrem sak wene mpun

menghayati ngono.Ooh…ngoten…? Nggih, pokoke misalkan

dhek mbiyen nggih budhe, perkara napa-napa ngoten langsung

mak prempeng ngoten, sak niki mboten. Oh yow is ben…pasrah


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
147

karo Gusti Allah. Ya piker sek tak nalar. Prempeng?? Emosi,

misale…..hueh..huh (responden memperagakan tangan kanan

diremas-remas dan dipukul-pukul di atas tangan kiri.

Langsung pipine uabang…brangasan). Emosinya di depan. Sak

niki eh nggih iso rodo nekon sithik, eh..sing penting Gusti Allah,

perso nek ngoten kan iso rodo nekan sithik. Hwah nek mbiyen opo-

opo sithik brangasan. Hueh..huh..akhirnya kita sendiri yang rugi.

Kesehatan terganggu…ngoten niku. Kenapa ko merasa lebih

sehat ? Ya karena ada ketenangan itu tadi kan semua jiwa yang

tenangkan mempengaruhi lha niku sing kulo pengeni. Supaya

sehat tenan kan jiwa yang tenang kan bedo mbak karo jiwa sing

brangasan, otomatis mengko darah tinggi… thuru… thut… thut…

thut. Hehehe. (W. R. II. 02. 193-215).

Responden merasa sekarang semakin bisa mengendalikan emosi dan amarah,

serta lebih sabar dan iklas dalam menjalani hidup. Rasa sosial juga terasa lebih

mudah.

Sampai penghayatan sejauh ini dalam Pangestu…Mm…ada

perubahan ga dalam diri Budhe? Ada. Banyak. Apa aja,

Budhe? Misalkan nek kulo biasane gampang emosi. Mm..

misalnya dalam hidup bermasyarakat. Mm…. difitnah,

et…hem…dirasani uwong misalnya, sing A ngomong,’’ mbak kowe

dirasani iki’’. Biasane kan mak bel…Emosi, sekarang tidak

misalnya gitu. Terus rasa sosialnya niku merasakan kurang, tapi


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
148

sekarang karena berkat yang diberikan pada kita rasa sosialnya,

entah berupa apa, walaupun tak berharga tapi mungkin kita sudah

punya rasa itu. (W. R. II. 03. 643-654).

Responden juga merasakan ketenangan dan ketentraman setelah menghayati

ajaran Pangestu. Kehidupan rumah tangga menjadi lebih kompak.

Kalau dalam kepribadian atau karakter Budhe,bagaimana?

Didalam kehidupan sebelum menghayati Pangestu itu ajaran-

ajaran mungkin didalam batin itu tidak tenang, ketentraman tidak

ada, kedamaian di dalam rumah tangga, tidak ada. Tidak ada

kekompakan. Tapi setelah menyiswa, setelah menghayati ajaran

semua itu yo rumah tangga merasa ada kedamaian, ada

ketentraman antara pakdhe, sama anak, dan sama lingkunganya

pun merasa jauh sekali sebelum kita mengenal. Sekarang sudah

ada rasa panarima. Apa yang ada didepan saya sudah saya

syukuri, itu yang membuat kita rasakan tenang. Gimana ya

mbak…orang yang menyiswa dan tidak itu. (W. R. II. 03. 655-

665).

Namun responden mengakui bahwa dirinya masih merasa kurang dalam

sifat iklas. Responden masih merasa kurang iklas terlebih setelah sepeninggal

orang tuanya. Ada rasa dimana responden belum merelakan kematian orang

tuanya. Namun dibalik itu responden merasa bersyukur mengenal pangestu.

Responden mengatakan bahwa sekarang menjadi lebih tenang, karena jika tidak

betapa menderitanya dirinya. Pangestu dan agama harus seiring, inilah yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
149

membuat responden merasa lebih menerima hidup. Dengan mengenal Tuhan

responden merasa bahagia walaupun masih dirasa kurang atau belum sempurna

menjalankan ajarannya.

Setiap manusia kan punya kelebihan dan kekurangan. Selama

ini, sejauh menghayati pangestu, apa yang budhe rasakan

terhadap kekurangan dan kelebihan Budhe? Kekurangan saya

mm…saya sering merasa kekurangan. Disini ini.. rasa tidak iklas

itu sering muncul. Padahal disitu itu ada lima. Pancasila itu, rila,

narima, temen, sabar, budi luhur. Untuk mencari rila kan iklas,

mbak. Rasa iklas ki, apalagi saat-saat sekarang itu waktu mbah

kakung meninggal itu, sering sekali muncul rasa tidak iklas.

Mengapa orang tua sudah dipanggil, kadang saya sering

menangis, sering ini mengulang kembali. Ini kan rasa tidak iklas,

mbak. Nah,ini sering menghantui mengulang kembali. Ini kan rasa

tidak iklas, mbak. Nah, ini sering menghantui dan untuk saya

rasakan kelebihan saya, seandainya saya tidak mengenal ini,

seperti apa jiwa saya, lebih menderitanya diri saya. Itu kelebihan

dan kekuranganya. Jadi kelebihanya tuh disini to untuk

menghibur, dari pribadi, seumpamane saya tak mengenal

pangestu, tidak mentaati peraturannya, walaupun anu yo mbak,

piye yo mbak. Mm…Pangestu dengan agama kan harus seiring. Yo

kan?! misalkan saja belajar tentang keagamaan terus, tidak

disertai Pangestu. Saya kira, jalan tidak seimbang. Saya


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
150

menghadapi pangestu terus, tapi dalam tata keorganisasian kan

kita harus mengikuti agama, seperti pernikahan, kematian kan

ada tata caranya, tapi untuk jiwa, seandainya kita mengenal

Tuhan, tidak sungguh-sungguh alangkah menderitanya jiwa kita.

Nah kelebihannya saya merasa beruntung sekali, mengenal Tuhan

dan masuk dalam pangestu ini. Merasa beruntung itu kelebihan

kami. Kekurangannya yaitu belum saya itu, belum, rasa-rasanya

masih belum benar-benar menjalankan perintahnya, rasa iklas,

rasa sabar, masih kurang, rasa panarima, ini kadang-kadang

masih timbul rasa tidak panarima juga. (W. R. II. 03. 782-818).

Ini menunjukkan adanya kesadaran dalam diri responden untuk menerima

kekurangan dan terus berusaha untuk memperbaikinya. Responden sadar bahwa

dirinya memiliki sisi gelap dan terus berusaha menekan kemunculannya dalam

perilakunya meskipun itu sulit karena dia manusia biasa.

Jane ucapannya cuma sabar, tapi sulit sekali menjalankannya

seperti menghadapi pembeli yang tidak sesuai dengan nurani kita,

kadang emosi, rasa sabar ini yang sulit sekali……hahaha. Jujur

saja, mbak rasa tidak iklas ini sekarang-sekarang ini sering

muncul sepeninggal mbah kakung, alah…..mengapa begitu cepat

simbah itu dipanggil Allah ini,mengapa…..lha disini kadang-

kadang menangis sendiri. Nah ini kan kadang-kadang membuat

jiwa kita tidak sehat karena tidak bisa menjalankan pancasila.

Nah itu tadi untuk menjalankan ya kita berusaha, tapi manusia


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
151

masih banyak kekurangan. Setiap bangun tidur saja, berdoa, minta

kekuatan dan kesabaran. Nah baru berdoa saja kan ini kan sabar

sudah hilang lagi. Nah bangun ketemu pakdhe ah…ha..ha.. Kan

sulit sekali untuk menjalankan apa yang kita harapkan, apa yang

kita inginkan, tapi kan mengapa tidak menjalankan yang sulitnya

jalan tadi. Kita ibaratkan orang jalan. Jalan setapak menuju

kebaikan itu kan banyak duri-durinya, kita harus pegangan kuat.

Memang ada kelebihan dan kekurangan. Kalo kita menerima

anugerah, menerima kedamaian, disini waah sering merasa

bahagia sekali. Tapi kadang-kadang entah sebulan sekali, entah

sedetik, diberi ujian sedikit saja sudah menghujat Tuhan. (W. R.

II. 03. 818-838).

c. Aktualisai Diri

Pengalaman mistik pangestu yang dirasakan oleh responden II ternyata

menunjukkan banyak perubahan pada diri dan kehidupan pribadi. Seperti sudah

banyak diungkapkan pada sub bab realisasi diri diatas, responden mengaku

merasa lebih sehat, karena merasa lebih sabar dan tidak cepat marah (W. R. II. 02.

196-215). Responden merasa sekarang merasa ada ketenangan dan ketentraman di

dalam hati. Responden mengatakan bahwa jiwa yang tenang akan berbeda dengan

jiwa yang brangasan atau jiwa yang terburu-buru dan penuh emosi. Menurut

responden jiwa yang brangasan dapat memicu penyakit darah tinggi.

Kenapa ko merasa lebih sehat ? Ya karena ada ketenangan itu

tadi kan semua jiwa yang tenangkan mempengaruhi lha niku sing
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
152

kulo pengeni. Supaya sehat tenan kan jiwa yang tenang kan bedo

mbak karo jiwa sing brangasan, otomatis mengko darah tinggi…

thuru… thut… thut… thut. Hehehe. (W. R. I. 02. 210-215).

Dulu sebelum menghayati pangestu dan menerapkan ajarannya responden

sering terpicu emosinya, emosional, dan mudah marah. Namun setelah mulai

menghayati pangestu, responden sekarang memasrahkan semua yang terjadi

kepada Tuhan sehingga perasaan menjadi lebih tenang dan tentram.

Ee… selama ini, selama 5 tahun ini menghayati Pangestu,

walaupun sebelumnya sudah tahu, perasaanya gimana ?

Perasaanya yo luwih tenang, luwih tentrem sak wene mpun

menghayati ngono. Ooh…ngoten…? Nggih, pokoke misalkan

dhek mbiyen nggih budhe, perkara napa-napa ngoten langsung

mak prempeng ngoten, sak niki mboten. Oh yow is ben…pasrah

karo Gusti Allah. Ya piker sek tak nalar. Prempeng?? Emosi,

misale…..hueh..huh (responden memperagakan tangan kanan

diremas-remas dan dipukul-pukul di atas tangan kiri.

Langsung pipine uabang…brangasan). Emosinya di depan. Sak

niki eh nggih iso rodo nekon sithik, eh..sing penting Gusti Allah,

perso nek ngoten kan iso rodo nekan sithik. Hwah nek mbiyen opo-

opo sithik brangasan. Hueh..huh..akhirnya kita sendiri yang rugi.

Kesehatan terganggu…ngoten niku. (W. R. II. 02. 193-209)


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
153

Hubungan dengan orang lain pun menjadi lebih baik, dengan keluarga,

anak dan suami, semuanya menjadil lebih kompak. Rumah tangga dirasakan lebih

nyaman.

Didalam kehidupan sebelum menghayati Pangestu itu ajaran-

ajaran mungkin didalam batin itu tidak tenang, ketentraman tidak

ada, kedamaina di dalam rumah tangga, tidak ada. Tidak ada

kekompakan. Tapi setelah menyiswa, setelah menghayati ajaran

semua itu yo rumah tangga merasa ada kedamaian, ada

ketentraman antara pakdhe, sama anak, dan sama lingkunganya

pun merasa jauh sekali sebelum kita mengenal. Sekarang sudah

ada rasa panarima. Apa yang ada didepan saya sudah saya

syukuri, itu yang membuat kita rasakan tenang. Gimana ya

mbak…orang yang menyiswa dan tidak itu mesti ada bedanya.

Misalnya kalau kita merasa sedih, orang awam pasti larinya ke

dukun atau paranormal. Tetapi kita sudah punya senjata yaitu

berserah kepada Tuhan. Meski kita akan mendapatkan apa yang

kita inginkan dalam arti kita bias merasakan ketenangan dalam

berdoa, Tuhan akan memberikan jalan ketenangan. Kan misalkan

hati kita sedih, sedang dalam menghadapi masalah, apa yang

membuat hati kita gelap. Tapi setelah mendekat, berserah itu kita

ada pepadhang dari Tuhan, gitu. (W. R. II. 03. 656-674).

Selain hubungan dengan keluarga, responden juga merasa rasa sosialnya

semakin meningkat. Karena berkat dan rejeki yang diberikan Tuhan membuat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
154

responden merasa lebih mudah memberi dan berbagi walaupun tidak seberapa

namun perasaan ingin memberi itu sudah ada.

Misalkan nek kulo biasane gampang emosi. Mm.. misalnya dalam

hidup bermasyarakat. Mm…. difitnah, et…hem…dirasani uwong

misalnya, sing A ngomong,’’ mbak kowe dirasani iki’’. Biasane

kan mak bel…Emosi, sekarang tidak misalnya gitu. Terus rasa

sosialnya niku merasakan kurang, tapi sekarang karena berkat

yang diberikan pada kita rasa sosialnya, entah berupa apa,

walaupun tak berharga tapi mungkin kita sudah punya rasa itu.

(W. R. II. 03. 647-659).

Responden II pun memiliki toleransi yang besar dengan masyarakat.

Responden hidup rukun dengan pembantunya yang Islam dan ada kerja sama

yang baik diantara keduanya. Responden dan pembantunya saling mengingatkan

untuk menjalakan ibadah sesuai dengan agama masing-masing.

Sak niki mbak nek jenenge uwong ora saling menghargai, lha sak

niki kula Kristen, orang tua Islam to mbak kok iso seiring to mbak

wong urip bareng-bareng. Sing penting iso kerja sama, nggih to?

Wong kabeh ciptaane Tuhan. Nek rewang kulo ora sholat, nggih

kulo sengeni. “mbak luhur, mbak sholat, ngashar opo magrib”

seperti itu kita saling mengingatkan. Saat pengajian, “mbak kowe

kok ora pengajian, ngopo?”, nah gitu. Kalau saya mau ke gereja,

yo dielingke, “Budhe nang gereja mboten, beston mboten?”, gitu.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
155

Jadi kita saling menghargai, jadi komunikasinya kan bagus,

ngaten. (W. R. II. 03. 1102-1111).

Pandangan responden dalam banyak hal yang terjadi di dunia ini hampir

selalu dihubungkan dengan Tuhan. Seperti menanggapi perbedaan agama,

responden mengatakan bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan, agama

hanyalah sebagai suatu jalan, walaupun berbeda-beda tujuannya adalah sama

yaitu Tuhan, mengapa semua orang tidak saling membantu dan saling bekerja

sama (W. R. II. 03. 1132-1142). Responden yang dulunya tidak pernah ke gereja

sekarang menjadi rutin ke gereja karena itu adalah suatu kebutuhan. Responden

juga berusaha selalu mendekat kepada Tuhan dengan banyak berdoa, tidak hanya

pada saat susah saja, namun diusahakan untuk selalu mengingat Tuhan setiap saat.

Beda banget ya, Budhe ? Beda. Sudah jauh berbeda dulu saya

enggak pernah ke Gereja. Agama saya Kristen, belum mengenal

pangestu. Yo mengenal tapi belum menghayati kadang kalo inget,

ke Gereja, kalo enggak yo enggak. Tapi sih masuk dan menghayati

yo kita semakin aktif ke Gereja, karena itu ternyata suatu

kebutuhan. Lha dalam masuk pangestu itu seakan-akan diabaikan,

ternyata pangestu bukan agama tapi menguat jiwa, menunjuk kan

mana yang benar, mana yang harus ke Gereja. Perbedaanya jauh

sekali. Yang dulu dong-dongan yen longgar saja. Sekarang wong

itu kebutuhan ya harus kita usahakan, dulu doa, waktu lagi susah

aja langsung datang kepada Tuhan untuk memberi pertolongan itu

lah setelah ikut pangestu, kita eling itu dan menyadari kita ciptaan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
156

Tuhan, mengapa kita tidak dating kepada Tuhan. Lha sehari dulu

itu misalkan doa Cuma sekali, sekarang setelah ikut Pangestu, kita

resapi, kita hayati kita bias setiap saat berdoa. Misalkan kita tidak

sempat meluangkan waktu masuk kemari dan duduk. Tapi saat

memasak atau dalam perjalanan pun kita bisa mendekat. Disitulah

perbedaanya. Jauh sekali….(W. R. II. 03. 675-694).

Sebisa mungkin menurut responden seseorang harus mensyukuri apa yang

diberikan Tuhan. Manusia memang harus berusaha namun juga sebaiknya

mensyukuri apa yang diterima. Tidak mensyukuri membuat pikiran menjadi

ngongso atau terpaksa, tertuntut, dan berambisi. Perasaan bersyukur dan berserah

kepada Tuhan membuat responden merasa berkecukupan dan kecukupan ini

sesuai dengan kekuatannya.

Kadang-kadang wah sing penting uripe sugih neng donya we.

Seperti Tuhan bersabda, ‘’ Banya murid, tapi sedikit terpilih’’.

Kita pun berusaha semaximal mungkin dihadapan Tuhan belum

apa-apa tapi niat ingsun usaha, entah dihadapan Tuhan yang

menilai. Tapi setelah kita betul-betul berserah, menghadapi apa

yang ada dihadapan kita, ya semua orang karepe yo sugih yo

menurut kekuatan. Misalkan saja kita sehari biasanya dapat 50

ribu, hari ini mendapat 100 rb tidak kita syukuri, ini kan ngongso

pikirane, dan tidak kita syukuri akhire golek pelarian lah. Nah

inilah goda yang paling besar. Bila kita berserah, apa yang kita

dapatkan kita syukuri, tapi bisa membuat kecukupan pada


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
157

kehidupan kami. Nah kecukupan ini tadi sesuai dengan kekuatan

kita. Nah nek wong kuwi lagi mbrangkan terus pingin ngadeg kan

mesti jatuh. (W. R. II. 695-709).

Pernyataan responden menunjukkan bahwa budi pekerti yang baik itu sulit

dicapai dan hanya orang lain yang bisa menilai. Sering orang lain itu menilai

seseorang buruk dan belum tentu banyak orang menyukai sikap seseorang.

Responden mengatakan bahwa hanya sedikit saja orang yang biasanya menyukai

sikap masing-masing orang, namun walaupun begitu tetap saja harus terus berbuat

baik. Dan untuk mendapatkan hal ini (image diri yang baik) itu tidak perlu banyak

sanjungan, yang paling penting adalah terus berbuat baik.

…tetangga kan udah dilihat orang itu kaya atau miskin. Tapi

tentang budi pekerti ini sulit sekali kan untuk dibaca kalo kita

tidak berusaha menunjukkan kepada masyarakat atau kepada

tetangga, misalkan he wong kuwi dek mben gawene galak kok

saiki ora, ndek mben gawene ngene ternyata kan, disini kita

harus perubahan ini kita berusaha berubah bukan kita yang

menilai tapi orang lain yang menilai, lha disini. Dadi entah

orang itu menilai seperti apa terserah menilai kita tapi yang

penting kita berusaha untuk berbuat baik … lha untuk

mendapatkan ini tidak perlu mendapat sanjungan dari orang-

orang tapi yang penting kita berusaha berbuat baik kalo ada

hasil atau tidaknya kita yang merasakannya. Nggih to mbak,

masalah orang wong kie, wong njobo wah wong iki saiki sugih,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
158

wonge saiki berhasil tapi dari segi itu bagaiman jalan mendapat

rejeki itu tapi kalo budi pekerti perilaku, lha ini sulit sekali. (W.

R. II. 03. 711-748).

Karena sikap yang berusaha mendekat kepada Tuhan, pasrah, sabar, dan

terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik sesuai dengan ajaran Pangestu

maka di hati ada rasa kedamaian. Dengan terus berbuat baik dan taat pada ajaran

maka perasaan menjadi damai, tenang, dan tentram.

kalo kita tau taat kepada ajaran seperti hal-hal yang seperti ini tidak

perlu kita ucapkan, kita lihat lebih teliti, kita tidak tau gitu saja kan

disini ada perdamaian tidak dapat tekanan darisana, darisini. (W. R.

II. 03. 768-771).

Sekarang responden merasa harus terus berbuat baik, mengikuti tuntunan

agama dan ajaran pangestu. Hal ini karena semua keinginan sudah berkurang dan

keinginan responden sekarang hanya ingin mendekat kepada Tuhan untuk sangu

pati atau bekal kematian. Bekal ini bukanlah harta dunia, namun kesucian. Karena

inilah responden ingin terus berbuat baik kepada orang lain.

Ya. Iki pangestu ini adalah rasa panarima tadi, untuk keinginan yang

tersampaikan…Mm…kalau kita sudah mengingat umur ya mbak? kalo

umur diatas 30-40 tahun kan misalkan matahari kan masih berada di

tengah, keinginanya sekuat tenaga, ingin mencapai setinggi langit,

tapi kalau sudah mencapai umur 40 keatas, nah kan ibarat sinar

matahari kan sudah glewang. Nah disini kan sudah orang seakan-

akan sudah pangklong srengenge iku, nah kalo orang belajar


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
159

keagamaan, belajar pangestu, dalam taat beragama karena disini

semua keinginan sudah berkurang, mbak. Ya keinginan cuma ingin

mendekat, dan untuk sangu pati. Dan sangu pati ini tidak butuh bondo

donya, mbak. Yang dibutuhkan hanya kesucian. Lha untuk mencapai

kesucian ini, kita harus merubah segalanya. Yang dirubah bukannya

keinginan, tapi yang dirubah Cuma watak kita. Yang dulunya tamak,

sekarang tidak ramak. Yang dulunya brangasan, sekarang harus kita

tekan. (W. R. II. 03. 855-871).

Meskipun berulang kali diungkapkan bahwa responden berusaha terus mendekat

kepada Tuhan dan terus berserah, ternyata responden juga mengungkapkan bahwa

responden masih merasa cemas akan masa depan ataupun hari-hari esok.

Responden merasa was-was dan untuk menghilangkannya sulit sekali. Responden

masih sering merasa was-was tentang masa depan baik masa depannya maupun

masa depan keluarga juga tentang pekerjaan.

Selama menghayati pangestu, ada kecemasan, kekhawatiran

enggak akan masa depan, Budhe? Itu masih ada, mbak. Masih

ada? Waktu mbah kakung mau meninggal itu kan saya pernah baca

sedikit di kitab sabda khusus itu tentang anu orang was-was,rasa

kuatir. Saya itu ngopo nggih, kalo sekarang kuatir, merasa was-was.

Gimana cara untuk menghilangkan rasa was-was itu. Itu sulit sekali

memang, kadang-kadang ya ini menghilangkan memang sulit sekali

rasa was-was itu. Ya memang saya sering sekali merasa was-was.

Apalagi masih banyak keluarga. Gimana nanti kehidupan anak saya.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
160

Hidup keluarga saya. Apakah nanti bias masuk surga tidak.

Bagaimana nanti dapat jodoh yang bagaimana. Rasa kuatir tetap

menghantui. Ini sering muncul, tidak cuma sekali, dua kali dalam

sehari, dua hari. Misalkan dalam jualan, kalau kita tidak bisa

memegang teguh jiwa kita. Dodolanku mengko payu po ra. Ini kan

rasa kuatir. Ini nanti kalo ada perubahan pekerjaan, pekerjaan yang

lain, iki piye, lha terus ngko piye, laaah…Rasa kuatir itu sering

muncul. Rasa kuatir dan rasa was-was. Tidur sampe mandi, sampe

tidur lagi, seringkali muncul. Kadang saat makan saja, saya bias

berpikir iki mengko piye yo….. (W. R. II. 03. 915-937)

Setelah menghayati ajaran pangestu, perasaan was-was ini sudah berkurang

walaupun masih ada. Perasaan was-was ini sekarang timbul dan tenggelam,

sedangkan kalau dulu perasaan was-was ini hampir terus muncul.

Sampai sekarang? Sampai sekarang. Berkurang atau tidak? Ya

berkurang. Kalau dulu yang dimakan apa, rasa kuatir full, hampir

satu hari full. Tapi setelah ikut pangestu yo muncul, tenggelam,

muncul. Ada tenggelamnya dulu, nanti kuatirnya full, nah sekarang yo

mungkin timbul tenggelam, timbul tenggelam, rasa kuatirnya. (W. R.

II. 03. 938-945).

Responden juga menerangkan bahwa sekarang usaha warung makannya

sudah memiliki pelanggan, padahal dulu harapan tinggalah harapan, tidak ada

usaha untuk mewujudkannya. Sekarang setelah berserah kepada Tuhan, usaha

warung makannya telah memiliki tempat tetap untuk berjualan dan tidak perlu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
161

menawar-nawarkan untuk mencari pelanggan. Responden menjelaskan bahwa

dalam berdagang ataupun bekerja mencari keuntungan adalah suatu hal yang baik

namun harus dengan cara yang wajar. Jika Tuhan sudah berkehendak maka

kesuksesan akan datang, dan responden merasa bersyukur karena sampai sekarang

pelanggannya tidak ada yang kapok. Kalau seseorang itu taat kepada tuntunan

agama dan ajaran pangestu, selalu bersyukur kepada Tuhan, menerima segala

yang terjadi maka akan ada ketentraman dan kedamaian di hati. Bekerja

sebaiknya sekuatnya untuk mendapatkan rejeki dan tidak perlu di paksa.

Oh, nggih. Misalkan dulu, kita punya harapan, ya tinggal harapan

thok, misalkan pembeli aja kita harus ndadak nawak-nawake kesana-

kemari. Tapi setelah betl-betul berserah, serah kepada tuhan, kita

tidak menawarkan, orang yang mencari kita. Tak usah mencari

pelanggan keman-mana … Orang dagang mencari keuntungan adalah

hal yang baik, tapi dengan jalan yang wajar. Untunge pelanggan-

pelanggan saya enggak ada yang kapok. Orang lewat misalkan

kebetulan lewat pasti bilang, “ kalau saya lewat, saya pasti mampir

sini karena saya cocok masakane”, gitu … Nek uwis taat, disyukuri,

ditrimo yo kuwi sing penting disini ada kedamaian, ketentraman.

Nyambut gawe sak kuwate, lantaran pengen entuk rejeki, yo kudu

usaha, sak mampune. Ora usah dipeksa. Itu. (W. R. II. 03. 1054-

1092).

Pernyataan-pernyataan responden II ketika pengambilan data ini menunjukkan

perubahan dalam diri, hidup, dan pandangan terhadap dunia setelah menghayati
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
162

ajaran Pangestu. Penghayatan responden terhadap ajaran pangestu ini

mengantarkannya pada pengalaman-pengalaman mistik ketika melakukan

panembah ataupun berdoa dan membawa responden pada perubahan dalam diri

dan hidupnya. Satu pernyataan yang sering diungkapkan adalah perubahan diri

menjadi lebih sabar dan tidak emosional, perubahan hidup yang menjadi lebih

kompak dalam rumah tangga, lebih bertoleransi dengan orang lain, dan semakin

rajin beribadah. Hal ini yang membuat responden merasa damai, tenang, dan

tentram. Ini menunjukkan bahwa responden lebih menikmati hidup.

3. Hasil Wawancara Responden III

a. Pengalaman Mistik

Responden III mengaku seorang muslim, namun dengan jujur responden

mengatakan bahwa dia tidak melakukan ibadah sholat. Ekspresi keagamaanya

langsung pada ritual panembah menurut ajaran Pangestu. Responden III mengaku

merasa kurang puas dalam menjalankan syariat Islam. Responden memilih

beragama Islam hanya karena tuntutan yang diberlakukan pemerintah.

Ini kan ga dibatasi waktu, saya ga sholat saya ikuti Pangestu, jadi

ikuti manembah…ya manembah Pangestu. Memang agama saya

Islam, tapi saya tidak melaksanakan syariat Islam rasanya kurang

puas..sedangkan peraturan pemerintah kan enggak seperti itu. (W.

R. III. 01. 116-120).

Responden III melaksanakan panembah wajib minimal tiga kali sehari, dan sekali

waktu pada waktu tengah malam. Menurut responden kegiatan mengingat Tuhan,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
163

apapun dan bagaimanapun caranya sudah dapat disebut sebagai manembah

kepada Tuhan. Asalkan seseorang eling kepada Tuhan setiap melakukan sesuatu

baik dalam ucapan maupun perbuatan, itu sudah dapat disebut menyembah

Tuhan.

Kalau saya melaksanakan minimal 3x dalam sehari, itu wajib. Ada

tambahan lagi 1x dalam sehari di tengah malam. Setiap saat atau

tiap detik mengingat dan mengucapkan agama dari Tuhan itu

sudah dinamakan Manembah. Istilahnya saya dalam melakukan

sesuatu, saya eling dengan Tuhan begitu juga dalam ucapan

maupun tindakan saya. (W. R. III. 01. 131-135).

Responden III mengaku menjalani panembah masih dalam tahap sembah

raga (W. R. III. 02. 288-289). Sembah raga dilaksanakan dengan niat lahir dan

batin untuk melaksanakan kewajiban. Sembah raga dilaksanakan dengan

mengucapkan doa sambil melakukan gerakan-gerakan sesuai dengan yang

diajarkan oleh Pangestu. Setelah selesai mengucapkan doa responden melakukan

dzikir dengan menyebut hu-Allah, hu-Allah sampai luyut.

Masalah Manembah Pakdhe,….sembah Pakdhe pun sampai

tataran nopo? Gih tasih sembah raga, sembah raga nek pun

sembah qalbu kaitane kalian niku. Istilahe sembah raga disik baru

sembah qalbu. Selama ini yang dirasakan waktu sembah raga?

Gih nek pun nganyaki sembah raga niku gih pun netepi kewajiban,

rasane pun niat suci lair batin, diucapkan doane nek pun rampung

doane gih kantun dzikir. Dzikir di dalam Pangestu niku gih Hu


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
164

Allah…Hu Allah sampai luyut. Ten Pangestu gitu. Jadi sesudah

sembah rasa, istilahe rasane pun manunggal tapi gih dereng saget

100%. (W. R. III. 02. 286-297).

Kurang lebih responden III mendefinisikan luyut tidak berbeda dengan

responden III. Luyut adalah kosong, yang ada cuma perasaan senang, tenang,

tentram, dan tidak ada pikiran apa-apa.

Lha rasane sampai luyut niku pripun? Luyut niku gih kosong,

eneke muk seneng,tenang, tentrem, ga ada pikiran apa-apa. (W.

R. III. 02. 298-330).

Responden III mengaku melakukan panembah sesuai dengan kebutuhan, namun

jika melakukan panembah di waktu pagi hari masih merasa buru-buru. Hal ini

dikarenakan dikejar waktu untuk bekerja dan dibayang-bayangi banyaknya

pekerjaan maka terasa buru-buru.

Gih menurut kebutuhan, nek waktu pagi biasane gih rodo kesusu

margo selak kekoyak gawean, istilahe dalam sembahyang

dibayang-bayangi gawean mulo dadine kesusu. (W. R. III. 02.

305-307).

Hal ini terjadi jika suasana heneng dan hening tidak mampu diciptakan.

Responden mengatakan bahwa seperti itu adalah suatu panembah yang secara

lahir dikatakan sembahyang namun secara batin tidak. Dan menurut responden

belum tentu banyak orang pangestu mampu menciptakan suasana heneng dan

hening dalam melakukan panembah.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
165

Masih sering kepikiran apa-apa gitu? Ya kalau tidak dalam

hening heneng gih.. o…oo. Iki ko ndang ngene…ngene laire

sembahyang, tapi batine boten. Mulo kulo critakne bahwa hening

heneng niku seumur hidup boten mesti saget nglampahi sekali

mawon. (W. R. III. 02. 308-313).

Responden III dalam pengambilan data mengaku tidak dapat

menggambarkan suasana ketika manunggal dengan Tuhan dalam melakukan

panembah. Hal ini dikarenakan responden belum pernah merasakan manunggal

dengan Tuhan, namun percaya bahwa dirinya sudah menjalankan kehendak

Tuhan atau melaksanakan tugas.

Kalau setaunya pakdhe manunggal itu rasanya gimana? Belum

tau, wong belum merasakan, tapi dalam hati dan pikiran percaya

bahwa saya itu sudah menjalani kehendak Tuhan atau

melaksanakan tugas. (W. R. III. 02. 314-317).

Responden mengaku bahwa dia masih jarang melakukan sembah raga

sampai tahap heneng dan hening. Namun kemudian responden meralat pernyataan

jarang ini dengan belum pernah. Heneng dan hening dikatakan sebagai suasana

yang lupa, tidak ingat apa-apa. Tidak merasakan pegal dan kesemutan. Tidak

memikirkan apa-apa dan melupakan segalanya, yang dirasakan hanya enak saja.

Namun responden belum pernah merasakan hal ini, apalgi luyut dan manunggal.

Kalau waktu heneng yang dirasakan gimana? waktu hening

gimana? Rasanya heneng hening niku nek pun iso nglakoni

heneng ning rasane pun boten kados kelingan, ning kejadian


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
166

ngeten niki gih jarang, belum pernah. Gih kados ingkang kulo

aturke ten ngajeng wau gih meniko sekali seumur hidup. Lali

kabeh nopo pripun? Gih. Sing pun nglampahi kan ngeten niku

pun ngrasake keju, gringgingen, pun boten mikir nopo-nopo pun

lali kabeh, entene muk penak.Sing pun nglampahi ngeten niku

boten enten keju, kesel dan ngantuk. (W. R. III. 02. 318-329).

Selama ini responden masih merasakan kesemutan sewaktu melakukan

panembah. Selain panembah responden juga melakukan amalan saat tengah

malam selama kurang lebih satu setengah jam. Amalan ini kurang lebihnya juga

sama dengan ritual panembah. Selain melakukan panembah responden III

melakukan ritual yang lain yang disebutnya dengan prihatin, yaitu dengan puasa.

Namun responden tidak setuju jika ritual prihatin ini disamakan dengan puasa.

Prihatin disini hanyalah mengurangi makan, minum, tidur, dan membicarakan

sesuatu yang tidak enak didengar.

Pakdhe tesih ngrasakne keju? Gih tesih gringgingen. Kulo gih

kerep nglakoni amalan gih wekdale 1 – 2 jam waktu mbah giyono

seh dereng surut, kalau sembahyang habis lilin 1 gih minimal 1,5

jam meniko wonten ing tengah malam. Kalau dalam Agama Islam

lebih dikenal dengan sebutan Tahajud. Kalau di Pangestu

nglakoni atau prihatin, sing dilakoni nopo? poso? Boten poso,

tapi ngurang-ngurangi gih ngurang-ngurangi maem, minum, tidur,

ngendiko barang sing boten kepenak ten kuping. Wonten ing

Agama Islam kan gih boten angsal nglakoni sing elek. Nek neng
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
167

Pangestu iku gulang-gulangane ngeten niku. (W. R. III. 02. 330-

342).

Sebelumnya dalam pengambilan data responden pernah mengungkapkan

bahwa dirinya kadang-kadang merasa heneng dan hening dalam melakukan

panembah. Namun responden belum pernah sampai pada tahap bertemu dengan

Tuhan. Selama dalam panembah yang dirasakan adalah mampu mengendalikan

diri. Sambil melakukan panembah responden bisa melupakan kebutuhan

ekonomi, kebutuhan keluarga. Dan kalau sudah heneng yang dirasakan hanyalah

enak dan tidak memikirkan apa-apa.

Pernah enggak pakdhe waktu Manembah sampai bener-bener

ketemu sama Tuhan? elum….yang sudah bisa bertemu dengan

Tuhan itu belum tentu dari 1000 orang ada 1 orang yang bisa

ketemu. Menjalani Manembah itu dari sudut pandang pakdhe

gimana? Kalau saya rasakan selama saya manembah rasanya

saya bisa mengendalikan diri, umpamanya pengen nesu bisa

hilang. Sambil sembahyang kadang-kadang bisa menghilangkan

kebutuhan ekonomi, kebutuhan dengan keluarga. Kalau sudah

heneng gitu sudah terasa enak, wong boten mikir nopo-nopo

rasane enak. Pakdhe sudah sampai pada tahap situ? Kadang-

kadang, tapi belum sampai pada tahap ketemu Tuhan. (W. R. III.

01. 163-175).

Selama melakukan panembah jika belum lama waktunya maka

sembahyang atau kualitas manembahnya belum sampai ke hati. Dalam hal ini doa
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
168

sudah dibacanya namun belum sampai ke dalam atau ke hati sehingga belum

heneng. Namun bila sudah heneng yang dirasakan adalah seperti tidur pulas dan

rasanya tenang. Tetapi kadang-kadang bila sudah dalam waktu lama belum

sampai pada tahap heneng, tubuh akan merasa merinding. Tapi bila sudah heneng

rasanya seperti orang mati.

Yang jadi pikiran itu kayak gimana? Mikir apa waktu

manembah? Kalau waktu belum lama belum nyampe ke hati,

sudah membaca doanya tapi belum sampai ke dalam atau heneng.

Bila sudah heneng bisa heneng….tidur pulas rasanya tenang.

Kadang-kadang kalau belum nyampe tidur rasanya prinding gitu,

tapi bila sudah nyampe tidur itu rasanya kayak mati. (W. R. III.

01. 176-182).

b. Realisasi Diri

Tidak jauh berbeda dengan responden II, responden III menganggap

kodrat manusia sebagai takdir yang bisa dirubah selama seseorang itu berusaha.

Jika dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mau merubah sikap maka

sikapnya tak kan berubah menjadi lebih baik. Sepanjang seseorang berusaha

berubah disertai dengan taubat dan doa serta terus memohon kepada Tuhan maka

Tuhan pasti mengabulkan.

Menurut pakde kodrat manusia ini bagaimana? Kodrat

manusia menurut orang Jawa dapat diwiradati artinya bisa

dirubah selama mau dan berusaha untuk merubahnya. Kodrat

wong gih ngeten niku, tapi sepanjang ada usaha untuk berubah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
169

pasti bisa berubah. Dalam kehidupan sehari-hari sepanjang

manusia ga gelem merubah sikape gih ngeten-ngeten niku terus,

tapi sepanjang saget merubah ditambahi toubat lan dongo,

nyenyuwun kalian Gusti Allah maka lambat laun saget berubah.

Misale mbak ganis nyuwun laptop ibuke, tapi mbak ganis nyuwun

mawon gih boten ditumbaske, ananging benten menawi mbak

ganis nyuwun terus tur menawi ibuke kerepotan gawean diewangi,

mesti ko bakal dipundutke. (W. R. III. 02. 502-512).

Pernyataan ini menunjukkan bahwa manusia sebaiknya tidak berpangku tangan,

namun selalu berusaha untuk merubah hidupnya menjadi lebih baik namun

dengan cara-cara yang baik pula sesuai tuntunan ajaran yang diyakini.

Sedikit berbeda dengan responden I dan responden II , dalam beberapa

pernyataan jawaban responden III sering menunjukkan sikap bangga sebagai

seorang penganut pengestu. Beberapa pernyataanya menunjukkan hubungan

atau interaksi yang hanya sekitar lingkup anggota dalam pangestu saja. Jawaban

responden ketika pengambilan data cukup sering memberi kesan bahwa di

dalam pangestu selalu ada toleransi dan semua agama, ras, dan golongan

dianggap sama, namun responden tidak menunjukkan kesan yang sama pada

masyarakat selain pengikut pangestu. Pernyataan responden III menerangkan

bahwa agama kadang hanya dipakai kedok untuk menutupi perbuatan negatif.

Responden yakin bahwa disekitar warga pangestu, selama orang tersebut

menjalankan ajaran pangestu maka tidak akan berbuat negatif.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
170

Nek istilahe teng gen keagamaan kalian Pangestu benten koq.

Ten Pangestu niku diblake nopo enek e, wulangane Pangestu

niku nek langsung disukakne, nyoto iso dilakoni benten kalian

agama-agama sanese, kados Agama Islam katah ingkang dipun

sanepakne utowo dikiaskan. Agama Islam niku sae, tapi jarang

sing iso nompo sing iso nglakoni. Pangestu adalah satu,

wulangane dimana saja sama. Nek enten kegiatan boten enten

saru sikune, boten enten pemikiran negatif. Dadi misale wonten

kerja bakti bareng antara pengikut lanang lan wadon, gih dipun

lakoni kanthi sareng-sareng lan rukun, boten enten pemikiran

neko-neko. Sebagai gambaran adalah Bagaimana caranya bisa

lewat sungai yang ada buayanya yang buas? Lha rombongan

harus membuat cara bagaimana biar ga kecebur lan sampai

tujuan dengan selamat. Satu sama lain bergandengan tangan

jangan sampai jatuh ke air. Lha itu Pangestu diibaratkan Satu,

membangun kesepakatan, saling erat. Kalau dengan umat lain,

yang berbeda agama, suku, latar belakang sikapnya gimana?

Sepanjang warga Pangestu sama. Selain warga Pangestu ya ga

papa, cuma tidak sepaham, tidak saling tau dalamnya hati

masing-masing, Cuma tujuane sama. Kalau saya menilai agama-

agama sanese seh nggawe ditunggangi utowo buat kedok dengan

cara-cara atau perilaku yang salah. Kalau Pangestu sepanjang

100% masih Pangestu ga mungkin melaksanakan perbuatan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
171

negatif. Kalau ada kegiatan yang mengumpulkan pengikut dari

semua jenis, ga mungkin ada yang berbuat negatif, kalau ada

yang berbuat begini begitu pasti ada tujuane. Sepanjang mboten

enten tujuane ga mungkin berbuat negatif. (W. R. III. 02. 513-

542).

Namun responden juga menyataka bahwa dalam menyikapi perbedaan di

dalam masyarakat seperti perbedaan agama, ras, dan golongan adalah harus saling

menghormati. Misalnya seorang Pangestu maka harus menghormati seorang

muslim, begitupun sebaliknya, seorang muslim juga sebaiknya menghormati

seorang pangestu.

Menurut pakde bagaimana sikap kita dalam menerapkan

prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam hidup sehari-hari? Harus

saling menghormati dengan agama lain, suku lain, orang lain.

Umpama saya melaksanakan tugas Pangestu, yang lain

melaksanakan tugas Islam ya silakan. (W. R. III. 02. 543-547).

Responden III sangat percaya akan kehadiran Tuhan. Hal ini tampak pada

ketekunanya dalam melakukan panembah. Tanpa adanya kepercayaan yang kuat

akan kehadiran Tuhan, keadaan mistik dalam melakukan ritual panembah sulit

diciptakan seperti heneng, hening, luyut, bahkan manunggal. Responden juga

percaya bahwa Tuhan akan memberikan imbalan yang melimpah bagi orang-

orang yang baik, yang dengan iklas memberi dan menafkahkan hartanya. Orang-

orang seperti ini akan dilipatgandakan rejekinya. Hal seperti ini dalam pangestu

disebut dengan budi dharma.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
172

Nek kangge kulo bondo donyo sak piturute niku naming titipan.

Lha nek uripe pun cukup, surut, unduh-unduhane nek saget gih

nglakoni budi dharma, weweh, pitulung tumraping sanes. Lha

besok diunduh naliko wis surut. Gusti Allah bakal nglipetake

ganjarane. Menawi wonten Agama islam pas bulan poso menehi

dhaharan saur utowo buko niku ganjarane bakal dilipetke 70 kali.

Niku gih masuk akal. Tuhan yang Katon Wajib disungkemi.

lae..lae..lae. Maksude lae…lae? Sambat. Mbokne yen dijaluki ki

kek ono, ko rak diijoli langkung okeh. misale ngekeki biji jagung 1

ko lak oleh ijol biji 9. (W. R. III. 02. 453-463).

Responden juga menunjukkan sikap yang percaya dengan hal irasional dan

misterius. Dalam suatu kesempatan ketika pengambilan data responden pernah

menganjurkan peneliti untuk rutin nyekar atau mengunjungi makam kerabat yang

sudah meninggal. Kebetulan ayah kandung peneliti sudah meninggal sejak enam

tahun yang lalu, dan responden menganjurkan peneliti untuk tetap mengurus dan

mengunjungi makam. Menurut responden seseorang yang mau mendoakan seorang

yang sudah meninggal adalah suatu bentuk penghormatan kepada yang meninggal

dan imbal baliknya adalah yang meninggal pun memintakan ampunan bagi yang

mendoakan kepada Tuhan. Dan karena seorang yang meninggal sering didoakan

maka ruh nya dapat manunggal dengan Tuhan.

Buk’e sering nyekar bapak boten mbak? Gih masih nyekar,

sebelum 1000 hari dulu nyekare tiap minggu, tapi setelah 1000

hari nyekare sebulan sekali. Boten masalah. Sing penting paling


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
173

boten pas wetone nek boten gih pas geblake. Dalam filosofi orang

nyekar dapat digambarkan kayak begini…aku, yang sudah mati

sudah jadi nisan saja keluargaku masih peduli untuk kirim doa,

imbal baliknya dimintakan ampunan pada Gusti Allah, supados

ruhnya saget manunggal kalian Gusti. Gih kulo pas seminggu

setelah bapak meninggal saya diajak pakde saya ke tempat

seorang kyai, lha pak kyai itu menyarankan supaya tiap

malam jumat kirim doa. Menawi nyekar boten beto kembang

boten nopo-nopo mbak, yang penting kiriman doanya agar ruh

yang meninggal bisa menyatu dengan Gusti. (W. R. III. 02. 463-

477).

Responden III pun mengaku hidupnya telah banyak berubah setelah

mengikuti Pangestu. Responden menjelaskan perubahan ini baik dari dalam

maupun luar. Kalau perubahan dari dalam adalah perasaan dan pikiran menjadi

longgar, tenang, tentram, dan tidak ada perasaan was-was akan hidup. Sedangkan

perubahan dari luar adalah perubahan hidup dalam bidang ekonomi yang semakin

baik, hubungan dengan keluarga menjadi bersatu dan masalah-masalah yang

dapat terselesaikan dengan baik sehingga tidak sampai mengganggu pikiran.

Kalau perubahan dalam diri pakdhe secara pribadi? Istilah

pribadi itu dari dalam atau luar? Kalau dari dalam? Rasanya

tenang, tentram tak ada rasa kuatir was-was ga ada istilah sesuk

piye yo? Kebutuhan ekonomi luar nopo hubungan dengan

keluarga bisa bersatu terus. Bila ada masalah mampu dipecahkan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
174

walaupun masalah ringan ataupun berat adanya dalam hati saja.

Masalah dikatakan ringan, berat hanya dalam perkataan saja

tetapi di hati tidak. Jadi Allah itu bila memberikan ujian, cobaan

pasti disesuaikan dengan umatnya bukan asal langsung

memberikan ujian gitu. (W. R. III. 01. 190-200).

Selanjutnya responden menjelaskan bahwa sebelum mengikuti pangestu sering

berbuat seenaknya saja. Artinya banyak perilakunya yang tidak baik, yaitu

melanggar ajaran agama dan merugikan orang banyak. Sekarang, setelah

responden mengikuti pangestu, responden mengaku banyak keputusan yang

diambil dengan berpikir panjang sehingga sebisa mungkin tidak merugikan dan

menyakiti perasaan orang lain.

Pakdhe setelah mengikuti Pangestu ada perubahan dalam diri

pakdhe ga? misale gih dari karakter atau sifat-sifat … Gih

enten. Jaman rumiyen sak derange ngerti wulangane Pangestu,

Agama meniko menawi mlangkah utawi mlaku sak senenge dewe.

Misale jane mlaku kudu lewat dalan iki, ananging amargo kurang

sabar akhire ga sido mlaku lewat dalan mau e malah mlaku

nglumpati pager.ngeten niku kan jane boten bener. Ning sak niki

sak sampunipun mlebet Pangestu pun boten wani nglampahi

ingkang kados mekaten. Nek meh mlaku dipikir sing dowo disik,

dadi yen iso jo ngrugekne wong liyo, misale guneman gih boten

ngantos nglarani tumraping sanes. (W. R. III. 02. 367-378).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
175

Selain itu responden juga merasakan perubahan dalam berhubungan

dengan orang lain. Sekarang menjadi lebih iklas dalam membantu orang lain.

Perubahan ten tetangga, wong liyo? Istilahe gih secara ikhlas,

misale enten wong kebutuhane nopo mawon gih menawi saget

dipun Bantu. Mbantu meniko gih kanthi ikhlas ten manah. Intine

misale mampu tur dijaluki bantuan, maka akan memberikan

bantuan itu kanthi ikhlas boten enten paksaan. (W. R. III. 02.

381-386).

Responden mengaku bahwa dulunya dia adalah seorang yang suka minum

minuman keras, berjudi, dan sering keluar rumah. Namun setelah responden

mengikuti pangestu perbuatan tersebut mulai dikurangi dan sampai sekarang

sudah tidak dilakukan serta mulai menuntun kawan-kawanya untuk menghentikan

perbuatan seperti itu.

Melaksanakan tugas hidup. Kulo tumut Pangestu pun kat jaman

rien, naliko sak derenge ikut Pangestu, tumindak kula tasih sering

maen, minum,dolan nanging sak sampunipun ikut Pangestu lambat

laun tindakan kolo wau kulo kirangi sekedik-sekedik sampai pun

boten nglakoni. Sak sampuni ikut Pangestu niku nular-nularke

barang sing apik. (W. R. III. 02. 397-401).

Pernyataan responden ini secara keseluruhan belum dapat menjelaskan

perubahan struktur kepribadian sehingga dapat dikatakan pribadi yang universal,

yang dapat menyeimbangkan atau mengintegrasikan kutub-kutub yang

berlawanan dalam kepribadian. Penghayatan responden terhadap ajaran pangestu


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
176

serta pengalaman mistiknya dalam melakukan ritual panembah jelas membawa

perubahan yang besar dalam diri pribadi dan kehidupannya secara keseluruhan.

Namun hal ini belum dapat mengindikasikan adanya perubahan dalam struktur

kepribadian dan menjadikan responden sebagai pribadi yang universal. Apalagi

penjelasan responden banyak membicarakan tentang perubahan secara luar seperti

perubahan ekonomi.

c. Aktualisasi Diri

Pengalaman mistik responden III yang diungkapkan dalam sub bab

sebelumnya terbukti membawa efek terhadap diri pribadi dan kehidupan

responden secara keseluruhan. Seperti yang dijelaskan dalam sub bab realisasi

diri, responden mengatakan ada dua bentuk perubahan dalam dirinya, yang

pertama adalah perubahan dari dalam dan perubahan dari luar. Kalau perubahan

dari dalam adalah perasaan dan pikiran menjadi longgar, tenang, tentram, dan

tidak ada perasaan was-was akan hidup. Sedangkan perubahan dari luar adalah

perubahan hidup dalam bidang ekonomi yang semakin baik, hubungan dengan

keluarga menjadi bersatu dan masalah-masalah yang dapat terselesaikan dengan

baik sehingga tidak sampai mengganggu pikiran (W. R. III. 01. 190-200). Ini

menunjukkan bahwa ada perubahan dalam memandang diri sendiri menjadi lebih

sehat. Hal ini ditunjang dengan pernyataanya bahwa sekarang setelah responden

mengikuti pangestu ada perubahan minat dan kebiasaan buruknya. Yaitu,

kebiasaan responden yang suka mabuk, berjudi, dan sering keluar rumah (W. R.

III. 02. 397-401).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
177

Perubahan ini juga terjadi dalam hubunganya dengan orang lain.

Responden mengaku hubungan rumah tangganya menjadi bersatu, banyak

masalah yang dapat diselesaikan dengan baik (W. R. III. 01. 190-200) dan adanya

rasa iklas dalam membantu orang lain (W. R. III. 02. 382-385). Sedangkan

perubahan dalam kehidupan secara umum yang sering diungkapkan responden

adalah perubahan ekonomi keluarga, yaitu yang dulunya serba kekurangan

sekarang responden merasa kebutuhan keluarganya semakin berkecukupan.

Alhamdulillah, terima kasih Tuhan saya ucapkan selama saya

ingin pergi atau melaksanakan kerja apa aja. Kalau saya ucapkan

dan apa yang saya minta. Kalau saya ucapkan dan apa yang

diminta itu sudah saya rasakan apa saja yang saya minta sudah

banyak terlaksana, daripada yang tidak. Misalnya, umpama ingin

pergi saya minta diayomi, selamat, perjalanan lancar tidak ada

alangan sampai tujuan….banyak dikabulkan daripada tidak.

Kenyataane sakderenge kulo mlebet ten Pangestu kalih pun mlebet

niku bentene katah…Jaman riyen maem kurang, nyandang boten

utuh, papan kurang apik, kulo gih boten ngetok-ngetoke lek

maringi Gusti Allah. Kulo tumut Pangestu sekedik-sekedik saget

mlampah, ekonomi gih pun lancar, tentrem nopo sing dikarepke

gih kepareng..ning gih istilahe Pengyuwunan direwangi melek,

prihatin, ngurang-ngurangi anggone maem, minum, mutih lan

sakpiturute. (W. R. III. 01. 136-151).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
178

Perubahan pandangan yang terjadi dalam diri responden terhadap dunia

adalah pandangannya bahwa manusia hidup haruslah selalu memiliki cita-cita,

mau berusaha, dan terus berdoa dan meminta kepada Tuhan. Maksud dari usaha

ini harus selain berusaha mencapai cita-cita juga harus disertai dengan pertobatan

dan prihatin. Dengan berusaha dan berdoa maka perubahan kehidupan yang lebih

baik akan dikabulkan oleh Tuhan.

Gih nyuwun sewu, menawi kulo wong urip niku kedah gadah cita-

cita, tujuan, menawi boten gadah lha kengeng nopo ndadak urip.

Pedomane wong urip niku enek sing nguripi gih enten sing njatah,

sepanjang kita usaha nek naming jatahke gih keliru. (W. R. III.

02. 432-436).

Responden mengungkapkan bahwa secara keseluruhan masih dirasakan perasaan

was-was walaupun sedikit. Menurut responden seorang itu tidak mungkin

melepaskan perasaan kuatirnya seratus persen akan hidup. Bagi responden dalam

hidup ini harus ada perencanaan untuk masa depan. Perasaan was-was ini timbul

dalam merintis kemudian menjalani perencanaan hidup itu.

Sekarang pakdhe ada ga perasaan was-was, kuatir, tentang

kehidupan masa depan itu gimana? Gih sedikit masih ada. Gih

wong niku nek ken nglepas 100% rasa kuatire niku gih boten

enten. Misale mawon mikir masalah ekonomi keluarga, wonten ing

mriku kan wonten rancangan-rancangan hidup. Rancangan hidup

niki gih kedah dipun rintis lan jalani. (W. R. III. 02. 410-416).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
179

Namun responden sudah menerima dan sangat bersyukur dengan kehidupannya

sekarang. Tapi responden belum merasa puas, karena tujuannya belum tercapai.

Tujuan responden adalah mampu manunggal dengan Tuhan, dan responden terus

berusaha sampai sekarang dengan rutin melakukan panembah dan prihatin. Salah

ritual prihatin yang dilakukan responden adalah tiap tengah malam berjalan

mengelilingi kampung. Dalam satu kesempatan pernah ditanyakan mengapa hal

itu dilakukan, dan responden hanya menjawab tidak ada alasan apa-apa. Jawaban

ini diikuti senyuman istrinya. Ketika ditanyakan ada perasaan apa ketika

melakukan prihatin tiap tengah malam, responden pun hanya menjawab tidak ada

dan hanya ingin melakukannya saja.

Kalau disimpulkan kehidupan pakdhe sekarang, dah puas,

atau dah cukup senang? Kalau puas belum mbak. Kalau cukup

sudah, ya cukup sandang, papan, pangan, tapi belum merasa puas.

Kalau sudah merasa puas berarti sudah tidak mau melaksanakan

apa-apa di dunia ini, karena selama orang merasa puas niku cita-

citane ten donyo pun ilang. Sudah menerima atau bersyukur?

Sudah nerima, bersyukur, ucapan terima kasih pada Tuhan, tapi

belum merasa puas amargo belum keturutan tujuane.Tujuane gih

muk pengen waktu sembahyang bisa menyatu dengan Gusti Allah.

Nek wong Pangestu cita-citane muk niku, padahal yang bisa

menyatu dengan Tuhan itu jarang bisa. Mbok bilih diparengke

mengke kan saget menyatu atau manunggal kawulo Gusti. Kulo

satu bulan penuh niki yen bengi mlaku-mlaku ngubengi kampung


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
180

sampai jam 12 malem baru masuk rumah. Masuk rumah,

sembahyang trus tidur. Ini merupakan suatu yang dinamakan

sesirih atau Prihatin. (W. R. III. 02. 483-499).

Responden satu kali pernah mengakui bahwa jika melakukan manembah

sampai heneng dan hening rasanya enak dan ingin terus mengulangi. Ini

menunjukkan bahwa ada dorongan dalam diri responden untuk mengulangi

pengalaman mistik itu (W. R. III. 01. 111-114).

D. ANALISIS DATA

Pada tahap analisis data peneliti menyajikan data hasil wawancara yang

telah di koding secara satuan dalam matriks per tema dalam penelitian.

Tabel 6
Analisis Data Tema Ajaran Pangestu

Tema Kategori Verbatim

Suksma Kawekas (W. R. I. 12-37); (W. R. II. 01. 43-56); (W. R.


Ketuhanan III. 01. 47-54); (W. R. III. 55-60).
Suksma Sejati
(tripurusa)
Roh Suci
(W. R. I. 08-11); (W. R. I. 38-48); (W. R. I.
AJARAN

01. 49-55); (W. R. 01. 210-227); (W. R. I. 02.


448-464); (W. R. I. 02. 473-488); (W. R. II.
01. 23-42); (W. R. II. 01. 57-64); (W. R. II. 01.
Manusia dan Candra Jiwa
65-75); (W. R. II. 01. 76-94); (W. R. II. 01.
106-116); (W. R. II. 01. 160-172); (W. R . II.
02. 233-252); (W. R. III. 01. 25-46); (W. R.
III. 01. 63-66).
(W. R. I. 01. 150-155); (W. R. II. I. 03. 490-
Manunggaling 504); (W. R. I. 03. 519-529); (W. R. II. 01. 95-
Mistik
Kawula Gusti 101); (W. R. II. 01. 117-141); (W. R. II. 02.
253-265); (W. R. II. 02. 266-270).
Tripurusa menurut ketiga responden sering diumpamakan dengan

sinar,cahaya,atau pepadhang. Tripurusa adalah Tuhan yang bersifat


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
181

tiga,diumpamakan seperti lampu yang bersinar. Orang pangestu sangat percaya

pada satu Tuhan, namun sifat Tuhan ini memancar,memancarkan sinarnya kepada

manusia. Sedangkan manusia dalam ajaran pangestu sesungguhnya adalah roh

yang suci. Semua manusia dianggap roh suci. Menurut ajaran pangestu manusia

adalah lahir bersama saudara tujuh, yaitu empat nafsu dan tiga angan-angan yang

merupakan gambaran tripurusa. Jadi sejak lahir manusia sebenarnya telah

memiliki kesucian karena mempunyai gambaran tripurusa atau Tuhan dalam

jiwanya.

Candra jiwa dalam ajaran pangestu menerangkan bahwa jiwa manusia

diibaratkan seperti kereta kencana yang ditumpangi oleh roh suci. Kereta kencana

ditarik oleh empat kuda yang diibaratkan sebagai nafsu, dan dikendalikan oleh

seorang kusir yang diibaratkan sebagai angan-angan. Jika kereta kencana telah

diberi pepadhang oleh Tuhan maka perjalanannya terkontrol oleh kebaikan sifat

Tuhan. Tapi jika tidak maka jiwa manusia akan dikuasai oleh empat nafsu,

perjalanan kereta terbawa oleh lari kuda. Dan jika begitu maka hidup manusia

tidak akan tenang, karena jiwa nya tak tahu kemana tujuan dan arahnya.

Jiwa manusia yang telah terang, disinari oleh cahaya Tuhan karena telah

mampu mengalahkan empat nafsu mewujudkan pribadi manusia yang berbudi

luhur. Dalam ajaran pangestu, pribadi yang berbudi luhur memiliki lima watak

utama yang disebut pancasila. Selama pengambilan data, perwujudan menjadi

manusia yang budi luhur inilah yang sering diungkapkan oleh responden.

Keseluruhan wawancara dari ketiga responden menunjukkan bahwa tujuan dari


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
182

ajaran dan ritual yang dihayati oleh seluruh warga pangestu adalah pancasila,

yaitu manusia yang memiliki lima watak utama,manusia berbudi luhur.

Usaha mistik adalah untuk mencapai itu semua. Pribadi yang berbudi

luhur akan tercapai jika seseorang memahami ajaran pangestu, menghayatinya,

dan melaksanakannya. Keseluruhan responden menyatakan bahwa sangatlah tidak

mudah untuk benar-benar menjalankan ajaran pangestu sehingga seorang dapat

dikatakan “berbudi luhur”. Usaha yang sangat sering diungkapkan responden

terkait dengan mistik adalah panembah. Responden I menyatakan dengan jelas

bahwa keadaan mistik, yaitu adanya kontak dengan alam semesta dan Tuhan

hanya dirasakan selama panembah. Manunggaling kawula lan Gusti tercapai

ketika manusia menjalankan panembah dengan sempurna.

Tabel 7
Analisis Data Tema Pengalaman Mistik Ritual Panembah
Tema Pengertian Kategori Verbatim
(W. R. I. 01. 72-74); (W. R. I. 01. 75-77);
(W. R. I. 02. 234-250); (W. R. I. 02. 251-
Pengalaman berarti 316); (W. R. I. 02. 340-352); (W. R. I. 02.
367-373); (W. R. I. 02. 375-381); (W. R. I.
barang apa yang
02. 417-427); (W. R. I. 02. 428-443); (W.
Pengalaman Mistik

dirasakan. Jadi R. I. 03. 505-509); (W. R. I. 03. 530-546);


Alam (W. R. I. 03. 557-567); (W. R. I. 03. 570-
pengalaman mistik 571); (W. R. I. 03. 602-610); (W. R. I. 03.
Semesta 618-622); (W. R. I. 623-630); (W. R. II. 03.
adalah merasakan
(*alam = 334-342); (W. R. II. 03. 348-352); (W. R.
mistik. II. 03. 353-362); (W. R. II. 03. 364-373);
lingkungan (W. R. II. 03. 374-378); (W. R. II. 03. 379-
Mistik mengandung 387); (W. R. II. 03. 388-391); (W. R. II. 03.
sekitar) 399-404); (W. R. II. 03. 405-419); (W. R.
arti:
II. 03. 427-235); (W. R. II. 03. 449-464);
1) Adanya kontak (W. R. II. 03. 473-482); (W. R. II. 03. 483-
487); (W. R. II. 03. 489-492); (W. R. II. 03.
antara manusia, alam 498-506); (W. R. II. 03. 633-642); (W. R.
III. 01. 104-117); (W. R. III. 01. 167-173);
(W. R. III. 01. 176-189);
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
183

Lanjutan tabel 7

Tema Pengertian Kategori Verbatim


2) Persatuan mesra (W. R. III. 02. 292-297); (W. R. III. 02.
298-302); (W. R. III. 02. 304-307); (W. R.
antara ruh manusia; III. 02. 308-310); (W. R. III. 02. 326-225).
3) Persatuan langsung
(W. R. I. 02. 353-361); (W. R. I . 02. 362-
dengan Dzat
PENGALAMAN MISTIK

366); (W. R. I. 02. 382-389); (W. R. I. 02.


ketuhanan dan 390-396); (W. R. I. 02. 406-416); (W. R. I.
03. 490-504); (W. R. I. 03. 510-529); (W.
perjuangan R. I. 03. 611-617); (W. R. II. 03. 420-426);
(W. R. II. 03. 436-448); (W. R. II. 03. 493-
bergairah ke arah 497); (W. R. III. 01. 128-136); (W. R. III.
itu. 01. 163-166); (W. R. III. 01. 175); (W. R.
III. 02. 311-323).
Pengalaman mistik
Tuhan
adalah merasakan suatu
kondisi mistik yaitu
adanya kontak dan bisa
berupa persatuan antara
manusia dengan alam
semesta dan Tuhan

Pengalaman mistik yang dialami oleh ketiga responden berbeda satu sama

lain. Hal ini ternyata sesuai dengan tingkatan panembah yang dijalankan. Dari

ketiga responden, responden I memiliki gambaran yang paling kaya tentang

pengalaman mistik. Responden I telah menjalankan sembah rasa, panembah

tingkat ketiga walaupun dirinya masih merasa belum dapat dikatakan berbudi

luhur. Karena pengalamannya tentang manunggal baru saja dirasakan setelah

sekian lama menghayati ajaran pangestu. Setiap tingkatan panembah memiliki

gambaran pengalaman yang berbeda-beda. Pengalaman ini juga memiliki tahapan

yang sesuai dengan tahapan dalam panembah.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
184

Berdasarkan data selama wawancara ditemukan ada tiga tahapan

pengalaman mistik yang dirasakan yaitu heneng, hening, dan luyut. Setelah

dikroscekkan dengan data sekunder dari kitab Sasangka Djati, gambaran setiap

tahapan pengalaman ini sesuai dengan tiap tingkatan panembah. Dari data primer

melalui wawancara ini juga ditemukan bahwa terjadi perubahan kesadaran setiap

responden mulai memasuki tahapan pengalaman heneng, hening, dan luyut.

Perubahan kesadaran ini adalah dari kesadaran individu akan kehidupan dunia

menjadi kesadaran tunggal akan kehadiran Tuhan. Perubahan ini ditandai dengan

lupa segala-galanya, tidak merasakan apa-apa, tubuh terasa ringan, tidak terasa

batas antara tubuh dan alam, kosong, tidak mendengar apa-apa, merasa hanya ada

titik di hati yang menghubungkan dengan Tuhan. Dari data hasil wawancara

hanya reponden I dan II yang merasakan hal ini dan keduanya mengaku merasa

bahagia ketika pengalaman ini terjadi.

Tabel 8

Analisis Data Tema Realisasi Diri

Tema Ciri Indikator Verbatim

Penerimaan dan Kesadaran dan toleransi (W. R. I. 03. 598-657); (W.


toleransi terhadap terhadap kodrat R. II. 03. 1112-1131); (W.
kodrat manusia pada manusia R. III. 02. 501-512).
REALISASI DIRI

umumnya serta Empati terhadap (W. R. I. 03. 659-708); W.


memiliki kesadaran dan masalah kemanusiaan R. II. 03. 1132-11420); (W.
toleransi yang lebih tanpa memandang R. III. 01. 184-189); (W. R.
besar terhadap kondisi perbedaan ras, III. 02. 530-542); (W.R. I.
umat manusia sehingga golongan, dan agama. 03. 543-545)
merasa lebih empati
dengan masalah.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
185

Lanjutan tabel 8

Tema Ciri Indikator Verbatim


kemanusiaan tanpa
memandanga ras,
golongan, dan agama
Menerima apa yang Menerima gejala-gejala (W. R. I. 03. 709-716); (W.
tidak diketahui dan supranatural dan R. I. 03. 717-727); (W. R. I.
misterius, menerima irasional 03. 728-736); (W. R. I. 03.
dalam kesadaran dan 737-746); (W. R. I. 03.
ketidaksadaran, serta 747-759); (W. R. I. 03.
adanya faktor-faktor 762-778); (W. R. I. 03.
irasional. Hal ini juga 627-630); (W. R. I. 03.
meliputi gejala 552-556);
supranatural dan (W. R. II. 03. 1101-1112);
REALISASI DRI

spiritual yang (W. R. II. 03. 1143-1146).


mencangkup Menerima gejala-gejala (W. R. I. 03. 792-813); (W.
kepercayaan terhadap spiritual dan R. I. 03. 814-821); (W. R. I.
kewaskitaan dan kepercayaan kepada 03. 689-697); (W. R. I. 03.
kepercayaan terhadap Tuhan. 654-657);
Tuhan W. R. I. 03. 564-567); W.
R. I. 03. 519-529); (W. R. I.
03. 494-504); (W. R. I.
354-361); (W. R. I. 03.
150-157); (W.R. I. 03 404-
405); (W. R. II. 02. 587-
596); (W. R. II. 02. 597-
605); (W. R. II. 02. 665-
674); (W. R. II. 02. 675-
702); (W. R. II. 02. 807-
812); (W. R. II. 02. 855-
870); (W. R. II. 02. 892-
900); (W. R. II. 02. 1062);
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
186

Lanjutan tabel 8

Tema Ciri Indikator Verbatim

(W. R. III. 01. 134-136);


(W. R. III. 01 198-202);
(W. R. III. 02. 291-297);
(W. R. III. 02. 443-445);
(W. R. III. 02. 453-459);
(W. R. III. 02. 465-471);
(W. R. III. 02. 475-477);
(W. R. III. 02. 493-500);
(W. R. III. 02. 505-509).
Memiliki kepribadian Ungkapan self. Self (W. R. I. 02. 159-168); (W.
yang universal karena meliputi psyche R. I. 02. 170-173); (W. R. I.
tidak ada satupun segi manusia yang seimbang 02. 180-183); (W. R. I. 02.
kepribadian yang dalam pusatnya. Self 186-206); (W. R. I. 03.
REALISASI DIRI

dominan. menyatukan tanpa 544-552); (W. R. II. 02.


kontradiksi dari kutub- 587-596); (W. R. II. 02.
kutub jiwa. Self adalah 646-654); (W. R. II. 02.
arketip yang 655-665); (W. R. II. 02.
memotivasi perjuangan 782-786); (W. R. II. 02.
orang menuju 787-829); (W. R. II. 02.
keutuhan, titik pusat 855-870); (W. R. III. 02.
kepribadian, 367-378); (W. R. III. 03.
mempersatukan sistem- 379-380); (W. R. III. 03.
sistem dan memberikan 381-386); (W. R. III. 03.
kepribadian dengan 396-401); 850-872); (W. R.
kesatuan, I. 03. 873-891); (W. R. II.
keseimbangan, dan 02. 189-192); (W. R. II. 02.
kestabilan pada 193-215); (W. R. II. 02.
kepribadian. 216-232; (W. R. II. 02.
529-532); (W. R. II. 02.
538-542).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
187

Data primer hasil wawancara diatas menunjukkan bahwa ketiga responden

memenuhi dua ciri pertama realisasi diri,yaitu toleransi yang lebih besar terhadap

kemanusiaan dan menerima yang misterius, keadaan yang irasional, supranatural,

dan spiritual. Hal ini ditunjukkan dengan sikap responden yang menerima

perbedaan agama,ras,golongan, dan kepercayaan. Ketiga responden juga sangat

mempercayai adanya Tuhan karena inilah pondasi dasar dalam pengalaman

mistiknya ketika melakukan panembah. Responden juga menunjukkan sikap yang

percaya pada banyak hal yang misterius, khususnya yang menyangkut tentang

alam semesta. Sesuai dengan ajaran pangestu bahwa Tuhan menciptakan dunia

dan alam semesta beserta dengan mahkluk-mahkluknya baik mahkluk yang

berbadan kasar seperti manusia dan mahkluk yang berbadan halus yang tidak

kasat mata.

Berbeda dengan ciri pertama dan kedua realisasi diri, ciri ketiga

menunjukkan hasil yang sulit disesuakan dengan keadaan seluruh responden.

Responden mengaku terjadi banyak perubahan dalam diri dan kehidupannya

namun perubahan ini belum menunjukkan suatu kepribadian yang universal.

Keperibadian yang universal adalah pribadi yang mampu menyeimbangkan

kutub-kutub dalam kepribadiannya, antara kesadaran dan ketidaksadaran, antara

ego dan shadow, antara anima dan animus. Artinya individu ini telah mampu

mengembangkan arketip self dalam kepribadiaannya. Tujuan ini belum tercapai

karena keseluruhan responden mengaku masih banyak kekurangan dalam

menjalankan ajaran pangestu sepenuhnya. Namun ketiga responden terus berusaha

untuk mencapainya, terbukti dengan perubahan yang terus terjadi pada diri dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
188

hidup responden. Satu perubahan yang sering diungkapkan adalah perubahan dari

seorang yang emosional, kurang iklas dalam menolong sesama, cepat marah, dan

berperilaku buruk menjadi seorang yang lebih sabar, narimo, iklas dalam memberi

pertolongan, tidak cepat marah, dan berperilaku baik.

Tabel 9

Analisis Data tema Aktualisasi Diri melalui Pengalaman Mistik (Peakers)

Tema Kategori Ciri Verbatim


Hilangnya simptomp
neurotic (*neurotic =
(W. R. I. 03. 892-898); (W. R.
halangan untuk
II. 03. 915-935); (W. R. II. 03.
memperoleh kepuasan
940-945); (W. R. III. 03. 410-
kebutuhan dasar dan
421)
menghalangi gerak maju
Aktualisasi diri melalui pengalaman mistik

menuju aktualisasi diri


(W. R. I. 02. 162-163); (W. R.
I. 03. 853-856); (W. R. I. 03.
873-877); (W. R. II. 02. 210-
Efek
225); (W. R. II. 02. 205-209);
pengalaman
(peakers)

(W. R. II. 02. 226-230); (W.


mistik dalam Melihat diri sendiri lebih
R. II. 02. 465-471); (W. R. II.
jangka waktu sehat
03. 646-654); (W. R. II. 03.
lama
702-704); (W. R. II. 03. 776-
789); (W. R. II. 03. 825-827);
(W. R. II. 03. 827-865); (W.
R. III. 03. 177-173).
Perubahan pandangan (W. R. I. 03. 699-708); (W. R.
diri mengenai dunia I. 03. 856-857); (W. R. I. 03.
(*dunia = alam 877-891); (W. R. II. 02. 440-
kehidupan, lingkungan, 441); (W. R. II. 02. 442-441);
segala yang bersifat (W. R. II. 02. 442-468); (W.
kebendaan) R. II. 02. 551-565); (W. R. II.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
189

Lanjutan tabel 9

Tema Kategori Ciri Verbatim

02. 571-586); (W. R. II. 02.


656-658); (W. R. II. 03. 675-
680); (W. R. II. 03. 720-769);
(W. R. II. 03. 790-795); (W.
R. II. 03. 940-954); (W. R. II.
03. 1015-1028); (W. R. II. 03.
1065-1080); (W. R. III. 02.
144-162); (W. R. III. 02. 206-
219); (W. R. III. 02. 241-260);
Aktualisasi diri melalui pengalaman mistik

(W. R. III. 02. 274-285).


Perubahan pandangan (W. R. I. 02. 174-182); (W. R.
mengenai orang lain I. 02. 393-405); (W. R. I. 03.
dan hubunganya 654-656); (W. R. I. 03. 686-
Efek
dengan orang lain 688); (W. R. II. 02. 659-674);
pengalaman
(peakers)

(W. R. II. 03. 900-914); (W.


mistik dalam
R. II. 03. 1000-1025); (W. R.
jangka waktu
III. 02. 372-378); (W. R. III.
lama
380).
Munculnya kreativitas, (W. R. I. 02. 319-325); 9W.
spontanitas, dan R. I. 03. 677-688); (W. R. II.
kemampuan 01. 29-35); (W. R. II. 02. 181-
mengekspresikan diri. 191); (W. R. II. 02. 603-605);
(*kreativitas = berdaya (W. R. II. 02. 730-740); (W.
cipta dan original, R. II. 02. 961-985); (W. R. III.
spontanitas = asli, 115-120); (W. R. III. 02. 135-
inventif, inovatif) 136); (W. R. III. 02. 387-393);
(W. R. III. 02. 396-409). (W.
R. III. 02. 449-459).
Kecenderungan (W. R. I. 03. 860-863); (W. R.
melihat kehidupan I. 01. 155-159); (W. R. II. 02.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
190

Lanjutan tabel 9

Tema Kategori Ciri Verbatim

secara umum lebih 322-332); (W. R. II. 919-


Aktualisasi diri melalui

berharga 937); (W. R. II. 02. 1044-


pengalaman mistik

Efek
1045); (W. R. III. 03. 597-
pengalaman
(peakers)

596).
mistik dalam
Kecenderungan (W. R. I. 01. 80-84); (W. R. I.
jangka waktu
mengingat pengalaman 01. 98-123); (W. R. II. 02.
lama
puncak dan berusaha 1044-1045); (W. R. III. 01.
mengulanginya 111-114);

Efek atau pengaruh pengalaman mistik dalam jangka waktu lama pada

ketiga responden dalam penelitian ini kurang lebih menunjukkan hasil yang sama

dengan teori Maslow. Dengan jelas responden mengaku bahwa banyak perubahan

yang terjadi dalam diri dan kehidupan responden. Ketiga responden menunjukkan

hasil yang kurang lebihnya mirip, hanya satu pertanyaan saja yang menunjukkan

hasil yang berbeda antara satu responden dengan dua responden yang lainnya.

Responden I mengaku bahwa tidak ada lagi perasaan cemas akan masa depan atau

hari esoknya nanti. Sedangkan responden II dan III mengaku masih ada perasaan

cemas akan masa depan dan hari esok dia dan keluarganya.

Pertanyaan selebihnya menunjukkan jawaban yang kurang lebih sama

antara ketiga responden. Pada intinya keseluruhan responden mengaku ada

perubahan dalam pandangan pada diri sendiri,orang lain,dunia secara keseluruhan,

kehidupan, dan minat. Ketiga responden cenderung merasa lebih sehat, tenang,

tentram, dan bahagia. Ketiganya juga terus berusaha mengulang pengalaman


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
191

mistiknya dalam melakukan panembah hingga mampu merasakan manunggal

dengan Tuhan.

E. PEMBAHASAN

Pada tahap ini peneliti menganalisis dan menerjemahkan hasil temuan

penelitian. Hasil temuan yang telah dimasukkan ke dalam kategori-kategori

kemudian akan dilanjutkan ke dalam proses penafsiran dan penerjemahan. Proses

penafsiran dan penerjemahan ini akan peneliti lakukan dengan membandingkan,

mencari hubungan sebab-akibat, mencari keterkaitan antara satu kategori dengan

kategori yang lain untuk mendapatkan pola hubungan antarkategori untuk

kemudian mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian yang peneliti ajukan.

Peneliti juga akan menggunakan proses pembandingan dengan sumber data

sekunder dari kitab Pangestu, buku hasil penelitian tentang pangestu, dan

beberapa dokumen ceramah pangestu yang diberikan oleh responden serta teori

psikologi analitik Jung dan humanistik Maslow.

1. Identifikasi Pengalaman Mistik

Pengalaman mistik adalah merasakan suatu keadaan mistik yaitu adanya

kontak yang bisa berupa persatuan antara manusia dengan alam semesta dan

Tuhan. Pengalaman ini melebihi pengalaman intelektual belaka. Di dalam

pengalaman mistik terjadi perubahan kesadaran atau transformasi kesadaran dari

kesadaran mental spiritual yang bersifat empiris menjadi kesadaran transpersonal

yang bersifat tunggal-ilahiah (Hilmy, 2006). Bersifat empiris berarti bersifat nyata

dan konkret. Kesadaran mental-spiritual yang bersifat nyata ini akan dirubah

menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggal-ilahiah. Transpersonal


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
192

berasal dari kata trans yang berarti diatas (beyond, over) dan personal yang berarti

diri. Dalam pengalaman mistik kesadaran mental-spiritual yang masih bersifat

empiris ini akan berubah menjadi kesadaran yang melebihi atau diatas kesadaran

tentang diri dan kesadaran ini bersifat tunggal-ilahiah. Pengertian ini

menunjukkan adanya persatuan atau peleburan kesadaran yang melebihi

kesadaran tentang diri menuju ke kesadaran yang lebih luas, dan lebih tinggi yaitu

Tuhan. Menurut psikologi transpersonal, transformasi kesadaran adalah mengenai

pengalaman-pengalaman yang mendalam, perasaan keterhubungan dengan pusat

kesadaran semesta dan penyatuan dengan alam (Tart, 2001).

Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh responden I bahwa

ketika melakukan responden merasa kosong dan tidak ada apa-apa (W. R. I. 01.

76-77). Perasaan kosong dan tidak apa-apa adalah suatu gambaran pikiran dan

perasaan yang lupa segalanya atau tidak ingat apa-apa. Segala fungsi tubuh, baik

perasaan dan pikiran hanya ditujukan pada satu arah yaitu Tuhan. Ucapan,

ingatan, dan perasaan hanya difokuskan pada satu tujuan dan tidak ada yang lain.

Melupakan segalanya? Iya, melupakan segalanya…. setelah kita

mulai manembah, pikiran itu yah tidak kemana-kemana,

melupakan segala-galanya, menuju ke satu arah. Satu arah.

Pengertiannya satu arah itu hanya kepada Yang Maha Pencipta

atau kepada Tuhan. (W. R. I. 02. 256-301)

Hal ini dilakukan dan diresapi dengan sangat dalam artinya fokus dari

fungsi mental ditujukan pada satu tempat, yaitu hati terdalam, lubuk hati atau

telenge manah.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
193

Tuhan itu yah tampatnya dimana-mana, besarnya sedunia ini,

mungkin lebih besar lagi tapi bisa dikatakan kecil karena sudah

berada di istilahnya telenge manah. Apa ya? Lubuk hati. (W. R. I.

02. 302-305)

Sebagaimana yang dikatakan oleh Geertz bahwa hati atau manah dianggap orang

Jawa sebagai inti dari individu manusia, pusat yang dalam dari eksistensinya, dan

suatu lokasi rohaniah, tempat dimana dirinya yang sejati yakni Tuhan dapat

ditemui (Geertz, 1989).

Keadaan yang lupa segalanya lebih ditegaskan dengan melupakan

keduniawian. Artinya melupakan segala urusan yang baru beberapa detik

ditinggalkan dan termasuk juga segala bentuk urusan yang ditangkap panca indera

seketika setelah ritual panembah dimulai.

Nggih, melupakan keduniawian ngoten lhe mbak. Dadi niate mung

nyaket thok, dadi teng mriki (menunjuk ke dada) damai dan

selamat. (W. R. II. 03. 354-356).

Inilah yang dimaksud dengan “merubah kesadaran mental-spiritual yang

bersifat empiris menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggal-ilahiah”.

Segala hal keduniawian yang empiris dan dapat ditangkap oleh panca indera

ditinggalkan dalam pengalaman mistik. Tidak ada yang dilihat, didengar, dirasa,

dan diraba. Kosong sama sekali. Suatu pengalaman yang dalam karena

membutuhkan kepasrahan dan keiklasan yang total atas segala hal menuju satu

tujuan yaitu Tuhan. Semua masalah dunia baik itu kesulitan hidup ataupun

kebahagiaan harus ditinggalkan.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
194

Pikirane nggih, harus di kosongkan pikirkan itu harus kosong

mbak. Semua keduniawan koyo wis ditinggal-nggal tenan, ngoten

nika. Koyo-koyo nek belajar wis nglaleke, sing arep dipikir-pikir

yo wis iklasno ngoten nika. Tapi tidak setiap doa itu bisa tercapai

seperti itu. (W. R. II. 03. 400-404).

Ketika kesadaran ini telah berubah yaitu dari kesadaran mental spiritual

yang bersifat empiris menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggal-

ilahiah yang terjadi adalah suatu keadaan yang benar-benar kosong, sama sekali

kosong. Pengalaman mistik yang artinya mengalami mistik adalah mengalami

kekosongan. Pada saat ini pikiran dan perasaan hanya menuju pada Tuhan dan

benar-benar merasuk ke dalam hati sanubari. Dan ketika benar-benar kosong

inilah yang disebut sebagai manunggal.

Maksudnya manunggal itu… seperti yang saya katakan kemarin

dalam hati kecil atau perasaan saat melaksanakan manembah

berlaku manunggal, pikiran tidak memikirkan hal-hal lain selain

Gusti Allah. Jadi harus konsentrasilah intinya seperti itu. Ada

sesuatu atau hal-hal lain itu sedapat mungkin dilupakan . Jadi

saya merasa hanya berhadapan sama Tuhan, melupakan hal-hal

lain. Istilahnya jika saya merasa di sini, Tuhan di depan saya,

perasaanya begitu. Ini kalau dijabarkan panjang, tapi intinya ya

seperti tadi, istilahnya melupakan segala sesuatu apapun situasi

yang ada di dunia ini dan saat itu hati kita fokus hanya satu arah

berhadapan dengan Tuhan. (W. R. I. 03. 494-504).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
195

Kekosongan inilah yang dianggap sebagai kontak atau persatuan antara

manusia dengan Tuhan, manunggaling kawula lan Gusti. Pada saat ini benar-

benar dirasakan bahwa tidak ada yang lain selain “aku” dan Tuhan.

pada saat melakukan panembah ini benar-benar rasa saya di

hadapan Tuhan, begitu. Rasanya tuh apakah eyang benar-benar

merasakan disitu hanya ada eyang sendiri dan Sang Maha Pencipta

atau masih ada gangguan?? Ya, yang jelas hanya saya dan Maha

Pencipta. Tidak ada yang lain. (W. R. I. 360-366).

Saat ini terjadi, batin adalah sama sekali kosong. Tak ada apa-apa sama

sekali, hanya ada titik di hati yang menghubungkan diri dengan Tuhan, seperti

yang diungkapkan responden I, “Pada saat luyut, tidak bisa merasakan sama

sekali hanya titik di hati. Seolah-olah ada tali yang menghubungkan dengan

Tuhan, hanya begitu”. Jika ada apa-apa, atau merasakan atau mendengar atau

melihat itu bukan. Dalam ajaran pangestu Tuhan sama sekali tak dapat

digambarkan, ora rupa, ora iso dirupakake. Kontak dengan Tuhan adalah suatu

keadaan yang benar-benar kosong dan tidak ada apa-apa. Dalam pengertian warga

pangestu inilah yang disebut dengan manunggaling kawula Gusti. Keadaan

manunggal adalah suatu keadaan yang tanpa isi sama sekali. Ketika fungsi mental

telah kehilangan kontak dengan segala hal yang berhubungan dengan

keduniawian ada satu tekanan yang harus diperhatikan bahwa pertemuan dengan

Tuhan adalah alam kosong, tak ada isi sama sekali, yang dalam banyak tulisan

mistik Jawa disebut sebagai alam suwung.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
196

Tekanan ini penting karena dalam pengalaman mistik bukan tidak

mungkin ada satu penampakan yang mengaku sebagai Tuhan. Warga pangestu

selalu menegaskan hal ini, bahwa Tuhan bersifat immaterial, tidak dapat dicapai

dengan panca indera, berada di luar maupun di dalam, berada di mana-mana

mencakup alam semesta seisinya. Responden I menjelaskan bahwa terkadang

ketika pikiran dan perasaan sudah mulai lupa dengan hal-hal keduniawian maka

bisa terjadi gangguan dengan melihat sesosok dan mendengar bahwa sosok itu

mengatakan dirinya adalah Tuhan. Jika ini terjadi maka panembahnya belum

mencapai manunggal.

tapi kalau perasaan masih tergambar rumongso aku urip koyo

ngono, ada sesuatu merupakan gambaran itu Bukan….sebenarnya

tidak ada apa-apa, tapi kalau masih merasa ada, itu tetap

bukan….sulit ya? Apa kadang-kadang merasa ada apa-apa? Ya.

Apanya itu apa? Saya sudah konsentrasi secara benar sampai

hening, perasaan saya satu, saya berhadapan dengan Tuhan…oh

ini saya ketemu Tuhan rupa dan bentuknya seperti ini…oh

ternyata bukan. Apa kadang-kadang seperti itu? Ya….namanya

hawa nafsu sodara ke 4 tadi masih mengganggu…jadi bisa aja

terjadi demikian. Apa pernah terjadi? Ya….Melihat sesosok? Ya…

Apa? Ya hanya seperti tubuh manusia. Godaan bisa saya katakana

syetan…ya bentuk dan rupanya seperti manusia. (W. R. I. 03. 52-

546).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
197

Pengalaman manunggal dalam panembah ini seperti apa yang

diungkapkan koltko (1989) bahwa pengalaman transpersonal adalah suatu

pengalaman yang melebihi pengalaman intelektual belaka, batas diri digambarkan

secara lebih luas dan kemudian hilang secara bersama-sama, dan situasi ini adalah

ketika rasa seseorang tentang identitas meluas melebihi batas kepribadian. Tidak

ada batas antara individu dan alam semesta, yang ada hanya kekosongan, suwung,

remang-remang namun dalam sanubari merasa bahwa ada hubungan atau kontak

dengan Tuhan. Responden I mengatakan sepanjang itu semua terjadi ada perasaan

nalongso, penuh dosa, dan ingin bertaubat. Kontak atau hubungan terjadi melalui

suatu doa atau permohonan namun dengan keyakinan yang amat sangat bahwa

seketika itu dia benar-benar dihadapan atau dipangkuan Tuhan.

Suasana ini membawa pada satu hasil akhir yang luar biasa. Secara

emosional seluruh responden mengaku bahwa ketika pengalaman mistik terjadi,

ketika kesadaranya seketika berubah dari empiris menjadi transpersonal hanya

ada perasaan bahagia. Ini tak ubahnya sebagai suatu keajaiban menurut responden

II. Hati merasa tenang, tentram, dan damai karena tidak merasakan apa-apa.

Mboten ngrasake pripun-pripun ngaten, koyo dene suatu keajaiban

ngaten nika, dadi awak ki ngrasake penak thok… Secara emosional

gimana? Secara emosional…mah… sedih.. seneng. Seneng, tentrem

og. Nek khusyuk tenan niku tenang…seneng…perasaane ki damai

seneng! (W. R. I. 02. 382-391)

Hal ini mirip apa yang disebut oleh Prof. Nurcholis Madjid sebagai

kemabukan mistik. Prof. Nurcholis Madjid menjelaskan hal ini dalam tulisannya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
198

tentang mistisisme Islam. Satu hal pokok dalam pembicaraan tentang mistik yaitu

adanya keyakinan dan penghayatan yang dalam akan kehadirat Tuhan. Mistik

mampu membangun ruang personal antara individu dengan Tuhan, dan disinilah

letak penghayatan keagamaan yang tertinggi. Mengutip tulisan Prof. Nurcholis

Madjid, pengalaman mistik tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut

ekstase, suatu kemabukan mistik dimana individu tidak menyadari hal lain selain

keberadaan Tuhan. Prof. Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa meskipun

pengalaman mistik hanyalah suatu kejadian sementara (transitory), namun

relevansinya bagi pembentukan budi pekerti akan bersifat abadi. Sebab dalam

pengamalan intense sesaat itu orang berhasil menangkap suatu kebenaran yang

utuh. Kesadaran akan kebenaran itulah yang menimbulkan rasa bahagia dan

tentram yang mendalam. Dan inilah yang dimaksud oleh Geertz (1989) bahwa

tujuan dari semua mistik adalah pencapaian ”rasa yang tertinggi”, yaitu rasa

bahagia dan tentram yang mendalam.

Perubahan kesadaran dalam pengalaman mistik oleh psikologi

transpersonal disebut dengan altered state of consciousness (ASC). ASC ini dapat

dicapai melalui hypnosis, meditasi, berdoa, yoga, atau dzikir. Pengalaman mistik

dalam ritual panembah ini tidak jauh berbeda dengan dengan berdoa, dzikir, dan

meditasi. Pada tingkatan sembah raga, panembah akan diikuti dengan dzikir

dengan mengucapkan hu-Allah berulang-ulang, dan dalam seluruh tingakatan

panembah selalu ada permohonan dan doa yang akan dipanjatkan. Perubahan

yang diungkapkan oleh responden sesuai dengan perubahan yang terukur dalam

penelitian Kjellgren, dkk (2008), yaitu:


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
199

1) A disturbed time sense (gangguan perasaan tentang waktu): percepatan

waktu atau “time standing still”; responden I dan II mengaku bahwa ketika

panembah dapat dilakukan dengan khusyuk responden tak merasa jika

ternyata panembah telah dilakukan selama 30 menit sampai 1 jam.

2) Perceptual change (perubahan perseptual): visual dan akustik; responden I

mengaku bahwa dalam keadaan manunggal tidak ada apapun yang di dengar

ataupun dilihat. Responden kehilangan kontak dengan dunia luar, yang ada

hanya kekosongan.

3) Body image change (perubahan gambaran tubuh): seperti sensasi

mengambang atau terbang atau experiencing body-boundaries dissolved

(mengalami batas tubuh yang lenyap); responden I mengaku bahwa pada

saat luyut atau manunggal tidak bisa merasakan batas antar alam dan diri,

yang ada hanya titik di hati. Sedangkan responden II mengaku bahwa ketika

khusyuk tubuhnya terasa sangat ringan, tidak merasakan pegal, ataupun

kesemutan. Responden II bahkan mengatakan bahwa pengalaman tersebut

seperi sebuah keajaiban.

4) Alteration thingking (pemikiran yang lebih): multi asosiasi, perasaan

kreativitas yang meningkat, atau pemikiran magis. Responden I dan II,

keduanya mengatakan bahwa dalam pikiran dan ingatan mereka hanya ada

gambaran diri yang penuh dosa dan ingin bertaubat. Responden merasa

nelangsa.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
200

2. Tahapan Pengalaman Mistik

Pengalaman mistik dalam penelitian ini adalah pengalaman mistik yang

dirasakan ketika melakukan ritual panembah. Dalam pengalaman mistik itu

sendiri peneliti simpulkan ada tiga tahapan berdasarkan data yang diperoleh ketika

wawancara serta data sekunder dari kitab sasangka jati dan dokumen ceramah

pangestu yang dipinjamkan oleh responden kepada peneliti. Tahapan ini sangat

berhubungan dengan tingkatan panembah dalam ajaran pangestu. Hal ini tidak

jauh berbeda dengan tulisan Geertz (1989) dan Endraswara (2006) bahwa

biasanya ada dua tahapan dalam pengalaman mistik yaitu “neng” dan “ning”.

Berdasarkan penjelasan responden ada tiga tahapan ketika pengalaman mistik

berlangsung, yaitu:

1) Heneng, adalah suatu tahap dimana pelaku mistik berusaha meninggalkan

segala urusan keduniawian, melupakan segala-galanya dan pikiran

difokuskan atau ditujukan pada satu arah yaitu Tuhan. Pada tahap ini

pelaku mistik harus benar-benar berkonsentrasi penuh untuk meninggalkan

segala bentuk urusan dan masalah hidupnya dan kemudian memusatkan

pikirannya hanya pada Tuhan.

2) Hening, adalah kejernihan dan ketulusan hati dan pikiran untuk

menyembah Tuhan. Segala pujian, permohonan, dan doa harus diresapi

sedalam-dalamnya dan ditujukan pada satu titik ke lubuk hati dimana

Tuhan dianggap berada. Hal ini membutuhkan konsentrasi yang sangat

dan tidak akan tercapai sebelum pelaku mistik dapat melupakan segala hal

dan hanya mengingat Tuhan. Dapat diumpamakan hening adalah suatu


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
201

kedaan dimana dalam keheningan dan kejernihan pikiran, seseorang benar-

benar menyembah, memuji, dan memohon hanya kepada Tuhan dengan

ketulusan yang dalam.

3) Luyut, perasaan yang tenang, tentram dan kosong meninggalkan segala

beban duniawi. Pada tahapan inilah pelaku mistik akan menemui alam

suwung karena pada tahap ini pelaku mistik sudah benar-benar lupa

segalanya dan hanya merasakan kekosongan. Batas diri telah lenyap,

individu merasa lebur dengan alam semesta dan ikut menjadi satu dengan

kekosongan itu sendiri. Individu tidak merasakan apa-apa sama sekali

hanya titik di hati seolah-olah ada tali yang menghubungkan diri dengan

Tuhan.

Selanjutnya, tahapan dalam pengalaman mistik ini berkaitan erat dengan

tiga tingkatan dalam panembah dan empat tataran panembah. Panembah dalam

ajaran pangestu terdiri dari tiga tingkatan, yaitu panembah raga kepada roh suci,

panembah roh suci kepada suksma sejati, dan panembah suksma sejati kepada

suksma kawekas. Di dalam panembah ini sebenarnya terkandung empat tataran

penyembahan, yaitu sembah raga, sembah cipta, sembah kalbu, dan sembah rasa.

Berkaitan dengan tahapan pengalaman yang telah disebutkan diatas, setiap

tingkatan ternyata menunjukkan tahap pengalaman yang berbeda-beda. Ketiga

responden dalam penelitian ini ternyata melakukan tingkatan yang berbeda-beda.

Responden I mengaku belum lama merasakan sembah rasa setelah sekian lama

mengikuti pangestu, responden II merasa telah melakukan tingkatan sembah kalbu

walaupun baru lima tahun benar-benar menghayati ajaran pangestu, sedangkan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
202

responden III masih dalam tingkatan sembah raga. Sembah raga dan sembah cipta

biasanya dianggap satu tingkatan atau tataran.

Tiap tahapan pengalaman mistik dalam tiga tingkatan dan tataran

panembah adalah sebagai berikut:

1) Panembah raga kepada roh suci, panembah raga kepada roh suci

mengandung tataran sembah raga dan sembah cipta. Dalam kitab sasangka

jati dijelaskan bahwa roh suci memiliki sifat Pangeran atau Tuhan yang

menguasai empat nafsu (luamah, amarah, supiah, dan mutmainah). Pada

tingkatan ini pelaku mistik berusaha ngereh hawa nafsune atau

mengekang hawa nafsunya. Dalam mengekang hawa nafsu ini pikiran

(cipta) digunakan untuk selalu mengingat Tuhan dan utusannya dengan

meluhurkan atau memuji namanya melalui gerakan yang diperagakan.

Pada panembah raga kepada roh suci ini berarti bertujuan untuk

menciptakan keadaan heneng dalam pengalaman mistik. Seperti yang

dirasakan oleh responden I, pada tahap ini tubuh dan panca indera

terkadang masih merasakan pegal, letih, ataupun kesemutan.

2) Panembah roh suci kepada suksma sejati, panembah roh suci kepada

suksma sejati mengandung tataran sembah kalbu. Pada tahap ini roh suci

sudah mampu menguasai hawa nafsunya jadi pikiran (cipta) mulai dapat

mengontrol hawa nafsu. Diri tidak lagi diarahkan oleh hawa nafsu karena

pikiran sudah mampu menguasai nafsu-nafsu itu. Pada tingkatan ini

individu mulai untuk taat dengan kesungguhan dan kesucian hati untuk

memasrahkan kuasa dirinya yaitu memasrahkan pikiran (cipta). Artinya


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
203

pikiran sudah tidak digunakan lagi dan mulai diselamkan kedalam

keheningan. Panembah tingkatan yang kedua ini adalah untuk mencapai

tahap hening dimana pikiran dapat seolah-olah berpisah dari otak dan

individu mulai untuk mengiklaskan segala hal dengan kejernihan dan

kesucian batin hingga diri menjadi larut dalam suasana hening. Individu

akan merasakan kedamaian dan ketenangan ketika mencapai keheningan.

Batas diri sedikit demi sedikit mulai tak terasa.

3) Panembah suksma sejati kepada suksma kawekas, merupakan tumraping

laku panunggal atau penerapan dari keadaan manunggal. Pada panembah

tingkat ketiga individu benar-benar memasrahkan segalanya kepada kuasa

Tuhan. Setelah mampu menundukan hawa nafsu, kemudian merelakan

pikiran dan akhirnya pada tahap ini individu memasrahakn angen-angen

atau harapan dan keinginan kepada Tuhan. Individu harus membiasakan

diri untuk ngukut angen-angene atau meredam segala keinginan agar

sedikit demi sedikit dapat sampai pada sadhuwuring budi atau memiliki

watak yang budiluhur. Pada tahap ini menunjukkan kepasrahan total

kepada Tuhan, batas diri mulai lebur karena tak ada lagi nafsu, kebutuhan,

dan keinginan yang ada hanyalah kuasa Tuhan. Hasil akhir dari tingkatan

ini adalah keadaan luyut, yaitu lupa akan segala-galanya, yang ada

hanyalah kekosongan, tanpa isi sama sekali.

Tiap tingkatan ini hanya individu masing-masing yang bisa merasakan.

Sama sekali tidak ada patokan bahwa pada kuantitas seberapa individu dapat naik

ke tingkatan berikutnya. Diri pribadi yang melakukan dan juga diri sendiri yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
204

merasakan serta memutuskan sudah mampukah untuk melanjutkan ke tingkatan

panembah selanjutnya.

3. Realisasi Diri dalam Ajaran Pangestu

Menurut ajaran pangestu yang terangkum dalam candra jiwa (Sasangka

Djati, 2005; Ceramah Penerangan Pangestu, 2009), manusia terdiri dari tiga

struktur jiwa yaitu:

1) Badan jasmani kasar (soma), terdiri dari tubuh manusia dan lima panca

indera. Panca indera inilah yang menghubungkan manusia dengan dunia luar

atau dunia besar (jagad gedhe).

2) Badan jasmani halus (psyche), terdiri dari angan-angan, nafsu, dan perasaan.

Angan-angan, merupakan bayangan Tripurusa, terdiri dari cipta atau pikiran

(pangaribawa) yang merupakan bayangan roh suci dan memiliki fungsi

membayangkan dan menangkap gatra dan wujud. Kedua, adalah nalar

(prabawa) yang merupakan bayangan suksma sejati yang berfungsi untuk

menghubungkan bayangan yang ada dan ketiga, adalah pengerti (kemayan)

yang merupakan bayangan dari suksma kawekas berfungsi untuk

menimbulkan pengertian setelah melihat keseluruhan fungsi cipta dan nalar.

Nafsu terdiri dari empat macam yang terbetuk dari empat anasir yaitu luamah,

amarah, sufiah, dan mutmainah. Perasaan adalah hasil dari mempengaruhi

(interaksi) antara angan-angan dan nafsu-nafsu. Bila angan-angan dan nafsu-

nafsu selaras maka perasaan menjadi positif yaitu menerima, senang, puas,

dsb. Bila yang terjadi adalah sebaliknya maka perasaan menjadi negatif yaitu

perasaan menolak, sedih, kecewa, dsb.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
205

3) Alam sejati, adalah tempat bertahtanya Tripurusa, kerajaan Allah yang berada

di hati sanubari manusia yang suci.

Candra jiwa manusia menurut ajaran pangestu ini diibaratkan seperti

kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda dengan empat warna dan

dikendalikan oleh seorang kusir. Di dalam kereta duduk seorang penumpang

menggunakan pakaian jubah dan sorban. Arti dari perumpamaan ini adalah badan

jasmani diumpakan sebagai kereta, empat nafsu sebagai kuda, angan-angan

diumpamakn sebagai kusir, dan roh suci diumpamakan sebagai penumpang.

Manusia dalam pangestu diibaratkan hidup sesuai dengan kereta kencana yang

berjalan. Jika kuda dan kusir terprakarsai oleh kehendak penumpang yang telah

mendapatkan sinar atau pepadhang dari Tuhan maka hidupnya akan bahagia dan

tenang. Kereta kencana diibaratkan seperti kaca. Jika kaca itu bersih dan bening

maka sinar Tuhan mampu ditangkap, namun jika kaca itu kotor dan gelap maka

sinar Tuhan tak kan mampu menjangkaunya.

Kereta kencana atau jiwa manusia dalam ajaran Pangestu dituntun menuju

pancasila yaitu menusia dengan lima watak utama, yaitu rila, narima, temen,

sabar, dan budi luhur. Lima watak utama ini tercapai dengan menundukan badan

jasmani halus pada tri sila yaitu sadar, percaya, dan mituhu (taat). Angan-angan

yang terdiri dari cipta, nalar, dan pangerti harus sadar akan rahsa sejati, artinya

angen-angen menyadari alam sejati tempat Tripurusa bertahta. Perasaan harus

percaya akan rahsa sejati dan alam sejati. Oleh karena itu empat nafsu dapat

dikendalikan oleh angan-angan dan akhirnya mampu taat serta selaras akan karsa

Tuhan. Hasil akhir dari semua ini adalah manusia hidup tak lagi mengikuti arah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
206

kemana empat kuda wujud dari nafsu-nafsu ini berjalan, melainkan arah hidup

manusia dikendalikan oleh karsa Tuhan melalui angan-angan yang mampu

mengendalikan laju empat nafsu tersebut.

Konsep ajaran pangestu tentang manusia ini dapat dibandingkan proses

individuasi dalam teori Jung. Hasil akhir dari individuasi adalah realisasi diri dan

komponen paling penting dalam individuasi adalah membuka tabir ketidaksadaran

menuju satu keutuhan dan kebulatan kepribadian. Dalam individuasi, ego akan

menurunkan tahta persona untuk lebih mendekat kepada ketidaksadaran. Tujuan

akhir dari pencarian ego di dalam ketidaksadaran adalah diri (self). Sebelum

sampai pada self, harus ada pengetahuan diri dimana ego menyadari sisi gelap

kepribadiannya, kemudian biseksualitas psikologisnya, lalu menerima setiap

pengetahuan tentang dirinya tersebut dan baru akan sampai pada self. Ketika

realisasi diri tercapai jiwa mengembangkan pusat yang baru yaitu diri (self)

menggantikan pusatnya yang lama yaitu ego (Hall & Lindzey, 2005). Ketika

realisasi diri ini tercapai, shadow dan syzygy (anima dan animus) tak lagi

memproyeksikan dirinya ke dalam ego sehingga mempengaruhi perilaku sadar

individu. Shadow sebagai sisi gelap manusia dan syzygy sebagai biseksualitas

psikologis telah terdiferensiasi dan terintegrasi dalam diri (self) dan pada akhirnya

diri (self) mampu mengungkapkan diri dalam sifat-sifat orang-orang yang

terindividuasi, orang-orang yang telah merealisasikan dirinya.

Ada kesamaan antara individuasi dan candra jiwa dalam ajaran pangestu.

Pangestu sering ditegaskan oleh penganutnya sebagai wadah pendidikan jiwa

dimana tujuannya adalah membekali para anggotanya dengan jiwa yang sehat,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
207

kuat, dan berbudi pekerti luhur agar dapat melaksanakan tugas hidup jasmaniah-

rohaniah dengan sempurna dan agar dapat mencapai tujuan hidup yang hakiki

ialah hidup bahagia abadi dan akhirnya dapat kembali bertunggal dengan Tuhan.

Dalam wawancara dengan ketiga responden banyak diungkapkan bahwa tujuan

dari ajaran pangestu ini adalah membentuk pribadi yang berbudi pekerti luhur,

dan caranya adalah dengan melaksanakan jalan rahayu yaitu paugeraning

pangeran marang kawula sebagai dasar kepercayaan, panembah, budi darma atau

beramal, mengekang hawa nafsu, dan budi luhur sebagai bekal dalam menuju

hidup yang sejati.

Inti dari ajaran pangestu adalah membentuk pribadi yang budi luhur

karena pribadi inilah yang dianggap dapat hidup bahagia dan mampu manunggal

dengan Tuhan. Pribadi yang budi luhur adalah manusia yang mampu

melaksanakan perbuatan yang disenangi oleh Tuhan dan segala perilakunya dekat

dengan sifat Tuhan. Sedangkan menurut Jung (1986) dalam diri manusia ada satu

tendens yang paling besar yaitu kecenderungan batin untuk mewujudkan diri,

untuk menjadi diri sendiri. Sebab dalam diri manusia terdapat kemungkinan atau

potensi-potensi asli yang mengarah pada tujuan tertentu dan tujuan dari proses

perkembangan psikis adalah mencapai keutuhan kepribadian, yang sebesar

mungkin meluaskan bidang kesadaran. Jalan unik untuk mencapainya disebut

individuasi dan tujuan dari individuasi ini tidak lain daripada membebaskan self

dari bungkus-bungkus palsu persona (topeng psikis sebagai adaptasi atau

penyesuaian dengan tuntutan sosial) dan dari kekuasaan alam tak sadar arketipis

yang merajalela (shadow dan anima atau animus). Hal ini tak ubahnya dengan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
208

proses membebaskan pancaran tripurusa dari angan-angan yang dikendalikan oleh

empat nafsu hewani dalam ajaran pangestu.

Self adalah arketip yang menggambarkan Tuhan (dalam Jung, 1986). Jika

ini dibandingkan dengan banyak ajaran kebatinan di Jawa secara umum dan ajaran

pangestu khususnya nampak banyak kesamaan. Inti dari ajaran mistik, termasuk

juga pangestu adalah mengolah rasa batin untuk menyatukan diri dengan Tuhan

(manunggaling kawula Gusti) dan mewujudkan manusia yang berbudi pekerti.

luhur. Dalam ajaran pangestu seorang dituntun untuk menjadi manusia yang

berbudi luhur dan manusia berbudi luhur dapat menunggal dengan Tuhan setelah

meninggal. Untuk menjadi manusia yang berbudi luhur ini harus memiliki empat

watak utama dalam pancasila yaitu rila, narima, temen, sabar. Jika keempat watak

telah dimiliki maka otomatis watak budi luhur ini tercapai. Watak pancasila ini

tercapai dengan membawa badan jasmani halus kepada trisila, yaitu membawa

angan-angan, perasaan, dan nafsu-nafsu untuk sadar, percaya, dan taat.

Sempurnanya trisila, pancasila, dan jalan rahayu, mencapai budi luhur didorong

oleh panembah yang sempurna.

Jika pangestu menuntun untuk membersihkan jiwa manusia agar pancaran

sinar tripurusa dapat diterima menuju manusia yang berbudi pekerti luhur yang

menjalankan karsa Tuhan maka tidak berbeda dengan teori Jung yang

menyatakankan bahwa manusia memiliki tendensi untuk mengungkapkan dirinya

yang sejati melalui individuasi menuju self sebagai gambaran Tuhan (imago dei)

agar tercapai realisasi diri. Dengan kata lain penganut pangestu dalam berusaha
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
209

mencapai manusia berbudi pekerti luhur adalah sedang melakukan proses

individuasi untuk mencapai realisasi diri.

Realisasi diri di dalam ajaran pangestu adalah tercapainya pribadi yang

berbudi luhur yang memiliki lima watak utama dalam pancasila. Pribadi yang

berbudi pekerti luhur adalah pribadi yang mampu mengungkapkan self sebagai

pusat baru dalam kepribadiannya. Arketip self adalah sama dengan gambaran

Tripurusa dalam ajaran pangestu yang terselam dalam alam kasunyatan atau alam

sejati. Jika ini terungkapkan maka sang manusia menjadi manusia yang berbudi

luhur yaitu memiliki perilaku yang sesuai dengan karsa Tuhan. Tabel 10 dibawah

ini menunjukkan perbandingan antara empat sifat dalam proses individuasi

dengan proses mencapai budi luhur dalam pangestu.

Tabel 10

Perbandingan proses Individuasi dengan Proses Mencapai Watak Budi Luhur dalam

Pangestu

Empat sifat dalam individuasi Proses meencapai watak budi luhur


(dalam Baihaqi, 2008; Schultz, melalui tiga tingkatan panembah
1991) dalam pangestu

a. Sifat pertama ialah bahwa orang a. Angan-angan harus dibuat sadar dan
menyadari segi-segi diri yang telah perasaan dibuat percaya akan adanya
diabaikannya. Hal ini tidak dapat Tripurusa (Tuhan Yang Maha Esa)
terjadi sebelum usia setengah tua. sehingga individu dapat merasakan
Untuk bertujuan ke arah individuasi, rasa sejati yaitu merasakn kehadiran
orang harus melepaskan tingkah laku- Tripurusa dalam hati sanubari yang
tingkah laku, nilai-nilai, dan pikiran- suci.
pikiran yang membimbing setengah b. Meredam atau mengendalikan nafsu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
210

Lanjutan tabel 10

Empat sifat dalam individuasi Proses meencapai watak budi luhur


(dalam Baihaqi, 2008; Schultz,
melalui tiga tingkatan panembah
1991)
dalam pangestu

bagian pertama dari kehidupan dan lauamah dan amarah, sehingga cipta
sampai pada ketidaksadarannya; tidak lagi dutunggangi lauamah dan
b. Sifat kedua ialah pengorbanan tujuan- amarah. Terkendalinya laumah dan
tujuan material dari masa remaja amarah mewujudkan watak jujur dan
dewasa dan sifat-sifat kepribadian yang sabar. Dengan demikian angan-angan
memungkinkan seseorang mencapai (cipta, nalar, dan pangerti) mendapat
tujuan-tujuan itu. Dalam individuasi tuntunan dan pepadang dari suksma
tidak ada satupun fungsi atau sikap kawekas dan suksma sejati. Sila ketiga
yang dominan. Di dalam individuasi tri sila tercapai dengan membuat taat
akan terjadi perubahan-perubahan pada nafsu laumah dan amarah kepada
usia setengah tua, yaitu yang pertama cipta. Hal ini merupakan hasil dari
penurunan tahta persona. Kepribadian kesempurnaan sembah raga (tingkatan
publik tetap diteruskan sebab masih pertama dalam panembah)
ada peranan-peranan sosial tetapi orang c. Nalar (prabawa) ditundukkan sampai
harus menyadari dirinya dan juga menyerah kepada suksma sejati, dan
menjadi dirinya sendiri. Yang kedua, prabawa silem ing kaheningan atau
ialah menyadari semua kekuatan larut dalam keheningan. Watak rila
bayang-bayang yang bersifat destruktif dan narima terwujud karena sifat tidak
dan konstruktif. Hal ini berarti orang iklas dan tidak menerima
harus menyadari sisi gelap bersumberkan pada prabawa (nalar)
kepribadiannya serta menerima impuls- yang ditunggangi oleh laumah.
impuls yang bersifat animalistis dan d. Menundukkan kamayan (pangerti)
primitif seperti sifat destruktif dan tunduk dan pasarh kepada suksma
egois. Hal ini merupakan bagian dari sejati dan akhirnya kamayan (pangerti)
tahap pengetahuan diri, individu harus larut dalam keheningan. Bersama-
menerima dan menyadari sisi buruk sama cipta dan nalar, kamayan
kepribadiannya juga. Yang ketiga ialah (pangerti) lepas dari otak dan individu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
211

Lanjutan tabel 10

Empat sifat dalam individuasi Proses meencapai watak budi luhur


(dalam Baihaqi, 2008; Schultz,
melalui tiga tingkatan panembah
1991)
dalam pangestu

menerima biseksualitas psikologis menjadi luyut. Budi luhur tercapai atau


yaitu anima dan animus. Bersamaan panunggla antara roh suci, suksma sejati,
dengan pengetahuan diri muncullah dan suksma kawekas terwujud di alam
penerimaan diri. sejati. Individu mencapai tingkat
c. Sifat ketiga ialah integrasi diri. Semua kasunyatan jati dan tercapailah watak budi
segi kepribadian diintegrasikan dan luhur.
diharmoniskan sehingga semuanya
dapat diungkapkan. Untuk pertama
kalinya hidup, tidak ada segi, sikap,
atau fungsi yang dominan.
d. Sifat terakhir ialah orang yang mampu
menampakkan ungkapan-diri.
Ungkapan diri merupakan sifat terkahir
dari orang-orang yang terindividuasi.

4. Realisasi Diri dan Aktualisasi diri melalui Pengalaman Mistik

Ketiga responden mengaku bahwa banyak perubahan yang terjadi pada

diri masing-masing setelah sekian lama menghayati ajaran pangestu. Responden I

yang telah 39 tahun menghayati pangestu mengaku belum lama ini merasakan

pengalaman manunggal dalam melakukan panembah dan hanya satu orang ini saja

dari ketiga responden penelitian yang mengaku sudah merasakan manunggal

ketika panembah. Walaupun begitu responden I masih merasa belum menjadi

pribadi yang diharapkan dalam ajaran pangestu atau pribadi yang berbudi luhur.

Responden II mengaku baru lima tahun benar-benar menghayati ajaran pangestu


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
212

dan sekarang responden telah sampai pada sembah kalbu. Sedangkan responden

III sudah 27 tahun mengikuti pangestu tapi masih menjalankan sembah raga.

Hanya responden I dan II yang memiliki banyak gambaran tentang pengalaman

mistik dalam melakukan panembah. Responden III mengaku masih sering

merasakan kesemutan selama melakukan panembah. Dari ketiga responden

mengatakan bahwa banyak sekali perubahan yang telah dirasakan setelah

mengikuti dan menghayati ajaran pangestu.

Sesuai dengan teori Maslow, bahwa merasakan pengalaman mistik dalam

jangka waktu lama akan membawa banyak perubahan yang dikategorikan dalam

(dalam Alwisol, 2008):

1) Hilangnya symptom neurotik,

2) Kecenderungan melihat diri sendiri lebih sehat,

3) Perubahan pandangan mengenai orang lain dan hubungan dirinya dengan

orang lain,

4) Perubahan pandangan diri mengenai dunia,

5) Munculnya kreativitas, spontanitas, dan kemampuan mengekspresikan diri.

6) Kecenderungan mengingat pengalaman puncak itu dan berusaha

mengulanginya,

7) Kecenderungan melihat kehidupan secara umum sebagai hal yang lebih

berharga.

Ketujuh perubahan ini setelah ditanyakan kepada ketiga responden, beberapa

diantaranya menunjukkan jawaban yang tidak jauh berbeda dari ketiga responden.

Hanya satu pertanyaan yang yang dijawab berbeda dari ketiga responden yaitu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
213

pertanyaan dari kategori hilangnya symptom neurotik. Neurotik dalam teori

Maslow dijelaskan sebagai suatu halangan untuk memperoleh kepuasan

kebutuhan dasar dan menghalangi gerak maju menuju aktualisasi diri (Alwisol,

2008). Untuk kategori ini peneliti menggunakan pertanyaan “apakah setelah

mengahayati ajaran pangestu sejauh ini masih ada perasaan cemas menghadapi

hari esok atau masa depan?”. Dari ketiga responden, hanya responden I yang

menjawab, “tidak sama sekali” (W. R. I. 03. 895-896). Responden II menjawab,

“masih, tapi sudah berkurang, jauh berkurang” (W. R. II. 03. 940-945). Dan

responden III menjawab, “sedikit masih ada” (W. R. III. 03. 410-421).

Keenam kategori pertanyaan lainnya di jawab hampir sama oleh ketiga

responden. Seluruh responden cenderung merasa dirinya lebih sehat sekarang.

Keseluruhan responden merasa pikiran longgar, tenang, tidak emosional, dan rasa

ingin marah yang jauh berkurang (lebih sabar). Seluruh responden juga merasa

hubunganya dengan orang lain semakin baik khususnya hubungan dalam rumah

tangga. Ketiga responden sama-sama menjawab bahwa keadaan rumah tangganya

kini lebih kompak. Interaksi dengan orang lain selain keluarga pun menjadi lebih

iklas khususnya dalam hal saling tolong menolong. Untuk kategori perubahan

pandangan diri mengenai dunia pun menunjukkan respon yang sama dari ketiga

responden. Dunia diartikan sebagai alam kehidupan, lingkungan, dan segala yang

bersifat kebendaan. Dan pandangan responden mengenai hal ini selalu

dihubungkan dengan ciptaan Tuhan atau titipan Tuhan. Responden I dan II sangat

jelas menunjukkan hal ini (W. R. I. 03. 699-708; 856-857; 873-877 dan W. R. II.

03. 700-705; 776-789; 825-927; 827-860) sehingga membuat dua orang ini
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
214

memandang perbedaan entah itu perbedaan agama, ras, golongan ataupun apa saja

hanya sebagai sarana menuju satu tujuan yang sama. Misalkan saja perbedaan

agama dipandang hanyalah perbedaan cara namun memiliki tujuan yang sama

yaitu kembali ke Tuhan. Ataupun perbedaan kaya dan miskin dipandang hanyalah

sebuah cobaan. Harta dan kekayaan hanyalah sebuah titipan bukan tujuan. Orang-

orang ini memiliki satu tujuan yang sama yaitu kembali kepada Tuhan dan

manunggal setelah meninggal menuju alam kamulyan langgeng (surga).

Ketiga responden juga menunjukkan sikap yang spontan, apa adanya,

jujur, bebas, dan tanpa pamrih. Misalkan dalam menolong peneliti ketika

pengambilan data, ketiga responden mau meminjamkan buku-bukunya, dan

meluangkan waktu untuk wawancara. Responden II adalah salah satu contoh

orang yang sangat jujur dan spontan bahkan bersedia bercerita tentang

permasalahan rumah tangganya atau langsung tanpa basi-basi meminjamkan

semua buku-buku pangestu kepada peneliti. Ketiga responden juga nampak

melihat kehidupan secara umum lebih berharga. Hal ini tampak dari tujuan-tujuan

mereka mengikuti pangestu (W. R. I. 02. 160-182; W. R. II. 02. 181-191; W. R.

III. 01. 25-26). Mereka ingin merubah hidup mereka menjadi lebih baik,

berperilaku baik, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, dan akhirnya dapat

meninggal dengan manunggal. Ketiga responden juga selalu berusaha untuk

meningkatkan pengalaman mereka dalam melakukan panembah. Ketiga

responden merasa sulit melakukan panembah yang sempurna sehingga bisa benar-

benar mengalami suatu pengalaman mistik manunggal dengan Tuhan namun

ketiganya selalu berusaha untuk terus melakukanya sampai bisa.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
215

Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang pangestu memiliki metamotivasi

untuk terus mengaktualisasikan dirinya. Peakers dalam teori Maslow adalah

orang-orang yang hidup dalam dunia B, dimetamotivasikan dengan lebih jelas,

memiliki pengalaman puncak yang memberikan wawasan yang jelas tentang diri

dan dunia mereka (Schultz, 1991). Orang-orang pangestu adalah peakers dalam

teori maslow. Orang-orang ini berusaha untuk terus berkembang menjadi pribadi

yang sesuai dengan ajaran pangestu, terus dan terus meskipun itu sulit.

Pengalaman mistik yang mereka rasakan membawa mereka pada wawasan bahwa

dirinya sebagai manusia dan dunia dimana dia berada adalah milik Tuhan. Dengan

menjadi pribadi yang berawatak budi luhur maka manusia akan mampu menjadi

dirinya yang sejati yang memiliki perilaku sesuai dengan karsa Tuhan.

Jika aktualisasi diri dalam teori Maslow dipandang sebagai kebutuhan

tertinggi dari suatu hirarki kebutuhan, namun juga dipandang sebagai tujuan final,

tujuan ideal dari kehidupan manusia (dalam Alwisol, 2008). Maka hal ini pun

sama dengan realisasi diri dalam teori Jung yang dianggap sebagai tujuan final

perkembangan kepribadian manusia menuju keutuhan. Dalam ajaran pangestu

yang dipandang sebagai tujuan utamanya adalah membentuk watak pancasila,

menjadi pribadi yang berbudi luhur dan akhirnya nanti akan dapat manunggal

dengan Tuhan ketika meninggal. Dalam ajaran pangestu pribadi yang mekar

menjadi dirinya yang sejati adalah pribadi yang memiliki watak budiluhur yang

memiliki sifat-sifat yang dekat dengan Tuhan, perilakunya adalah sesuai dengan

karsa Tuhan. Dan untuk mencapai seperti ini tergantung pada sempurnanya

panembah (Bawa Raos ing Salabeting raos, 1986). Pengalaman mistik yaitu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
216

pengalaman dimana individu merasakan kontak dengan alam semesta dan Tuhan

adalah terjadi pada saat panembah. Sempurnanya ini semua akan membawa pada

pembentukan watak yang budi luhur. Dapat dikatakan bahwa budi luhur dalam

pangestu merupakan suatu tujuan final perkembangan manusia yang dalam

psikologi analitik disebut realisasi diri, dan psikologi humanistik disebut

aktualisasi diri.

Tabel 11 dibawah ini menunjukkan perbandingan lima watak pancasila

dengan ciri-ciri individu yang terindividuasi (terealisasi) (dalam Schultz, 1991)

dan ciri-ciri inidividu yang teraktualisasi (dalam Alwisol, 2008; Boeree dalam

www.ship.edu.com; Baihaqi, 2008; Goble, 2000).

Tabel 11

Perbandingan Lima Watak Utama Pancasila, Ciri Realisasi Diri, dan Ciri Aktualisasi diri

Ciri-ciri Aktualisasi Diri


Ciri-ciri Realisasi
(dalam Alwisol, 2008; Boeree
Lima watak Pancasila diri
dalam www.ship.edu.com;
dalam Ajaran Pangestu (dalam Schultz,
Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
1991)

1) Rila, berarti ikhlas. rila 1) Penerimaan dan 1) Orang-orang yang reality-


adalah keleluasaan hati toleransi terhadap centered, dimana dapat
dengan disertai rasa kodrat manusia mendeferensiasikan apa itu
bahagia dalam pada umumnya. tipuan dan ketidakjujuran dari
menyerahkan seluruh Orang-orang apa itu kenyataan dan
miliknya, yang kesungguhan. Orang-orang ini
wewenangnya, dan terindividuasi tidak memandang dunia hanya
semua hasil memiliki sebagaimana yang diinginkan
pekerjaannya kepada kesadaran dan atau dibutuhkan, namun
Tuhan, dengan rasa toleransi yang melihatnya sebagaimana
tulus ikhlas, sebab lebih besar adanya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
217

Lanjutan tabel 11

Ciri-ciri Aktualisasi Diri


Ciri-ciri Realisasi
(dalam Alwisol, 2008; Boeree
Lima watak Pancasila diri
dalam www.ship.edu.com;
dalam Ajaran Pangestu (dalam Schultz,
Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
1991)

semua itu ada dalam terhadap kondisi 2) Orang-orang ini adalah


kekuasaan Tuhan, maka umat manusia, problem-centered, artinya
harus tidak ada sesuatu dengan begitu memperlakukan kesulitan
apapun yang orang-orang ini hidup sebagai suatu masalah
mengganjal merasa lebih yang perlu solusi, bukan
(membekas) dalam empati dengan suatu kekacauan personal
hatinya. Orang ini tidak masalah yang bisa membuat
mengharap-harapkan kemanusiaan, menyerah begitu saja. Dan
buah jerih payahnya, tanpa orang-orang ini memiliki
bersusah hati atau memandang ras, pandangan yang berbeda
berkeluh kesah tentang golongan, dan tentang makna dan tujuan.
semua penderitaan atau agama (Baihaqi, Orang-orang seperti ini
kesengsaraan. Orang ini 2008; Schultz, memiliki dedikasi yang
tidak menginginkan 1991). tinggi terhadap pekerjaan
sanjung puji dan 2) Orang-orang ini dan profesinya. Orang-orang
kemashuran. Tidak iri menerima apa ini menganggap pekerjaan
hati dan tidak gemar yang tidak bukanlah sebagai tugas,
mencampuri urusan diketahui dan namun sebagai suatu
orang lain, serta tidak misterius, permainan dan senang
lekat kepada semua menerima dalam melakukannya.
benda yang dapat rusak kesadaran dan 3) Orang-orang yang
tetapi bukan orang yang ketidaksadaran, menikmati kesepian, dan
melalaikan kewajiban. serta adanya nyaman dengan kesendirian.
2) Narima, berarti faktor-faktor Orang-orang ini menikmati
menerima apa adanya. irasional. Hal ini relasi personal yang lebih
Kitab Sasangka Djati juga meliputi dalam dengan sedikit teman
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
218

Lanjutan tabel 11

Ciri-ciri Aktualisasi Diri


Ciri-ciri Realisasi
(dalam Alwisol, 2008; Boeree
Lima watak Pancasila diri
dalam www.ship.edu.com;
dalam Ajaran Pangestu (dalam Schultz,
Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
1991)

(1969) menyebutkan gejala-gejala dekat dan anggota keluarga,


bahwa orang yang supranatural dan daripada suatu hubungan yang
bersikap narima spiritual yang dangkal dengan banyak orang.
bukanlah orang yang mencakup Orang-orang ini memiliki
lemah dalam kepercayaan kemampuan untuk membentuk
pekerjaannya, tetapi terhadap pikiran, mencapai keputusan,
orang yang “nrima ing kewaskitaan dan dan melaksanakan dorongan
pandum”, yang artinya kepercayaan dan disiplinnya sendiri.
orang yang menerima terhadap Allah. 4) Orang-orang ini menikmati
apa yang telah menjadi 3) Selanjutnya otonomi, suatu kemerdekaan
bagiannya dan selalu orang yang yang relatif dari sekedar
bersyukur kepada sudah kebutuhan fisik dan sosial.
Tuhan. Orang–orang ini terindividuasi Orang-orang ini menentang
adalah orang yang adalah orang enkulturasi, tidak mudah
terkaya di antara yang memiliki terkena jebakan tuntutan sosial
manusia kaya lainnya. kepribadian untuk menjadi ”sesuai aturan”
Sikap rela mengarahkan yang universal atau ”layak”, dalam
perhatian kepada segala karena tidak ada kenyataannya orang-orang ini
sesuatu yang telah satupun segi nonconformists in the best
dicapai dengan kepribadian sense. Hal ini terjadi karena
upayanya sendiri, yang dominan orang-orang ini tidak lagi
sedangkan narima (Baihaqi, 2008; didorong oleh motif-motif
menekankan kepada Schulz, 1991). kekurangan dan tidak
“apa adanya”, Ketika tergantung pada dunia nyata
menerima segala individuasi untuk mendapatkan kepuasan
sesuatu yang telah tercapai, self sebab pemuasan dari motif-
menimpa diri (De Jong, meliputi totalitas motif pertumbuhan datang dari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
219

Lanjutan tabel 11

Ciri-ciri Aktualisasi Diri


Ciri-ciri Realisasi
(dalam Alwisol, 2008; Boeree
Lima watak Pancasila diri
dalam www.ship.edu.com;
dalam Ajaran Pangestu (dalam Schultz,
Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
1991)

1976); narima psyche manusia dalam. Orang-orang ini


cenderung kepada seimbang dalam mampu mempertahankan suatu
ketentraman hati, jadi pusatnya, self ketenangan dasar di tengah-
bukan orang yang menyatukan tanpa tengah apa yang dilihat orang-
enggan bekerja, kontradiksi dari orang yang kurang sehat
melainkan menerima kutub-kutub jiwa: sebagai malapetaka.
apapun yang menjadi kesadaran dan 5) Orang-orang yang memiliki
bagiannya. Apapun ketidaksadaran, unhostile sense of humor,
yang sudah ada di terang dan gelap, memiliki kualitas yang disebut
tangannya dikerjakan tubuh dan jiwa, dan acceptance of self and others.
dengan senang hati, sebagainya (Kuhnis, Artinya, orang-orang ini lebih
tidak tamak, dan tidak 2006). suka membawa “dirimu”
serakah serta tidak iri sebagai “dirimu” daripada
terhadap kebahagiaan merubah “dirimu” menjadi apa
orang lain. yang seharusnya. Orang-orang
3) Temen, berarti jujur dan ini juga memiliki motivasi
sungguh-sungguh. yang kuat untuk merubah
Temen dalam kitab kualitas negatif dalam diri
Sasangka Djati (1969) mereka sendiri jika dapat
diartikan sebagai ajaran dirubah. Ini semua datang
yang membangun secara spontan dan simpel.
kesadaran manusia agar Orang-orang ini lebih suka
selalu sungguh-sungguh menjadi diri mereka sendiri
menepati janji atau daripada harus pura-pura
kesanggupannya, baik terlihat “wah”.
yang masih dalam batin 6) Orang-orang ini memiliki rasa
maupun yang sudah kerendahan hati dan rasa
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
220

Lanjutan tabel 11

Ciri-ciri Aktualisasi Diri


Ciri-ciri Realisasi
(dalam Alwisol, 2008; Boeree
Lima watak Pancasila diri
dalam www.ship.edu.com;
dalam Ajaran Pangestu (dalam Schultz,
Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
1991)

diucapkan. hormat terhadap orang lain.


4) Sabar, dalam Sasangka Artinya, orang-orang ini
Djati (1969) diartikan terbuka terhadap etnik dan
sebagai sikap kuat keunikan individual, bahkan
dalam menghadapi menghargainya. Orang-orang
segala cobaan, tetapi ini memiliki ketertarikan
bukan orang yang sosial, perasaan kasihan, dan
pupus dalam kemanusiaan. Hal ini diiringi
keinginannya, namun oleh etika yang kuat, yang
kebalikannya sebagai mana adalah spiritual dan
orang yang sentosa kadang-kadang religiusitas
hatinya, luas ilmunya, dalam pengertian yang alami.
tidak sempit budinya, 7) Orang-orang ini memiliki
pantas disebut lautnya apresiasi yang segar,
pengetahuan, oleh kemampuan untuk melihat
karena dirinya yang sesuatu, bahkan sesuatu yang
tidak membeda- luar biasa. Orang-orang ini
bedakan antara emas tidak mudah menjadi puas atau
dengan tanah, kawan bosan oleh pengalaman hidup.
dengan lawan sudah Orang-orang ini senantiasa
dianggap sama saja. menghargai pengalaman-
Dapat diumpamakan pengalaman tertentu
sebagai samudra yang bagaimanapun seringnya
dapat menampung apa pengalaman itu terulang,
saja, tidak bisa meluap dengan suatu perasaan
akibat dialiri oleh kenikmatan yang segar,
sungai-sungai dari perasaan terpesona, dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
221

Lanjutan tabel 11

Ciri-ciri Aktualisasi Diri


Ciri-ciri Realisasi
(dalam Alwisol, 2008; Boeree
Lima watak Pancasila diri
dalam www.ship.edu.com;
dalam Ajaran Pangestu (dalam Schultz,
Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
1991)

mana saja. kagum. Kemampuannya


5) Budi luhur, adalah sifat menjadi kreatif, berdayacipta,
yang diusahakan oleh dan original. Orang-orang ini
manusia agar dapat adalah asli, inventif, dan
menyerupai sifat inovatif.
Tuhan, yaitu kasih 8) Orang-orang ini lebih
sayang kepada sesama. cenderung memiliki
pengalaman puncak (peak
experience) daripada orang-
orang pada umumnya.

Berdasarkan perbandingan di atas tampak bahwa lima watak utama dalam

pancasila ini membawa seseorang menuju pribadi yang sesuai dengan ciri realisasi

diri dan aktualisasi diri. Watak rila dan narima membawa seseorang untuk

menerima perbedaan dan menerima kenyataan, apapun itu. Kedua watak ini

membuat seseorang menerima kenyataan atas apa yang sudah diusahakan maupun

kenyataan yang terjadi apa adanya dalam hidup. Watak ini membuat orang

menjadi reality centered, menikmati kesepian dan kesendirian, menerima diri

sendiri dan orang lain, spontan, apa adanya, dan rendah hati. Watak jujur

membuat seseorang menjadi merasa bebas, adil, dan memegang teguh kebenaran.

Watak jujur membawa seseorang merasa merdeka, menikmati otonomi, dan

bebas. Orang-orang ini tidak tergantung pada dunia nyata untuk mendapatkan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
222

kepuasan sebab pemuasan dari motif-motif datang dari dalam sehingga mampu

mempertahankan ketenangan ditengah-tengah kesulitan.

Watak sabar membawa orang untuk terus berusaha dan tidak putus asa.

Orang yang sabar memiliki hati yang lapang, kuat, menerima berbagai cobaan tapi

juga berhati teguh, berpengetahuan luas, tidak berpikiran sempit, dan tidak

berhenti berusaha. Watak ini membawa seseorang pada pribadi yang problem-

centered yang memperlakukan kesulitan hidup sebagai suatu masalah yang perlu

solusi, bukan suatu kekacauan personal yang membuat putus asa.

Jika keempat watak ini tercapai maka seseorang itu secara otomatis

menjadi pribadi yang berbudi luhur. Watak ini mengungkapkan arketip self dalam

kepribadian. Orang yang berwatak budi luhur adalah orang yang menebarkan sifat

Tuhan. Pada watak inilah arketip self mengungkapkan diri dan menunjukkan

peranan sebagai pusat kepibadian yang baru menggantikan ego.

F. KELEMAHAN PENELITIAN

Sejauh penelitian ditulis, peneliti berusaha melasanakan penelitian sebaik

dan seilmiah mungkin Seperti halnya penelitian lain, penelitian ini mempunyai

kelemahan, yaitu

1. Sulitnya menemukan pengikut pangestu yang telah memiliki watak budi luhur.

Beberapa orang yang dianggap telah sampai watak budi luhur telah meninggal

dunia.

2. Keterbatasan waktu membuat interaksi di lapangan penelitian hanya sebentar

sehingga data yang diperoleh kurang variatif dan kurang sempurna.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
223

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, Pengalaman mistik

adalah merasakan suatu keadaan mistik yaitu adanya kontak yang bisa berupa

persatuan antara manusia dengan alam semesta dan Tuhan. Kontak antara

manusia dengan alam semesta dan Tuhan berupa kekosongan, individu tidak

merasakan apa-apa, hanya titik di hati yang menghubungkan individu dengan

Tuhan. Di dalam pengalaman mistik terjadi perubahan kesadaran atau

transformasi kesadaran dari kesadaran mental spiritual yang bersifat empiris

menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggal-ilahiah (Hilmy, 2006).

Perubahan yang terjadi adalah:

a. Percepatan waktu; responden I dan II mengaku bahwa ketika panembah

dapat dilakukan dengan khusyuk responden tak merasa jika ternyata

panembah telah dilakukan selama 30 menit sampai 1 jam.

b. Perubahan perseptual, yaitu persepsi visual dan akustik; responden I

mengaku bahwa dalam keadaan manunggal tidak ada apapun yang di

dengar ataupun dilihat. Responden kehilangan kontak dengan dunia luar,

yang ada hanya kekosongan.

c. Perubahan gambaran tubuh dan mengalami batas tubuh yang lenyap.,

responden I mengaku bahwa pada saat luyut atau manunggal tidak bisa

merasakan batas antar alam dan diri, yang ada hanya titik di hati.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
224

Sedangkan responden II mengaku bahwa ketika khusyuk tubuhnya terasa

sangat ringan, tidak merasakan pegal, ataupun kesemutan.

d. Pemikiran yang lebih, multi asosiasi dan pemikiran magis. Responden I

dan II mengatakan bahwa dalam pikiran dan ingatan mereka hanya ada

gambaran diri yang penuh dosa dan ingin bertaubat. Responden merasa

nelangsa.

Pengalaman mistik ini memiliki tahapan yaitu:

a. Heneng, adalah suatu tahap dimana pelaku mistik berusaha meninggalkan

segala urusan keduniawian, melupakan segala-galanya dan pikiran

difokuskan atau ditujukan pada satu arah yaitu Tuhan. Pada tahap ini

pelaku mistik harus benar-benar berkonsentrasi penuh untuk meninggalkan

segala bentuk urusan dan masalah hidupnya dan kemudian memusatkan

pikirannya hanya pada Tuhan.

b. Hening, adalah kejernihan dan ketulusan hati dan pikiran untuk

menyembah Tuhan. Segala pujian, permohonan, dan doa harus diresapi

sedalam-dalamnya dan ditujukan pada satu titik ke lubuk hati dimana

Tuhan dianggap berada. Hal ini membutuhkan konsentrasi yang sangat

dan tidak akan tercapai sebelum pelaku mistik dapat melupakan segala hal

dan hanya mengingat Tuhan. Dapat diumpamakan hening adalah suatu

kedaan dimana dalam keheningan dan kejernihan pikiran, seseorang benar-

benar menyembah, memuji, dan memohon hanya kepada Tuhan dengan

ketulusan yang dalam.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
225

c. Luyut, perasaan yang tenang, tentram dan kosong meninggalkan segala

beban duniawi. Pada tahapan inilah pelaku mistik akan menemui alam

suwung karena pada tahap ini pelaku mistik sudah benar-benar lupa

segalanya dan hanya merasakan kekosongan. Batas diri telah lenyap,

individu merasa lebur dengan alam semesta dan ikut menjadi satu dengan

kekosongan itu sendiri. Inidividu tidak merasakan apa-apa sama sekali

hanya titik di hati seolah-olah ada tali yang menghubungkan diri dengan

Tuhan.

2. Realisasi diri dalam ajaran pangestu adalah mencapai pribadi yang budi luhur.

Realisasi diri dalam pangestu berarti tersingkapnya pepadhang dari Tuhan

dalam pribadi yang budi luhur karena sifat dan perilakunya selalu dekat

dengan Tuhan ini juga berarti bahwa self sebagai arketip gambaran Tuhan

(imago dei) telah menjadi pusat baru dari kepribadian (psyche) menggantikan

pusat yang lama yaitu ego. Berdasarkan data yang diperoleh, orang-orang

pangestu berusaha untuk menjadi orang yang berwatak budi luhur dan

manunggal dengan Tuhan. Jadi mekarnya potensi warga pangestu adalah

menjadi pribadi yang berbudi luhur. Proses mencapai realisasi diri penganut

pangestu atau dalam hal ini adalah proses individuasi adalah melalui

pengalaman mistik yang dilatih didalam panembah. Prosesnya adalah dengan

Tri sila yaitu suatu sikap manusia kepada Tripurusa (Tuhan Yang Maha Esa)

untuk mencapai lima watak utama dalam pancasila. Prosesnya adalah sebagai

berikut:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
226

a. Angan-angan harus dibuat sadar dan perasaan dibuat percaya akan adanya

Tripurusa (Tuhan Yang Maha Esa) sehingga individu dapat merasakan

rasa sejati yaitu merasakn kehadiran Tripurusa dalam hati sanubari yang

suci.

b. Meredam atau mengendalikan nafsu lauamah dan amarah, sehingga cipta

tidak lagi dutunggangi lauamah dan amarah. Terkendalinya laumah dan

amarah mewujudkan watak jujur dan sabar. Dengan demikian angan-

angan (cipta, nalar, dan pangerti) mendapat tuntunan dan pepadang dari

suksma kawekas dan suksma sejati. Sila ketiga tri sila tercapai dengan

membuat taat nafsu laumah dan amarah kepada cipta. Hal ini merupakan

hasil dari kesempurnaan sembah raga (tingkatan pertama dalam

panembah)

c. Nalar (prabawa) ditundukkan sampai menyerah kepada suksma sejati, dan

prabawa silem ing kaheningan atau larut dalam keheningan. Watak rila

dan narima terwujud karena sifat tidak iklas dan tidak menerima

bersumberkan pada prabawa (nalar) yang ditunggangi oleh laumah.

d. Menundukkan kamayan (pangerti) tunduk dan pasarh kepada suksma

sejati dan akhirnya kamayan (pangerti) larut dalam keheningan. Bersama-

sama cipta dan nalar, kamayan (pangerti) lepas dari otak dan individu

menjadi luyut. Budi luhur tercapai atau panunggla antara roh suci, suksma

sejati, dan suksma kawekas terwujud di alam sejati. Individu mencapai

tingkat kasunyatan jati dan tercapailah watak budi luhur.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
227

3. Aktualisasi diri yang dicapai melalui pengalaman mistik menghasilkan

seorang peakers dimana aktualisasi dirinya membuat orang tersebut menjadi

lebih mistik, religius, sholeh, dan, indah (poetical). Peakers dalam ajaran

pangestu adalah seorang yang budi luhur dan memiliki lima watak utama

dalam pancasila yaitu rila, narima, temen, sabar, dan budi luhur. Orang-orang

ini selalu dimetamotivasikan oleh B-neeeds untuk terus berkembang menjadi

individu berbudi luhur dan memiliki sifat-sifat yang mirip dengan sifat Tuhan.

Aktualisasi diri penganut pangestu adalah melalui pengalaman mistik yang

dilatih didalam panembah. Efek pengalaman mistik dalam jangka waktu lama

membawa perubahan dalam diri dan kehidupan penganut pangestu. Perubahan

ini adalah:

a. Hilangnya simptomp neurotik. Penganut pangestu mengaku sama sekali

tidak merasa cemas akan apa yang terjadi terhadap diri dan kehidupannya

nanti setelah sebelumnya perasaan cemas itu masih ada ketika pengalaman

mistik belum dirasakan secara intens.

b. Kecenderungan melihat diri sendiri lebih sehat. Penganut pangestu

cenderung mengaku lebih sehat, tenang, tentram, dan bahagia dengan

kondisinya. Penganut pangestu merasa sekarang lebih sabar, iklas, dan

tidak emoional dibanding sebelumnya.

c. Perubahan pandangan mengenai orang lain dan hubungan dengan orang

lain. Penganut pengestu umumnya sekarang merasa hubungan dengan

keluarga menjadi semakin kompak, rumah tangga menjadi lebih


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
228

menyenangkan dibanding sebelumnya. Selain itu toleransi dalam

masyarakat juga semakin besar.

d. Perubahan pandangan diri mengenai dunia. Dunia diartikan sebagai alam

kehidupan, lingkungan, dan segala yang bersifat kebendaan. Dan

pandangan penganut pangestu mengenai hal ini selalu dihubungkan

dengan ciptaan Tuhan atau titipan Tuhan, seperti pandangan mengenai

harta, hubungan dengan masyarakat, maupun perbedaan agama.

e. Munculnya kreativitas dan spontanitas, dan kemampuan mengekspresikan

diri. Sekarang kehidupan para penganut pangestu dirasa lebih baik secara

finansial dan banyak perencanaan yang berhasil dicapai seperi dalam

bidang usaha, pendidikan, dan pekerjaan.

f. Kecenderungan mengingat pengalaman puncak dan berusaha

mengulanginya. Seluruh penganut pangestu mengaku untuk terus berusaha

mengulang pengalaman mistiknya walaupun diakui sangat sulit mencapai

tahap-tahap dalam pengalaman mistik.

g. Kecenderungan melihat kehidupan secara umum lebih berharga. Orang-

orang pangestu ingin merubah hidup mereka menjadi lebih baik,

berperilaku baik, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, dan akhirnya

dapat meninggal dengan manunggal.

4. Aktualisasi diri dan realisasi diri dalam pengalaman mistik Pangestu sama-

sama diperoleh melalui sempurnanya panembah. Panembah yang sempurna

membawa panganut pangestu pada lima watak utama pancasila. Aktualisasi

diri menurut teori Maslow lebih menunjukkan hasil akhir dari karakteristik
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
229

orang-orang yang teraktualisasikan. Maslow tidak menyebutkan bagaimana

proses untuk mencapainya, yang diungkapkan hanyalah caranya yaitu dengan

pengalaman mistik, sedangkan proses didalamnya tidak diungkapkan dengan

gamblang. Sedangkan realisasi diri menurut teori Jung adalah sebaliknya.

Jung mengungkapkan bagaimana proses mencapai realisasi diri dan proses ini

lebih bersifat psikis yaitu dalam proses individuasi. Namun Jung tidak

mengungkapkan secara jelas ciri-ciri atau karakteristik orang-orang yang

terindividuasi atau terrealisasi ini.

B. SARAN

Beberapa hal yang dapat dilakukan baik untuk perbaikan dalam penelitian

selanjutnya, maupun saran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

adalah sebagai berikut:

a. Masyarakat

Mistik tidak hanya mengenai hal-hal yang bersifat klenik dan gaib, namun

mistik adalah lebih kepada penghayatan yang dalam akan kehadiran Tuhan.

Mistik dapat membuat ruang personal antara manusia dengan Tuhan. Cara-cara

didalam mistik dapat digunakan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan,

lebih khusyuk dalam beribadah, dan lebih bertoleransi dengan kehidupan

kemanusian selama tidak bertentangan dengan tuntunan dan ajaran agama masing-

masing.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
230

b. Peneliti selanjutnya

1) Penelitian ini akan lebih baik jika menggunakan metode kuantitatif dan

kualitatif yaitu dengan menggunakan metode psikotest agar aktualisasi

diri dan realisasi diri dapat dibuktikan dan ditunjukkan signifikasinya

dengan pengalaman mistik selain dinamika dan proses yang terjadi di

dalamnya.

2) Kemampuan menggunakan metode clinical interview kiranya akan

sangat dibutuhkan untuk melakukan penelitian spiritualitas dalam mistik

kebatinan Jawa.

3) Penelitian ini dapat dikembangkan pada penelitian tentang psikoterapi

humanistik dan analitik dengan menggunakan prinsip-prinsip spiritual

dalam tradisi dan kebudayaan Jawa. Selain itu juga dapat dikembangkan

pada hal-hal yang lebih kontekstual seperti kaitan antara mistik dengan

religiusitas seseorang, kebermaknaan hidup dan psikopatologi.

Anda mungkin juga menyukai