Anda di halaman 1dari 9

CRITICAL JOURNAL REVIEW

MK : Pendidikan Pancasila
Dosen Pengampu : Syuratti S Manalu

Disusun Oleh :

Nama : Muhammad Khairul Arfan Saragih


Nim : 4203131054

PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
RahmatNya penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila ini yang
berjudul “Critical Journal Review”. Penulis berterima kasih kepada Ibu Syuratti S Manalu.
selaku dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila yang memberi kontribusi besar kepada saya,
mahasiswa jurusan Pendidikan Kimia dalam memahami mata kuliah ini.

Penulis juga menyadari bahwa tugas ini masih banyak kekurangan yang jauh dari
kesempurnaan, Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang untuk
kesempurnaan tugas ini.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih semoga dapat bermanfaat dan bisa
menambah pengetahuan bagi pembaca.

Kisaran,November 2021

Muhammad Khairul Arfan S

2
JURNAL 1
Judul Jurnal Islam, Pancasila And Value Systems Of Indonesian National Education
Islam, Pancasila Dan Sistem Nilai Pendidikan Nasional Indonesia
Volume dan hal Vol 1, No. 1
Tahun 2014
Penulis Martha Catherine Beck dan Irawan
Reviewer Muhammad Khairul Arfan Saragih
Tanggal review 28 Oktober 2018

Tujuan Penelitian This paper intends to show that the Pancasila (five principles of state) and the
Pillars of Islam (the five religious value system) has synergy to build
Indonesia's national education values system.
Tulisan ini bermaksud menunjukkan bahwa Pancasila (lima dasar bernegara)
dan Rukun Islam (lima sistem nilai beragama) saling bersinergi membangun
sistem nilai pendidikan nasional Indonesia.
Manfaat Penelitian 1)Form human who believe, cautious and has noble character; 2) master of
science and technology; and 3) actively participate in creating order and peace
in the world, even a blessing for the entire universe.
1) membentuk manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia; 2)
menguasai sains dan teknologi; dan 3) turut aktif menciptakan ketertiban dan
perdamaian di dunia, bahkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Analisis The instinctual unconscious can only be educated through the study of myths,
tragedies, poetry, and other art forms that express the drives of the collective
unconscious. He developed a new kind of psychology to help patients learn
how to educate their „shadow side‟ (Whitmont, 1978, p. 165). The shadow is a
moral problem that challenges the whole ego-personality, for one cannot
become conscious of the shadow without considerable moral effort. To become
conscious, it involves recognizing the dark aspects of the personality as present
and real. This act is the essential condition for any kind of self-knowledge, and
it therefore, as a rule, meets with considerable resistance. Indeed, self-
knowledge as a psychotherapeutic measure frequently requires much
painstaking work extending over a long period (Champbell, 1971, p. 145).
With the shadow, people will not only deny the dark desires within themselves
but will also project their own unacknowledged desires onto others. They will

3
blame other people for the very faults that exist within themselves, which Jung
calls „shadow projection (Champbell, 1971, p. 146). If the shadow can be
recognized and transformed, it can be a source of deep self-knowledge and
inspiration. Those who have assimilated the shadow have a passion for wisdom
and justice because they know how important it is to educate others and
develop well-organized communities to prevent a personal or collective regress
to a more primitive level of existence (Jung & von Franz, 1964, p. 210).
The goal of human life is to integrate consciousness and unconsciousness into
the „Self‟ or „individuation‟ to refer to people who have integrated the shadow
into their lives, all aspects of life; physical, emotional, spiritual, intellectual,
and instinctual. Our most spontaneous intuitions, the ways we react
spontaneously to difficult situations, have reached the highest level of maturity.
People who have achieved selfhood act both spontaneously and creatively in
every situation (Chodorow, 1997, p. 68 & 82). A person „in touch‟ with their
unconscious has a running „conversation‟ with the way the instinctual side
„emerges‟ as a „voice‟ that wants the conscious person to act a certain way
(Chodorow, 1997, p. 58).
The world‟s religious history and mythology provide the most profound
examples of people who have achieved Selfhood. Jung cites examples from
very different cultural contexts and periods that nonetheless all refer to a
mystical experience of unity within. In Taoism, Buddhism, Islam, various
schools of Christianity, and elsewhere, religious seekers claim to have an
experience of a higher level of consciousness. Religious leaders such as
Buddha, Jesus, and Muhammad are inspiring examples of individuated people.
Religious mythology provides stories of the spiritual journey from brokenness
to wholeness and examples of the Great Man, the one who is whole
(Chodorow, 1997, p. 68-202).
Because religious language is symbolic language for Jung, not meant to be
taken literally, Jung thinks the religious literature of the past is one subclass of
the broader class of art. Great art is art that activates the collective
unconscious. It exposes whatever a culture has repressed, so citizens can bring
any particular repressed drive into consciousness and trigger the collective
desire to avoid making the particular mistake of being driven by that type of
destructive instinct (Stein, 1969, p. 82-83).

4
Ketidaksadaran instingtual hanya dapat dididik melalui studi mitos, tragedi,
puisi, dan bentuk-bentuk seni lain yang mengekspresikan dorongan dari
ketidaksadaran kolektif. Dia mengembangkan jenis psikologi baru untuk
membantu pasien belajar bagaimana mendidik "sisi bayangan" mereka
(Whitmont, 1978, hal. 165). Bayangan adalah masalah moral yang menantang
seluruh kepribadian-ego, karena seseorang tidak dapat menjadi sadar akan
bayangan tanpa usaha moral yang besar. Untuk menjadi sadar, ini melibatkan
mengenali aspek gelap dari kepribadian sebagai nyata dan nyata. Tindakan
ini adalah kondisi penting untuk semua jenis pengetahuan diri, dan oleh
karena itu, sebagai suatu peraturan, bertemu dengan cukup perlawanan.
Memang, pengetahuan diri sebagai ukuran psikoterapeutik sering
membutuhkan kerja keras yang meluas dalam waktu yang lama (Champbell,
1971, hal. 145).
Dengan bayangan, orang tidak hanya akan menolak keinginan gelap dalam
diri mereka tetapi juga akan memproyeksikan keinginan mereka yang tidak
diakui ke orang lain. Mereka akan menyalahkan orang lain atas kesalahan
yang ada di dalam diri mereka sendiri, yang disebut Jung sebagai proyeksi
bayangan (Champbell, 1971, hal. 146). Jika bayangan dapat dikenali dan
diubah, itu bisa menjadi sumber pengetahuan diri yang mendalam dan
inspirasi. Mereka yang telah mengasimilasi bayangan memiliki hasrat untuk
kebijaksanaan dan keadilan karena mereka tahu betapa pentingnya untuk
mendidik orang lain dan mengembangkan komunitas yang terorganisir dengan
baik untuk mencegah kemunduran pribadi atau kolektif ke tingkat eksistensi
yang lebih primitif (Jung & von Franz, 1964 , hal. 210).
Tujuan hidup manusia adalah untuk mengintegrasikan kesadaran dan
ketidaksadaran ke dalam "Diri" atau "individuasi" untuk merujuk kepada
orang-orang yang telah mengintegrasikan bayangan ke dalam kehidupan
mereka, semua aspek kehidupan; fisik, emosional, spiritual, intelektual, dan
insting. Intuisi kita yang paling spontan, cara kita bereaksi secara spontan
terhadap situasi yang sulit, telah mencapai tingkat kedewasaan tertinggi.
Orang yang telah mencapai kedirian bertindak secara spontan dan kreatif
dalam setiap situasi (Chodorow, 1997, hal. 68 & 82). Seseorang yang
"berhubungan" dengan ketidaksadaran mereka memiliki percakapan
"berjalan" dengan cara sisi naluriah "muncul" sebagai "suara" yang ingin

5
orang yang sadar bertindak dengan cara tertentu (Chodorow, 1997, hlm. 58).
Sejarah agama dan mitologi dunia memberikan contoh paling mendalam
tentang orang-orang yang telah mencapai Kedirian. Jung mengutip contoh-
contoh dari konteks dan periode budaya yang sangat berbeda yang meskipun
demikian semuanya merujuk pada pengalaman mistik persatuan di dalamnya.
Dalam Taoisme, Buddhisme, Islam, berbagai aliran agama Kristen, dan di
tempat lain, para pencari religius mengklaim memiliki pengalaman tingkat
kesadaran yang lebih tinggi. Pemimpin agama seperti Buddha, Yesus, dan
Muhammad adalah contoh inspiratif dari orang-orang yang terindividuasi.
Mitologi religius memberikan cerita tentang perjalanan spiritual dari
kehancuran menuju keutuhan dan contoh-contoh Manusia Luar Biasa, orang
yang utuh (Chodorow, 1997, hlm. 68-202).
Karena bahasa religius adalah bahasa simbolis untuk Jung, tidak
dimaksudkan untuk dipahami secara harfiah, Jung berpikir bahwa literatur
keagamaan masa lalu adalah salah satu subkelas dari kelas seni yang lebih
luas. Seni yang hebat adalah seni yang mengaktifkan ketidaksadaran kolektif.
Ini menyingkapkan apa pun yang ditindas oleh budaya, sehingga warga dapat
membawa dorongan tertindas tertentu ke dalam kesadaran dan memicu
keinginan kolektif untuk menghindari membuat kesalahan tertentu karena
didorong oleh naluri destruktif semacam itu (Stein, 1969, hal. 82-83).

Komentar Kelebihan :
-Bahasa yang digunakan penulis sangat mudah diterjemahkan dan dipahami
- Dapat menjadi sumber pembelajaran pendidikan pancasila karena penulis
merancang penulisan dengan baik
-Penulis menggunakan referensi dari beragam jurnal sehingga teori dalam
jurnal akurat dan terpercaya
Kelemahan :
-Tidak terdapat ISSN dalam jurnal ini
-Hanya terdapat kesimpulan dan tidak ada rekomendasi/ saran dalam jurnal ini
-Materi yang dibahas kebanyakan teori yang diambil dari buku/jurnal dan tidak
ada subjek penelitiannya
-Terdapat sedikit kesalahan kata
Kesimpulan Indonesia, like any other nation, cannot „save the world‟ alone. At the

6
moment, Indonesian „development‟ is taking the same self-destructive route as
is still the dominant model throughout the world: the exploitation of natural
resources for corporate gain and increased national prosperity. Indonesians
know the problems with this model, however, because changes in the earth‟s
climate hit them directly. Very few Indonesians would deny the reality and
destruction of climate change. Very few would deny that human behavior is a
large factor in the destruction of the earth‟s Gaia system and that the situation
can change if human behavior changes. Indonesians know they must connect
their religious lives to respect for the Gaia system. Hopefully, they will soon be
able to control the direction of their development and find a way to prosper
economically without the continual exploitation and unsustainable depletion of
their natural resources. China, India, and Western nations are the greatest
consumers of what Indonesia has to offer. At the moment, Indonesia cannot
afford to turn them down. Either the world‟s culture will change, or everyone
will go under. Indonesia is not wealthy enough to take the lead in saving the
planet. Indonesia greatest contribution to the wellspring of ideas is in its
founding document, Pancasila, and in its model of Islam. Indivisibility between
the value systems of Islam and Pancasila in Indonesian impact on the
determination of policy and the system of the national education. The various
education policy in Indonesia has always been based on religious values and
culture of Indonesia.
It is written in the Constitution of 1945 and the foundation of the state of
Indonesia, Pancasila. Thus, the Act of the Republic of Indonesia Number 20 of
2003 on National Education System, as a rule below of the Pancasila and the
1945 Constitution consistently present a triangular relationship between
religion (spiritual humanism), politics (democracy) and cultural (multicultural
and tolerance) in organizing educational activities. The relationship manifested
in Indonesian National Education System, which is always grounded
philosophically and aims at three things; 1) form human who believe, cautious
and noble character; 2) master of science and technology; and 3) actively
participate in creating order and peace in the world, even a blessing for the
entire universe.
Indonesia, seperti negara lain, tidak bisa "menyelamatkan dunia" sendirian.
Saat ini, „pembangunan‟ Indonesia mengambil rute destruktif yang sama

7
karena masih merupakan model dominan di seluruh dunia: eksploitasi sumber
daya alam untuk keuntungan perusahaan dan peningkatan kesejahteraan
nasional. Orang Indonesia tahu masalah dengan model ini, namun, karena
perubahan dalam iklim bumi memukul mereka secara langsung. Sangat sedikit
orang Indonesia yang akan menyangkal kenyataan dan kehancuran perubahan
iklim. Sangat sedikit yang akan menyangkal bahwa perilaku manusia
merupakan faktor besar dalam penghancuran sistem Gaia bumi dan bahwa
situasinya dapat berubah jika perilaku manusia berubah. Orang Indonesia
tahu mereka harus menghubungkan kehidupan keagamaan mereka untuk
menghormati sistem Gaia. Mudah-mudahan, mereka akan segera dapat
mengendalikan arah perkembangan mereka dan menemukan cara untuk
menjadi makmur secara ekonomi tanpa eksploitasi berkelanjutan dan
penipisan sumber daya alam mereka yang tidak berkelanjutan. Cina, India,
dan negara-negara Barat adalah konsumen terbesar dari apa yang
ditawarkan Indonesia. Saat ini, Indonesia tidak mampu menolaknya. Entah
budaya dunia akan berubah, atau semua orang akan bangkrut. Indonesia tidak
cukup kaya untuk memimpin dalam menyelamatkan planet ini. Kontribusi
terbesar Indonesia bagi sumber gagasan adalah dalam dokumen
pendiriannya, Pancasila, dan dalam model Islamnya. Indivisibility antara
sistem nilai Islam dan Pancasila di Indonesia berdampak pada penentuan
kebijakan dan sistem pendidikan nasional. Berbagai kebijakan pendidikan di
Indonesia selalu didasarkan pada nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
Itu tertulis dalam UUD 1945 dan dasar negara Indonesia, Pancasila. Dengan
demikian, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, sebagai aturan di bawah Pancasila dan UUD
1945 secara konsisten menghadirkan hubungan segitiga antara agama
(spiritual humanism), politik (demokrasi) dan budaya (multikultural dan
toleransi) dalam mengatur kegiatan pendidikan. Hubungan tersebut
diwujudkan dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, yang selalu
berlandaskan filosofis dan bertujuan pada tiga hal; 1) membentuk manusia
yang beriman, berhati-hati dan berwibawa; 2) menguasai sains dan teknologi;
dan 3) berpartisipasi aktif dalam menciptakan ketertiban dan kedamaian di
dunia, bahkan berkah bagi seluruh alam semesta.

8
DAFTAR PUSTAKA

Catherine Beck, Martha dan Irawan, 2014, Islam, Pancasila And Value Systems Of
Indonesian National Education Jurnal Pendidikan Pancasila Vol 1 No. 1

Anda mungkin juga menyukai