Anda di halaman 1dari 16

CRITICAL JOURNAL REVIEW

MK : Pendidikan Pancasila
Dosen Pengampu : Drs. Gartima Sitanggang, M.Si.

Disusun Oleh :

Nama : Dwitya Nafa Syafrina


Nim : 7173141010

PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
RahmatNya penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila ini yang
berjudul “Critical Journal Review”. Penulis berterima kasih kepada Ibu Drs. Gartima
Sitanggang, M.Si. selaku dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila yang memberi kontribusi
besar kepada saya, mahasiswa jurusan Pendidikan Ekonomi dalam memahami mata kuliah
ini.

Penulis juga menyadari bahwa tugas ini masih banyak kekurangan yang jauh dari
kesempurnaan, Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang untuk
kesempurnaan tugas ini.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih semoga dapat bermanfaat dan bisa
menambah pengetahuan bagi pembaca.

Medan, Oktober 2018

Dwitya Nafa Syafrina

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 3
JURNAL 1 .............................................................................................................................................. 4
JURNAL 2 ............................................................................................................................................ 10
JURNAL 3 ............................................................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 16

3
JURNAL 1
Judul Jurnal Islam, Pancasila And Value Systems Of Indonesian National Education
Islam, Pancasila Dan Sistem Nilai Pendidikan Nasional Indonesia
Volume dan hal Vol 1, No. 1
Tahun 2014
Penulis Martha Catherine Beck dan Irawan
Reviewer Dwitya Nafa Syafrina
Tanggal review 28 Oktober 2018

Tujuan Penelitian This paper intends to show that the Pancasila (five principles of state) and the
Pillars of Islam (the five religious value system) has synergy to build
Indonesia's national education values system.
Tulisan ini bermaksud menunjukkan bahwa Pancasila (lima dasar bernegara)
dan Rukun Islam (lima sistem nilai beragama) saling bersinergi membangun
sistem nilai pendidikan nasional Indonesia.
Manfaat Penelitian 1)Form human who believe, cautious and has noble character; 2) master of
science and technology; and 3) actively participate in creating order and peace
in the world, even a blessing for the entire universe.
1) membentuk manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia; 2)
menguasai sains dan teknologi; dan 3) turut aktif menciptakan ketertiban dan
perdamaian di dunia, bahkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Analisis The instinctual unconscious can only be educated through the study of myths,
tragedies, poetry, and other art forms that express the drives of the collective
unconscious. He developed a new kind of psychology to help patients learn
how to educate their „shadow side‟ (Whitmont, 1978, p. 165). The shadow is a
moral problem that challenges the whole ego-personality, for one cannot
become conscious of the shadow without considerable moral effort. To become
conscious, it involves recognizing the dark aspects of the personality as present
and real. This act is the essential condition for any kind of self-knowledge, and
it therefore, as a rule, meets with considerable resistance. Indeed, self-
knowledge as a psychotherapeutic measure frequently requires much
painstaking work extending over a long period (Champbell, 1971, p. 145).
With the shadow, people will not only deny the dark desires within themselves

4
but will also project their own unacknowledged desires onto others. They will
blame other people for the very faults that exist within themselves, which Jung
calls „shadow projection (Champbell, 1971, p. 146). If the shadow can be
recognized and transformed, it can be a source of deep self-knowledge and
inspiration. Those who have assimilated the shadow have a passion for wisdom
and justice because they know how important it is to educate others and
develop well-organized communities to prevent a personal or collective regress
to a more primitive level of existence (Jung & von Franz, 1964, p. 210).
The goal of human life is to integrate consciousness and unconsciousness into
the „Self‟ or „individuation‟ to refer to people who have integrated the shadow
into their lives, all aspects of life; physical, emotional, spiritual, intellectual,
and instinctual. Our most spontaneous intuitions, the ways we react
spontaneously to difficult situations, have reached the highest level of maturity.
People who have achieved selfhood act both spontaneously and creatively in
every situation (Chodorow, 1997, p. 68 & 82). A person „in touch‟ with their
unconscious has a running „conversation‟ with the way the instinctual side
„emerges‟ as a „voice‟ that wants the conscious person to act a certain way
(Chodorow, 1997, p. 58).
The world‟s religious history and mythology provide the most profound
examples of people who have achieved Selfhood. Jung cites examples from
very different cultural contexts and periods that nonetheless all refer to a
mystical experience of unity within. In Taoism, Buddhism, Islam, various
schools of Christianity, and elsewhere, religious seekers claim to have an
experience of a higher level of consciousness. Religious leaders such as
Buddha, Jesus, and Muhammad are inspiring examples of individuated people.
Religious mythology provides stories of the spiritual journey from brokenness
to wholeness and examples of the Great Man, the one who is whole
(Chodorow, 1997, p. 68-202).
Because religious language is symbolic language for Jung, not meant to be
taken literally, Jung thinks the religious literature of the past is one subclass of
the broader class of art. Great art is art that activates the collective
unconscious. It exposes whatever a culture has repressed, so citizens can bring
any particular repressed drive into consciousness and trigger the collective

5
desire to avoid making the particular mistake of being driven by that type of
destructive instinct (Stein, 1969, p. 82-83).
Ketidaksadaran instingtual hanya dapat dididik melalui studi mitos, tragedi,
puisi, dan bentuk-bentuk seni lain yang mengekspresikan dorongan dari
ketidaksadaran kolektif. Dia mengembangkan jenis psikologi baru untuk
membantu pasien belajar bagaimana mendidik "sisi bayangan" mereka
(Whitmont, 1978, hal. 165). Bayangan adalah masalah moral yang menantang
seluruh kepribadian-ego, karena seseorang tidak dapat menjadi sadar akan
bayangan tanpa usaha moral yang besar. Untuk menjadi sadar, ini melibatkan
mengenali aspek gelap dari kepribadian sebagai nyata dan nyata. Tindakan ini
adalah kondisi penting untuk semua jenis pengetahuan diri, dan oleh karena
itu, sebagai suatu peraturan, bertemu dengan cukup perlawanan. Memang,
pengetahuan diri sebagai ukuran psikoterapeutik sering membutuhkan kerja
keras yang meluas dalam waktu yang lama (Champbell, 1971, hal. 145).
Dengan bayangan, orang tidak hanya akan menolak keinginan gelap dalam
diri mereka tetapi juga akan memproyeksikan keinginan mereka yang tidak
diakui ke orang lain. Mereka akan menyalahkan orang lain atas kesalahan
yang ada di dalam diri mereka sendiri, yang disebut Jung sebagai proyeksi
bayangan (Champbell, 1971, hal. 146). Jika bayangan dapat dikenali dan
diubah, itu bisa menjadi sumber pengetahuan diri yang mendalam dan
inspirasi. Mereka yang telah mengasimilasi bayangan memiliki hasrat untuk
kebijaksanaan dan keadilan karena mereka tahu betapa pentingnya untuk
mendidik orang lain dan mengembangkan komunitas yang terorganisir dengan
baik untuk mencegah kemunduran pribadi atau kolektif ke tingkat eksistensi
yang lebih primitif (Jung & von Franz, 1964 , hal. 210).
Tujuan hidup manusia adalah untuk mengintegrasikan kesadaran dan
ketidaksadaran ke dalam "Diri" atau "individuasi" untuk merujuk kepada
orang-orang yang telah mengintegrasikan bayangan ke dalam kehidupan
mereka, semua aspek kehidupan; fisik, emosional, spiritual, intelektual, dan
insting. Intuisi kita yang paling spontan, cara kita bereaksi secara spontan
terhadap situasi yang sulit, telah mencapai tingkat kedewasaan tertinggi.
Orang yang telah mencapai kedirian bertindak secara spontan dan kreatif
dalam setiap situasi (Chodorow, 1997, hal. 68 & 82). Seseorang yang

6
"berhubungan" dengan ketidaksadaran mereka memiliki percakapan
"berjalan" dengan cara sisi naluriah "muncul" sebagai "suara" yang ingin
orang yang sadar bertindak dengan cara tertentu (Chodorow, 1997, hlm. 58).
Sejarah agama dan mitologi dunia memberikan contoh paling mendalam
tentang orang-orang yang telah mencapai Kedirian. Jung mengutip contoh-
contoh dari konteks dan periode budaya yang sangat berbeda yang meskipun
demikian semuanya merujuk pada pengalaman mistik persatuan di dalamnya.
Dalam Taoisme, Buddhisme, Islam, berbagai aliran agama Kristen, dan di
tempat lain, para pencari religius mengklaim memiliki pengalaman tingkat
kesadaran yang lebih tinggi. Pemimpin agama seperti Buddha, Yesus, dan
Muhammad adalah contoh inspiratif dari orang-orang yang terindividuasi.
Mitologi religius memberikan cerita tentang perjalanan spiritual dari
kehancuran menuju keutuhan dan contoh-contoh Manusia Luar Biasa, orang
yang utuh (Chodorow, 1997, hlm. 68-202).
Karena bahasa religius adalah bahasa simbolis untuk Jung, tidak
dimaksudkan untuk dipahami secara harfiah, Jung berpikir bahwa literatur
keagamaan masa lalu adalah salah satu subkelas dari kelas seni yang lebih
luas. Seni yang hebat adalah seni yang mengaktifkan ketidaksadaran kolektif.
Ini menyingkapkan apa pun yang ditindas oleh budaya, sehingga warga dapat
membawa dorongan tertindas tertentu ke dalam kesadaran dan memicu
keinginan kolektif untuk menghindari membuat kesalahan tertentu karena
didorong oleh naluri destruktif semacam itu (Stein, 1969, hal. 82-83).

Komentar Kelebihan :
-Bahasa yang digunakan penulis sangat mudah diterjemahkan dan dipahami
- Dapat menjadi sumber pembelajaran pendidikan pancasila karena penulis
merancang penulisan dengan baik
-Penulis menggunakan referensi dari beragam jurnal sehingga teori dalam
jurnal akurat dan terpercaya
Kelemahan :
-Tidak terdapat ISSN dalam jurnal ini
-Hanya terdapat kesimpulan dan tidak ada rekomendasi/ saran dalam jurnal ini
-Materi yang dibahas kebanyakan teori yang diambil dari buku/jurnal dan tidak

7
ada subjek penelitiannya
-Terdapat sedikit kesalahan kata
Kesimpulan Indonesia, like any other nation, cannot „save the world‟ alone. At the
moment, Indonesian „development‟ is taking the same self-destructive route as
is still the dominant model throughout the world: the exploitation of natural
resources for corporate gain and increased national prosperity. Indonesians
know the problems with this model, however, because changes in the earth‟s
climate hit them directly. Very few Indonesians would deny the reality and
destruction of climate change. Very few would deny that human behavior is a
large factor in the destruction of the earth‟s Gaia system and that the situation
can change if human behavior changes. Indonesians know they must connect
their religious lives to respect for the Gaia system. Hopefully, they will soon be
able to control the direction of their development and find a way to prosper
economically without the continual exploitation and unsustainable depletion of
their natural resources. China, India, and Western nations are the greatest
consumers of what Indonesia has to offer. At the moment, Indonesia cannot
afford to turn them down. Either the world‟s culture will change, or everyone
will go under. Indonesia is not wealthy enough to take the lead in saving the
planet. Indonesia greatest contribution to the wellspring of ideas is in its
founding document, Pancasila, and in its model of Islam. Indivisibility between
the value systems of Islam and Pancasila in Indonesian impact on the
determination of policy and the system of the national education. The various
education policy in Indonesia has always been based on religious values and
culture of Indonesia.
It is written in the Constitution of 1945 and the foundation of the state of
Indonesia, Pancasila. Thus, the Act of the Republic of Indonesia Number 20 of
2003 on National Education System, as a rule below of the Pancasila and the
1945 Constitution consistently present a triangular relationship between
religion (spiritual humanism), politics (democracy) and cultural (multicultural
and tolerance) in organizing educational activities. The relationship manifested
in Indonesian National Education System, which is always grounded
philosophically and aims at three things; 1) form human who believe, cautious
and noble character; 2) master of science and technology; and 3) actively

8
participate in creating order and peace in the world, even a blessing for the
entire universe.
Indonesia, seperti negara lain, tidak bisa "menyelamatkan dunia" sendirian.
Saat ini, „pembangunan‟ Indonesia mengambil rute destruktif yang sama
karena masih merupakan model dominan di seluruh dunia: eksploitasi sumber
daya alam untuk keuntungan perusahaan dan peningkatan kesejahteraan
nasional. Orang Indonesia tahu masalah dengan model ini, namun, karena
perubahan dalam iklim bumi memukul mereka secara langsung. Sangat sedikit
orang Indonesia yang akan menyangkal kenyataan dan kehancuran perubahan
iklim. Sangat sedikit yang akan menyangkal bahwa perilaku manusia
merupakan faktor besar dalam penghancuran sistem Gaia bumi dan bahwa
situasinya dapat berubah jika perilaku manusia berubah. Orang Indonesia
tahu mereka harus menghubungkan kehidupan keagamaan mereka untuk
menghormati sistem Gaia. Mudah-mudahan, mereka akan segera dapat
mengendalikan arah perkembangan mereka dan menemukan cara untuk
menjadi makmur secara ekonomi tanpa eksploitasi berkelanjutan dan
penipisan sumber daya alam mereka yang tidak berkelanjutan. Cina, India,
dan negara-negara Barat adalah konsumen terbesar dari apa yang ditawarkan
Indonesia. Saat ini, Indonesia tidak mampu menolaknya. Entah budaya dunia
akan berubah, atau semua orang akan bangkrut. Indonesia tidak cukup kaya
untuk memimpin dalam menyelamatkan planet ini. Kontribusi terbesar
Indonesia bagi sumber gagasan adalah dalam dokumen pendiriannya,
Pancasila, dan dalam model Islamnya. Indivisibility antara sistem nilai Islam
dan Pancasila di Indonesia berdampak pada penentuan kebijakan dan sistem
pendidikan nasional. Berbagai kebijakan pendidikan di Indonesia selalu
didasarkan pada nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
Itu tertulis dalam UUD 1945 dan dasar negara Indonesia, Pancasila. Dengan
demikian, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, sebagai aturan di bawah Pancasila dan UUD
1945 secara konsisten menghadirkan hubungan segitiga antara agama
(spiritual humanism), politik (demokrasi) dan budaya (multikultural dan
toleransi) dalam mengatur kegiatan pendidikan. Hubungan tersebut
diwujudkan dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, yang selalu

9
berlandaskan filosofis dan bertujuan pada tiga hal; 1) membentuk manusia
yang beriman, berhati-hati dan berwibawa; 2) menguasai sains dan teknologi;
dan 3) berpartisipasi aktif dalam menciptakan ketertiban dan kedamaian di
dunia, bahkan berkah bagi seluruh alam semesta.

JURNAL 2

Judul Jurnal Hakikat Pancasila dalam Membentuk Karakter Kebangsaan melalui Organisasi
Siswa Intra Sekolah
Tahun 2014
Penulis Fritz Hotman S. Damanik
Reviewer Dwitya Nafa Syafrina
Tanggal review 28 Oktober 2018

Tujuan Penelitian Mengetahui apakah yang dapat dilakukan untuk menyemai Pancasila hingga
mengakar di sanubari kaum muda sebagai generasi penerus bangsa
Metode Penelitian Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data sebagai upaya untuk mendapatkan atau memperoleh
informasi yang diperlukan danmemastikannya terjaring sebaik mungkin.
Adapun teknik yang digunakan oleh penulis adalah Metode Observasi dan
Study Pustaka.Metode observasi ini dimaksudkan untuk mengamati suatu
gejala social yang terjadi di masyarakat, yakni realitas kehidupan berbangsa
dan bernegara. Studi Kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data-
data yang menyangkut dengan masalah yang ditulis melalui penelusuran
pustaka dan sumber sekunder lainnya. Setelah data terkumpul, maka
selanjutnya dibaca, dipelajari, ditelaah, serta direduksi guna memperoleh
rangkuman inti dari data.Tahap akhir ialah melakukan interpretasi terhadap
data, hingga sampai pada konsep-konsep pemecahan masalah secara tuntas dan
menyeluruh.

10
Analisis Ketua OSIS harus pula terampil mengelola potensi konflik dan perbedaan yang
mungkin memicu perselisihan. Caranya cukup sederhana, yaitu jeli mencari
titik persamaan dari sekian banyak perbedaan. Jika ternyata ditemui bahwa
meski memiliki cara pandang berbeda, tapi berbagi tujuan akhir yang sama,
maka fokus bisa diarahkan pada upaya mengkoordinasikan berbagai kegiatan
demi mewujudkan kesamaan tujuan dimaksud. Untuk memimpin dengan hati,
seorang Ketua OSIS juga selayaknya selalu menjaga konsistensi antara
pernyataan dan tindakan. Jangan menyebut diri peduli pada kepentingan
siswa/i lain jika ternyata masih ingin dilayani, bukannya melayani. Jangan
mengaku demokratis, bila gemar memaksakan kehendak kepada orang lain.
Jangan mengumbar janji dapat membawa nama baik sekolah di tengah
masyarakat apabila nyatanya lebih banyak melakukan hal-hal tak bermanfaat
ketimbang berupaya menggagas berbagai kegiatan yang turut berkontribusi
membawa kemajuan merata dan berkeadilan sosial dimulai dari lingkungan
sekitar sekolah. Ketulusan dan keikhlasan adalah unsure berikutnya dari
kepemimpinan dengan hati. Kedua unsur tersebut sejatinya sangat berharga
dalam mewujudkan harmoni dalam pergaulan. Tak lain karena nilai-nilai
luhurhubungan sosial yang dijiwai Pancasila seperti toleransi, pluralisme,
ketulusan, serta keikhlasan merupakan wujud dari keadaban, dalam arti bahwa
masing-masing pribadi atau kelompok pada suatu lingkungan interaksi sosial
memiliki kesediaan memandang sesamanya dengan penghargaan, tanpa saling
memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Nilai luhur yang
dijiwai Pancasila tersebut tidak jauuh berbeda dengan pendidikan
multikulturalisme yang apabila dikembangkan di sekolah, juga akan dapat
memperkuat nilai-nilai luhur hubungan sosial siswa. Pendidikan multikultural
yang diselenggarakan dalam upayan mengembangkan kemampuan siswa
dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda
dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan
budaya, ras dan etnis. (Octaviani, L., 2013) Dalam hal ini, Pancasila
merupakan ideology paling tepat karena mampu mengakomodir kearifan lokal
masyarakat Indonesia, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menginspirasi
berbagai aspek kehidupan, sekaligus menghargai keberagaman dan mampu
mengarahkannya demi mendukung pencapaian cita-cita luhur sebagai

11
bangsa. Maka, kaum muda yang mengaku mencintai negerinya sudah
selayaknya bergiat mempelajari Pancasila, meningkatkan penghayatan
terhadapnya, serta mengimplementasikannya dalam sikap dan perilaku
keseharian, dimulai dari lingkungan social terkecilnya. Rasa kebangsaan yang
menekankan kesatuan dan persatuan serta penghargaan atas nilai-nilai
kemanusiaan secara universal pun perlu terus dikembangkan oleh Sie
Wawasan Kebangsaan dan Nasionalisme. Sesama manusia seharusnya
dihormati bukan karena latar belakangnya, melainkan sehubungan harkat
kemanusiaan (hak asasi manusia) yang melekat padanya. Nilai kebenaran dan
kebaikan dalam etika hubungan antar manusia tidak boleh dikembangkan atas
dasar kepentingan kelompok atau golongan tertentu, melainkan didasarkan
pada obyektivitas yang bersumber dari kebenaran transenden bersifat mutlak,
berlaku secara universal, dan tidak dibatasi oleh ruang atau pun waktu.
Sedemikian pentingnya pembentukan karakter, terutama pada lembaga
pendidikan, hingga sejumlah tokoh besar memberikan sanjungan terhadapnya.
Mahatma Gandhi, misalnya, pernah menyebut tentang salah satu dari tujuh
dosa fatal, yakni pendidikan tanpa karakter (education without character). Dr.
Martin Luther King juga tak lalai menegaskan bahwa kecerdasan ditambah
karakter merupakan tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya (intelligence plus
character is the goal of true education). Tak ketinggalan pula Theodore
Roosevelt mengingatkan betapa mendidik seseorang semata dalam aspek
kecerdasan intelektual dan bukan aspek moral adalah menyemai ancaman bagi
masyarakat (to educate a person in mind and not in morals is to educate a
menace to society).
Komentar Kelebihan :
- Penggunaan tata bahasa sesuai dengan EYD
-Untuk penulisan sesuai dengan ketentuan pembuatan suatu jurnal
-Tidak terdapat kesalahan kata
Kelemahan :
- Penulis kurang menggunakan referensi dari beragam jurnal sehingga teori
dalam jurnal ini kurang akurat dan terpercaya.
- Tidak terdapat rekomendasi/ saran dalam jurnal ini
- Tidak terdapat volume dan halaman dalam jurnal ini

12
Kesimpulan Sebagai satu-satunya organisasi resmi kesiswaan di sekolah, OSIS dan
segenap jajaran pengurusnya berpotensi mengambil peran signifikan dalam
mempengaruhi sikap maupun perilaku siswa/i lainnya. Bila serentak digulirkan
di sepenjuru Indonesia, maka dampaknya pun dipastikan sangat signifikan.
Dengan melibatkan OSIS dalam upaya menyemai Pancasila, tanpa disadari
sesungguhnya telah tercapai dua tujuan sekaligus, yakni semakin mengakarnya
Pancasila di sanubari kaum muda dan terbentuknya sejumlah karakter
unggulan Beberapa karakter yang tampak nyata pada uraian sebelumnya,
antara lain, peduli sosial, religius, toleransi, semangat kebangsaan, cinta tanah
air, tanggung jawab, rasa ingin tahu, kreatif, kerja keras, dan mandiri.
Sehubungan dengan pembahasan pada bab bab terdahulu, penulis
menyampaikan sejumlah saran.Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di
seluruh sekolah menengah (SMP/MTs/SMA/SMK/MA/MAK) sepenjuru
Indonesia hendaknya didorong agar aktif berpartisipasi mendukung
penyemaian nilai-nilai luhur Pancasila melalui keteladanan dari para
pengurusnya dan beragam kegiatan keorganisasian. Pelaksanaan kegiatan yang
dimaksudkan untuk menyemai nilai-nilai luhur Pancasila agar didampingi oleh
guru atau pihak lain yang berkompeten demi memastikan efektivitas serta
kesesuaiannya dengan nilai dan norma yang berlaku. Kegiatan penyemaian dan
implementasi nilai-nilai luhur Pancasila, dengan mempertimbangkan kondisi
sosial setempat, dapat pula melibatkan warga sekitar sekolah.Dengan
demikian, lambat laun, Pancasila dapat mewabah dan menjangkiti masyarakat
luas, sehingga beragam masalah pelik maupun problematika kebangsaan
perlahan dapat dituntaskan.

JURNAL 3
Judul Jurnal Aktualisasi Pancasila Sebagai Landasan Politik Hukum Indonesia
Tahun 2015
Penulis Derita Prapti Rahayu
Reviewer Dwitya Nafa Syafrina
Tanggal review 28 Oktober 2018
Vol dan Hal Vol. 4 No. 1

13
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui aktualisasi pancasila sebagai landasan politik hukum
indonesia
Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif karena dalam jurnal ini
berusaha memahami suatu fenomena dengan cara menggunakan konsep-
konsep yang umum untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang bersifat
khusus.
Analisis Ketika kita akan menjadikan Pancasila sebagai landasan dalam politik hukum
Nasional, sebelumnya kita harus mengetahui apa sebenarnya hakekat Pancasila
bagi Indonesia, yaitu Falsafah Pancasila dengan kelima silanya memberikan
pedoman hidup yang sempurna bagi segenap bangsa (Kesuma Jaya, 1989: 20).
Pancasila sebagai kontrak sosial, yaitu sebagai norma-norma yang disepakati
bersama sebagai dasar kehidupan sosial dan dasar kenegaraan. Pancasila yang
pada kaitannya dengan hukum selalu memiliki kecenderungan umum bahwa
Pancasila ditempatkan sebagai bagian yang paling tinggi dari model piramida
hukum Indonesia. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Shidarta bahwa
Pancasila menjadi bintang pemandu atau litstern, yang lapisan-lapisan
materinya berisi subtansi hukum dan tiang kerangkanya struktur hukum, serta
lingkungan kehidupannya adalah budaya hukum (Anthon Susanto, 2010: hal.
294). Arif Sidharta menjelaskan tentang cita hukum yang berakar pada
Pancasila, yang secara formal dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Cita hukum dapat dipahami sebagai konstruksi pikiran yang
merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang
diinginkan masyarakat, berfungsi sebagai tolok ukur yang berseifat regulatif
dan konstruktif, tanpa cita hukum maka produk hukum yang dihasilkan akan
kehilanngan maknanya (Esmi Warassih, 2005: 43). Cita hukum merupakan apa
yang hendak dicapai oleh hukum. Cita hukum (rechtsidee) mengandung arti
bahwa pada hakekatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat yang
berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan fikiran dari masyarakat itu sendiri.
Jadi cita hukum itu adalah gagasan, karsa, cipta dan fikiran berkenaan dengan
hukum atau persepsi tentang makna hukum (Anthon Susanto, 2010: 294).
Indonesia lahir dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara yang sudah
lahir terlebih dahulu pada sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada tanggal 1 Juni 1945. Pancasila adalah

14
sebuah sistem filsafat yang merupakan rumusan ideal dalam bangun
keindonesiaan yang dicita-citakan bangsa. Berbagai komponen bangsa
seharusnya menggunakan dan mengembangkan implementasi sistem filsafat
Pancasila dalam berbagai bidang (Soejadi, 1999: 183). Namun realitasnya,
menurut Benny Susetyo, Pancasila yang sering diagung-agungkan sebagai
falsafah bangsa, pedoman bertindak, identitas nasional, sumber hukum, dan
cita-cita nasional, namun kenyataannya lebih sering dipandang sebagai simbol
saja (Benny Susetyo, 2010: 214) Apabila dijabarkan lebih lanjut, sistem hukum
Pancasila adalah SHN yang berlandaskan/berorientasi pada tiga pilar/nilai
keseimbangan Pancasila, yaitu :
1. berorientasi pada nilai-nilai “Ketuhanan” (bermoral religius);

2. berorientasi pada nilai-nilai “Kemanusiaan” (humanistik); dan

3. berorientasi pada nilai-nilai “Kemasyarakatan” (nasionalistik; demokratik;


berkeadilan sosial).
Komentar Kelebihan :
-Bahasa yang digunakan penulis sangat mudah dipahami
-Peneliti menggunakan sumber data yang jelas
- Memaparkan dan menganalisis secara jelas aktualisasi pancasila sebagai
landasan politik hukum Indonesia
Kelemahan :
-Tidak terdapat ISSN dalam jurnal ini
- Pembahasan kurang meluas
-Terdapat sedikit kesalahan kata
Kesimpulan Pancasila merupakan landasan utama dalam pembuatan hukum (Peraturan
Perundang-Undangang) baru maupun dengan penggantian hukum lama (politik
hukum), sehingga nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan dan Kemasyarakatan
(nasionalistik; demokratik; berkeadilan sosial) harus teraktualisasi kedalam
substansi hukum, struktur hukum maupun kultur hukum yang akan dibangun,
diharapkan dapat menguatkan integrasi bangsa, demokratisasi hukum,
tercapainya kesejahteraan dan keadilan sosial dengan menempatkan Pancasila,
mulai dari nilai, tujuan sampai dengan aktualisasi kepada berbagai bidang
hukum yang ada, baik hukum pidana, perdata, tata usaha negara dan lain-lain,
serta internalisasi pada struktur hukum dan budaya hukum Pancasila.

15
DAFTAR PUSTAKA

Catherine Beck, Martha dan Irawan, 2014, Islam, Pancasila And Value Systems Of
Indonesian National Education Jurnal Pendidikan Pancasila Vol 1 No. 1

Fritz Hotman S. Damanik, 2014, Hakikat Pancasila dalam Membentuk Karakter Kebangsaan
melalui Organisasi Siswa Intra Sekolah Jurnal Pendidikan Pancasila

Prapti Rahayu, Derita, 2015, Aktualisasi Pancasila Sebagai Landasan Politik Hukum
Indonesia Jurnal Pendidikan Pancasila Vol.4 No. 1

16

Anda mungkin juga menyukai