Anda di halaman 1dari 12

MODUL

ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR

UNIVERSITAS WIDYATAMA
BANDUNG
PERTEMUAN III

Pokok Bahasan : Manusia sebagai makhluk Budaya , Etika, Moral, dan Estetika
Sub Pokok Bahasan : Berbagai aspek yang berkaitan dengan manusia sebagai
makhluk budaya, manusia dengan etika, dan manusia dengan
estetika
Tujuan Pembelajaran Umum : Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan manusia
sebagai makhluk budaya, etika, moral dan estetika
Tujuan Pembelajaran Khusus: Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan berbagai aspek
yang berkaitan dengan manusia sebagai makhluk budaya,
manusia dengan etika, dan manusia dengan estetika

1. MATERI PEMBELAJARAN
1. Manusia Sebagai Makhluk Budaya
Masyarakat dan kebudayaannya merupakan tayangan besar dari kehidupan bersama
antara individu-individu manusia yang bersifat dinamis. Pada masyarakat yang
kompleks/majemuk tentu memiliki banyak kebudayaan dengan standar perilaku yang berbeda
dan kadang kala bertentangan. Perkembangan kepribadian individu pada masyarakat sering
dihadapkan pada model-model perilaku yang suatu saat disetujui oleh satu kelompok, namun
dicela atau dikutuk oleh kelompok manusia lainnya.
Secara etimologis istilah atau kata manusia berasal dari kata Bahasa Sanskerta
manu yang berarti berpikir atau makhluk yang berakal budi. Manusia diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Esa dan diberikan kelebihan, yaitu akal budi, sehingga manusia mampu
menerima berbagai pengetahuan, menjadi makhluk yang dapat menguasai alam semesta.
Manusia hidup di suatu lingkungan di mana dia berinteraksi dengan manusia lain dan
mngembangkan diri dan menaati norma-norma yang ada di masyarakat.
Menurut Budi Yuliandi (2014:18-19) manusia merupakan padanan makhluk material
dan makhluk spiritual, manusia memiliki rasa ingin tahu agar dapat berkembang hal yang
berarti bahwa manusia itu dimanis dan bukan statis. Sebuah definisi yang lengkap tentang
manusia belum ada, walaupun banyak ahli mencoba untuk memberikan berbagai definisi, di
antaranya manusia sebagai mahkluk biologis dari golongan mamalia, manusia adalah
mahkluk yang selalu harus berinteraksi dengan manusia lain, atau manusia sebagai fenomena
jiwa, fisik, dan lain-lain.
Oleh karena itu, manusia dapat dilihat dari sudut lain, yaitu:
1. Manusia sebagai makhluk sosial, yang berarti bahwa manusia selalu
harus berinteraksi dengan manusia lain agar dirinya dapat pengetahuan
dan pengalaman.
2. Manusia sebagai makhluk ekonomi menciptakan berbagai organisasi
masyarakat yang selalu berkeinginan untuk memenuhi kebutuhannya,
mempertimbangkan baik buruknya, dan menghitung untung ruginya.
3. Manusia sebagai makhluk yang berupaya bekerja, beraktivitas demi
menjalankan hidupnya dan memenuhi kebutuhannya.
Musa Asyari dalam Juliardi (2014:21) mengatakan bahwa manusia terbangun atas
dasar beberapa unsur, yaitu :
1 Jasad, yaitu wujud fisik manusia.
2 Hayat, yaitu unsur hidup yang ditandai oleh daya gerak.
3 Roh yaitu daya spiritual yang memahami kebenaran, menciptakan sesuatu dan merupakan
inti yang melahirkan kebudayaan.
4 Nafs yaitu manusia sadar atas dirinya sebagai mahkuluk hidup memiliki cirri-cirinya.
Supartono Widyosiswoyo (1987:12) mengatakan bahwa manusia memiliki perasaan
rohani yang tidak ada pada makhluk yang lain, yaitu :
1 Perasaaan intelektual, yaitu rasa ingin tahu dan perasaan puas jika berhasil untuk
mengetahui sesuatu.
2 Perasaan estetis yang menyangkut perasaan keindahan.
3 Perasaan etis berhubungan dengan kebaikan, yaitu semua manusia suka diperlakukan
dengan baik.
4 Perasaan diri berhubungan dengan harga diri.
5 Perasaan sosial yaitu manusia hidup berkelompok.
6 Perasaan religius berkenaan dengan agama atau kepercayaan.
Beberapa pendapat ahli mengatakan bahwa manusia adalah subjek maupun objek dan
ini tidak bisa dipisahkan. Mereka mengatakan bahwa manusia akan merasakan baik
penderitaan maupun kesedihan dan ini adalah hal yang wajar. Kedua perasaan ini mendidik,
mengasah, dan mendorong manusia supaya lebih giat berusaha dan menjadi lebih baik. Setiap
manusia tak dapat menghindari rasa sedih, apatis, rasa takut. Fungsi nilai eksistensialisme
adalah untuk menghilangkan perasaan seperti itu. Nilai ekstensialisme menekankan pada
kesadaran, kemampuan, dan keinginan.
Hakekat manusia sebagai makhluk budaya berkaitan dengan fakta bahwa Tuhan
menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dan manusia bukan satu satunya
makhluk yang ada. Ciptaan Tuhan terbagi atas alam, tumbuhan, binatang dan manusia
Diantara semua ciptaan Tuhan hanya manusia memiliki akal budi yang membantu manusia
untuk menghadapi hidup dan juga masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya.
Manusia selalu hidup dalam lingkungan masyarakat karena manusia adalah makhluk sosial
dan dia berkembang hanya di lingkungan masyarakat. Dalam masyarakat manusia
memperoleh penglaman dan pengetahuan. Kebudayaan tak mungkin muncul jika tidak
adanya masyarakat dan eksistensi masyarakat tidak mungkin jika tidak adanya kebudayaan.
Manusia dapat dipandang dari dua segi yaitu manusia sebagai makhluk biologis dan manusia
sebagai makhluk sosio-budaya
Manusia sebagai makhluk biologi dipelajari di biologis dan manusia sebagai makhluk
sosial dipelajari dalam antropologi budaya. Kebudayaan manusia menganalisis masalah-
masalah hidup sosial kebudayaan manusia. Berarti, manusia, kebudayaan, dan masyarakat
adalah unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan, berarti di mana ada manusia, di situ ada juga
masyarakat, di mana ada masyarakat di sana juga ada kebudayaan. Makhluk yang
berkebudayaan adalah manusia. Huxley mengatakan bahwa hanya manusia memiliki
kebudayaan karena manusia adalah makhluk yang berbeda dari makhluk lain. Perbedaan itu
adalah manusia memiliki otak sempurna yang dapat digunakan untuk berpikir,
berkomunikasi, dan menggunakan berbagai alat; manusia merupakan makhluk yang tegak
lurus; manusia merupakan satu-satunya makhluk yang mempunyai masa pertumbuhan yang
lama; jumlah embrio pada manusia kebanyakan satu; serta manusia tidak mempunyai rambut
yang menutupi badan.
Perbedaan manusia dari makhluk lain melahirkan kebudayaan dalam masyarakat
manusia. Di dalam Al-Quran di dalam surat QS . Al Isra :70 dikatakan: Kami muliakan
anak-anak Adam. Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan,
dengan kelebihan yang sempurna.
Ciri-ciri dasar manusia menurut Poespowardojo (1989:220) tidak hanya menjelaskan
gejala-gejala yang tampak, tetapi juga patokan-patokan normatifnya, meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1 Manusia adalah kesatuan badan dan jiwa, sebab itu bersifat jasmani dan rohani.
2 Manusia adalah potensi. Manusia adalah serba belum selesai, dan karena itu cenderung
dan bernafsu untuk mencapai kelengkapannya, kesempurnaannya.
3 Hidup manusia (masyarakat) adalah proses yang tidak statis, melainkan penuh dinamika
yang senantiasa harus ditangani dengan keterbukaan.
4 Hidup manusia adalah suatu perjuangan. Dalam rangka dialektika dengan alam, manusia
mewujudkan dirinya secara kongkrit sebagai bedurftiges wesen, yaitu makhluk yang
serba butuh.
5 Manusia tidak berada sendirian. Ia bukanlah monade melainkan berada dalam
masyarakat. Adalah ciri dasarnya bahwa ia bersama orang lain.
6 Manusia ditandai oleh ekspresi. Manusia punya kecenderungan kodrati untuk
menerjemahkan dirinya dalam bentuk-bentuk yang kongkrit. Keseluruhan ekspresi
perkembangan tersebut yang menjadi kekayaan suatu masyarakat yang disebut
kebudayaan.

2. Manusia dan Etika


Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos, yang berarti kebiasaan atau watak.
Secara etimologis, etika adalah pelajaran tentang baik/buruk, yang diterima umum tentang
sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Etika biasanya disamakan artinya dengan
moral, akhlak atau kesusilaan. Menurut William K. Frankena, etika (ethics) adalah salah satu
cabang filsafat yang mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofis
(philosophical judgments). Sebagai suatu falsafah, etika berkenaan dengan moralitas beserta
persoalan-persolanan dan pembenaran-pembenarannya. Moralitas merupakan salah satu
instrumen kemasyarakatan apabila suatu kelompok sosial menghendaki adanya penuntun
tindakan untuk segala pola tingkah laku yang disebut bermoral (dalam Kumorotomo,
1992:7).
Berkaitan dengan hal ini, Suseno mengemukakan bahwa etika terdiri dari etika umum
dan etika khusus (1994:13). Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku
bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam
hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup kehidupannya dibedakan pula
antara etika individual yang mempertanyakan kewajiban manusia sebagai individu dan etika
sosial. Etika sosial jauh lebih luas dari pada etika individual karena hampir semua kewajiban
manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan makhluk sosial. Etika sosial
membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antar
manusia. Etika adalah filsafat yang mempertanyakan praksis manusia, yang
mempertanggungjawabkan tanggung jawab dan kewajiban manusia.
Dikemukakan pula bahwa etika dapat dipandang sebagai sarana orientasi bagi usaha
manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus
hidup dan bertindak? Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral melainkan
merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-
pandangan moral (1987:14).
Etika menurut Salam, merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan
norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya (1997:1). Etika sangat
menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat dan menggumuli nilai dan norma moral
serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan norma moral
itu. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang
menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi
maupun sebagai kelompok.
Etika memiliki makna yang bervariasi. Menurut K. Bertens sebagaimana dikutip
Herimanto dan Winarno (2011:27), ada tiga jenis makna etika, yaitu:
1. Etika dalam arti nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah laku.
2. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral (yang dimaksud adalah
kode etik).
3. Etika dalam arti ilmu atau ajaran tentang yang baik dan buruk, yang
artinya sama dengan filsafat moral.
Etika sebagai nilai dan norma etik atau moral berkaitan dengan perannya sebagai
pegangan bagi tingkah laku manusia. Nilai-nilai etik adalah nilai-nilai tentang baik buruk
kelakuan manusia, yang diwujudkan ke dalam norma etik, norma moral, atau norma
kesusilaan. Norma etik berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut
kehidupan pribadi. Pendukung norma etik adalah nurani individu dan bukan manusia sebagai
makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang terorganisir.
Norma etik ditujukan kepada umat manusia agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi
guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat.
Membunuh, berzina, mencuri dan sebagainya tidak hanya dilarang oleh norma kepercayaan
atau keagamaan saja, tetapi dirasakan juga sebagai bertentangan dengan norma kesusilaan
dalam setiap hati nurani manusia. Asal atau sumber norma etik adalah dari manusia sendiri
yang bersifat otonom dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap
batin manusia. Tidak ada kekuasaan diluar dirinya yang memaksakan sanksi bila melanggar
norma, sehingga kalau terjadi pelanggaran norma etik, misalnya pencurian atau penipuan
maka akan timbul dalam hati nurani si pelanggar itu rasa penyesalan, rasa malu, takut, dan
merasa bersalah.
Norma etik atau norma moral menjadi acuan manusia dalam berperilaku, sehingga
dirinya bisa membedakan mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang buruk. Dengan
norma etik, ada semacam das sollen untuk berperilaku baik, sehingga manusia yang beretika
berarti perilaku manusia itu baik sesuai dengan norma-norma etik.

3. Manusia, Moral dan Moralitas


Moral berasal dari bahasa latin mores, yang berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa
Indonesia, kata moral berarti akhlak (bahasa Arab). Atau kesusilaan yang mengandung
makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku
batin dalam hidup. Istilah moral menurut Hertati dkk. berari nilai-nilai, norma yang menjadi
pegangan bagi seseoang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (2010:6.6.).
Moral menurut Suseno selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Bidang
moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.
Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan
manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran
tertentu dan terbatas (1987:19).
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan
baik dan buruk. Istilah amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral atau di luar
suasana etis atau non moral. Istilah imoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik
atau secara moral buruk atau tidak etis. Moralitas menurut Sulismadi dan Sofwani (2011:69)
menjadi sumber aturan yang tidak tertulis yang oleh masyarakat dipegang teguh karena ia
memiliki nilai-nilai kebaikan sesuai dengan ukuran nilai yang berkembang dalam
masyarakat. Moralitas dalam diri seseorang dapat berkembang dari tingkat yang rendah ke
tingkat yang lebih tinggi seiring dengan kedewasaan, yang menurut Kohlberg, sebagaimana
dikutip Sulismadi dan Sofwani (2011:69) terdapat tiga tingkatan sebagai berikut:
1. Preconventional, merupakan tingkatan moralitas yang paling rendah,
yang menunjukkan bahwa seseorang dilihat dari perspektif sosial
merupakan individu yang konkrit.
2. Conventional, pada tingkatan ini perspektif sosial yang ditonjolkan
adalah pentingnya seseorang menjadi anggota masyarakat yang baik.
3. Postconventional, sebagai tingkatan penalaran moral yang paling tinggi,
dan lebih mementingkan nilai-nilai moral yang lebih universal. Orang
mulai mempertanyakan mengapa dianggap benar atau salah atas dasar
prinsip nilai moral yang universal yang kadang-kadang bisa
bertentangan dengan kepentingan masyarakat secara umum
Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang akan tercermin pada
sikap dan perilakunya, norma menjadi penuntun sikap dan tingkah laku manusia. Moral dan
etika pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menurut keyakinan
seseorang atau masyarakat dapat diterima dan dilaksanakan secara benar dan layak. Moral
adalah perbuatan manusia untuk berperilaku baik atau buruk, dan perbuatan yang demikian
itu dikehendaki atau tidak dikehendaki, serta perbuatan itu sesuai atau tidak sesuai dengan
hati nurani individu yang bersangkutan.
Menurut Hertati dkk. hampir sebagian perbuatan manusia berkaitan dengan nilai baik
dan buruk, terjadi sejak masa lampau (2010:6-9). Sejarah telah membuktikan bahwa dalam
segala zaman ditemukan keinsyafan manusia tentang tingkah laku mereka yang baik dan
buruk, atau yang dapat dilakukan. Tidak semua bangsa dan tidak semua zaman mempunyai
pengertian yang sama tentang nilai yang baik dan buruk, walaupun pengertian baik dan buruk
merupakan sesuatu yang umum dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, moralitas
merupakan fenomena kemanusiaan yang universal.
Berbicara tentang moral berarti berbicara tentang tingkah laku manusia dan juga
pemikiran atau pendirian manusia tentang apa yang baik dan buruk atau yang patut dan tidak
patut untuk dilakukan. Karena norma moral merupakan standar perilaku yang disepakati,
maka moral dapat dipakai mengukur diri sendiri, sekaligus dapat dipakai untuk mengatur
perilaku orang lain. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Frans Magnis Suseno bahwa
norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan
seseorang. Dengan demikian, dengan norma moral kita betul-betul dinilai apakah kita ini baik
atau buruk (dalam Hertati dkk, 2010:6.10).
Etika dan moral oleh The Liang Gie tidak dipertentangkan penggunaannya, karena
berdasarkan keyakinannya bahwa keduanya merujuk kepada persoalan yang sama, meskipun
berasal dari dua istilah yang berbeda, tetapi makna epistemologisnya sama (dalam
Kumorotomo, 1992:6). Robert C. Solomon mengemukakan perbedaan antara etika, moral dan
moralitas. Etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai yang
dianut oleh manusia beserta pembenarannya. Etika merupakan pokok permasalahan di dalam
disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku
manusia. Moral menaruh penekanan kepada karakter dan sifat-sifat individu yang khusus,di
luar ketaatan pada peraturan.Moral merujuk pada tingkah laku yang bersifat spontan seperti
rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa dan sebagainya, yang kesemuanya tidak terdapat
dalam peraturan-peraturan hukum. Moralitas mempunyai maknna yang lebih khusus pada
bagian dari etika. Moralitas berfokus kepada hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang abstrak
dan bebas (dalam Kumorotomo, 1992:6).
Hampir senada dengan Robert C. Solomon, dikemukakan oleh Suseno bahwa etika itu
berbeda dengan ajaran moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran, sedangkan
ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan,
kumpulan peraturan dan ketatapan entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus
hidup dan bertindak agar ia menjadi mnausia yang baik. Jadi etika dan ajaran moral tidak
berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup bukan etika
melainkan ajaran moral (1987:14).

4. Manusia dan Estetika


Estetika dapat dikatakan sebagai teori tentang keindahan atau seni, berkaitan dengan
nilai indah-jelek (tidak indah), sehingga nilai estetik berarti nilai tentang keindahan. Menurut
Herimanto dan Winarno (2011:30). Keindahan dapat diberi makna sebagai berikut:
1. Secara luas, keindahan mengandung ide kebaikan, bahwa segala sesuatu
yang baik termasuk yang abstrak maupun nyata yang mengandung ide
kebaikan adalah indah. Indah dalam arti luas mencakup hampir seluruh
yang ada apakah merupakan hasil seni, alam, moral, dan intelektual.
2. Secara sempit yaitu indah yang terbatas pada lingkup persepsi
penglihatan (bentuk dan warna).
3. Secara estetik murni, keindahan menyangkut pengalaman estetik
seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diresapinya
melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, dan perasaan, yang
semuanya dapat menimbulkan persepsi (anggapan) indah.
Nilai estetik amat subjektif dan partikular, dalam arti sesuatu yang indah bagi
seseorang belum tentu indah bagi orang lain, misalnya ketika dua orang memandang sebuah
lukisan. Oleh karena subjektif, nilai estetik tidak bisa dipaksakan pada orang lain untuk
mengakui keindahan sesuatu sebagaimana pandangan kita, nilai estetik lebih1 bersifat
perasaan, bukan pernyataan.

2. RANGKUMAN
Manusia dilengkapi dengan berbagai kelebihan bila dibandingkan dengan makhluk
Tuhan yang lainnya. Dengan berbagai kelebihannya inilah manusia menciptakan dan
melahirkan kebudayaan. Dalam interaksinya sebagai makhluk budaya dalam melahirkan,
memelihara dan mengembangkan kebudayaan, manusia dikelilingi berbagai patokan yang
akan menuntunnya dalam khidupan, diantaranya etika dan ajaran moral. Ukuran baik dan
buruk dalam sikap dan perilakunya dalam berinteraksi akan sangat mewarnai kualitas
kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Moralitas yang tercermin dalam berbagai aktivitas
warga masyarakat akan menunjukkan tingkatan ketaatan masing-masing individu terhadap
nilai-nilai etik dan ajaran moral. Sebagai makhluk Tuhan, dirinya juga dilekati atribut fisik
dan psikologis dalam menangkap kesan tentang keindahan suatu objek atau fenomena.

3. REFERENSI
Herimanto dan Winarno. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
Poespowardojo, Soerjanto. 1989. Strategi Kebudayaan. Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta:
PT. Gramedia.
Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Sosial. Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta:
Rhineka Cipta
Suseno,Franz Magnis. 1987. Etika Dasar. Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Jakarta :
Kanisius
Suseno, Franz Magnis. 1994. Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.
Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

1
0

Anda mungkin juga menyukai