Anda di halaman 1dari 15

MODUL

ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR

UNIVERSITAS WIDYATAMA
BANDUNG
PERTEMUAN V
Pokok Bahasan : Sistem dan Struktur Sosial Budaya Indonesia
Sub Pokok Bahasan : Makna, Unsur dan Fungsi Sistem Sosial serta Aspek-Aspek
Struktur Sosial Budaya Indonesia.
Tujuan Pembelajaran Umum : Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan sistem dan
struktur sosial budaya Indonesia
Tujuan Pembelajaran Khusus: Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan makna dan
fungsi sistem sosial serta aspek-aspek struktur sosial budaya
Indonesia

A. MATERI PEMBELAJARAN
1. Makna dan Definisi Sistem Sosial
Secara etimologis, istilah sistem berasal dari bahasa Yunani systema, yang berarti
sehimpunan dari bagian atau komponen yang saling berhubungan satu dengan yang lain
secara teratur, saling ketergantungan yang merupakan suatu keseluruhan.
Ditinjau secara sosiologis, kehidupan sosial berlangsung dalam suatu wadah yang
disebut masyarakat. Dalam konteks pemikiran sistem, masyarakat dipandang sebagai sebuah
sistem yang disebut sistem sosial. Menurut Talcott Parsons, dalam buku The Social System
sebagaimana dikutip oleh Lauer (1993:108), sistem sosial adalah para aktor individual yang
saling berinteraksi dalam suatu situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek
lingkungan fisik atau psikis, yang terdorong ke arah kecenderungan untuk mengoptimalkan
kebahagiaan, dan antar hubungan mereka diatur menurut sistem yang teratur secara kultural
serta mempunyai simbol-simbol bersama.
Sistem sosial merupakan suatu pola interaksi sosial yang terdiri dari komponen-
komponen sosial yang teratur dan melembaga. Beberapa karakteristik sistem sosial adalah :
a. Merupakan kumpulan dari beberapa unsur/komponen/subsistem yang dapat ditemukan
dalam kehidupan masyarakat.
b. Cenderung akan selalu mempertahankan ekuilibrium atau keseimbangan, keteraturan
merupakan norma dalam sistem. Jika terjadi penyimpangan atau ketidakteraturan dari
norma, maka sistem akan berusaha menyesuaikan diri dan mencoba kembali ke keadaan
semula.
Secara ontologis, objek sosiologi sebagai ilmu/ilmu pengetahuan adalah masyarakat
(society), yang dilihat dari sudut hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari
hubungan manusia di dalam masyarakat. Agak sukar untuk memberikan suatu batasan
tentang masyarakat karena istilah masyarakat terlalu banyak mencakup pelbagai faktor
sehingga kalaupun diberikan suatu definisi yang berusaha mencakup keseluruhannya, masih
ada juga yang tidak memenuhi unsur-unsurnya.
Beberapa orang sarjana telah memberikan definisi tentang masyarakat (society)
sebagaimana dikutip oleh Soekanto (2009:22), seperti berikut ini:
a. R.M. Maclver dan Charles H. Page, masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata
cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan
pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu
berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial,
dan masyarakat selalu berubah.
b. Ralph Linton, masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan
bekerjasama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap
diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan
jelas.
c. Selo Soemardjan, masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang
menghasilkan kebudayaan.
Walaupun definisi dari sarjana-sarjana tersebut berlainan, pada dasarnya isinya sama,
yaitu masyarakat yang mencakup beberapa unsur sebagai berikut :
a. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada
ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus
ada. Akan tetapi, secara teoretis angka minimnya adalah dua orang yang hidup bersama.
b. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan
kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya kursi, meja dan sebagainya. Karena
dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu
juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti mereka juga mempunyai keinginan-
keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat
hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan antarmanusia dalam kelompok tersebut.
c. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.
d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan
kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan lainnya.
Dengan demikian, menurut Soekanto (2009:24), setiap masyarakat mempunyai
komponen-komponen dasarnya, yakni sebagai berikut.
a. Populasi, yakni warga-warga suatu masyarakat yang dilihat dari sudut pandangan
kolektif. Secara sosiologis, aspek-aspek sosiologis yang perlu dipertimbangkan adalah
misalnya, aspek-aspek genetik yang konstan; variabel-variabel genetik; variabel-variabel
demografis.
b. Kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa dari kehidupan bersama yang mencakup
sistem lambang-lambang dan informasi.
c. Hasil-hasil kebudayaan materiil.
d. Organisasi sosial, yakni jaringan hubungan antara warga-warga masyarakat yang
bersangkutan, yang antara lain mencakup warga masyarakat secara individual; peranan-
peranan; kelompok-kelompok sosial; dan kelas-kelas sosial.
e. Lembaga-lembaga sosial dan sistemnya.
Terdapat berbagai perspektif tentang masyarakat yang digunakan dalam sosiologi,
yang menurut Horton dan Hunt, masing-masing memandang masyarakat secara berbeda,
yaitu perspektif evolusioner, interaksionis, fungsionalis, dan konflik (1996:24). Perspektif
evolusioner memusatkan perhatiannya pada urut-urutan berlakunya perubahan masyarakat.
Perspektif interaksionis memusatkan perhatian pada hubungan sehari-hari dan perilaku
individu serta kelompok menurut keadaan sebenarnya. Perspektif fungsionalis memandang
masyarakat sebagai suatu sistem yang saling berhubungan, masing-masing kelompok
memainkan suatu peranan dan setiap pelaksanaan membantu bekerjanya sistem tersebut.
Perspektif konflik memandang ketegangan dan perjuangan kelompok sebagai kondisi normal
suatu masyarakat, stabilitas dan konsensus nilai merupakan ilusi yang disusun dengan hati-
hati untuk melindungi kelompok yang dapat hak-hak istimewa.

2. Unsur dan Fungsi Sistem Sosial


Sistem sosial menurut Alvin L. Bertrand dalam buku Sociology, yang dikutip oleh
Abdulsyani (2007:127), mengandung beberapa unsur, yaitu keyakinan (pengetahuan),
perasaan (sentimen), tujuan, sasaran atau cita-cita, norma, status dan peranan, tingkatan atau
pangkat, kekuasaan dan pengaruh, sanksi, sarana atau fasilitas, serta tekanan ketegangan
(stress strain).
Keyakinan merupakan pedoman dalam melakukan penerimaan suatu pengetahuan
dalam kehidupan kelompok sosial. Perasaan menunjuk pada bagaimana perasaan anggota
kelompok masyarakat tentang hal-hal, peristiwa-peristiwa serta tempat-tempat tertentu. Cita-
cita, tujuan atau sasaran merupakan pedoman bertindak agar program kerja yang telah
ditetapkan dan disepakati bersama dapat tercapai secara efektif. Norma sosial merupakan
patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan dalam situasi tertentu,yang dapat
dianggap paling kritis untuk memahami dan meramalkan aksi atau tindakan manusia.
Dengan status, seseorang dapat menentukan sifat, tingkatan kewajiban dan tanggung
jawab dalam suatu kelompok masyarakat. Peranan adalah pola tingkah laku yang diharapkan
dari orang-orang pemangku suatu status. Tingkatan atau pangkat berfungsi menilai perilaku
anggota kelompok, sebaliknya penilaian terhadap perilaku anggota kelompok dimaksudkan
untuk memberikan kepangkatan tertentu yang dianggap sesuai dengan prestasi yang telah
dicapai. Kekuasaan berkaitan dengan kapasitas penguasaan seseorang terhadap anggota
kelompok atau organisasi. Kekuasaan merupakan patokan bagi anggota kelompok atau
organisasi untuk menerima berbagai tugas atau perintah. Sanksi merupakan ancaman hukum
yang ditetapkan oleh masyarakat terhadap anggotanya yang melanggar norma sosial. Sarana
atau fasilitas merupakan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan dari sistem dengan
penggunaan fungsinya secara maksimal. Ketegangan hubungan antar anggota masyarakat
pada batas tertentu dapat terjadi, karena tidak ada satupun anggota yang mempunyai perasaan
dan interpretasi sama terhadap kegiatan atau masalah yang sedang dihadapi.
Sistem sosial menurut Talcott Parsons yang dikutip oleh Narwoko dan Suyanto,
memiliki empat fungsi, yaitu fungsi adaptasi (adaptation), fungsi pencapaian tujuan (goal
attainment), fungsi integrasi (integration), serta fungsi untuk mempertahankan dan/atau
menegakkan pola dan struktur masyarakat (latent pattern maintenance). Menurut Parsons,
sebagaimana dikutip oleh Keller (1995:126), masing-masing dari keempat subsistem
fungsional atau fungsi sistem sosial ini berhubungan dengan suatu sektor pranata khusus
masyarakat.
Fungsi adaptasi dilaksanakan oleh subsistem ekonomi yang melaksanakan produksi
dan distribusi barang dan jasa, serta menghasilkan fasilitas atau alat yang digunakan untuk
mencapai tujuan sistem. Fungsi pencapaian tujuan dilaksanakan oleh subsistem politik yang
melaksanakan distribusi kekuasaan, dan memonopoli penggunaan unsur paksaan yang sah
yang bekerja dalam rangka memaksimalkan potensi masyarakat untuk mencapai tujuan
kolektifnya.
Fungsi integrasi dilaksanakan oleh subsistem hukum dengan cara mempertahankan
tata cara dan keterpaduan antara komponen yang saling berbeda pendapat, pandangan dan
kerangka moralitas untuk terbentuknya solidaritas sosial. Fungsi mempertahankan pola
dilaksanakan oleh subsistem budaya yang terkait dengan pemeliharaan nilai-nilai dan norma-
norma budaya yang berlaku dalam masyarakat untuk tujuan kelestarian struktur masyarakat,
memaksimalkan komitmen sosial dan motivasi serta mengendalikan ketegangan perasaan-
perasaan individu, sehingga dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial.

3. Struktur Sosial
Di masyarakat manapun, menurut Nasikun, struktur sosial yang ada umumnya
ditandai dua cirinya yang khas, yaitu:
a. Secara vertikal, struktur sosial masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan
antar kelas sosial dan polarisasi sosial yang cukup tajam. Inilah yang disebut stratifikasi
sosial.
b. Secara horisontal, masyarakat ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, ras, profesi, adat serta perbedaan
kedaerahan. Inilah yang disebut diferensiasi sosial (dalam Narwoko dan Suyanto,
2004:174).
Dikemukakan lebih lanjut bahwa stratifikasi sosial muncul karena ketimpangan
distribusi dan kelangkaan barang berharga yang dibutuhkan masyarakat, seperti uang,
kekuasaan, pendidikan, keterampilan, dan semacamnya. Diferensiasi sosial muncul karena
pembagian kerja, perbedaan agama, ras (pengelompokan individu atas dasar ciri fisik), etnis
(pengelompokan individu atas dasar ciri persamaan kebudayaan, seperti bahasa, adat, sejarah,
sikap, wilayah), atau perbedaan jenis kelamin.

4. Diferensiasi Sosial
Beberapa wujud diferensiasi sosial yang menonjol diantaranya atas dasar ras, etnik,
agama, dan jenis kelamin. Menurut Hunt dan Norton, ras adalah suatu kelompok manusia
yang agak berbeda dengan kelompok-kelompok lainnya selain dalam segi ciri-ciri fisik
bawaan, dalam banyak hal juga ditentukan oleh pengertian yang digunakan oleh masyarakat
(dalam Narwoko dan Suyanto, 2004:175).
Perbedaan masyarakat atas dasar prinsip evolusi rasial dikemukakan oleh E.von
Eickstedt yaitu:
a. Leukoderm (leuko artinya putih). Termasuk dalam ras ini Europid, Polinesid, Weddid,
Ainuid, dengan ciri-ciri umum: wajah dan bagian-bagiannya menonjol, rambut lurus
hingga berombak, hidung sempit, tinggi, pigmentasi agak terang. Contoh orang-orang
Eropa dan Polinesia.
b. Melanoderm (melano artinya hitam). Termasuk di dalam ras ini adalah Negrid,
Melanesid, Pigmid, Australid, dengan ciri-ciri umum : warna kulit agak gelap, rambut
agak keriting, hidung sangat lebar, wajah prognat, bibir sangat tebal. Contoh, orang
Afrika,Aborigin di Australia, dan Melanesia.
c. Xantoderm (xanto artinya kuning). Termasuk di dalam ras ini adalah Mongoloid,
Indianid, Khoisanid, dengan ciri-ciri umum : wajah mendatar dengan pangkal hidung
rendah dan pipi menonjol ke depan, celah mata mendatar, rambut hitam, lurus tebal,
warna kulit kekuningan. Contoh, orang Asia, Indian, Eskimo, dan bangsa Khoisan di
Afrika.
Seiring dengan perubahan sosial yang terjadi, perbedaan masyarakat ras akhirnya
makin lama makin kompleks karena masyarakat manusia semakin terbuka, baik secara
budaya, sosial maupun secara geografis.
Golongan etnik atau suku bangsa didasarkan kepada persamaan kebudayaan. Menurut
Koentjaraningrat, istilah suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh
kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan. Di Indonesia kita mengenal beberapa
etnik, Jawa, Sunda, Batak, Minang, Cina, Dayak dan sebagainya. Keberadaan kelompok etnik
ini tidak selamanya permanen dan bahkan acapkali hilang karena adanya asimilasi dan
amalgamasi. Di beberapa negara, akibat globalisasi dan keterbukaan kecenderungan
terjadinya asimilasi dan amalgamasi makin lama makin meningkat.
Agama menurut Emile Durkheim ialah suatu sistem terpadu yang terdiri atas
kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci, dan bahwa kepercayaan
dan praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu komunitas
moral yang dinamakan umat (dalam Sunarto, 2004:67). Di Indonesia agama yang secara
resmi diakui oleh negara ialah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan
Konghucu. Dengan keragaman agama yang dianut seperti itu, maka berbagai upaya yang
mengarah kepada tumbuh kembangnya sikap toleran, saling menghormati perbedaan serta
kerukunan hidup antar pemeluk agama menjadi sangat penting.
Di masa yang lalu, termasuk dalam masyarakat primitif dan tradisional, seringkali
perbedaan jenis kelamin melahirkan perlakuan dan pengaturan hak-hak dan kewajiban yang
berbeda, bahkan menempatkan kaum perempuan lebih rendah dari laki-laki. Seiring dengan
gerakan emansipasi serta demokratisasi, keterbukaan dan hak asasi manusia pada tatanan
pergaulanantarbangsa, maka sangat terasa pula pengaruhnya di Indonesia. Seiring dengan
semakin tingginya tingkat pendidikan yang diraih kaum perempuan, termasuk di Indonesia,
maka saat ini kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan sudah menjadi salah satu
bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya tergambar dari makin banyaknya
perempuan yang duduk pada jabatan-jabatan publik, baik legislatif, eksekutif maupun
yudikatif. Terkait dengan ini, saat ini muncul pula istilah kesetaraan gender. Konsep gender
menurut Giddens sebagaimana dikutip Sunarto merupakan perbedaan psikologis, sosial dan
budaya antara laki-laki dengan perempuan (2004:110).

5. Stratifikasi Sosial
Menurut Pitirim A. Sorokin, sebagaimana dikutip Soekanto, bahwa sistem lapisan
merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur (2009:197).
Hal ini terkait dengan adanya penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam
masyarakat yang kemudian menjadi pembeda posisi seseorang atau suatu kelompok dalam
atau benda-benda yang bernilai ekonomis, tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan
dalam agama atau mungkin juga keturunan yang terhormat.
Sistem lapisan dalam masyarakat tersebut dalam sosiologi dikenal dengan social
stratification. Kata stratification berasal dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan).
Pitirim A. Sorokin dalam buku Social and Cultural Mobility, sebagaimana dikutip oleh
Soekanto, mengatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-
kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan
masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban, dan
tanggung jawab nilai-nilai sosial pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
Pelapisan sosial menurut Soekanto adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke
dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hierarkis). Sistem lapisan sosial tersebut dapat
terjadi dengan sendirinya atau sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama. Pedoman
untuk meneliti pokok-pokok terjadinya proses lapisan dalam masyarakat menurut Soekanto
(2009:201) sebagai berikut:
a. Pada sistem pertentangan yang ada dalam masyarakat, sistem demikian hanya
mempunyai arti khusus bagi masyarakat tertentu.
b. Sistem lapisan sosial dapat dianalisis dalam ruang lingkup unsur-unsur antara lain; (1)
Distribusi hak-hak istimewa yang objektif, seperti penghasilan, kekayaan, keselamatan;
(2) Sistem pertanggaan yang diciptakan oleh para warga masyarakat (prestise dan
penghargaan); (3) Kriteria sistem pertentangan dapat berdasarkan kualitas pribadi,
keanggotaan kelompok, kerabat tertentu, milik, wewenang atau kekuasaan; (4) Lambang-
lambang kedudukan seperti tingkah laku hidup, cara berpakaian, perumahan, keanggotaan
pada suatu organisasi; (5) Mudah sukarnya bertukar kedudukan; serta, (6) Solidaritas
diantara individu atau kelompok sosial yang menduduki kedudukan yang sama dalam
sistem sosial.
Gerhard E. Lenski dalam buku Power and Previlase. A Theory of Social
Stratification, yang dikutip oleh Poloma (1994:165), menyatakan bahwa terdapat determinan-
determinan utama struktur sosial dalam sejarah manusia, yaitu:
a. Warisan genetika manusia (yaitu, peralatan serta kecenderungan perilaku dengan mana
setiap orang terlibat dalam proses-proses evolusi organis).
b. Teknologi yang secara perlahan-lahan dibentuk untuk mempertinggi warisan ini.
c. Rintangan-rintangan lingkungan bagi kegiatan manusia serta perkembangan teknologi,
khususnya lingkungan yang menghambat arus informasi dari masyarakat lain.
d. Persaingan keras di antara masyarakat dalam upaya mempertahankan basis sumber-
sumber teritorial.

6. Sifat Sistem Stratifikasi Sosial


Sifat sistem lapisan di dalam suatu masyarakat dapat bersifat tertutup (closed social
stratification) dan terbuka (open social stratification). Sistem lapisan yang bersifat tertutup
membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik
yang merupakan gerak ke atas atau ke bawah. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya
jalan untuk menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran. Sebaliknya di
dalam sistem terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha
dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan. Atau, bagi mereka yang tidak beruntung jatuh
dari lapisan yang atas ke lapisan di bawahnya. Pada umumnya sistem terbuka ini memberi
perangsang yang lebih besar kepada setiap anggota masyarakat untuk dijadikan landasan
pembangunan masyarakat dari pada sistem yang tertutup.
Sistem tertutup jelas terlihat pada masyarakat India yang berkasta, atau dalam
masyarakat yang feodal, atau masyarakat dimana lapisannya tergantung kepada perbedaan-
perbedaan rasial. Apabila mengamati masyarakat India, sistem lapisannya sangat kaku dan
menjelma dalam diri kasta-kasta, yang menurut Kingsley Davis, dalam buku Human Society,
sebagaimana dikutip Soekanto (2009:202), mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Keanggotaan pada kasta diperoleh karena kewarisan/kelahiran. Anak yang lahir
memperoleh kedudukan orang tuanya.
b. Keanggotaan yang diwariskan berlaku seumur hidup, karena seseorang tak mungkin
mengubah kedudukannya, kecuali bila ia dikeluarkan dari kastanya.
c. Perkawinan bersifat endogam, artinya harus dipilih dari orang yang sekasta.
d. Hubungan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya bersifat terbatas.
e. Kesadaran keanggotaan suatu kasta terutama terlihat jelas dari nama kasta, identifikasi
anggota pada kastanya, penyesuaian diri yang ketat terhadap norma-norma kasta dan
sebagainya.
f. Kasta diikat oleh kedudukan-kedudukan yang secara tradisional telah ditetapkan.
g. Prestise suatu kasta benar-benar diperhatikan.
Sistem kasta semacam di India juga dijumpai di Amerika Serikat, dimana terdapat
pemisahan yang tajam antar golongan kulit putih dengan golongan kulit berwarna terutama
orang-orang negro. Sistem tersebut dikenal dengan segregation yang sebenarnya tak berbeda
jauh dengan sistem apharteid yang memisahkan golongan kulit putih dengan golongan asli di
Afrika Selatan. Sistem lapisan yang tertutup, dalam batas-batas tertentu juga dijumpai pada
masyarakat Bali yang membagi masyarakat dalam empat lapisan, yaitu Brahmana, Satria,
Vesia, dan Sudra.
Menurut Sutinah dan Norma (dalam Narwoko dan Suyanto, 2004:134), ada 3 aspek
yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial, yaitu:
a. Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan. Anggota masyarakat yang menduduki
strata tinggi, tentu memiliki kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan
anggota masyarakat di bawahnya.
b. Perbedaan dalam gaya hidup (life style).
c. Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumberdaya.

7. Dasar dan Unsur Stratifikasi Sosial


Di antara lapisan atasan dengan yang terendah, terdapat lapisan yang jumlahnya
relatif banyak. Biasanya lapisan atasan tidak hanya memiliki satu macam saja dari pada yang
dihargai oleh masyarakat. Akan tetapi, kedudukannya yang tinggi itu bersifat kumulatif.
Artinya, mereka yang mempunyai uang banyak akan mudah sekali mendapatkan tanah,
kekuasaan dan mungkin juga kehormatan.
Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-
anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan menurut Soekanto (2009:208) adalah sebagai
berikut:
a. Ukuran kekayaan
Barangsiapa yang memiliki kekayaaan paling banyak termasuk dalam lapisan teratas.
Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil
pribadinya, cara-caranya mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya,
kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.
b. Ukuran kekuasaan
Barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar
menempati lapisan atasan.
c. Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan/atau
kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran
semacam ini banyak dijumpai pada masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan
tua atau mereka yang berjasa.
d. Ukuran ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu
pengetahuan. Akan tetapi, ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-
akibat yang negatif karena ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan
ukuran, tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu, hal yang demikian memacu segala macam
usaha untuk mendapat gelar, walau tidak halal.
Hal yang mewujudkan unsur dalam teori sosiologi tentang sistem lapisan masyarakat
menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, sebagaimana dikutip Soekanto, adalah
kedudukan (status) dan peranan (role). Kadang-kadang dibedakan antara pengertian
kedudukan (status) dengan kedudukan sosial (social status). Kedudukan diartikan sebagai
tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Kedudukan sosial adalah tempat
seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain, dalam
arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Untuk
lebih mudah mendapatkan pengertiannya, kedua istilah tersebut di atas akan dipergunakan
dalam arti yang sama dan digambarkan dengan istilah kedudukan (status) saja.
Masyarakat menurut Soekanto (2009:210) pada umumnya mengembangkan dua
macam kedudukan, yaitu sebagai berikut:
a. Ascribed status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memerhatikan
perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena
kelahiran, misalnya kedudukan anak seorang bangsawan adalah bangsawan pula.
b. Achieved status adalah kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang
disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran. Akan tetapi, bersifat
terbuka bagi siapa saja, tergantung dari kemauan masing-masing dalam mengejar serta
mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, setiap orang dapat menjadi hakim asalkan
memenuhi persyaratan tertentu.
Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya dia menjalankan suatu
peranan. Pembedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu
pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada yang
lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan.
Sebagaimana halnya dengan kedudukan, peranan juga mempunyai dua arti. Setiap orang
mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya. Hal ini
sekaligus berarti bahwa peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta
kesempatan-kesempatan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-
kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya.
Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam
pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat (social-position) merupakan
unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat. Peranan menurut
Levinson (dalam Lewis A. Coser dan Bernard Roseberg, Sociological Theory, A Book Of
Readings), sebagaimana dikutip Soekanto (2009:213), mungkin mencakup tiga hal, yaitu
sebagai berikut:
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang
dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang
membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
b. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam
masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial
masyarakat.

8. Mobilitas Sosial (Social Mobility)


Gerak sosial atau social mobility adalah suatu gerak dalam struktur sosial (social
structure) yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur
sosial mencakup sifat-sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara
individu dengan kelompoknya. Apabila seorang guru kemudian pindah dan beralih pekerjaan
menjadi pemilik toko, maka dia melakukan gerak sosial. Juga apabila seseorang yang semula
mendapat gaji bulanan sebesar Rp. 2.500.000,00 kemudian pindah pekerjaan karena tawaran
dengan gaji yang lebih tinggi. Proses tadi tidak saja terbatas pada individu-individu saja,
tetapi mungkin juga pada kelompok-kelompok sosial. Misalnya, suatu golongan minoritas
dalam masyarakat berasimilasi dengan golongan mayoritas.
Tipe-tipe gerak sosial yang prinsipil ada dua macam, yaitu gerak sosial yang
horisontal dan vertikal. Gerak sosial horizontal merupakan peralihan individu atau objek-
objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat.
Contohnya adalah seseorang yang beralih kewarganegaraan, beralih pekerjaan yang sederajat
atau mungkin juga peralihan, atau gerak objek-objek sosial seperti misalnya radio, mode,
pakaian, ideologi, dan lain sebagainya.
Gerak sosial vertikal dimaksudkan sebagai perpindahan individu atau objek sosial dari
suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya,
menurut Soekanto (2009:220), terdapat dua jenis gerak sosial yang vertikal, yaitu yang naik
(social climbing) dan yang turun (social sinking). Gerak sosial vertikal yang naik mempunyai
dua bentuk utama, yaitu:
a. Masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan
yang lebih tinggi, di mana kedudukan tersebut telah ada.
b. Pembentukan suatu kelompok baru, yang kemudian ditempatkan pada derajat yang lebih
tinggi dari kedudukan individu-individu pembentuk kelompok tersebut.
Gerak sosial vertikal yang menurun mempunyai dua bentuk utama, yaitu:
a. Turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah sederajatnya, dan
b. Turunnya derajat sekelompok individu yang dapat berupa disintegrasi kelompok sebagai
kesatuan.
Prinsip-prinsip umum yang sangat penting bagi gerak sosial vertikal menurut Pitirim
A. Sorokin sebagaimana dikutip oleh Soekanto adalah sebagai berikut:
a. Hampir tak ada masyarakat yang sifat sistem lapisannya mutlak tertutup, di mana sama
sekali tak ada gerak sosial yang vertikal. Suatu contoh adalah masyarakat berkasta di
India.
b. Betapapun terbukanya sistem lapisan dalam suatu masyarakat, tak mungkin gerak sosial
yang vertikal dilakukan dengan sebebas-bebasnya.
c. Gerak sosial vertikal yang umum berlaku bagi semua masyarakat tak ada. Setiap
masyarakat mempunyai ciri-ciri sendiri bagi gerak sosialnya yang vertikal
d. Laju gerak sosial vertikal yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik serta
pekerjaan berbeda.
e. Berdasarkan bahan-bahan sejarah, khususnya dalam gerak sosial vertikal yang disebabkan
faktor-faktor ekonomis, politik, dan pekerjaan, tak ada kecenderungan yang kontinu
perihal bertambahnya atau berkurangnya laju gerak sosial. Hal ini berlaku bagi suatu
negara, lembaga sosial yang besar, dan juga bagi sejarah manusia (2009:222).
Menurut Pitirim A. Sorokin, sebagaimana dikutip oleh Soekanto, gerak sosial vertikal
mempunyai saluran-saluran dalam masyarakat. Proses gerak sosial vertikal melalui saluran
tadi disebut social circulation. Saluran yang terpenting adalah angkatan bersenjata, lembaga
keagamaan, sekolah, organisasi politik, ekonomi, dan keahlian (2009:222).
Angkatan bersenjata memainkan peranan penting dalam masyarakat dengan sistem
militerisme, atau yang berada dalam keadaan perang baik perang melawan musuh dari luar
maupun perang saudara. Dalam keadaan perang misalnya, suatu negara tentu akan
menghendaki dan berusaha agar keluar sebagai pemenang. Jasa seorang prajurit, tanpa
memerhatikan kedudukannya (status), akan dihargai tinggi oleh masyarakat.
Lembaga keagamaan merupakan salah satu saluran penting dalam gerak sosial
vertikal. Setiap ajaran agama menganggap bahwa manusia mempunyai kedudukan sederajat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemuka-pemuka agama bekerjakeras untuk menaikkan
kedudukan orang-orang dari lapisan rendah dalam masyarakat. Lembaga pendidikan seperti
sekolah, pada umumnya merupakan saluran kongkret gerak sosial yang vertikal, bahkan
sekolah-sekolah dapat dianggap sebagai social elevator yang bergerak dari kedudukan-
kedudukan yang paling rendah ke kedudukan yang paling tinggi.
Organisasi politik seperti partai politik dapat memberi peluang besar bagi para
anggotanya untuk naik dalam pertanggaan kedudukan. Apalagi bila ia mempunyai
kemampuan beragitasi, berorganisasi, dan sebagainya. Pada masyarakat yang demokratis di
mana lembaga pemilihan umum memegang peranan penting dalam pembentukan
kepemimpinan, organisasi-organisasi politik mempunyai peranan yang sama, walaupun
dalam bentuk yang lain.

B. RANGKUMAN
Kehidupan masyarakat beserta segala aspeknya merupakan suatu sistem. Didalamnya
terdapat berbagai unsur yang satu dengan yang lain saling terhubung, berinteraksi dan
ketergantungan. Terdapat beberapa fungsi dalam sistem sosial yang menjadikan berbagai
aktivitas dalam masyarakat berjalan dengan semestinya. Warga masyarakat juga tersusun
dalam struktur yang membedakannya baik secara horisontal maupun secara vertikal.
Kanekaragaman anggota atau warga masyarakat telah memberikan warna dan suasana yang
menjadikan kehidupan masyarakat dan dunia pada umumnya menjadi menarik. Kehidupan
masyarakat juga ditandai oleh adanya gerak sosial yang dalam realitanya telah melahirkan
aneka macam aktivitas yang beraneka ragam

C. REFERENSI
Herimanto dan Winarno. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta:Bumi Aksara
Hertati dkk. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Universitas Terbuka
Keller, Suzanne. 1995. Penguasadan Kelompok Elit. Peranan Elit Penentu Dalam Masyarakat
Modern. (Penerjemah: Zahara D. Noer). Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Lauer, Robert H.1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial (Penerjemah : Alimandan).
Jakarta : PT Rineka Cipta
Maran, Rafael Raja. 2000. Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Narwoko dan Bagong Suyanto, 2004. Sosiologi. Teks Pengantar dan Terapan.Jakarta :
Prenanda Media.
Poloma, Margaret M.1994. Sosiologi Kontemporer (Penerjemah : Yasogama). Jakarta : PT
RajaGafindo Persada.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai