Anda di halaman 1dari 17

1

Studi Tentang Konsep Diri Orang Toraja,


Perspektif Psikologi Kebudayaan

1
Syurawasti Muhiddin, 2Achmad Zuharyadi S.,
3
Firdhan Achmadan, 4Ilham Awaluddin

1,2,3,4
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konsep diri orang Toraja, termasuk
juga mengetahui pergeseran-pergeseran konsepsi kebudayaan yang berkaitan dengan
diri orang Toraja. Suku Toraja merupakan suku di Sulawesi Selatan yang dikenal masih
mempertahankan kepercayaan agama setempat, yaitu Aluk To Dolo, yang menjadi salah
satu dimensi pembentukan identitas suku Toraja. Penelitian ini merupakan penelitian
deksriptif kualitatif dengan jumlah 8 subjek yang merupakan orang Toraja. Subjek
dibedakan atas tiga kelompok, yaitu mahasiswa (4 orang), masyarakat awam (2 orang)
dan ahli budaya (2 orang). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Konsep I dan me
tetap ada pada diri Orang Toraja. The-I-self dan the-me-self berhubungan, yang mana
me mendominasi sisi I. Menjadi orang Toraja yang sesungguhnya seyogianya memiliki
empat karakter yaitu Sugi, Barani, Manarang, Kinawa. Keempat karakter itu didominasi
oleh pemikiran tentang dirinya sebagai orang Toraja (me), yaitu tentang status
keturunan, warisan, harta kekayaan, status sosial, dan upacara adat. Orang Toraja juga
direpresentasikan dari eksistensi fungsi tongkonan keluarganya dan ekstensi kelompok
Saroang. Orang Toraja juga menganut perspektif us dilihat dari pelaksanaan ritual adat
rambu solo secara bersama dan nilai kebersamaan yang dijunjung tinggi. Saat ini telah
terjadi beberapa pergeseran yang berkaitan dengan diri orang Toraja dalam hal
pelaksanaan ritual adat, khususnya Rambu Solo.
Kata Kunci: Konsep diri, Orang Toraja, pergeseran

Pendahuluan

Budaya adalah seperangkat sikap, perilaku, dan simbol-simbol yang dimiliki secara
bersama oleh orang-orang dan biasanya disosialisasikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya (Shiraev & Levy (Sarwono, 2014). Kebudayaan merupakan pemahaman
tentang dunia (Sarwono, 2014). Kebudayaan adalah software (program) dalam pikiran
yang bersifat kolektif dan membedakan anggota dari satu kategori masyarakat dengan
kategori masyarakat lainnya (Hofstede, 2005.). Kebudayaan berwujud elemen objektif
(misalnya peralatan, bahasa, rumah) dan elemen subjektif (norma, kepercayaan, nilai).
Jika ditelaah secara lebih dalam, pada dasarnya kebudayaan adalah elemen subjektif
2

seperti nilai, norma, kepercayaan. Namun hal yang tampak di luar diantaranya adalah
bahasa, artifak dan tingkah laku.
Salah satu konsekuensi dari adanya budaya yang berbeda di berbagai kategori
masyarakat adalah pandangannya tentang self. Pada istilah yang umum, istilah self
seringkali merujuk pada pemaknaan atau perasaan bahwa sesuatu itu adalah “tentang
saya” atau “tentang kita”. Refleksi tentang diri seseorang meliputi dua hal yaitu
aktivitas umum dan pencapaian mentalnya. Hal ini menunjukkan “I” dan juga ada yang
dapat dipertimbangkan sebagai objek, yaitu “me”. Istilah self meliputi keduanya yaitu
sebagai aktor yang berpikir (saya berpikir-I am thinking) dan objek pemikiran (tentang
saya- about me) (Oyserman, Elmore, & Smith, 2012).
Teori tentang self diperkenalkan oleh William James (1890) bahwa self merupakan
dua aspek berbeda yang saling berkaitan secara dekat. James (1890) membedakan self
sebagai subjek (the I-self) dan sebagai objek (the Me-self). Diri sebagai subjek (the I-
self) adalah "diri" sebagai aktor atau yang mengetahui (the self as knower).
Sementara diri sebagai objek (the Me-Self) adalah diri sebagai objek atau yang diketahi
(the self as known). Jadi, the me-self adalah pengetahuan seseorang yang secara
empiris dan objektif diketahui.
James (Fischer, 1999) juga mengidentifikasi fitur dari “I” dan “me”. Komponen “I”
meliputi (1) self-awareness, yaitu kesadaran terhadap kondisi internal, kebutuhan,
pikiran-pikiran, dan emosi seseorang; (2) self-agency, suatu perasaan (sense) menguasi
pikiran dan tindakan; (3) self-continuity, perasaan bahwa seseorang tetap menjadi orang
yang sama sepanjang waktu; (4) self-coherence, yaitu perasaan stabil tentang diri
sebagai tunggal, koheren, dan wujud yang terbatas.
James (1980) membagi “me” menjadi 4 komponen yaitu the material self, the
social self, dan the spiritual self. Hal-hal yang termasuk dalam the material self adalah
penampilan tubuh, pakaian yang dikenakan, keluarga dekat dan rumah. Semua hal ini
adalah objek yang dijadikan kecenderungan secara instingtif berpasangan dengan minat
seseorang. The social self adalah rekognisi yang didapatkan dari orang lain. James
(1980) mengemukakan bahwa manusia memiliki kecenderungan bawaan untuk
membuat dirinya diperhatikan khususnya diperhatikan dengan baik oleh orang lain.
Tidak adalah hukuman yang dianggap lebih parah bahkan lebih dari hukuman fisik
dibandingkan dengan tidak diperhatikan sama sekali oleh anggota masyarakat. The
3

spiritual self merujuk pada bagian terdalam manusia, kesatuan kesadaran, disposisi
psikis, diterima secara nyata, tidak hanya prinsip kesatuan personal atau disebut pure
ego. Disposisi psikis adalah bagian diri yang paling intim dan kronik, yang mana
seseorang paling sering terlihat. Kesatuan kesadaran ini pada satu waktu dapat menjadi
objek terhadap “pikiranku ” (I) dan pada waktu lain dimunculkan sebagai emosi oleh
bagian Me. Ketika berpikir tentang diri sebagai pemikir, semua bahan Me terlihat
sebagai proses eksternal. Bagian paling inti dari self menjadi perlindungan diri, yaitu
perasaan aktivitas yang mana proses internal tertentu ada.
Ahli psikologi kebudayaan sampai saat ini berfokus pada perbedaan antar
masyarakat dalam memaknai “me” dan “us” sebagai asepk dari self. Misalnya saja
penemuannya bahwa orang Amerika cenderung mengambil perspektif “me”
dibandingkan orang Asia Timur (Markus & Kitayama (Oyserman, Elmore, & Smith,
2012). Berlawanan dengan ide tersebut, para peneliti identitas sosial menunjukkan
bahwa apapun perspektif yang diambil, baik itu “me” atau “us”, itu bukanlah ditentukan
oleh budaya tetapi dipengaruhi oleh konteks. Namun, pendekatan yang lebih situasional
secara empiris menunjukkan bahwa konteks memiliki pengaruh yang kecil dalam
kecenderungan perspektif “me” atau “us” oleh orang Amerika dan Asia Timur.
Penggunaan perspektif “me” dan atau “us” memengaruhi persepsi dan prosedur mental
secara lebih umum, yang kemudian dikenal dengan istilah konsep diri (self-concept).
Konsep diri adalah struktur kognitif yang dapat meliputi isi, sikap, atau penilaian
evaluatif. Konsep diri digunakan untuk memaknai dunia, menfokuskan perhatian pada
tujuan seseorang dan melindungi nilai atau harga mendasar bagi seseorang (Oyserman
& Markus (Oyserman, Elmore, & Smith, 2012). Dengan demikian, jika self adalah “I”
yang berpikir dan “me” yang menjadi konten dari pikiran itu, maka hal yang penting
dalam bagian ini adalah konten “me” meliputi konsep atau gagasan mental dari
seseorang, tentang apa dan bagaimana dia sekarang, telah dan akan menjadi. Konsep
mental ini adalah konten dari konsep diri.
Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah yang memiliki kebudayaan yang
dianggap unik yang berasal dari kebudayaan Toraja. Suku Toraja adalah suku yang
menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya
diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 diantaranya masih tinggal di
Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Suku Toraja
4

memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok
etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku
Toraja yang tinggal di daerah dataran tinggi dikenali berdasarkan desa mereka dan tidak
beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan
hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan
berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi (Wikipedia, 2015).
Toraja pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk
penduduk dataran tinggi. Kata Toraja berasal dari bahasa Bugis, yaitu to riaja, yang
berarti orang yang berdiam di negeri atas. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku
ini Toraja pada tahun 1909. Pada awalnya Toraja lebih banyak memiliki hubungan
perdagangan dengan orang luar, seperti suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar
yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi, dari pada dengan sesama
suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja
memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama
ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja (Wikipedia, 2015).
Adams (2006) mengemukakan bahwa Toraja memiliki tiga dimensi dalam
pembentukan identitas. Pertama, identitas berasal dari tradisi indigenous. Kedua,
identitas yang berakar pada ajaran Kristen. Ketiga dari peningakatan keterikatan dengan
dunia nasional dan internasional. Dasar-dasar pembentukan identitas Toraja adalah
keluarga dan warisan yang berhubungan dengan leluhur, Kristianitas, kekayaan dan
status lokal, serta tren dan pergerakan global seperti turisme. Masyarakat Toraja secara
hierarkis berorientasi pada gengsi, silsilah keturunan, kekayaan, usia dan pekerjaan
(Adams, 2006). Identitas tersebut pada dasarnya dapat memengaruhi “self” orang Toraja
sebagai Individu. Toraja sebagai suatu etnis tentunya memiliki konsep kebudayaan.
Konsep tersebut dapat memengaruhi pembentukan “self” orang Toraja.
Salah satu hal yang menandai konsep budaya Toraja adalah Upacara Kematian.
Pembicaraan tentang orang Toraja tidak dapat dilepaskan dari Upacara yang disebut
Rambu Solo. Upacara ini masih merupakan warisan kepercayaan setempat, yaitu Aluk
To Dolo. Rambu solo’ merupakan sebuah upacara pemakaman secara adat yang
mewajibkan keluarga almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan
terakhir pada mendiang yang telah pergi. Upacara ini sering juga disebut upacara
penyempurnaan kematian. Manusia yang meninggal baru dianggap benar-benar
5

meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka manusia yang
meninggal tersebut hanya dianggap sebagai manusia “sakit” atau “lemah”, sehingga dia
tetap diperlakukan seperti halnya manusia hidup.
Masyarakat Toraja menganggap upacara ini sangat penting, karena kesempurnaan
upacara ini akan menentukan posisi arwah manusia yang meninggal tersebut. Apakah
dia akan menjadi arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to
membali puang), atau menjadi dewa pelindung (Deata). Dalam konteks ini, upacara
Rambu Solo’ menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat
Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada manusia tua
mereka yang meninggal dunia.
Kewajiban melaksanakan upacara ini menjadi suatu beban tersendiri bagi
masyarakat Toraja. Apalagi jika upacara ini menuntut biaya yang tinggi. Bagi mereka
yang berkecukupan, pelaksanaannya bukanlah menjadi persoalan. Namun, bagi mereka
yang kurang berkecukupan dalam hal materi maka pelaksanaannya menjadi persoalan.
Marwing (2011) mengemukakan bahwa keputusan melaksanakan Rambu Solo
membuat para pelaku menghadapi dampak langsung dan dampak tidak langsung dari
beban keuangan Rambu Solo. Beban keuangan Rambu Solo menjadi stresor tersendiri
bagi pelaksana Rambu Solo yang dapa menimbulkan stres, ketakutan , kecemasan dan
depresi ringan. Meskipun demikian, orang Toraja ini tetap melaksanakan Rambu Solo.
Terdapat berbagai faktor psikologis yang mendorong pelaksanaan Rambu Solo ini.
Marwing (2011) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mendorong pelaksanaan
upacara Rambu Solo merupakan upaya individu untuk memenuhi kebutuhan dasar
dalam dirinya, yaitu kebutuhan untuk survive, love and belonging, power, dan freedom.
Jika hal itu menyangkut power dan survive, maka bisa saja pihak-pihak pelaksana
Rambu Solo ini dapat merasa gengsi apabila tidak melaksanakannya, terutama jika dia
termasuk bangsawan Toraja. Berdasarkan faktor tersebut maka dapat dikatakan bahwa
pelaksanaan Rambu Solo ada kaitannya dengan self orang Toraja.
Dinamika psikologis pelaku upacara Rambu Solo sangat kompleks, sebagai pilihan
dari proses internal, beban keuangan rambu solo dinilai subjek sebagai konsekuensi dan
untuk itu mereka berupaya mencari kebutuhan-kebutuhan yang sama atau berbeda yang
adekuat atas pemenuhan kebutuhan dasar dalam dirinya. Upaya ini dapat terwujud
sebagai upaya mencari kekayaan yang sebanyak-banyaknya dalam hidupnya serta
6

mengejar pekerjaan serta kedudukan yang dapat memberikan materi yang banyak.
Dengan kenyataan di atas, muncullah anggapan umum bahwa orang Toraja adalah
seseorang yang mengejar kekayaan semata dalam hidupnya. Selain itu, menjadi orang
Toraja adalah tentang status sosial berdasarkan kekayaaan, pekerjaan dan tingkat
pendidikan.
Hal di atas mengindikasikan adanya pergeseran pemaknaan terhadap suatu konsep
budaya dan pergeseran ini kemungkinan akan memengaruhi self orang Toraja. Untuk
itu, penting memahami cara orang Toraja memahami dirinya. Dengan perkataan lain
diperlukan kajian untuk memahami konsep diri orang Toraja. Kajian tentang konsep diri
orang Toraja akan memberikan gambaran mengenai self orang Toraja yang
sesungguhnya. Oleh sebab itu, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
konsep diri orang Toraja, termasuk mengetahui pergeseran-pergeseran konsepsi
kebudayaan yang berkaitan dengan diri orang Toraja. Tulisan ini diharapkan mampu
memberikan kontribusi terhadap pengembangan kajian self berbasis kebudayaan yang
pada gilirannya dapat memberikan implikasi pada intervensi untuk pengembangan
masyarakat Toraja. Tulisan ini juga diharapkan dapat memunculkan riset-riset terkait
konsep diri Orang Toraja.

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan bentuk


penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bermaksud untuk
membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian pada
suatu subjek atau daerah tertentu (Suryabrata, 2011). Pendekatan kualitatif digunakan
karena penelitian lebih bersifat mengeksplorasi daripada mengkonfirmasi suau konsep
atau teori. Jumlah subjek yang digunakan juga tidak banyak (Kountur, 2007).
Subjek atau informan dalam penelitian ini dibagi kedalam tiga kelompok.
Kelompok tersebut adalah ahli budaya sebanyak dua orang, masyarakat awam sebanyak
2 orang dan remaja (mahasiswa) sebanyak 4 orang. Dengan demikian jumlah subjek
adalah 8 orang. Metode pemilihan subjek dilakukan dengan teknik purposive sampling.
Persyaratan sampel dalam penelitian ini adalah memenuhi kriteria pada setiap
kelompoknya. Kelompok ahli budaya adalah mereka yang telah melakukan kajian dan
penelitian terkait dengan budaya toraja. Kelompok masyarakat adalah mereka yang lahir
7

di Toraja dan pernah tinggal di Toraja serta saat ini hidup secara kolektif dengan
masyarakat Toraja lainnya di Makassar. Kelompok remaja adalah mereka yang
tergolong remaja akhir (akan memasuki dewasa awal), yang berusia antara 19 – 22
tahun.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertanyaan wawancara.
Pertanyaan wawancara berupa daftar pertanyaan terbuka (terbuka). Penyusunan daftar
pertanyaan ini didasarkan pada konsep budaya toraja yang berkaitan dengan isu self.
Data yang diperoleh dari penelitian ini kemudian dianalisis dengan menggunakan model
analisis kualitatif.

Pembahasan

Pembahasan mengenai konsep diri seseorang dapat dikaitkan dengan


pemahamannya terkait dengan identitas masyarakat atau kelompoknya. Apalagi jika
masyarakat atau kelompok tersebut menganut perspektif “us”. Adams (2006)
mengemukakan bahwa Toraja memiliki tiga dimensi dalam pembentukan identitas.
Pertama, identitas yang berasal dari tradisi indigenous. Kedua, identitas yang berakar
pada ajaran Kristen. Ketiga, identitas dari peningakatan keterikatan dengan dunia
nasional dan internasional. Identitas tersebut pada dasarnya dapat memengaruhi orang
Toraja sebagai Individu.
Dari hasil wawancara dengan para ahli, telah diketahui bahwa orang Toraja
mewarisi dua hal yaitu kekayaan dan utang adat/budaya. Adat di Toraja masih kental
dipengaruhi oleh kepercayaan indigenous, yaitu Aluk To Dolo yang dipengaruhi oleh
ajaran-ajaran hidup Konfusius dan agama Hindu. Hal ini sejalan dengan pandangan
masyarakat dan remaja Toraja bahwa orang Toraja adalah orang yang menjaga
kebudayaan indigenous mereka (tradisi Aluk To Dolo). Jika ritual adat seperti upacara
Rambu Tuka dan Rambu Solo sudah tidak dilaksanakan, maka saat itu tidak ada lagi
orang Toraja. Bahkan, ketika masyarakat telah menganut agama modern, beberapa
ritual-ritual Aluk masih dilaksanakan meskipun sudah tidak sepenuhnya sesuai dengan
Aluk to Dolo yang asli.
Dalam kepercayaan Aluk to Dolo, Kehidupan orang Toraja adalah suatu siklus,
dimulai dari lahir sampai mati dan menuju kepada tempat yang layak di surga. Dengan
demikian, falsafah hidup orang Toraja adalah hidup membutuhkan mati. Selain itu,
8

pandangan tentang berkembangnya Toraja banyak dipengaruhi oleh dua hal yaitu mistis
dan sejarahnya sendiri. Dari pandangan mistis, orang Toraja berasal dari To Manurung.
Dalam mitos yang diketahui, hubungan antara Puang Matoa dan To Manurung rusak
dikarenakan ulah manusia yang melanggar. Oleh karena itu, untuk menghubungkan
kembali maka orang Toraja perlu melakukan “Marapai” agar arwah orang yang
meninggal bisa sampai ke surga. Tidak semua orang bisa melakukan Marapai. Untuk
bisa mengatasi hal ini maka pelaksanaan upacara kematian didasarkan pada kasta-kasta
dalam masyarakat. Hal ini juga yang menjadi dasar upacara kematian yang banyak
diusahakan untuk dilakukan oleh masyarakat Toraja. Jika falsafah hidup orang Toraja
adalah hidup butuh mati maka sudah sewajarnnya mereka memberikan penghormatan
yang lebih atas kematian itu.
Ahli budaya Toraja mengemukakan bahwa untuk mengetahui orang Toraja maka
seseorang harus melihat fungsi tongkonan keluarganya. Tongkonan yang dilihat sebagai
rumah hanya sebagai simbol saja. Tongkonan berasal dari kata Tongkon yang artinya
duduk. Namun, maknanya adalah tempat berkumpul, bermusyawarah untuk
menyelesaikan sesuatu. Dari hal ini, dapat diketahui bahwa orang Toraja menjunjung
tinggi nilai kebersamaan dan musyawarah. Tongkonan merupakan institusi sosial yang
memiliki falsafah-falsafah, termasuk karakter Orang Toraja yang diharapkan.
Tongkonan adalah sumber kehidupan orang Toraja. Ahli budaya Toraja
mengilustrasikannya dengan kalimat “manfaatkan sumur” dan “petik sayur-
sayurannya”.
Orang Toraja seyogianya memiliki falsafah hidup dari tongkonan yang terdiri dari
empat nilai yang saling berhubungan, yaitu sugi, barani, manarang dan kinawa. Sugi
berarti kaya, bukan hanya kaya materi, melainkan juga kaya gagasan/pengetahuan,
kebijaksanaan, keluarga, dan berbagai hal lainnya. Barani berarti berani, yaitu mau
berkorban, keberanian untuk berkata jujur atau berani dalam hal kebenaran,
bertanggung jawab, termasuk berani dalam mempertahankan prinsip hidup. Manarang
berarti cerdas. Namun cerdas dalam hal ini bukan berarti keunggulan intelegensi saja,
melainkan juga cerdas dalam bermasyarakat, bijaksana, mengetahui solusi dari masalah,
orang yang bisa berbagi dan ditempati bertanya, serta dapat mengatur diri. Kinawa
berarti rendah hati dan lemah-lembut, sopan, beretika, ramah dan tidak suka berbalas
dendam.
9

Dari hasil wawancara dengan masyarakat dan remaja diketahui juga bahwa ada
istilah yang mengalami pergeseran makna dalam aplikasinya, terutama Sugi yang
diartikan sebagai kaya secara material dan Barani yang diartikan jago secara fisik.
Selain itu, dari keempat hal yang seyogianya dimiliki oleh orang Toraja tersebut, Sugi
menjadi cenderung lebih menonjol sementara kinawa yang menjadi kurang ditunjukkan.
Seyogianya, keempat nilai falsafah tongkonan menjadi ukuran keberhasilan hidup.
Kenyataannya pada saat ini hanya kekayaan materi yang menjadi ukuran keberhasilan
hidup masyarakat Toraja. Bahkan yang hidup dalam kemiskinan dianggap sebagai
orang yang tidak diberkati. Meskipun demikian, keempat falsafah di atas masih
dipertahankan dalam kehidupan orang Toraja dan disosialisasikan melalui kegiatan adat
serta cerita turun-temurun dalam kegiatan penanaman rohani untuk anak-anak, yang
dikenal dengan Uleleang Pare.
Selain empat hal di atas, orang Toraja juga seyogianya mengetahui silsilah
keluarga. Salah satu tujuannya adalah untuk menanamkan keempat nilai falsafah
tongkonan dan untuk mempererat hubungan kekerabatan. Terdapat istilah untuk ahli
silsilah di Toraja yaitu Bidaah. Selain itu, adanya ahli silsilah keluarga ini bertujuan
untuk menjaga pemahaman keluarga tentang status keturunannya. Orang Toraja
merupakan orang yang sangat memerhatikan status keturunan. Status orang Toraja
tersebut merupakan ascribed status, yang sudah melekat pada dirinya sejak lahir. Pada
saat ini, ascribed status tersebut perlu diimbangi dengan achieved status untuk bisa
menunjukkan eksistensi dalam masyarakat.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa orang Toraja mewarisi utang adat. Terkait
dengan adat ini, orang Toraja termasuk orang yang mudah diprovokasi untuk
melakukan hal demi adat. Orang Toraja juga menyimpan gengsi kebudayaan yaitu
kewajiban membayar atau melaksanakan perintah-perintah budaya. Kalau tidak
melakukan berarti dia telah mengabaikan nilai-nilai dan adat atau ingkar budaya. Hal ini
termasuk juga ketika mau melaksanakan upacara kematian Rambu Solo.
Masyarakat Toraja termasuk tipe masyarakat kolektif. Individualisme tetap ada
tetapi individu tetap perlu tunduk pada kada rapa’ (yaitu apa yang sudah diputuskan
bersama). Dalam masyarakat Toraja, dikenal istilah Saroang. Saroang ini berupa
kelompok-kelompok masyarakat yang didasarkan pada status keturunannya. Saroang
ini sangat dipertimbangkan dalam keputusan-keputusan keluarga bahkan individu yang
10

tergabung dalam Saroang tersebut, terutama perihal keputusan pelaksanaan adat.


Semakin bagus eksistensi Saroang orang Toraja maka dia dapat dipandang semakin
besar juga dalam masyarakatnya. Dengan demikian, representasi self orang Toraja,
khususnya self dalam artian kolektif (we/us), dapat dilihat dari eksistensi Saroang ini.
Di luar daerah Toraja banyak pula dibentuk kerukunan-kerukunan keluarga oleh orang
Toraja yang merantau. Hal ini dalam rangka memperkuat hubungan kekerabatan di luar
Toraja. Di luar Toraja, masyarakat Toraja dapat membentuk suatu wilayah atau daerah
sendiri yang mana mereka dapat hidup berdekatan.
Ketika berbicara mengenai self maka kita dapat memahaminya sebagai dua sisi
yaitu Aku /I dan diriku/me yang mana Aku sebagai sosok yang melihat diriku dan
diriku yang dilihat oleh Aku (James, 1890). I adalah reaksi spontan yang keluar dari
seseorang, sementara me adalah reaksi yang sudah ada pertimbangan-pertimbangan
norma (Mead, 1925). Pada istilah yang umum, istilah self seringkali merujuk pada
pemaknaan atau perasaan bahwa sesuatu itu adalah “tentang saya” atau “tentang kita”.
Refleksi tentang diri seseorang meliputi dua hal yaitu aktivitas umum dan pencapaian
mentalnya. Hal ini menunjukkan “I” dan juga ada yang dapat dipertimbangkan sebagai
objek, yaitu “me”. Istilah self meliputi keduanya yaitu sebagai aktor yang berpikir (saya
berpikir-I am thinking) dan objek pemikiran (tentang saya- about me) (Oyserman,
Elmore, & Smith, 2012).
Dari gambaran di atas, dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang perlu dimiliki
oleh Toraja. Dengan kata lain, berbicara mengenai orang Toraja maka akan dikaitkan
dengan beberapa hal seperti kewajiban adat serta silsilah keturunan yang berhubungan
dengan statusnya. Hal ini adalah pemikiran tentang orang Toraja yang akan
memengaruhi bagaimana orang Toraja memaknai dirinya (me). Falsafah tongkonan
kemungkinan akan memberikan petunjuk tentang bagaimana seyogianya orang Toraja
yang spontan (I), yaitu Sugi na Barani serta Manarang na Kinawa. Namun, tentunya
pandangan tentang hal itu juga tidak terlepas dari bagaimana orang Toraja secara sosial.
Dengan demikian, dalam hubungan I dan me nampaknya self orang Toraja didominasi
oleh sisi me, sehingga me (pemikiran tentang diri, diriku yang dilihat oleh Aku) lebih
menutupi I (saya yang berpikir, Aku yang melihat diriku itu). Misalnya saja dapat
dilihat pada beberapa hal. Orang Toraja akan mengupayakan dirinya melakukan ritual-
ritual adat agar tidak dipandang sebagai orang yang ingkar budaya. Orang Toraja perlu
11

untuk mempertimbangkan pendapat Saroang untuk keputusan pelaksanaan adat. Orang


Toraja adalah orang yang dituntut untuk pintar dan kaya karena hal itu akan
menunjangnya untuk melakukan ritual adat dan akan mendapatkan kedudukan yang
baik di masyarakat.
Orang Toraja juga lebih cenderung menggunakan perspektif us. Sebagaimana
masyarakat kolektif pada umumnya. Penggunaan perspektif “me” dan atau “us”
memengaruhi persepsi dan prosedur mental secara lebih umum, yang kemudian dikenal
dengan istilah konsep diri (self-concept). Orang Toraja sangatlah menghargai sistem
kekerabatan dan kebersamaan. Tongkonan pun dimaknai sebagai suatu tempat duduk
bersama. Perspektif us ini diperkuat dengan kewajiban melaksanakan adat. Pelaksanaan
adat akan lebih mudah dengan bantuan keluarga besar di kampung. Pada dasarnya,
pelaksanaan adat seperti Rambu Solo memang akan melibatkan banyak orang.
Dikatakan juga bahwa eksistensi orang Toraja dapat dilihat dari Saroang keluarganya.
Dari hasil wawancara masyarakat dan remaja, ada nilai kebersamaan yang
mengalami pergeseran. Nilai tolong menolong secara sukarela keluarga yang
seyogianya dimunculkan dalam pelaksanaan ritual adat menjadi nilai ekonomi..
Seyogianya, sumbangan dukacita yang dibawa oleh keluarga dan tamu dianggap
sebagai bentuk belasungkawa terhadap keluarga yang ditinggal. Kenyatannya,
sumbangan dukacita yang diberikan kepada keluarga berduka dimaksudkan untuk
membayar utang dan menjaga dan meningkatkan harga diri. Hal ini dapat melahirkan
gengsi baru yang lebih bersifat sosial. Pada dasarnya, dikatakan oleh ahli bahwa sesuatu
yang dibawa pada upacara Rambu Solo memang tidak bisa dibawa secara gratis dan
orang yang diberikan tersebut memiliki tanggung jawab moral untuk
mengembalikannya. Meskipun demikian, hal ini tetap dapat mendorong diri orang
Toraja untuk berupaya mengembalikannya dalam kondisi terpaksa. Hal ini ada
kaitannya dengan konsep diri orang Toraja.
Gengsi secara sosial dapat digambarkan dalam pelaksanaan Rambu Solo. Dalam
pelaksanaan Rambu Solo, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang berlaku berdasarkan
kasta sosial, misalnya batas pemotongan kerbau. Pada kenyataannya, saat ini hal
tersebut terkadang tidak menjadi perhatian. Ada keluarga yang bukan kasta bangsawan
tetapi memotong kerbau sesuai dengan jumlah yang harus dipotong oleh Bangsawan
12

karena keluarga itu mampu secara materi dan mereka memiliki relasi yang luas
dikarenakan jabatan dan tingkat pendidikannya tinggi.
Identitas orang Toraja selalu dikaitkan dengan Rambu Solo sebagaimana yang
mahasiswa atau remaja Toraja sampaikan. Rambu Solo merupakan salah satu ritual adat
yang merupakan bagian dari kepercayaan Aluk To Dolo. Pergeseran makna Sugi
menjadi kaya secara material adalah salah satu implikasi dari adanya gengsi budaya dan
gengsi sosial untuk melaksanakan Rambu Solo. Ahli yang telah diwawancarai
mengemukakan bahwa saat ini Rambu Solo mengalami pergeseran karena penetapan
harga-harga kerbau yang tidak masuk akal. Adanya kepercayaan bahwa Kerbau adalah
kendaraan menuju Surga menjadi pemicu tersendiri bagi penganut Aluk To Dolo,
bahkan yang sudah mulai meninggalkan kepercayaan itu. Jika tidak melaksanakan
Rambu Solo maka keluarga (orang tuanya) tidak akan tenang dan bisa menjadi
gentayangan. Orang tuanya itu bisa kembali untuk mengganggu kehidupan anak-
anaknya atau keturunannya. Jika Rambu Solo dilaksanakan maka hal itu akan menjadi
berkah tersendiri bagi orang tuanya. Rambu Solo seyogianya merupakan upcara adat
bagi orang Toraja yang dijadikan sebagai bentuk bakti anak kepada orangtua dan
pengikat tali silaturahmi bagi keluarga yang lainnya. Pada kenyataannya saat ini,
upacara rambu solo mulai dijadikan sebagai ajang mencari prestise dan sebagiannya
memaknai sebagai bentuk membayar utang dari generasi dahulu.
Pembahasan mengenai I dan me orang Toraja telah dipaparkan sebelumnya dan
tampak bahwa sisi me menjadi dominan dalam hubungan I dan me. Konfigurasi self
orang Toraja lebih menekankan pada pikiran tentang dirinya yang diketahui (known),
yaitu me. James (1890) membagi me menjadi tiga bagian, yaitu social me, material me
dan spiritual me. Bagi orang Toraja, material me meliputi kekayaan, warisan budaya,
dan silsilah keturunan. Social me orang toraja adalah orang Toraja yang bersifat kolektif
dan sangat memerhatikan sistem kekeluargaan serta menjunjung tinggi adat. Ketika
orang Toraja tidak melaksanakan Rambu Solo maka mereka akan mendapatkan sanksi
sosial berupa pengucilan dan tentunya hal itu akan dapat menganggu social me dan
kemudian dapat berdampak pada the-I-self orang Toraja. Spiritual me orang Toraja
tidak sepenuhnya dapat diketahui melalui penenelitian ini. Namun kemungkinan bahwa
spiritual me orang Toraja mendapatkan pengaruh dari sistem kepercayaan Aluk To
13

Dolo dan Kristen. Upaya orang Toraja mempertahankan ritual Rambu Solo dapat
menjadi salah satu bentuk representasi dari spiritual me orang Toraja.
Dalam studi ini juga, gambaran I orang Toraja belum begitu tergali. Hal ini menjadi
limitasi dari studi ini. Namun secara umum dapat dilihat bahwa I orang Toraja
didominasi oleh Me. Adanya kecemasan, ketakutan dan stres yang dialami oleh orang
Toraja dalam pelaksanaan Rambu Solo menunjukkan adanya hal tersebut. Adanya rasa
gengsi juga menunjukkan hal ini. Stres, cemas, dan takut, serta gengsi dapat
menunjukkan sense of self awareness dan self agency yang kurang. Dalam menghadapi
beban keuangan rambu solo sebagai stresor, strategi coping yang dilakukan para pelaku,
utamanya pelaku upacara rambu solo, cenderung mengalami penurunan secara bertahap
dari coping berfokus pada masalah kemudian beralih pada coping berfokus pada emosi
dan dari coping adaptif beralih pada coping maladaptif (Marwing, 2011). Hal ini dapat
menunjukkan sense of the I-self yang rendah.
Meskipun demikian beberapa ahli mengatakan bahwa adanya kewajiban adat,
khususnya Rambu Solo ini menjadi motivasi tersendiri bagi orang Toraja untuk
berjuang. Dari wawancara dengan ahli diketahui bahwa belum ada orang Toraja yang
bangkrut karena Rambu Solo. Dari wawancara dengan mahasiswa diketahui bahwa
bahwa rata-rata orang Toraja yang kaya secara material berada di bagian Toraja Utara
yang mana adat masih sangat dipertimbangkan. Dapat diketahui bahwa adat
memberikan dampak positif kepada orang Toraja untuk berjuang. Hal ini dapat
menunjukkan bahwa the I self orang Toraja tetap muncul untuk menentukan orang
Toraja menjadi orang Toraja sebagaimana mestinya. Orang Toraja yang berjuang (I-
self) karena dipengaruhi oleh material me, social me dan spiritual me dapat
menunjukkan bahwa I dan me adalah dua sisi self yang tetap berinteraksi satu sama lain
secara kuat (James, 1890).
Brewer dan Gardiner (1996) mengemukakan tiga bentuk diri yang menjadi dasar
bagi seseorang dalam mendefinisikan dirinya. Tiga bentuk tersebut sama-sama eksis
dalam diri seseorang. Tiga bentuk tersebut adalah 1) Individual self, yaitu diri yang
didefinisikan berdasarkan trait pribadi yang membedakan dengan orang lain; 2)
Relational self, yaitu diri yang didefinisikan berdasarkan hubungan interpersonal yang
dimiliki dengan orang lain; serta 3) Collective self, yaitu diri didefinisikan berdasarkan
keanggotaan dalam suatu kelompok sosial. Jika dikaitkan dengan hasil penelitian ini
14

maka kebanyakan orang Toraja mendefinisikan dirinya (self) berdasarkan collective self
dan juga rational self. Untuk mendefinisikan individual self tentunya akan bergantung
pada individu masing-masing. Peran the-I-self akan cenderung lebih besar dalam
mendefinisikan individual self. Hal ini yang perlu ditindaklanjuti dalam penelitian
selanjutnya.
Gambaran Self orang Toraja dapat dilihat dalam bagan berikut.
Pandangan
Nasional dan
Kristianitas Interasional Aluk to Dolo

Orang Toraja (Collective Self)

Orang Toraja (Individual Self)

The I-self: The Me-self:


Self awareness Material me
Self agency Social Me
Spiritual Me

Self-Concept

- Kaya, berani, rendah hati, pintar


- Mengutamakan kekeluargaan
dan mufakat
- Menjunjung tinggi hubungan
kekerabatan dan silsilah
keturunan serta warisan budaya
- Menjunjung tinggi ritual adat
- Menjunjung tinggi status sosial
- Tongkonan
- Rambu Solo (Upacara Kematian)
15

Berikut ini tabel yang berisi gambaran the me-self dan the I –self orang Toraja
Material Me Social Me Spiritual Me I
Orang Toraja Orang Toraja Ada kemungkinan Orang Toraja
berorientasi pada sebagai orang yang dipengaruhi oleh terdorong untuk
silsilah keturunan bersifat kolektif, sistem kepercayaan bekerja keras
dan keluarga, menjunjung tinggi Aluk To Dolo dan menjadi orang
materi/kekayaan, nilai-nilai Kristianitas. yang berhasil
status sosial kebersamaan, dan cerdas
(jabatan dan tingkat kerukunan dan sehingga
pendidikan), serta permusyawarahan; memiliki
warisan (budaya) serta nilai-nilai dan kedudukan yang
ritual adat. baik dan harta
yang cukup

Kesimpulan dan Saran


Dari hasil studi pendahuluan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri Orang
Toraja tetap dipengaruhi oleh sistem kepercayaan Aluk To Dolo, terutama jika dikaitkan
dengan pelaksanaan Rambu Solo dan Falsafah Tongkonan. Berkaitan dengan self,
Interaksi kedua sisi self orang Toraja didominasi oleh the Me-Self. Seseorang dikatakan
menjadi manusia Toraja apabila mampu mengaplikasikan nilai-nilai falsafah Tongkonan
dalam kehidupannya (Sugi, Barani, Manarang dan Kinawa). Orang Toraja juga
direpresentasikan dari fungsi tongkonan keluarganya dan eksistensi Sarong
keluarganya. Orang Toraja juga menganut perspektif us dilihat dari pelaksanaan ritual
adat rambu solo dan nilai kebersamaan yang dijunjung tinggi. Orang Toraja juga
berorientasi pada silsilah keturunan.
Saat ini telah terjadi beberapa pergeseran yang berkaitan dengan konsep diri orang
Toraja. Orang Toraja yang seyogianya menjadikan falsafah tongkonan sebagai ukuran
keberhasilan hidup, kini lebih menitikberatkan kekayaan materi, status pendidikan dan
jabatan yang baik sebagai ukuran keberhasilan. Rambu Solo sebagai bagian dari konsep
diri orang Toraja juga telah mengalami pergeseran makna. Seyogianya Rambu Solo
adalah upacara penghormatan terakhir kepada orang Tua menjadi ajang mencari prestise
dan mempertahankan harga diri. Pemberian pada upacara Rambu Solo yang seyogianya
16

merupakan hadiah ataupun ucapan belasungkawa kini banyak dianggap sebagai hutang
yang harus dibayarkan kembali. Pergeseran ini berimplikasi pada diri Orang Toraja
yang menuntut dirinya untuk menjadi kaya secara materi.
Penelitian lebih lanjut terkait self orang Toraja disarankan dari penelitian ini.
Penelitian selanjutnya perlu memerhatikan subjek dan metode yang lebih baik untuk
memperoleh data yang lebih dalam dan bervariasi. Dengan demikian dapat
dikembangkan suatu konstruk tentang konsep diri Orang Toraja sebagai salah satu suku
lokal yang ada di Sulawesi Selatan dan Indonesia. Selain itu, gejala-gejala yang
ditemukan dari studi pendahuluan ini dapat ditindaklanjuti untuk diteliti secara lebih
dalam, misalnya beberapa pergeseran pandangan terkait dengan pelaksanaan upacara
Adat Rambu Solo.

Daftar Pustaka

Adams, K.M. (2006). Arts as Politics: Re-Crafting Identities, Tourism, and Power in
Tana Toraja, Indonesia. USA: University of Hawai‘i Press.
Brewer, M. B., & Gardner, W. (1996). Who is this "we"? Levels of collective identity
and self representations. Journal of Personality and Social Psychology, 71, 83-93.
Fischer, K.W. (1999). The Construction of the Self, A Developmental Perspective.
(Terjemahan). New York: The Guilford Press.
Hofstede, G., (2005). Cultures and Organizations, Software of the Mind. USA: Mc
Graw-Hill.
James, W. (1890). Principles of Psychology. Chicago: Encyclopedia Britannica
Marwing, A. (2011). Problem Psikologis dan Strategi Coping Pelaku Upacara Kematian
Rambu Solo’ di Toraja (Studi fenomenologi pada tana’ bulaan ). Psikoislamika, 8
(2), 209 – 229.
Mead, G.H. (1925). The genesis of the self and social control. International Journal of
Ethics, 35. 251 – 273.
17

Oyserman, D., Elmore, K. & Smith, K.G. (2012). Self, Self-Concept, and Identity. In
Leary, M.R., & Tangney, J.P (Eds.2), Handbook of Self and Identity (pp.69 –
104). New York: The Guilford Press.
Sarwono, W.S. (2014). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Wikipedia. (2015). Suku Toraja. Retrieved on September 8, 2015, from
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja#Sejarah

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai