Anda di halaman 1dari 4

A.

Hakikat Manusia
Menurut KBBI, hakikat berarti inti sari atau dasar, kenyataan yang sebenarnya atau
sesungguhnya. Maka dari itu, hakikat berarti inti dari sesuatu atau yang menjadi jiwa
sesuatu.
Menjadi makhluk bertanya, manusia memiliki keinginan untuk mengetahui segala
sesuatu. Manusia bertanya-tanya tentang banyak hal di luar dirinya karena hasrat untuk
tahu. Selama bertahun-tahun, manusia telah berusaha untuk mengetahui dirinya sendiri.
Hakikat manusia dikaji dengan berbagai cara atau pendekatan (common sense, ilmiah,
filosofis, religi) dan melalui berbagai sudut pandang (biologi, sosiologi,
antropobiologi, psikologi, politik).
Studi filsafat antropologi bertujuan untuk mengungkapkan konsep dan gagasan dasar
tentang manusia, menemukan sifat mendasar manusia, dan menemukan karakteristik yang
secara prinsipil (bukan gradual) membedakan manusia dari makhluk lain. Yang diantaranya
bertepatan dengan: (1) asal-usul keberadaan manusia, yang mempertanyakan apakah ber-
ada-nya manusia di dunia ini hanya kebetulan saja sebagai hasil evolusi atau hasil
ciptaan Tuhan?; (2) struktur metafisika manusia, apakah yang esensial dari manusia itu
badannya atau jiwanya atau badan dan jiwa; (3) berbagai karakteristik dan makna
eksistensi manusia di dunia, antara lain berkenaan dengan individualitas, sosialitas.
Berdasarkan apa yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian
hakikat manusia terdiri dari kumpulan ide dan konsep mendasar tentang manusia serta
tujuan eksistensi mereka di dunia ini. Pengertian hakikat manusia berkaitan dengan "prinsip
adanya" manusia; dengan kata lain, pengertian hakikat manusia terdiri dari kumpulan
konsep tentang "sesuatu yang olehnya" manusia memiliki karakteristik khas yang memiliki
sesuatu martabat khusus" (Louis Leahy, 1985). Aspek-aspek hakikat manusia termasuk
tentang asal-usulnya (misalnya, manusia sebagai makhluk Tuhan), struktur metafisikanya
(misalnya, manusia sebagai kesatuan badan-ruh), dan karakteristik dan makna eksistensi
manusia di dunia (misalnya, manusia sebagai individu, sosial, budaya, susila, dan
beragama).
B. Manusia Sebagai Makhluk Ciptaan Tuhan
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan Tuhan YME serta
memiliki kedudukan yang sama di hadapan-Nya. Kesempurnaan ini berasal dari peran dan
tugas mereka sebagai khalifah di dunia ini. Dalam kitab suci, berbagai istilah seperti Turab,
Thien, Shal-shal, dan Sualalah digunakan untuk menjelaskan bahwa manusia berasal dari
tanah.
Manusia memiliki kesadaran (consciousness) dan penyadaran diri (self-awareness).
Dengan adanya itu, manusia sadar akan keberadaannya dan mampu membedakan dirinya
dengan segala sesuatu. Tak hanya itu, manusia dianugerahi Tuhan akal budi dan hati nurani
sehingga mampu membedakan hal yang baik dan buruk, serta mampu membuat keputusan
untuk menentukan sikap dan perbuatannya.
Pada kenyataannya manusia cemas dan takut pada Tuhannya karena keterbatasan dan
ketidakberdayaannya, manusia tidak tahu apa-apa, sedangkan Tuhan semuanya tahu.
Manusia fana, sedangkan Tuhan abadi dan manusia merasakan kasih sayang Tuhannya,
tetapi mereka juga sadar akan siksaan-Nya yang mengerikan. Oleh karena itu, manusia
senantisa bersujud dan berserah diri kepada Tuhan dengan tujuan untuk memohon kebaikan
di masa depan dan menciptakan hubungan intim dengan sang pencipta.

C. Manusia Sebagai Makhluk Individu


Individu berasal dari bahasa latin individuum yang berarti tidak terpisah, tidak terbagi
antara jiwa dan raganya. Tak hanya terbatas pada kesatuan jiwa dan raga namun makhluk
individu sendiri berarti memiliki ciri khas dengan corak kepribadiannya sendiri. Manusia
yang sadar akan dirinya sendiri merupakan perwujudannya sebagai makhluk individu.
Sebagai individu, manusia memiliki perbedaan dengan manusia yang lainnya sehingga
bersifat unik dan merupakan subjek yang otonom.
Faktor yang dapat memengaruhi pertumbuhan manusia menjadi makhluk individu
diantaranya adalah: (1)Pandangan nativistik, yakni ditentukan oleh faktor-faktor lain yang
dibawa individu sejak lahir baik kemiripan dengan orang tua, bakat, maupun potensi;
(2)Pandangan empiristik, faktor pertumbuhan individu yang dilatarbelakangi oleh
lingkungan; (3)Pandangan konvergensi, yang didorong oleh interaksi dasar dan ligkungan
sekitar.
Sebagai makhluk individu tentunya manusia memiliki peranan untuk menjaga dan
mempertahankan harkat serta martabat yang dimilikinya. Selain itu, manusia berupaya
memenuh hak-hak dasar, merealisasikan potensi diri yang dimilikinya baik dari segi jasmani
dan rohani serta berupaya untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan diri demi
kesejahteraan hidupnya.
Manusia tidak dipandang sebagai objek, melainkan subjek. Hal ini dikarenakan
manusia mampu menempati posisi, berhadapan dan menghadapi, memikirkan, bebas
mengambil sikap dan tindakan atas tanggung jawabnya. Theo Huijbers menyatakan
bahwa "manusia mempunyai kesendirian yang ditunjukkan dengan kata pribadi"
(Soerjanto P. dan K. Bertens, 1983); adapun Iqbal menyatakannya dengan istilah
individualitas atau khudi(K.G. Syaiyidain, 1954).

D. Manusia Sebagai Makhluk Sosial


Dalam ajarannya, Aristoteles (384–322 SM), seorang ahli filsafat Yunani kuno,
menyatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, yang berarti bahwa manusia sebagai
makhluk selalu ingin bergaul dengan orang lain. Oleh karena itu, manusia disebut sebagai
makhluk sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial berarti manusia selalu hidup berdampingan dengan
manusia yang lain atau dengan masyarakat di sekitarnya. Hal ini tentunyab tidak tanpa
alasan, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan orang lain tentunya.
Bahkan dalam merealisasikan potensi yang dimilikinya manusia membutuhkan manusia lain
untuk hal tersebut, tidak hanya dirinya sendiri. Maka dari itu, terjadilah sebuah interaksi yang
memungkinkan manusia hidup berdampingan satu sama lain.
Individu dan masyarakatnya memiliki pengaruh timbal balik satu sama lain. Menurut
Ernst Cassirer, manusia tidak akan menemukan diri atau menyadari individualitas mereka
kecuali melalui pergaulan sosial. Theo Huijbers mengatakan bahwa orang lain
mempengaruhi dunia saya sehingga arti sebenarnya dari hidup saya bersama orang lain
(Soerjanto P. dan K. Bertens, 1983). Sebaliknya, pengaruh individu terhadap masyarakatnya
juga ada. Individu membentuk masyarakat, dan individu yang membangunnya menentukan
kemajuan atau kemunduran masyarakat tersebut.
Jadi, alasan konkrit mengapa manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa berdampingan
dengan manusia yang lain ialah karena kodratnya yang saling memenuhi kebutuhan dan
saling ketergantungan. Alasan tersebut dapat diterima oleh akal sehat semua manusia,
sehingga manusia tersebut benar-benar bermasyarakat.

E. Manusia Sebagai Makhluk yang Unik dan Multidimensi

Anda mungkin juga menyukai