Anda di halaman 1dari 5

RIVIEW PRESENTASI KELOMPOK 11-13 LINTAS BUDAYA

(Rabu, 30 November 2022)

Nama : Annisa Arsy Mara

Npm : 2031060021

Kelas : 5B Psikologi

Dosen Pengampu : Indah Dwi Izzati M. Psi

Kelompok 11

Linda Selvia sebagai moderator dan pemateri 1, Saskia titis pratiwi sebagai pemateri 2

“Kognisi Sebuah Kajian Lintas Budaya”

Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan
dari indra menjadi pengetahuan. Proses-proses ini mencakup persepsi, pemikiran rasional dan seterusnya.
Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan
dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008).

Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kategorisasi. Kategorisasi
dilakukan umumnya atas dasar persamaan dan perbedaan karakter dari obyek-obyek dimaksud. Selain itu
fungsi dari obyek juga merupakan deterministic utama inidari proses kategorisasi. Orang dengan latar
budaya manapun juga cenderung melakukan kategorisasi bentuk benda (shapes) dalam kerangka bentuk-
bentuk dasarnya, semacam, segitiga sama sisi, lingkaran, dan segi empat. Orang melakukan kategorisasi
berdasarkan kemiripan-kemiripan dan kemudian melekatkan label yaitu kata-kata untuk
mengelompokkan hal-hal yang kelihatan punya kemiripan. Dengan demikian, orang menciptakan
kategori-kategori dari hal-hal yang punya ciri-ciri tertentu. Misalnya, kursi bean-bag (kursi bantal), kursi
makanyang tegap dan kursi diruang teater punya kenampakan yang berbeda beda, tapi tergolong dalam
satu kategori dasar yang sama “kursi”, karena semua punya fungsi yang sama. Dibudaya Barat, kalau
orang mengatakan “itu sebuah kursi” artinya adalah benda tersebut bisa danseharusnya digunakan untuk
duduk (Rosch, 1978).

Penelitian lintas budaya mengindikasikan bahwa beberapa kategori yang digunakan untuk berfikir dan
menyampaikan informasi yang kurang relative tidak tergantung atau dipengaruhi budaya. Sebagai contoh,
ekspresi wajah yang menandakan emosi-emosi dasar, senang (happiness), sedih (sadness), marah (anger),
takut (fear), terkejud (surprise), dan jijik (disgust) ditempatkan pada kategori-kategori yang sama
diberbagai budaya.

Orang dalam budaya berbeda juga cenderung mengelompokkan bentuk berdasarkan contoh terbaik dari
bentuk-bentuk dasar (lingkaran sempurna, segitiga sama kaki, dan bujur sangkar) dari pada membuat
kategori untuk bentuk-bentuk geormetris yang tak beraturan. Kesamaan-kesamaan lintas budaya ini
menunjukan bahwa yang mempengaruhi cara manusia mengelompokkan beberapa stimulus dasar adalah
faktorfaktor fisiologis.

Ross dan Millson (1970) menduga bahwa orang yang mengandalkan pada tradisi oral akan lebih baik
ingatannya. Mereka kemudian membandingkan ingatann mahasiswa Amerika dengan mahasiswa Ghania
dalam mengingat cerita yang dibacakan keras-keras. Namun Cole dan rekan-rekannya (Cole, Gay, Glick,
& Sharp, 1971) menemukan bahwa subjek-subjek Afrika yang buta huruf tidak lebih unggul ingatannya
bila mereka dihadapkan pada daftar kata dan bukan cerita.

Pemecahan masalah adalah proses dimana kita berusaha menemukan cara-cara mencapai suatu tujuan
yang tampaknya tidaklangsung bisa didapat. Problem solving merupakan suatu proses dalam usaha
menemukan urutan yang benar dari alternativealternative jawaban suatu masalah dengan mengarah pada
satu sasaran atau kearah pemecahan yang ideal.

Perbedaan kultural dalam pemecahan masalah sulit diukur dalam setting natural karena akan sulit
memisahkan antara apakah seseorang itu sedang melakukan dedukasi logis dan apakah mereka
mencerminkan latar belakang kulturalnya.

 Pertanyaan:
Afina Oktavia: Contoh yang suda dijelaskan sebelumnya, mengapa contoh penelitian yang telah
dijelaskan masuk kedalam problem solving, lalu dimana letak problem solving karna tadi saya
kurang paham terkait penjelasannya.
 Jawaban: Linda: Karena lole dkk. 1971 ingin mengisortasi proses-proses pemecahan masalah itu
dengan meminta orang-orang dari beberapa kebudayaan yang berbeda untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang belum mereka kenal dalam setting buatan.
Lalu dimana letak problem selvingnya?
Problemnya berada di subjeknya,subjek amerika dan liberal itu berbeda kebudayaanya, lalu para
subjek di minta untuk menggunakan alat yang memiliki berbagai tombol, panel dan slot untuk
membuka alat tes agar mendapatkan hadiah.

Kelompok 12

Linda Rahmadani sebagai moderator, Tri Natalia pemateri 1, Alifah ariany putri pemateri 2, Linda
rahmadani pemateri 3

“Abnormalitas”

Perilaku abnormal adalah kondisi emosional seperti kecemasan dan depresi yang tidak sesuai dengan
situasinya. Perilaku abnormal terdiri dari dua kata yaitu Perilaku dan Abnormal, Perilaku menurut kamus
bahasa Indonesia adalah tingkah laku seorang manusia/sikap seorang manusia, sedangkan Abnormal
dapat didefinisikan sebagai hal yang jarang terjadi (seperti kidal) atau penyimpangan dari kondisi rata-
rata (seperti tinggi badan yang ekstrem).
Menurut Singgih Dirgagunarsa (1990:140) mendefinisikan psikologi abnormal sebagai lapangan
psikologi yang berhubungan dengan kelainan atau hambatan kepribadian, yang menyangkut proses dan isi
kejiwaan.

Menurut Kartini Kartono (2000:25), psikologi abnormal adalah salah satu cabang psikologi yang
menyelidiki segala bentuk gangguan mental dan abnormalitas jiwa.

Beberapa peneliti berargumen bahwa abnormalitas dan normalitas adalah dua konsep yang bersifat
kultural. Peneliti-peneliti ini menggarisbawahi kenyataan bahwa tiap budaya berbeda dalam keyakinan
tentang dan sikap terhadap perilaku abnormal. Laporan tentang distress subjektif untuk mendefinisikan
abnormalitas juga problematis ketika mempertimbangkan abnormalitas secara lintas-budaya.

Banyak kajian lintas-budaya tentang kelainan-kelainan memusatkan perhatian pada pertanyaan apakah
tingkat dan ma nifestasi gangguan-gangguan psikologis berbeda secara lintas budaya. Dua gangguan yang
paling banyak diderita per hatian adalah skizofrenia dan depresi, biasanya diteliti dengan menggunakan
diagnostik diagnostic dan prosedur-prosedur pen jangkaan yang dikembangkan oleh psikologi dan
psikiatri Barat.

Terkait dengan pengalaman individu dari budaya lain , definisi - definisi tradisional menjadi sangat
berguna dalam iden tifikasi , penjangkaan , serta perawatan perilaku abnormal . Sampai saat ini
kontroversi antara defnisi universal melawan yang relatif budaya atas perilaku abnormal masih berlanjut .
Namun demikian, tampaknya jelas bahwa ada perbedaan budaya baik dalam tingkat kemunculan dan
beberapa ekspresi gangguan psikologis utama seperti skizofrenia dan depresi.

 Pertanyaan
Afina Oktavia: Gangguan yang sering muncul itu skizofernia dan depresi, mungkin bisa
dijelaskan seperti apa dalam kebudayaan?
 Jawaban
Linda rahmadani: Skizofrenia sendiri merupakan gangguan psikotik dimana dicirikan oleh
penarikan diri dan susah bersosialisasi. Jadi dalam budaya kan kita hidupnya bersosial atau
berkelompok. Maka dari ciri ciri skizofrenia itulah yang menyebabkan skizo merupakan
abnornam dalam budaya. Sedangkan depresi merupakan gangguan yang melibatkan gejala
seperti kesedihan intens, perasaan sia sia, dan perasaan tidak berharga juga menarik diri dari
orang lain. Tentu itu akan mengganggu hubungan undividu tersebut dengan lingkungan sosial,
sehingga depresi dapat dikatakan abnormal dalam budaya.

 pertanyaan
Anisa azzahro: Terkait kajian abnormalitas dan budaya, saya menyoroti pagelaran piala dunia
Qatar dimana budaya barat berupa LGBT merupakan abnormalitas di Qatar. Dalam DSM 5
bahkan LGBT dihilangkan karena populasinya terlalu banyak, yang mulanya merupakan sebuah
abnormalitas di DSM 4. Mengapa perbedaan definisi terkait label abnormalitas pada LGBT
menjadi bias di seluruh dunia?

 jawaban:
Karena bagi sebagian besar orang, terlebih negara timur, seperti Qatar, LGBT merupakan suatu
hal yang menyimpang karena fenomena tersebut tidak sesuai dengan norma dan nilai yang
berlaku dalam banyak kelompok masyarakat. dan juga karena ada perbedaan pemahaman terkait
negara-negara timur yang mayoritas masyarakat nya beragama Islam, dimana LGBT sangat
dilarang karena dianggap dosa yg besar.

Kelompok 13

Afaf mufidah sebagai moderator dan pemateri 1, Sandy Maelana Putri sebagai pemateri 2, Grizbaldy
sebagai pemateri 3

“Emosi”

Emosi atau dalam bahasa Inggris emotion berasal dari bahasa Latin “emovere”. “E” berarti keluar, dan
“movere” berarti bergerak. Secara harfiah, movere berarti bergerak menjauh yang menyiratkan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal yang mutlak dalam emosi (Goleman, 1995). OSHO (2008)
menambahkan bahwa emosi berasal dari kata “motion” yang artinya tak pernah diam dan tak pernah akan
menjadi permanen, ia akan terus selalu berubah dari situasi ke situasi oleh karena seluruh emosi,
sentimen, dan pikiran telah dimanipulasi dari luar.

Para psikolog memfokuskan tiga komponen utama dalam emosi, yaitu:

(1) perubahan fisiologis pada wajah, otak, dan tubuh,

(2) proses kognitif seperti interpretasi suatu peristiwa dan

(3) pengaruh budaya yang membentuk pengalaman dan ekspresi emosi.

Goleman (1995) memaparkan bahwa manusia telah memiliki dasar-dasar emosi atau telah memiliki
emosi primer semenjak mereka dilahirkan.

Dalam mendefinisakn emosi, psikologi Amerika kerap mengandaikan bahwa yang dibicarakan adalah
sesuatu yang sama untuk seluruh manusia. Memang, banyak studi yang menyetakan bahwa hampir setiap
kebudayaan memiliki suatu konsep tentang emosi. Brandt dan Boucher misalnya, mengkaji konsep
depresi dalam delapan budaya yang berbeda. Yang dikaji termasuk bahasa Indonesia, Jepang, Korea,
Malaysia, Spanyol dan Sinhalese. Masing-masing bahasa tersebut memiliki kata untuk emosi,
menunjukkan bahwa konsep emosi ada diberbagai budaya.

Perbedaan bahasa lintas budaya ini menunjukkan bahwa masing-masing budaya memilah dunia emosi
dengan cara yang berbeda-beda. Dengan demikian, selain konsep emosi itu sendiri tidak bebas budaya
alias khas-budaya (culture bound) demikian pula dengan tiap kebudayaan memberi kerangka dan
melabeli emosi.

Efek dari emosi marah sering kali menyebabkan berbagai konflik, pembunuhan, dendam, dan tindakan-
tindakan yang dapat merugikan orang lain. Meskipun demikian, jika emosi marah dapat dikendalikan
dengan baik maka akan secara efektif dapat menghindari tindakan-tindakan yang merugikan orang lain.
Karenanya emosi marah bersifat sangat sosial dan implikasinya akan berdampak langsung pada
masyarakat.

Pada tahun 1969, ekman mengawali studinya dengan sebuah pertanyaan apakah setiap budaya memiliki
arti ekspresi emosi yang berbeda, Penelitian ini dilakukan pada tujuh budaya dimana lima diantaranya
adalah tergolong dalam budaya Amerika-Eropa dan dua lainnya non-Eropa. Metode penelitiannya, para
subjek dari budaya tersebut:

1. Ditunjukkan serangkaian foto yang menggambarkan suatu emosi tertentu

2. Menjelaskan emosi apa yang kira-kira yang sedang dialami oleh oleh model foto tersebut.

3. Bagaimana mereka mengekspresikan jika mereka mengalami apa yang dialami si Model.

 Pertanyaan
Nur Ainun: Contoh perbedaan kultural terkait emosi di Indonesia sendiri itu seperti apa?
 Jawaban
Sandy Maelana Putri : Ketidak mampuan memahami emosi pada masing-masing budaya
berpotensi mengakibatkan konflik, Sebagai contoh, konflik yang terjadi pada tahun 2001 silam
yaitu konflik Sampit yang melibatkan antara suku Dayak dan suku Madura. Berdasarkan hasil
penelitian Rachbini mengatakan bahwa konflik tersebut didasari adanya stereotip kesukuan
yang implikasinya kesalahpahaman antar kedua budaya dalam memahami karakteristik
emosi marah. Suku Dayak memiliki stereotip bahwa suku Madura memiliki watak keras,
tidak sopan, dan tidak dapat beradaptasi dengan baik. Sedangkan suku Madura tidak dapat
memahami konteks budaya dalam masyarakat suku Dayak. Kondisi ini memunculkan
konflik-konflik budaya.

Anda mungkin juga menyukai